Label

Tampilkan postingan dengan label Ulasan Karya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ulasan Karya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Juni 2019

Pembukuan Cerpen dan Kerja Komunitas (Derap Guru, April 2019)


Pembukuan Cerpen dan Kerja Komunitas
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                  : Kekasih Lautong dan Melati untuk Lin
Penyusun                     : Sulung Pamanggih, dkk.
Penerbit                       : Cantrik Pustaka
Cetakan                       : I, Februari 2017
Tebal                           : xiv + 125 halaman
ISBN                           : 978-602-60963-6-4



Pembukuan kumpulan cerpen terbaik, setidaknya menjadi bukti keberadaan bagi media terbitan semacam majalah, buletin, dan koran. Menjadi upaya pergulatan kepengarangan atas capaian estetika bagi komunitas. Mengukur kualitas karya dari tahun-tahun yang telah berjalan dan terlewat dalam kurun waktu tertentu. Dengan harapan mampu menjadi ikhtiar pengingat, penanda, etos, dan pengukur gerak proses kreatif dalam berkomunitas.
Buku kumpulan cerpen Kekasih Lautong dan Melati untuk Lin karya Sulung Pamanggih, dkk. (Cantrik Pustaka, Februari 2017) menjadi bukti pergolakan gerak komunitas anak muda (mahasiswa) yang menempa diri dalam gerak literasi. Cerpen-cerpen terbaik dikumpulkan selama enam tahun terbitan buletin Keris yang digawangi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) KIAS Universitas PGRI Semarang, sejak 2010 hingga 2016. Berisi dua belas cerpen dengan tawaran ragam tema, ditulis oleh mahasiswa dengan latar belakang berbeda-beda pula.
Diawali dengan cerpen berjudul Lik Tarbu garapan Sulung Pamanggih, mengisahkan kesetiaan sang suami (Lik Tarbu) dalam merawat istrinya yang lumpuh. Sebuah cerpen dengan bangunan narasi dan dialog yang mengalir pelan, namun masih syarat dengan pergolakan yang menyesaki benak pembaca atas detail pengisahannya.
Terlihat sangat sabar Lik Tarbu menyikat gigi istrinya, membersihkan lubang telinga serta mengusap-usap tubuhnya sampai bersih. (hlm. 1). Konflik muncul dan digiring sedemikian rupa selepas istrinya meninggal. Lik Tarbu, seorang lelaki tua kaya yang gila atas kematian istrinya. Ia seakan tak kuasa menjalani hidup tanpa istrinya yang meninggal saat hamil. Bahkan Lik Tarbu tak pernah mau untuk menikah lagi, meskipun tak sedikit perempuan yang datang hendak melamarnya.
Sudah lima pelamar yang ditolak, padahal mereka bisa dibilang cantik. Ada juga mahasiswi dari kota yang melamarnya, namun Lik Tarbu tetap menolak. (hlm. 10). Dalam cerpen ini, Sulung Pamanggih seolah-olah berupaya menyuguhi pembaca dengan tema sederhana, namun ia pertimbangkan bagaimana cerita itu menjadi berarti bagi pembaca.
S. Prasetyo Utomo, dalam pengantarnya memberikan penguatan bahwasanya dua belas cerpen cenderung pendek secara struktur, tetapi tetaplah memenuhi kesempurnaan unsur-unsurnya. Tema-tema yang diangkat berkisar pada kegelisahan pencarian akan eksistensi manusia yang dibenturkan pada konflik batin untuk memahami pihak lain di luar diri seseorang.
Buku kumpulan cerpen ini pada saat peluncurannya berkesempatan dihadiri dan diulas Agus Noor. Ia menyoroti cerpen Bulan Terlanjur Pecah garapan Khoerul Maftuhah yang dihadirkan dengan ide menarik. Dikisahkan dalam cerita, terdapat seorang perempuan yang tubuhnya menjadi beku ketika musim hujan datang. Kemudian tubuhnya akan pecah, lalu perempuan itu akan memunguti tubuhnya kembali hingga tubuhnya menjadi seperti semula.
Namun, bagi Agus Noor, kisah itu kurang mampu meyakinkan pembaca. Menurutnya, seabsurd apa pun sebuah cerita harus mampu meyakinkan pembaca. Dalam cerita, absurd tidak ditopang dengan argumen-argumen yang mendukung dan membangun peristiwa. Tidak dihadirkan bagaimana yang dialami perempuan itu akibat keturunan, penyakit, dan lainnya. Seyogianya, simbol-simbol yang ditawarkan pun dapat dipertanggung jawabkan.
Terlepas dari segala kekuatan dan kelemahannya itu, setidaknya kehadiran buku ini menjadi sebuah monumen tersendiri bagi dunia literasi kampus dan berupaya merekomendasikan beberapa penulis berbakat untuk berproses di medan juang yang lebih menggetarkan. Baik dalam ajang-ajang festival kepenulisan dan pertarungan penerbitan cerpen di media massa. Setidaknya tidak sedikit penulis dalam buku kumpulan cerpen ini, selepas mereka lulus kuliah telah menorehkan cerpen karyanya di ruang-ruang media lokal maupun nasional.***

─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Senin, 24 September 2018

Nama-Nama yang Muncul dalam Prosa dan Puisi (Jawa Pos, 23 September 2018)



Nama-Nama yang Muncul dalam Prosa dan Puisi
Oleh Setia Naka Andrian



Judul Buku                : Perihal Nama
Penulis                         : Widyanuari Eko Putra
Penerbit                       : Kelab Buku Semarang
Cetakan                       : I, Mei 2018
Jumlah Halaman          : 170 halaman
ISBN                           : 978-602-6694-43-0

Pemberian nama dari orangtua kepada anaknya, kerap kali melewati pertimbangan panjang. Bahkan tidak jarang, terjadi perdebatan alot di antara kedua orangtua tersebut. Sebelum sepenuhnya menjatuhkan suatu nama kepada sang anak yang baru saja menghirup napas ke dunia. Terkait nama yang tidak bisa dikata sederhana tersebut, pun dibahas panjang lebar dalam buku Perihal Nama karya Widyanuari Eko Putra (Kelab Buku Semarang, 2018).
Buku yang dicap sebagai kumpulan enam esai seputar prosa, puisi, dan buku tersebut mencoba menggiring pembaca menyelami ketidaksederhanaan penamaan tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra, baik prosa maupun puisi. Nama-nama yang dihadirkan dalam karya kerap dipertimbangkan pengarang, bagaimana kesesuaiannya dengan cerita yang diusung.
Bagi Widyanuari, dalam esai berjudul Yang Tersembunyi di Balik Nama, bahwasanya nama tercipta sebagai konsekuensi atas pertimbangan-pertimbangan: ideologi, konteks zaman, kebersesuaian dengan tema cerita, hingga eksplorasi yang semata-mata demi capaian estetik atau efek tertentu. (hlm. 45).
Widyanuari memberikan perhatian serius terhadap kehadiran nama-nama dalam berderet karya sastra. Di antaranya, novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwe Dekker), Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, novel Tetralogi Buru garapan Pramoedya Ananta Toer, Para Priyayi karya Umar Kayam, Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo, hingga karya-karya terbaru Triyanto Triwikromo, Ritus, Anak-Anak Mengasah Pisau, dan Ular di Mangkuk Nabi.
Dalam kasus penamaan yang dilakukan Triyanto, misalnya, Widyanuari menangkap kecenderungannya menciptakan nama-nama yang khas, berkesan gaib, mistis, dan ajaib. Nama-nama tersebut, di antaranya Manyar, Kabrut, Blandrek, Abilawa, Ragaula, Rudrat, Natasja Korolenko, Nyonya Bangsa.
Meskipun, dalam esai judul serupa, Widyanuari menghadirkan pernyataan dari Seno Gumira Ajidarma, berikut, “Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas “mengarang”,”
Pada kasus tersebut, Seno memberikan pernyataan bahwa penamaan tokoh-tokohnya dalam cerita dibuat sekenanya saja. Tentu banyak kita dapati bagaimana Seno menggunakan nama Sukab dalam beberapa cerpen-cerpennya. Lain kasus ketika Seno menggarap novelnya Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh pewayangan serupa Togog, Prabu Janaka, Hanuman, Rama, Sinta, dan lainnya dihadirkan begitu rupa dalam novel yang mendekonstruksi cerita wayang tersebut.
Selanjutnya, dalam esai berjudul Sebuah Nama, Sebuah Cerita, Widyanuari menyingkap maksud pencantuman nama dalam puisi. Penyair-penyair serupa Chairil Anwar, Afrizal Malna, Iman Budi Santosa, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Erich Langobelen, Alex R. Nainggolan, Nurul Ilmi El-Banna, Sengat Ibrahim, M. Noeris, dan lainnya.
Nama-nama dicantumkan secara khusus dalam puisi. Puisi ditujukan untuk seseorang, diberikan, dihadiahkan, atas rasa kagum, penghormatan, ketakziman, dan lainnya. Seperti gubahan puisi Chairil Anwar, di antaranya pada judul “Kenangan untuk Karinah Moordjono”, “Hampa kepada Sri”, “Kawanku dan Aku kepada L. K Bohang” dan lainnya.
Menurut temuan Widyanuari, nama-nama seakan diabadikan secara terang-terangan di dalam puisi. Kerap kali diletakkan di bawah judul, atau bahkan tak sedikit pula nama-nama tersebut dicantumkan menyatu dalam judul, “Kepada Penyair Bohang”. Ada kalanya nama-nama dicantumkan dengan inisial, “Lelaki Empat Penjuru Kepada ULP” karya Iman Budi Santosa untuk Umbu Landu Paranggi. Didapati pula puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo, berjudul “Rumah Kontrakan untuk ulang tahun SDD”, “Memo Celana untuk Iqbal”, “Rumah Persinggahan untuk S.S.”.
Dalam kedua esai panjang Widyanuari tersebut, nama-nama memiliki keberadaan yang tidak biasa, baik dalam prosa maupun puisi. Nama-nama mendapuk peran tersendiri dalam sebuah karya sastra. Nama-nama yang bermakna dan tidak semena-mena dihadirkan dalam karya sastra, serta nama-nama yang diberi kehormatan tersendiri saat dicantumkan dalam sebuah puisi.
Keempat esai berikutnya dicatat Widyanuari dengan tidak sepanjang esai pertama dan kedua. Judul esai Tidak Ada Jassin hari Ini, Upaya Menulis Ulang dan Menafsir, Menjelajahi Parodi ala martin, dan Pengorbanan Membaca Buku, seakan menjadi anak-anak yang berusia pendek. Meski, napas yang ditiupkan Widyanuari kepada esai-esai tersebut tetap sama. Hanya saja, pembaca barangkali akan merasa terganggu. Pengisahan nama-nama seakan kian memendek dan memudar.***

─Setia Naka Andrian, Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Jumat, 10 November 2017

Meraba Puisi dalam Kumpulan Cerpen (Derap Guru, Oktober 2017)

Meraba Puisi dalam Kumpulan Cerpen
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                : Kolektor Mitos
Penulis                         : Halim Bahriz
Penerbit                       : Langgam Pustaka
Cetakan                       : Januari 2017
Jumlah Halaman          : viii + 110 halaman
ISBN                           : 978-602-60094-3-2

Dewasa ini tentu tidak sedikit cerita-cerita yang bermunculan ditulis oleh penyair, baik dipublikasikan dalam media massa maupun media lainnya. Tidak sedikit pula dijumpai cerita-cerita tersebut dengan ciri khas aroma syair. Narasi-narasi yang terbentuk, pengisahan suatu cerita atau kejadiannya, deskripsi suatu kejadian atau peristiwa dalam ceritanya, bahkan tema dan judulnya sangat lekat dengan puisi.
Tidak ada yang salah, baik puisi yang menyerupai prosa ataupun prosa yang menyerupai puisi. Namun, setidaknya keduanya harus memiliki batasan-batasan yang dapat dipercayai, paling tidak oleh pembaca. Penulis haruslah mampu meyakinkan pembaca, bahwasanya yang ditulis itu puisi, atau cerpen.
Fenomena tersebut agaknya dapat dijumpai dalam kumpulan cerpen Kolektor Mitos karya Halim Bahriz (Langgam Pustaka, Januari 2017), yang setidaknya selain menulis cerpen, ia juga kerap menyandang gelar penyair, dan tak sedikit ia dinobatkan sebagai juara dalam ajang lomba penciptaan puisi.
Halim begitu kental menyuguhkan kehadiran puisi-puisinya dalam cerpen. Bangunan narasi dan pengisahannya begitu kental ia tanami puisi-puisi. Entah, apakah ketika menulis cerita ia begitu kesulitan meninggalkan puisi. Atau ketika menulis cerita ia bersanding dengan puisi-puisinya, lalu ia comoti mana yang bisa ditaburkan dalam cerita yang sedang dibuatnya.
Dalam cerpen Sebuah Makam dalam Cahaya, misalnya. Halim seakan terlihat sangat berambisi menghadirkan cerita yang sangat puisi. Mereka terlalu banyak: Jilan dikeroyok. Ia mulai merasakan tubuhnya semakin jauh. Ia dan tubuhnya saling melepas, menuju keharuan yang tak perlu, dadanya disesaki kata yang tak mampu diucapkan lagi, “Tidak! Tidak! Kenapa bahasa tak lagi mencukupi untuk menyatakan aku saja?!... (hlm. 2).
Tentu menjadi kebaikan tersendiri jika pengisahan-pengisahan bernada puisi telah bertabur erat dalam cerita. Kata-kata puitik hadir dan singgah dalam sebuah bangunan narasi yang memadahi. Sehingga, akan menjadikan cerpen memiliki ruang pembacaan yang berlapis. Selain harus menyibak segala sesuatu dalam bangunan kisah, pembaca juga harus berkerut-kening dengan kode-kode yang begitu puitik itu.
Pada persoalan ini, Halim pun memiliki tugas keras dalam menghadirkan sandi-sandi narasinya. Jangan sampai, beragam kode atau sandi-sandi yang digulirkannya menjadi semacam kode rahasia yang tak terjangkau pembaca (gelap). Halim pastinya harus sudah sanggup mempertimbangkannya, karena yang ia garap adalah cerita.
Jangan sampai kehadiran narasi-narasi puitik yang dihadirkan justru menjadi bumerang. Nilai hakiki sebuah cerita yang dihadirkan tak mampu ditembus oleh pembaca. Meminjam apa yang sempat disampaikan Agus Noor dalam sebuah forum diskusi, “kenapa harus dikisahkan dengan rumit dan dengan teknik yang berjungkir-balik, jika dengan pengisahan sederhana saja cerita sudah memikat?”
Hal itu dapat menjadi pijakan, bahwa kisah yang sudah bagus, pasti sudah memiliki tempat di hadapan pembaca, sudah memiliki daya pikat. Maka, pengisahan yang rumit atau cerita yang menggunakan teknik berjungkir-balik, hanya untuk kisah-kisah yang biasa-biasa saja. Agar kisah itu memiliki daya pikat di hadapan pembaca.
Dalam cerpen berjudul Mutan, nampak pula Halim membuka cerpennya dengan sangat puisi. Jingga tipis dari senja melapisi tembok kaca. Seperti mengecat cahaya dengan kesementaraan yang berulang. Ben, sedang berbicara mengenai post-modern, sedikit-sedikit, mirip roh kata-kata yang tersedak; momen tengil antara ketiadaan waktu dan ruang yang kembali bernapas. (hlm. 64).
Dari penggalan itu, nampak seperti apa kehadiran puisi dalam cerpen Halim. Pembaca diajak mengembara, diberi tugas dan beban berat untuk memecah sandi-sandi yang ia ciptakan. Hanya saja, ada kalanya hingga akhir cerita pembaca masih kesulitan untuk memecahkan sandinya.
Walaupun begitu, cerpen-cerpen lain dalam kumpulan cerpen ini, Halim kerap kali berhasil dalam membawakan kisah-kisahnya. Halim sesunggungnya telah sanggup menghadirkan kisah memikat dalam narasi-narasi sederhananya. Dalam Lelampak Lendong Kao, misalnya. Halim begitu rupa menghadirkan persoalan kemanusiaan, rasa syukur, ketabahan, keimanan, dan penghambaan kepada Tuhan.***

Selasa, 08 Agustus 2017

Catatan Harian Seorang Bapak 'Nakal' (Derap Guru. Agustus 2017)

Catatan Harian Seorang Bapak ‘Nakal’
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku         : “Bapak Nakaaal...!”
Penyusun            : Budi Maryono
Penerbit              : Gigih Pustaka Mandiri
Cetakan              : I, April 2017
Tebal                  : xiv + 376 halaman
ISBN                  : 978-602-1220-14-6

Di era seperti sekarang ini, tentu masyarakat kita telah begitu asing dengan catatan harian. Diary (buku harian) seakan telah menjauh dari benak, ingatan, dan imaji seseorang. Buku harian yang dulu berwujud kecil-mungil dan selalu dibawa ke mana pun seseorang pergi, kini tak tersentuh, tak menjadi bagian dari aktivitas keseharian lagi.
Seseorang seperti sudah tidak lagi punya waktu untuk mencatat segala yang dialami, dijalani, dan berkesan setiap harinya. Seseorang sudah terlanjur disibukkan dengan seabrek rutinitas dan pekerjaannya masing-masing. Sibuk menyuntuki gawai canggihnya untuk berkomentar dalam group-group media sosial saat menunggu bus di halte, menunggu keberangkatan kereta, atau menanti jadwal penerbangan di bandara.
Meski sesungguhnya tak pelak lagi, setiap diri tentu butuh mengabadikan momen bermakna, memanjangkan ingatan dari kejadian yang berkesan, baik momen personal atau peristiwa lain bersama sahabat, pasangan, komunitas, atau keluarga.
Budi Maryono dalam bukunya “Bapak Nakaaal...!” (Gigih Pustaka Mandiri, April 2017) seakan mengajak dan mengingatkan kembali kepada khalayak ramai, betapa catatan harian perlu dikerjakan lagi. Buku yang cukup tebal tersebut berisi catatan dari kisah penulis bersama keluarganya dalam berlaku hidup di rumah, bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Bertitimangsa 2010-2014, tiap tahun terdiri dari berbagai judul yang telah berurutan kapan peristiwa terjadi dan kapan catatan dituliskan.
Budi Maryono seakan berikhtiar mencipta sejarah kehidupan bagi keluarga, bagi seorang istri dan ketiga anaknya. Catatan-catatan ditulis dengan pengisahan sederhana, mudah dipahami dan tidak panjang, rata-rata berkisar dua hingga tiga halaman. Nampak jelas, penulis prosa Di Kereta Kita Selingkuh (2008) ini hendak menyasar para pembaca yang lebih luas, tidak hanya para penyuka sastra semata, namun ia tujukan untuk keluarga Indonesia.
Kejadian-kejadian sederhana dan syarat tak terduga di benak pembaca dihadirkannya dalam buku ini. Dari mulai kisah keluarga penyayang kucing, persoalan pengasuhan anak, penanaman akhlak dan moral bagi anak, memerdekakan anak dalam menentukan masa depannya, hingga perihal laku keluarga dalam beragama.
Rencana semula berdua saja tapi kemudian berubah pikiran dan kami sepakat untuk iktikaf serumah. Kemarin, Jumat 17 Agustus, kami pun berangkat dengan taksi sekitar pukul sepuluh malam. (Ketika Lebaran di Depan Mata, hlm. 179). Kisah Budi Maryono bersama istri dan anak-anaknya menjalani iktikaf berjamaan di Masjid Baiturrahman Semarang pada malam 29 Ramadan. Tengah malam hingga pukul tiga pagi, mereka memilih baitullah ketimbang baitulmall ketika lebaran sudah di depan mata.
Budi Maryono, dalam buku ini menyuguhkan kisah-kisah berbentuk prosa pendek yang bersumber dari kenyataan hidupnya. Kisah-kisah mengalir dengan nada tak menggurui, walaupun terkadang kerap didapati nasihat yang ia sampaikan kepada anak-anaknya melalui dialog dalam kisahnya. Ia memposisikan diri sebagai “bapak” pencatat. Lebih banyak menyibak momen istri dan anak-anaknya, baik di dalam maupun di luar rumah. Namun, ia tetap menjadi bapak ‘nakal’ dalam menyutradarai jagat keluarganya.
Hanya saja, ada bagian-bagian kisah yang seakan menjenuhkan pembaca. Ketika Budi Maryono tak sedikit menghadirkan kisah-kisah momen ulang tahun yang berulang setiap tahunnya. Anggota keluarganya berjumlah lima, berapa kali dalam setiap tahun kisah itu berulang? Belum lagi, ulang tahun pernikahannya pun kerap dikisahkannya pula. Meskipun ceritanya tercatat berbeda-beda, namun jika dengan momen sama, tentu tetap saja akan mengganggu mata pembaca.***



─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016) dan Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).

Minggu, 29 Januari 2017

Tubagus dan Eksistensi Pecinan Semarang (Jawa Pos, 29 Januari 2017)


Tubagus dan Eksistensi Pecinan Semarang
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku              : Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota
Penulis                       : Tubagus P. Svarajati
Penerbit                     : Bukusaya
Cetakan                     : Agustus 2016
Jumlah Halaman       : xxv + 260 halaman
ISBN                         : 978-602-9682-65-6

Lewat esai-esainya, Tubagus P. Svarajati lugas dalam berpendapat terkait dengan riwayat dan masa depan Pecinan Semarang.
Cobalah menyusuri Semarang saat menyambut Imlek. Antusiasme itu sangat terasa di sudut pecinan ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Mulai Wotgandul, Gang Baru, Gang Pinggir, sampai Gang Lombok. Pasar Imlek Semawis ke-14 juga digelar di Semarang pada tahun Ayam Api ini.
Semarang memang memiliki etnis Tionghoa yang cukup banyak. Kelentengnya saja mencapai puluhan, persisnya 70.
Dan, berbicara pecinan di Semarang tentu tak lepas dari sosok Tubagus P. Svarajati. Ia dianggap sosok paling representatif dalam memberikan pandangan tentang keberadaan dan arus gerak seni-budaya pecinan di Semarang.
Dalam bukunya, Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota (2016), melalui esai-esainya yang terbagi menjadi empat, yakni pecinan, kota, seni, dan tokoh, Tubagus menyinggung mengenai segala sesuatu yang terkait dengan pengembangan/penataan kawasan.
Terutama tentang kesenian dan seni rupa di Semarang. Khususnya dalam lingkup ruang gerak di kawasan Pecinan.
Melalui buku ini atau jika siapa saja yang sempat bersinggungan dan dihadapkan langsung pada sosok Tubagus, pasti akan muncul pandangan bahwa orang ini nyinyir dan sinis. Namun, Tubagus kerap diakui berbagai kalangan sebagai orang yang lugas dalam setiap berpendapat terkait riwayat dan masa depan pecinan di Semarang. Kejernihan pun selalu ia torehkan dalam esai-esainya di buku ini.
Tubagus menggarap berbagai hal yang timbul dan berkembang dari masyarakat Pecinan Semarang. Gagasan dan ktitik pedasnya ia kelola apik atas kerusakan lingkungan, transportasi, turisme, gerak kesenian dan sastra (folklore). Pada salah satu esainya yang bertiti mangsa 2012, Tubagus berpendapat bahwasanya merancang pembangunan kawasan pecinan perlu dipikirkan. Sebagai destinasi wisata terpadu agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan.
Karena itu, semuanya harus terorganisasi dengan baik. Pihak pengelola yang kerap mengaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang pun tak boleh hanya terfokus pada sisi komersial.
Ia berharap, dalam segala pengelolaan warga dan tata wilayah, harus jelas bagaimana konsepnya. Misalnya, dalam tataran konsep turisme. Harus jelas akan seperti apa yang hendak dipraktikkan dan dijalankan.
Ada tidak dampak positif bagi warga. Bagi Tubagus, setiap bangunan kebijakan yang menyangkut warga haruslah dapat meluaskan lapangan kerja, meningkatkan devisa, dan memeratakan pembangunan antarwilayah.
Tentu, yang paling utama adalah masyarakat lokal harus terlibat langsung dalam segenap perencanaan dan pengelolaan. Dan, warga benar-benar mengakui sebagai penikmat pertama.
Buku ini juga memuat surat terbuka yang ditulis Tubagus untuk wali kota Semarang, Gonjang-Ganjing Pecinan Semarang (hlm. 77). Ia lontarkan catatan atas apa yang terjadi dan tentu ia berikan pula bagaimana rekomendasinya.
Disebutkan bahwasanya Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) bukan wakil atau representasi warga Pecinan Semarang. Rekomendasinya, bilamana Kopi semawis tetap hendak berkiprah dan hendak memenuhi janjinya perihal “Revitalisasi Pecinan Semarang”, mereka harus melakukan riset yang memadahi.
Segala hal itu berkaitan erat dengan situs-situs warisan budaya (heritage) yang bermekaran. Tubagus beranggapan, peran pemerintah atau lembaga apa pun di luarnya hanyalah sebagai akselerator.
Gerakan serupa itu lazim disebut sebagai aksi masyarakat madani (civil society). Tujuannya, kelak orang-orang dalam kota atau yang dari luar mengenal (penuh) Pecican sebagai pusat kebudayaan, terutama di Semarang. Kebinekaan yang diimpikan pun pelan-pelan tak hanya utopis.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi (2016).

Selasa, 24 Januari 2017

Resensi Remang-Remang Kontemplasi oleh Usman Roin (Tribun Jateng, 22 Januari 2017)

Belajar Budaya Lewat Esai

Judul Buku        :  Remang-Remang Kontemplasi: Bunga Rampai 2009-2016
Penulis                :  Setia Naka Andrian
Penerbit              :  Rumah Diksi Pustaka, Kendal
Cetakan              :  November 2016
Tebal                   :  x + 248 halaman
ISBN                   :  978-602-6250-25-4

MEMBACA-esai satrawan kadang membingungkan karena begitu dalamnya kata yang digunakan untuk mewakili ungkapan rasa, ide dan gaya pemikirannya. Hingga, orang awam kadang tidak bisa langsung memahami apa yang disampaikan. Namun siapa sangka melalui buku ”Remang-Remang Kontemplasi” karya Setia Naka Andrian ini, pembaca akan dibawa pada gaya bahasa yang renyah dalam menyikapi persoalan dunia bila ditinjau dari aspek budaya dan sastra. Terlebih, penulis juga fasih soal sastra dan budaya.
Buku ini hadir sebagai pergulatan ide yang ’mahal’, karena dihimpun dari gagasan-gagasan kecil yang muncul untuk kemudian diteruskan melalui sebuah kontemplasi  yang alhasil kemudian disajikan menjadi utuh. Maka saat membaca buku ini pembaca akan mendapati esai dari tiga hal, mulai dari seni budaya, satra, dan pendidikan. Semua esai tersebut punya nafas budaya dan sastra yang begitu kental namun bukan yang membingungkan melainkan lugas, nyata, dan mampu menguliti sebuah ide persoalan yang terjadi tanpa tirai selembarpun.
Buku setebal 248 halaman ini sebenarnya karya yang telah disajikan sudah terlebih dahulu tayang di beberapa media masa. Tentu ini menjadi nilai plus karena secara konseptual pemikiran sudah dilemparkan ke publik untuk kemudian coba dihimpun dalam bunga rampai secara utuh.
Akhirnya, betapa mahalnya nilai buku ini karena gagasan ’yang tercecer’ kemudian coba disatukan menjadi buku dan dihadirkan ke pembaca. Pesannya tidak lain agar saat punya ide segera olah, jangan didiamkan melainkan dilanjutkan dalam kontemplasi yang mendalam. So, buku ini layak dibaca karena mengajak kepada pembaca membangun potensi kreatif diri yang terpendam agar bisa dibaca orang lain.
 


Peresensi  :  Usman Roin
Mahasiswa S2 PAI UIN Walisongo Semarang

dan Penulis Buku ’Langkah Itu Kehidupan’.

Minggu, 09 Oktober 2016

Rendra, Ziarah Kata dan Doa (Republika, 9 Oktober 2016)

Rendra, Ziarah Kata dan Doa
Oleh Setia Naka Andrian

Agustus lalu, tepat tujuh tahun meninggalnya W.S. Rendra, penyair Si Burung Merak yang begitu dikenal seantero negeri ini. Beberapa kota di negeri ini, daerah dan lingkup kecil semacam komunitas sastra, khususnya puisi, seakan khidmad mendengar gelimang kata-kata yang terus mengalir dari sajak-sajak Rendra.
Begitupun yang penulis lakukan bersama Forum Ngaji Ngopi Ngudud dan Kelab Buku Semarang, menyelenggarakan Ziarah Puisi Rendra di Mukti Cafe. Buku puisi Doa untuk Anak Cucu (Bentang, 2013) dan Puisi-Puisi Cinta (Bentang, 2015) menjadi riwayat tersendiri bagi khazanah perpuisian Rendra, dan bagi sastra Indonesia tentunya.
Melaui Doa untuk Anak Cucu (DUAC), Rendra seakan begitu yakin dalam menerawang masa depan keyakinannya. Ia seakan nampak berpegang pada Tuhan yang Esa, Allah SWT, semenjak ia menentukan bahwa Islam sebagai muara imannya. Nampak jelas dalam puisi Gumamku, ya Allah, berikut penggalannya:
Angin dan langit dalam diriku,/ gelap dan terang di alam raya,/ arah dan kiblat di ruang dan waktu,/ memesona rasa duga dan kira,/ adalah bayangan rahasia kehadiran-Mu, ya Allah!
Rendra, dalam puisi tersebut begitu berserah, segalanya tertuju kepada tuhannya, Allah. Melalui hal tersebut menjadi catatan lain tentang riwayat keislaman Rendra, lebih-lebih roh pementasan Kasidah Barzanji menjadi titik temu perjumpaannya di jalan muslim. Rendra seolah berambisi menyuarakan kemerdekaannya dalam bertuhan. Rendra sempat mengatakan, “bahwa dalam sajak-sajakku merupakan yoga bahasa, semacam ruang ibadah, puisiku adalah sujudku.”
Kuntowijoyo dalam bukunya Maklumat Sastra Profetik (2006) menyatakan bahwa pengarang yang shalat dengan rajin, zakatnya lancar, haji dengan uang halal, Islamnya tidak kaffah kalau pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah.
Barangtentu, itu dilakukan Rendra dalam bukunya DUAC, tanpa beribadah melalui karya, segala yang dilakukan di dunia seakan belum menyeluruh keislamannya. Bisa juga disimak melalui bagian akhir puisi Gumamku, ya Allah berikut:
Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu/ Agama adalah kemah para pengembara/ Menggema beragam doa dan puja/ Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.
Rendra bersuara begitu lantang dalam menyuarakan agama. Bahkan dalam penggalan tersebut menunjukkan betapa agama menjadi pengembaraan umat manusia di dunia. Rendra mengajak kita, bahwa ragam doa dan puja dalam tubuh-tubuh agama.
Bahkan agama yang sama pun akan didapati beraneka cara menyuarakan keagungan tuhannya. Namun tetap dalam muara yang sama, atas kebaikan yang sama dan untuk kemaslahatan bersama.
Dalam DUAC menjadi penanda tersendiri bagi perjalanan sajak-sajak Rendra. Buku ini seakan menjadi karya yang entah dikehendaki atau bahkan sangat tidak dikehendakinya. Mengingat jika buku ini lahir setelah beberapa tahun ia meninggal.
Namun, setidaknya sang penyunting (Edi Haryono) sempat memperbincangkan bersama Rendra tentang penerbitan buku ini. Edi yang mendapat titipan beberapa sajak yang terangkum dalam buku ini, dan sebagian lagi yang disimpan Ken Zuraida (ida, istri Rendra).
Melalui buku DUAC ini pun, Rendra begitu gelisah, bagaimana nasib anak cucunya kelak. Nampak dalam penggalan puisinya Kesaksian Akhir Abad berikut:
O, anak cucuku di zaman Cybernetic!/ Bagaimana akan kalian baca prasasti dari zaman kami?/ Apakah kami akan mampu/ menjadi ilham kesimpulan/ ataukah kami justru menjadi masalah di dalam kehidupan?
Rendra berpanjang-lebar dalam 6 halaman dalam mencatat doa-doa kegelisahannya dalam puisi ini. Ia seakan mengajak generasi mendatang lebih tertantang dengan yang dilontarkannya.
Rendra ketakukan dengan anak cucunya yang hidup di zaman serba mudah. Segala informasi dan apa pun bisa dengan leluasa dilahap dengan sangat cepat. Kebaikan dan keburukan akan berdampingan bahkan saling berlomba untuk mendarat di mata siapa saja.
Rendra dalam puisi tersebut pun menanamkan kegetiran atas Indonesia, nampak jelas dalam penggalan berikut:
O, Indonesia! Ah, Indonesia!/ Negara yang kehilangan makna!/ Rakyat sudah dirusak atas tatanan hidupnya./ Berarti sudah dirusak dasar peradabannya./ Dan akibatnya dirusak pula kemanusiaannya./ Maka sekarang negara tinggal menjadi peta/ itu pun sudah lusuh/ dan hampir sobek pula.
Ratap tangis mendera Rendra, atas segala kedaulatan tanah dan air Indonesia yang belum sepenuhnya digenggam bangsa ini. Melalui buku puisinya DUAC, seakan Rendra ingin melihat masa depan anak cucunya lebih baik daripada kehidupannya saat itu, saat ia masih hidup, saat masih gagah menyuarakan segala ratap dan kegelisahannya melalui sajak-sajaknya.
Selain buku DUAC, dalam obrolan malam itu pun hadir dengan begitu hangat buku Rendra yang bertajuk puisi-puisi cintanya. Begitu membius khalayak yang malam itu melepas perjumpaan dengan doa-doa yang bertebaran untuk almarhum.
Dalam puisi-puisi cintanya tersebut, terbagi atas tiga bagian, Puber Pertama, Puber Kedua, dan Puber Ketiga. Dalam kumpulan ini, menjadi bukti masa-masa pencarian cinta Rendra. Alam semesta menjadi pijakan bagaimana ia menemukan cinta-cintanya.
Misalnya saja dalam penggalan puisi Hai, Ma! Berikut:
Kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara/ dijauhi ayah-bunda/ dan ditolak para tetangga./ Atau aku telantar di pasar./ Aku berbicara tetapi orang-orang tidak mendengar,/ mereka merobek-robek buku/ dan menertawakan cita-cita./ Aku marah. Aku takut./ Aku gemetar/ namun gagal menyusun bahasa.
Seorang Rendra, dalam puisi tersebut merasa dirinya terbuang. Ia begitu tak berarti apa-apa. Pada posisi semacam itu, ia seakan semakin berupaya menemukan cinta-cintanya. Dalam keadaan yang tersudut dan merasa bahwa kehidupan menggiringnya untuk menjadi semakin dewasa, semakin mendekati sempurna.
Itu pada bagian puber ketiga, dan tentu akan beda nuansa cintanya pada bagian puber pertama dan puber kedua. Bagian-bagian tersebut menjadi jarak yang tak pernah saling meninggalkan, namun sangat erat meriwayatkan bagaimana perjalanan Rendra dalam menggapai cinta-cintanya di semesta ini. Dan kita saat ini, menyimak beragam kemuliaan melalui sajak-sajak Rendra, Ziarah kata, doa-doa serta sejarah manusia, pergulatan penyair menjadi jawaban yang masih terus bergulir selamanya.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016). Pegiat Forum Ngaji Ngopi Ngudud.

Senin, 01 Agustus 2016

Makam Leluhur dan Kemuliaannya (Jawa Pos, 31 Juli 2016)


Makam Leluhur dan Kemuliaannya
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                : Tarian Dua Wajah
Penulis                         : S. Prasetyo Utomo
Penerbit                       : Alvabet
Cetakan                       : I, Juni 2016
Jumlah Halaman          : 268 halaman
ISBN                           : 978-602-9193-86-2

Prasetyo memilih pengisahan novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Membaca novel ini, sederhana memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin terkait bergelimang fenomena spiritual.
Novel diyakini menjadi cara ampuh bagi sebagian pengarang untuk lebih dalam menemui pembacanya, ketimbang melalui karya sastra lain termasuk puisi dan cerpen.
Itu disebabkan novel setidaknya lebih lantang menyuarakan pengisahannya, dengan tidak perlu banyak mengerutkan dahi pembaca. Seperti yang dapat pula kita rasakan ketika membaca novel S. Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (Alvabet, Juni 2016).
Prasetyo menggiring pembaca dengan suguhan persoalan makam leluhur di sebuah perkampungan dengan begitu bergejolak. Pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca pelan-pelan menyambar tanpa henti, tatkala tokoh-tokoh mulai dihadirkan.
Termasuk tokoh Sukro yang begitu sentral sebagai salah satu keturunan Nyai Laras, leluhur kampung yang sudah meninggal. Nyai Laras adalah penari istana pada masa silam yang tenar seantero negeri. Yang kemudian diyakini terdapat titisannya, Dewi Laksmi, penari muda berbakat yang berkesempatan berkeliling dunia karena lenggok tubuhnya yang memukau.
Prasetyo memilih pengisahan novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Sebuah ikhtiar tersendiri untuk lebih luas mencapai semua kalangan pembaca. Cerita awal dibuka dengan begitu getir, terkait kehidupan keluarga kecil Sukro yang tengah mempersiapkan proses melahirkan dari istrinya, Aya.
Masalah klise menghadang mereka, perihal kekurangan uang untuk biaya kelahiran. Akhirnya, Sukro, sang suami harus menagih kekurangan uang yang belum diberikan oleh pembeli. Seorang pengusaha yang membayar tanah Sukro, tanah bukit warisan leluhur yang terdapat makam leluhurnya, Nyai Laras.
Makam yang berangsur-angsur menjadi perdebatan bagi barga sekitar. Sebab, makam tersebut kerap digunakan sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang di luar daerah yang setiap hari hilir-mudik berdatangan.
Membaca novel ini, sederhana memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin terkait gelimang fenomena spiritual. Prasetyo begitu pelan mengaduk-aduk batin pembaca, dengan nuansa realis-imajinatifnya, seakan menggiring keberhasilan dalam menguasai keyakinan pembaca.
Di situ, mulailah sejarah manusia baru diciptakan atas pergulatan persoalan yang sudah sangat sering kita jumpai dalam keseharian. Namun pengisahan-pengisahannya seakan diombang-ambing hingga menuju penyelesaikan yang tak terduga. Atau bahkan jawaban-jawaban atas segenap persoalan tersebut sangat sulit dipijaki dalam keseharian kita.
Misalnya saja, dalam pengisahan tokoh Aji, anak dari Sukro (dituduh merampok,  membunuh) dan seorang ibu bernama Aya (penyanyi kelab malam). Aji yang sejak lahir sudah ditinggal ayahnya mendekam di penjara, kemudian ketika usia satu tahun, ia dititipkan kepada pakde Rustam (kakak kandung Sukro).
Aji tumbuh dalam penuh tekanan. Hari-harinya yang sangat jauh dengan kasih sayang kedua orang tua. Ditambah kekerasan fisik dan mental yang terus dilakukan oleh bude dan anak-anak pakdenya.
Namun setelah beranjak dewasa, Aji memilih untuk meninggalkan rumah pakdenya. Dia meyakinkan diri untuk belajar di pesantren Kiai Sodik. Setelah berproses di pesantren, ternyata nampak kemuliaan-kemuliaan jiwa Aji. Hingga akhirnya, dia dinikahkan dengan Salma, anak Kiai Sodik yang jernih hatinya. Walaupun awalnya, hal tersebut kurang disetujui oleh istri Kiai Sodik, mengingat siapa Aji, siapa orangtuanya.
Prasetyo, dalam novel ini pun mengisahkan sosok Kiai Sodik dalam sisi kebimbangan-kebimbangannya. Menggambarkan betapa diri manusia, entah seberapa tinggi derajat dan kemuliaannya di mata masyarakat, tetap saja masih ada celah-celah kekurangannya.
Kerap dikisahkan Kiai Sodik mengadu kepada ibunya, ia meminta pendapat, atas kekhilafan yang dilakukan. Misalnya saja ketika dia sempat mampu menyembuhkan orang sakit keras, namun lain waktu dia gagal meski sempat begitu yakin mampu mengulangi keberhasilan sebelumnya.
Orang sakit kedua yang berusaha disembuhkannya meninggal. Proses persiapan pemakaman pun akhirnya dilakukan di lingkungan pesantren, masyarakat dan santri menyaksikan, menghadiri ritual pemakaman.
Hal itu seakan diciptakan Prasetyo untuk mengajak kita melihat bagaimana kondisi masyarakat saat ini. Biasanya segala sesuatu bermuara pada ruang-ruang santri, lingkaran-lingkaran kiai. Namun, tatkala waktu terus bergerak, masyarakat kita seakan bergerak pula kepandaian pemahamannya dalam menyikapi kehidupan.
Semua bisa goyah, semua memiliki celah kebimbangan jika dipertemukan dengan segenap peranti duniawi. Begitu kiranya sedikit kemuliaan yang dikisahkan dalam novel. Karya Prasetyo ini setidaknya memberi beberapa pandangan terhadap kita, mengajak kita menelusuri ruang-ruang kecil yang melimpah nilai.***

─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).