Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Juni 2019

Bahasa dan Emotikon (Jawa Pos, 9 Juni 2019)


Bahasa dan Emotikon
Oleh Setia Naka Andrian



Seperti apa gerak dan produksi bahasa kita hari ini? Tentu kita begitu mafhum, bagaimana bahasa berjalan menelusuri kampung-kampung, kota, sekolah, perguruan tinggi, pondok pesantren, dan segenap ruang-ruang lain yang sangat memungkinkan penuh dengan laku komunikasi diri terhadap liyan. Dari situ, bahasa bergerak sesuai dengan siapa yang menggunakannya. Bahasa menelusuri gerak zaman yang terus melaju dengan cepat, bersanding dan beriringan dengan perkembangan teknologi informasi.
Jika sejenak menengok bagaimana komunikasi jarak jauh yang diselami pada tahun-tahun lampau sebelum ponsel, komputer dan internet bermekaran. Kita akan mendapati masyarakat berkirim surat dari kota satu dengan kota lain, dari pulau satu dengan pulau lain, atau bahkan dari negara satu dengan negara lain. Surat dikirim melalui kantor pos, penerima menanti berhari-hari dengan sepenuh sabar hingga surat itu mendarat. Kemudian, pengirim menanti kembali balasan surat dengan sangat tabah. Berlarik-larik surat dituliskan. Berlembar-lembar pesan, segala rasa dan emosi ditumpahkan dalam surat.
Selepas itu, hadirlah ponsel, komputer, dan internet. Kita seakan dihadapkan pada sebuah jagat yang tak berjarak, tak terbatas. Segalanya nampak begitu dekat. Kita seakan dengan leluasa dapat berkirim pesan dengan begitu cepat.
Bahkan lagi, semenjak media sosial tumbuh subur di antara kita. Segalanya begitu rupa bertumpah-ruah di mana-mana. Pesan singkat begitu mudah kita layangkan. Belum lagi saat marak grup WhatsApp. Ah, segala yang sesungguhnya tak akan pernah diungkapkan, karena ada grup WhatsApp maka diluncurkanlah, disebarkan. Dikarenakan begitu mudah dan sangat murahnya hitungan pengiriman pesan, maka berselancarlah segala kata dan gambar. Menyesaki mata kita, saat membuka ponsel.
Barangkali, kita ingat bagaimana saat belum ada WhatsApp. Kita akan sangat berhati-hati dan sangat menghitung berapa jumlah huruf yang akan kita kirimkan melalui pesan singkat (SMS) dari ponsel jadul kita. Sebuah alat telekomunikasi yang hanya digunakan untuk mengirim pesan singkat dan panggilan suara (telepon).
Bahkan, saat itu sempat terjadi kecemasan di antara para pemerhati dan pecinta bahasa, yang katanya berdalih akan merusak produksi bahasa! Kata-kata sedemikian rupa disingkat hingga setiap kata menyusut menjadi dua atau tiga huruf. Bahkan saya ingat, saat masih duduk di bangku SMA dulu, di kalangan saya dan teman-teman kala itu marak menggunakan pesan singkat tanpa menggunakan spasi, dengan kata-kata yang sudah disingkat pula dengan dua atau tiga huruf. Bayangkan, itu semua karena menghemat biaya pengiriman pesan singkat dari ponsel!
Lantas bagaimana saat ini, saat segalanya sudah tumpah ruah dan dapat dilakukan melalui ponsel pintar dalam genggaman tangan kita. Kita seakan tak berkutik saat ponsel pintar bertengger dalam timangan jari-jari kita. Saat berkumpul bersama teman, duduk dan ngopi bersama, tentu tak jarang di antara kita justru kerap didapati asyik sendiri dengan ponsel pintar.
Tidak fokus dengan perbincangan dalam pertemuan yang sesungguhnya sudah dijanjikan dan direncanakan itu. Bahkan kita pun seakan tak kuasa dengan godaan-godaan yang muncul dari pemberitahuan dalam setiap aplikasi serta segenap fitur dari ponsel pintar kita. Sudah buka WhatsApp, kemudian buka Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, belum lagi saat tergoda mati-matian dalam rentetan permainan (game). Sudahlah, usai sudah! Dalam lingkaran perjumpaan hanya didapati di antaranya senyum-senyum sendiri, tertawa-tawa sendiri, asyik dengan candaan dalam WhatsApp atau media sosial lainnya.
Dari segenap ilustrasi pengisahan yang tak panjang itu, setidaknya kita dapat menelusuk pelan, bagaimana gerak dan produksi bahasa kita saat ini. Jika sudah pasti, kita cukup dibuat tergesa-gesa dalam setiap langkah komunikasi kita. Setiap ada informasi, tanpa ditimbang matang, langsung saja dilempar, disebar ke seluruh media sosial yang kita miliki. Ya, jika informasi itu benar. Namun jika segala informasi yang kita sebar itu hoax, pasti kita jadi ikut andil pula dalam kerja penyebaran kebohongan. Bayangkan! Semua itu karena kemudahan.
Warganet pun saat ini mudah terbakar atas segala pemberitaan yang digoreng di sana-sini. Siapa saja mudah berkomentar, melepas segala perkataan dengan tanpa filter apa pun. Tidak hanya bergurau, meledek, atau menghina teman. Bahkan kepada presiden pun, mereka begitu leluasa melempar hinaan dan tuduhan-tuduhan. Ujaran-ujaran kebencian pun diproduksi dengan begitu masif, melenggang bergerak ke mana-mana, menampar dan dilempar kepada siapa saja.
Lalu, jika awalnya ada yang gelisah dengan penyingkatan kata-kata, kini tidak lagi berhenti di situ. Pada era media sosial kali ini, kita begitu gandrung untuk setiap saat menatap layar ponsel pintar kita. Komunikasi bergerak dengan cepat, murah, dan sangat mudah. Saat begitu banyaknya media sosial yang kita pegang, akirnya kita seakan dibuat mentah dalam memproduksi bahasa. Dari situ, emotikon menjadi sandaran utama.
Emotikon dikenal akrab dalam KBBI V sebagai sebuah ilustrasi, ikon, atau kelompok karakter pada papan tombol yang menunjukkan ekspresi wajah, sikap, atau emosi, biasa digunakan dalam komunikasi elektronik, media sosial, dan sebagainya. Emotikon seakan tengah meremukkan bahasa komunikasi kita.
Saat zaman surat bergelimang, segala rasa dan emosi tumpah ruah dalam berlarik kata-kata, dalam untaian ukiran tulisan tangan di atas berlembar-lembar kertas. Kini rasa dan emosi yang ditumpahkan dalam kata-kata seakan kian usai. Kita lebih memilih menggunakan emotikon untuk mewakili segala rasa dan emosi kita. Entah dengan menggunakan emotikon senyum, sedih, tertawa kecil, hingga tertawa lebar (besar). Sedikit-sedikit pula kita akan melempar jempol hingga puluhan, saat didapati informasi yang atau segala sesuatu yang istimewa dan membanggakan.
Bisa jadi, produksi emotikon itu karena kita terlalu sibuk, entah atas kesibukan kerja, atau sibuk mengurusi seabrek pemberitahuan dalam media sosial kita. Lalu bisa juga, kita sudah malas memproduksi kata-kata. Atau bahkan, kita sudah jemu menanggapi pesan atau informasi yang dikirim oleh lawan komunikasi kita. Namun setidaknya, produksi bahasa komunikasi kita kian tak bertulang dan menjadi hambar. Tak lagi ditumpahi rasa dan emosi dalam pesan-pesan singkat di ponsel pintar kita.***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Tahun ini ia mengikuti Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Minggu, 02 Juni 2019

Lapak Baca Bergerak di Mandar (Suara Merdeka, 2 Juni 2019)


Lapak Baca Bergerak di Mandar
Oleh Setia Naka Andrian


Belakangan ini begitu menjamur laku literasi di berbagai daerah. Entah apa sebab, namun pasti segala itu bukan karena Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digemborkan pemerintah. Para pegiat literasi seakan berasyik masyuk dalam geraknya, meski dalam lingkup lebih kecil, yakni di kampung halamannya masing-masing. Jika di dekat kampung halaman saya, di Kendal Jawa Tengah, ada geliat beberapa ruang (komunitas) yang kerap menjaga napas literasi yang tidak sekadar bergegiatan apa-adanya lalu seusai acara langsung berfoto dengan mengacungkan jari tangan berbentuk “L”.
Misalnya, Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dengan salah satu programnya Wakul Pustaka, Pelataran Sastra Kaliwungu Kendal dengan diskusi dan penebitannya, Lapak Baca Ora Niat dengan program lapak jalanannya, Jarak Dekat Kendal dengan program forum Jurasik (Jumat Sore Asik), diskusi-diskusi, serta penerbitan buku-buku indie-nya, Lesbumi Kendal, Sanggar Kejeling dengan perpustaan di kampung Sidomulyo, Lestra Kendal dengan program Hajatan Kebun Sastra.
Mei ini, terhitung sejak 1 Mei 2019 hingga nanti bulan ini usai, saya berkesempatan mengikuti Residensi Sastrawan Berkarta ke Wilayah 3T. Saya ditempatkan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tentu, bayangan saya sebelum berangkat residensi sudah menerawang jauh bagaimana geliat “Pusataka Bergerak” yang begitu kentara di Sulawesi Barat, khusunya di Polewali Mandar (Polman). Maka tak ambil waktu lama, beberapa hari selepas di Polman, saya langsung memburu beberapa pegiat literasi ‘bergerak’ di sini. Alhasil, berkat koneksi beberapa teman lama serta berkat jaringan internet yang aman, saya lekas dapat menghubungi beberapa pegiat literasi tersebut untuk lekas berjumpa. Sebutlah, di antaranya ada Muhammad Ridwan Alimuddin (Nusa Pustaka), Ramli Rusli (Rumah Pustaka), dan M. Rahmat Muchtar (Uwake’ Culture Foundation).
Suatu hari, saya pagi-pagi mengunjungi Nusa Pustaka. Disambut dengan hangat oleh Ridwan, yang tak lain, ia adalah penulis buku-buku kebaharian. Di antaranya berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (2004), Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara (2009), Kabar Dari Laut (2013), Ekspedisi Bumi Mandar (2013), Orang Mandar Orang Laut (2013), dan beberapa judul lain. Bahkan saat ini, ia juga tengah proses penulisan buku tentang perhajian di tanah Mandar.
Pagi hari hingga siang, kami berbincang banyak hal perihal Mandar. Saya begitu terbantu, banyak informasi yang saya dapatkan tentang Mandar. Bagaimana alamnya, budaya, dan manusianya. Dan sore hari, saya berkesempatan untuk diajak melapak bersamanya. Ridwan pada sore itu hendak menuju ke sebuah perkampungan di tepi pantai Desa Pambusuang, Kec. Balanipa, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia membawa sepeda yang membawa buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan anak-anak diangkut dalam tas yang digantungkan di kanan dan kiri boncengan sepedanya. Armada itu ia beri nama “Sepeda Pustaka”. Meski, Ridwan juga kerap melapak dengan menggunakan ATV Pustaka, serta “Perahu Pustaka” yang begitu moncer itu.
Bagi Ridwan, sesungguhnya bukan persoalan minat baca yang kurang bagi anak-anak, khususnya di sebuah perkampungan nelayan yang disinggahinya. Tidak sedikit didapati anak-anak yang berkerumun dan begitu antusias untuk memilih serta meminjam buku yang dibawanya. Begitu sampai tepi pantai (yang tak lain juga didapati para pembuat perahu Sandeq, perahu tercepat Nusantara itu), Ridwan menggelar lapaknya. Buku-buku ditata. Tanpa jeda lama, anak-anak di kampung pantai itu langsung bergegas memilih buku-buku yang dilapaknya. Ya, mereka anak-anak dari para nelayan dan pembuat perahu di tepi pantai itu.

Penuh Ketelatenan
Mereka berdesakan, mengantri, untuk meminjam buku. Mereka pinjam buku itu selama beberapa hari. Ridwan mencatat buku-buku yang mereka pinjam. Jika di antara mereka ada yang tak bisa hadir untuk meminjam, maka orangtua merekalah yang turut serta mengantrikan untuk meminjam buku. Hari lainnya pun, Ridwan akan dikerumuni anak-anak pantai itu. Terus begitu, berkelanjutan. Tiada pernah berkesudahan.
Pegiat lain yang saya jumpai, ialah M. Rahmat Muchtar dan Ramli Rusli. Kedua pegiat ini tak beda dengan apa yang dikerjakan Ridwan. Rahmat menggunakan “Bendi Pustaka” dan Ramli pun menggunakan “Sepeda Pustaka” seperti yang digunakan oleh Ridwan. Mereka sama-sama, menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggal mereka. Segala itu mereka kerjakan dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan ketabahan.
Ridwan, Rahmat, dan Ramli, tak jarang harus menyisihkan bahkan mengalahkan segala kebutuhan pribadi demi memanjangkan napas “Pustaka Bergerak” yang mereka kerjakan. Sudah tentu segala itu sangat menyita materi, tenaga, waktu, dan pikiran. Mereka harus berkeliling, menjemput para pembaca di kampung-kampung. Sebab bagi mereka, begitu yang lebih efektif. Anak-anak di jemput, lapak-lapak digelar di jalan-jalan kampung.
Sesungguhnya, mereka pun memiliki perpustakaan yang dikelola secara mandiri. Baik dibangun di dekat rumah atau di dalam rumah para pegiat literasi itu. Bahkan, ada di antara mereka yang rela menggunakan sepetak tanahnya untuk didirikan perpustakaan dan tak membangun rumah di area itu. ***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Kini ia sedang menjalani Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Bahasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat.

Jumat, 17 November 2017

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja (Wawasan, 16 November 2017)

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia Naka Andrian

Gerak kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita. Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi, lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap sangat bermanfaat itu.
Dengan dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya, seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon genggam.
Ketika itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.

Kembali ke Masa Silam
Tradisi yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari tanggung jawab!
Namun bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita. Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup, selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk selalu disentuh.
Sudah sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku, koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar belanja bulanan.
Upaya pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa berkilah apa-apa.

Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja, hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru. Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya, segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat, menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam ruang-ruang media sosial kita.
Disadari atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu, segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa, mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar generasi di bawah kita?***

Senin, 14 Agustus 2017

Sastra Lokal dan Kebinekaan (Wawasan, 11 Agustus 2017)

Sastra Lokal dan Kebinekaan
Oleh Setia Naka Andrian

Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) 2017 telah terselenggara pada 18 hingga 20 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Ini kali kedua perhelatan yang diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, selepas Munsi pertama pada tahun lalu.
Jika tahun lalu peserta Munsi dipilih berdasarkan rekomendasi tiap-tiap daerah bagi para pegiat sastra, kali ini peserta yang diundang Munsi lebih diperketat lagi. Yakni di antaranya melalui seleksi buku (karya) yang dikirimkan kepada panitia, kemudian diseleksi oleh dewan kurator. Selain itu, undangan peserta Munsi dari para alumni Munsi I yang telah turut serta dalam penulisan antologi puisi Munsi I tahun 2016. Selanjutnya, undangan Munsi kategori yang ketiga berasal dari para budayawan, pemerhati, dan pakar sastra yang berkompeten.
Perhelatan Munsi II ini tentu telah menjadi sebuah pertemuan yang menghantarkan para sastrawan Indonesia dalam perbincangan hangat. Yakni menyibak Kebinekaan Indonesia yang saat-saat ini kerap didengungkan dalam berbagai gerak perbincangan dan laku, baik di kalangan akademisi, pemerintah, komunitas seni budaya, hingga masyarakat luas. Mengingat berbagai persoalan dinilai kian menjadi-jadi, berupaya menggoyahkan kebinekaan Indonesia.
Dalam sebuah perbincangan yang disampaikan Radhar Panca Dahana, ia menegaskan bahwasanya karya sastra Indonesia tentu sudah sangat mencerminkan kebinekaan Indonesia jika kita semua mau menengok dan kembali pada karya-karya sastra lokal. Bahkan, dunia pun akan tergeleng-geleng melihat karya sastra kita. Jika kita tengok, berapa provinsi yang ada di Indonesia ini, kemudian berapa kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, bahkan berapa kampung yang melingkupinya.
Jika karya sastra lokal dari segenap titik daerah itu kita garap, setiap tahunnya akan bermunculan berapa karya sastra di Indonesia ini? Segala ini akan bergulir sehat jika para sastrawan tergerak untuk lebih memperhatikan dan berupaya sekuat tenaga untuk mengangkat sastra lokal tersebut.
Setidaknya, melalui garapan sastra lokal tersebut dapat menjadi bahan pijakan untuk pembelajaran sastra kita. Sudah tentu, suntikan Kebinekaan Indonesia kepada anak didik di sekolah sebagai sebagai sebuah ikhtiar tercapainya pendidikan karakter bagi generasi penerus bangsa dapat dilalui dengan guyuran karya-karya sastra lokal.
Pada Munsi II ini pun, didapati perbincangan mengenai Sastrawan Masuk Sekolah, dengan tujuan akan terjadi gerak sinergi antara guru bahasa Indonesia dan sastrawan lokal dalam pencapaian gerak pembelajaran sastra yang lebih berdaya guna. Selain itu, sekiranya para sastrawan lokal juga dapat membantu mengaktualisasikan proses kreatifnya kepada siswa, terutama terkait sastra lokal yang hendak atau sedang digarap dan ditekuninya.
Sudah tentu ini terkesan bukan sebagai kerja yang mudah, tidak seenteng membalikkan telapak tangan atau mengubah posisi belahan rambut. Namun, segala ini tentu dapat dilakukan perlahan. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak terkait, kepedulian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta kesadaran kolektif dari berbagai pihak lain, termasuk bagi para sastrawan lokal. Kenapa perlu dicanagkan program Sastrawan Masuk Sekolah?
Selama ini, tidak sedikit telah dikeluhkan bahwa guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kerap melewati (melompati) materi kesastraan dalam pembelajarannya. Jika tidak melewati (melompati), mereka sampaikan dengan seadanya dan sesampainya, atau seingat-ingatnya saja, apa yang masih nyangkut dalam sisa-sisa ingatan masa kuliah.
Apalagi dulu pada masa kuliah hanya didapat di kelas saja, itupun dosennya kerap izin tidak masuk kelas, ditambah lagi tidak ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM) sastra, tidak pernah menghadiri acara atau diskusi-diskusi sastra, buku-buku sastra juga hanya koleksi yang diwajibkan dari dosen mata kuliah itu semata. Lalu pengalaman kesastraan dari mana yang dikantongi?
Entahlah, dengan alasan apa pun, tentu segala itu sangat tidak bisa dimaafkan. Dosa besar bagi dunia pengajaran! Dosa turun-temurun yang tiada pernah terampuni! Sudah menjadi rahasia umum, tidak jarang didapati kasus itu, guru melompati materi sastra dalam mengajar di kelas.
Padahal sudah sangat jelas, anak didik sangat perlu disuntik sastra. Bahkan sudah menjadi keharusan bagi negara-negara maju, bahwa bacaan-bacaan sastra wajib dikonsumsi semua siswa, semua mahasiswa dalam bidang ilmu apa pun. Setiap tahun diharuskan mengkhatamkan sekian puluh judul buku sastra.
Nah jika di Indonesia ini bagaimana? Jangankan semua siswa atau mahasiswa semua bidang ilmu, bagi yang jelas-jelas menekuni sastra saja, berapa buku sastra yang diwajibkan untuk ditelan setiap tahunnya? Sudahkah kampus-kampus yang ditangkringi program studi kesastraan memberlakukan aturan itu dengan ketat dan tegas?
Mustahil kita berteriak-teriak, mendengung-dengungkan kebinekaan, toleransi, dan seabrek kemuliaan-kemuliaan berkehidupan. Kita paham, tanpa sastra, sudah tentu hidup ini akan menjadi kaku. Akan semakin sering kita temui generasi penerus bangsa yang kehilangan roh spiritual, moral, dan jiwa nasionalisme. Akan sering pula kita temukan orang-orang yang memiliki sumbu pendek, mudah menyalahkan orang lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bahkan, akan mudah mengkafirkan kaum lain yang katanya tidak sesuai dengan keyakinannya. Begitu panjangnya pekerjaan rumah kita. Lalu hendak kita mulai dari mana? Tentu, yang paling sederhana adalah jawaban klise yang begitu menggedor telinga kita, dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari kesadaran kolektif berbagai pihak yang telah tersebut sebelumnya tadi.***


─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Peserta Munas Sastrawan Nasional (MUNSI II) 2017. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Tahun ini akan menerbitkan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.

Selasa, 08 Agustus 2017

Spirit Selepas Lebaran Rampung (Derap Guru, Agustus 2017)

Spirit Selepas Lebaran Rampung
Oleh Setia Naka Andrian

Lebaran telah usai. Halal bi halal tinggal sisa-sisa. Tidak sedikit dari lembaga pemerintahan, pendidikan, komunitas, organisasi serta masyarakat luas menjalani ritual tahunan tersebut pada minggu pertama, kedua, ketiga, atau bahkan minggu keempat Lebaran. Saling bermaaf-maafan, setelah mengaku banyak berbuat salah. Halal bi halal dilaksanakan, setelah tunai menjalankan puasa di bulan Ramadan. Datang bersama keluarga lengkap dengan anak-anaknya. Sapa, gurau dan canda menjadi kebahagiaan tersendiri dalam ritual silaturahmi. Sambil menikmati beragam sajian masakan khas daerah.
Pemaknaan halal bi halal ditandai dengan berlangsungnya perayaan Idul Fitri. Tentunya sama halnya yang dilakukan di daerah-daerah lain. Pada intinya, halal bi halal menjadi ajang silaturahmi sesama untuk saling memaafkan, setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Selain itu dimaknai pula sebagai ajang pertemuan setelah seseorang jarang bertemu atau bahkan berpuluh-puluh tahun tidak pernah bertemu. Hingga akhirnya momen penuh berkah tersebut ditandai pula dengan kegiatan reuni.
Bagi masyarakat Kendal misalnya, selain momen tersebut juga didapati tradisi yang menjadi penghormatan tersendiri bagi tokoh penyebar agama Islam di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Dikenal dengan sebutan Syawalan, sebagai peringatan hari meninggalnya Kiai Asy’ari atau dikenal dengan Kiai Guru. Syawalan berlangsung sejak H+1 Lebaran hingga tiba pada puncaknya yakni H+7 atau biasa disebut masyarakat luas dengan sebutan Lebaran Kupat.
Syawalan yang digelar rutin setiap tahun selepas Idul Fitri ini memang sudah rutin digelar tiap tahun. Hingga akhirnya tradisi ini mampu menyedot ribuan orang untuk berduyun-duyun mengunjungi makam di bukit Jabal Desa Protomulyo. Para peziarah datang tidak hanya dari dalam kota saja, namun dari berbagai penjuru kota pula. Mereka berniat tulus untuk mendoakan dan mengharap berkah kebaikan di bulan Syawal. Walaupun untuk menempuh makam, mereka harus berjalan kaki lima kilometer menaiki bukit. Bahkan karena terlalu banyaknya peziarah yang berkunjung, warga harus bergantian untuk mendapatkan kesempatan mendoakan langsung di depan makam Kiai Asy’ari atau Kiai Guru.
Selain itu juga ke makam Sunan Katong, Kiai Mojo, Kiai Mustofa, Wali Musyafa. Makam begitu ramai, ribuan orang berjubel, penuh dan berdesakan. Hingga hal tersebut dimanfaatkan para pedagang untuk menjual makanan, minuman, mainan anak-anak. Syawalan menjadi keberkahan, tradisi masyarakat. Muslichin (2008) menyebutkan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang berangkat dari sistem keyakinan. Dalam tradisi masyarakat mengulangi apa yang dilakukan oleh manusia pada masa dahulu.
Tradisi menjembatani apa yang sudah diciptakan dan dimulai oleh nenek moyang sampai generasi yang terakhir. Manusia masa sekarang sebagai pendukung kebudayaan tersebut merasa memiliki dan perlu menjalankan apa saja yang telah melekat menjadi bentuk tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan kesungguhan dan didasari ideologi Islam yang kuat. Maka masyarakat tidak melaksanakan sebatas rutinitas semata, namun mampu menumbuhkan spirit tersendiri. Tentunya akan mereka gunakan untuk bekal pada kelangsungan hidup berikutnya, agar lebih semangat, berkah dan mampu membawa perubahan yang cukup fundamental bagi substansi kebudayaan Indonesia.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Universitas PGRI Semarang. Menulis buku Perayaan Laut (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).

Senin, 07 Agustus 2017

Paguyuban dan Sambung Napas Institusi

Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Oleh Setia Naka Andrian

Hari Minggu, adalah hari yang saya setir untuk selalu bangun pagi. Bahkan lebih pagi dari hari-hari lain. Jika hari Senin hingga Jumat (hari kerja), saya biasa bangun pukul 5 hingga mepet-mepetnya pukul 6 atau melestnya pukul 6.30, maka tidak untuk hari Minggu. Tubuh ini seakan telah merekam jejak gerak anggotanya, seolah ada alarm kecil yang selalu menggedor diri ini untuk untuk bangun sangat pagi. Hanya di hari Minggu saja. Tak lain karena sejak dulu kala, hari Minggu selalu saya gunakan untuk memburu koran.
Mengingat di Kendal, di tempat lahir dan tempat tinggal saya begitu susah untuk menemukan warung penjual koran yang lengkap. Penjual koran yang mampu menyediakan beraneka ragam pilihan koran, seperti halnya beragam menu masakan yang ditawarkan di balik etalase warung masakan Tegal (Warteg). Kita akan dibuat manja untuk menunjuk apa saja yang bakal diramu untuk dimasukkan ke dalam perut sebagai pemenuh nutrisi tubuh dan penggugur godaan lapar mata.
Itu tidak saya temukan. Rumah saya berada di tengah, di kecamatan Brangsong. Saya dapat menemukan koran-koran yang saya pilih dengan harus menembus arah barat dan timur. Barat di kecamatan Kota Kendal, dan timurnya berada di kecamatan Kaliwungu. Itu pun, belum lagi jika dihadapkan dengan penjual koran di Kaliwungu yang kerap tutup tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada saya. Jika penjual koran tersebut boleh berpendapat dalam catatan ini, pasti ia akan teriak, “Lha memang situ siapa?”
Kedua belah arah berburu koran tersebut kian menjadi bagian kecil dari jagat hidup saya yang entah. Seolah tak bisa dipisahkan dengan hari Minggu. Hari-hari yang seharusnya saya atau siapa pun akan menganggap sebagai hari pancal selimut (hari bermalas-malasan, hari kruntelan), namun segala itu dapat dijalani dengan mulus karena kekuatan yang sulit diriwayatkan itu.
Belum lagi jika dulu yang lebih silam, saat saya masih tinggal bersama kedua orangtua. Tempat tinggal saya lebih jauh lagi, meskipun masih dalam satu kecamatan dengan tempat persembunyian saya saat ini. Tentu pembaca yang sempat menghinggapi ngunduh mantu pernikahan saya akan cukup paham. Betapa pelosoknya kampung halaman saya. Betapa buruknya jalan yang harus dilalui hingga menuju kampung tempat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga melampaui masa setengah matang, sebelum hengkang melanjutkan kuliah di kota tetangga.
Segala itu seakan dipandang sebagai beban yang enteng, karena semua dilakukan berkali-kali. Dimulai dari keinginan dan keyakinan kuat untuk mendapatkan sesuatu. Jika dalam sebuah proses penciptaan aktor teater, ada yang disebut sebagai aktor bentukan mekanik, aktor yang dibentuk seorang sutradara (pelatih, ahli) karena tempaan gerak latihan yang berkesinambungan dan pembiasaan.
Lalu ada pula aktor bentukan alamiah, dengan tanpa dipacu atau tanpa tempaan apa pun, daya keaktorannya tetap bercahaya dan memukau ke hadirat penonton di atas panggung pertunjukan. Nah, yang saya lakukan ini hampir semacam aktor bentukan mekanik tadi, karena tempaan berkali-kali dan kebiasaan yang didorong atas keinginan keras serta kecintaan mendalam. Benar, mirip dengan dengungan penyemangat diri, bisa karena biasa! Dalam hal apa pun, kita tentu dapat berpengang dari itu. Entah aktivitas kerja, kegemaran, berkomunitas, dan segala macam berguyub-guyub lainnya.
Seperti halnya Minggu pagi ini, pada 6 Agustus 2017. Pertemuan Paguyuban Fakultas Pendiidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas PGRI Semarang di Pemancingan Baron Semarang menjadi salah satu bagian kecil yang sangat berdampak besar bagi kehidupan saya pribadi. Maaf sedikit intermeso, jika kalimat tersebut membuat saya ternobatkan menjadi sosok halu di hadapan pembaca. Ah, lagi-lagi saya harus bertemu dengan istilah semacam halu itu, yang saya temukan dari ucapan istri saya. Katanya itu istilah gaul, yang jika diperpanjang menjadi halusinasi. Kata istri saya, kaum halu. Saya kaum yang penuh khayal. Waduh.
Namun begitulah adanya, saya menemukan catatan kecil ini pun atas imbas dari pertemuan paguyuban tersebut. Atas pertemuan, tegur-sapa, kisah dan cerita-cerita dari teman kerja, guru, dosen. Di antaranya, Bu Sri Suciati, Bu Siti Lestari, Bu Asrofah, Bu Ngatmini, Pak Suyitno, Pak Broto, Pak Harjito, dan lainnya. Segenap canda, lomba anak-anak yang lucu-lucu, serta rangkaian acara dalam paguyuban, begitu rupa membuat diri ini semakin tergugah. Semakin banyak yang harus dipikirkan, dilakukan, dan tentu, diperjuangkan! Tentu, dalam gerak diri, dan sambung napas institusi.
Saya seakan digiring dalam banyak ruang yang masih kosong. Tiba-tiba saya kembali ingat kampung halaman, ingat berburu koran, ingat segala hal yang awalnya tiada terngiang di benak dan hati saya. Jika boleh saya tegaskan, semua itu karna imbas pertemuan. Benar, karena paguyuban! Jika kita renungkan sejenak, kini kita hidup di zaman yang serba mudah.
Kita seakan dibuat manja atas segala godaan-godaan yang ditawarkan. Mau makan bisa di antar sampai tujuan, hanya dengan menekan beberapa tombol ajaib dalam ponsel pintar kita. Mau janjian, dipenuhi dengan tombol itu lagi. Bahkan, hingga mau membatalkan janjian pun sama, kita diselamatkan dengan tombol itu lagi. Sungguh, betapa semuanya bergantung, bermuara, dan berimbas dari tombol itu.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dan yang begitu menggoda itu, seakan semakin membunuh pertemuan tubuh kita ke hadirat khalayak. Kita beranggapan, bahwa pertemuan-pertemuan telah rampung di ruang-ruang grup-grup yang dilahirkan dari aplikasi ponsel pintar kita. Lantas, kita beranggapan tiada perlu lagi menjalani pertemuan tubuh. Jika tidak ya, pertemuan tubuh itu semakin berkurang, lalu hingga berakhir pada hilang mutlak. Sama sekali tidak bertemu, sama sekali tiada lagi jabat sapa, jabat cerita, dan jabat-jabat tralala lainnya.
Tentu, sebuah pertemuan dalam paguyuban atau dalam wujud komunitas lainnya, tetap perlu ditegakkan. Dengan jabat tubuh, kita akan semakin menjauh dari kecurigaan, was-was, kegagalpahaman terhadap diri lain, atau setidaknya, dapat dikatakan pertemuan tubuh telah menemukan nilai lain yang sangat tidak kita temukan melalui media apa pun, secanggih apa pun. Sebab, di ragam media itu, kita tak mampu bertatap mata. Sebab katanya, mulut bisa bohong, dan mata tidak. Di media sosial, mata kita hanya dihadapkan dengan layar kaca. Mata tak bertemu dengan mata. Mata yang hanya akan semakin menggiring kita dalam curiga-curiga.***


─Setia Naka Andrian, tinggal di setianakaandrian.blogspot.co.id yang sedang berupaya menjadi setianakaandrian.com

Sabtu, 05 Agustus 2017

Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif (Tribun Jateng, 5 Agustus 2017)

Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif
Oleh Setia Naka Andrian

Salim Said dalam bukunya Profil Dunia Film Indonesia (1982) mengisahkan bahwasanya Usmar Ismail berusia 29 tahun ketika mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada 1950. Usmar konon berkata, “Kami tidak akan mempertimbangkan segi komersial.” Dengan bakat dan kemauan ia bertekad menciptakan film nasional. Terbukti, film pertamanya Darah dan Doa (kisah Long March Siliwangi) mengalami keterbatasan dana ketika sedang melakukan pemotretan (pengambilan gambar) di Subang Jawa Barat.
Pengisahan tersebut setidaknya dapat dijadikan pijakan generasi muda kita, khususnya bagi sineas yang sedang berasyik-masyuk dalam gegap komunitas. Bahwa sebuah proses kreatif harus tetap dilakukan, apa pun yang terjadi. Persoalan dana produksi pun sejak masa Usmar hingga saat ini menjadi masalah klasik. Tiada alasan apa pun yang dapat menghentikan roda berkesenian.
Seperti di Kendal, Rumah Kreatif Film Kendal (RKFK) telah menggelar pemutaran perdana filmnya beberapa waktu lalu pada 30 Juli 2017 di Pendopo Kabupaten Kendal. Malam itu, di ruang pemutaran yang seadanya, ruang akustik yang entah, sound system ala kadarnya dan pencahayaan yang semena-mena, tak membuat film berjudul Reksa dengan durasi 44 menit gagal menghampiri khalayak. Gedung pendopo malam itu begitu penuh dengan kisaran 300 pengunjung, sebagian besar di antara mereka adalah anak muda.
Hal serupa itu sekiranya menjadi bukti nyata, bahwa masyarakat kita begitu menggemari film. Ketimbang misalnya, jika dihadapkan dengan pertunjukan teater, apalagi jika diminta untuk merampungkan sebuah kisah dalam novel. Maka terbukti, akhir-akhir ini banyak bermunculan film yang bersumber dari kisah novel. Menjadi upaya lain untuk tetap menghadirkan kemuliaan kisah novel melalui sebuah karya visual dan audio. Lengkap sudah, masyarakat kita hanya diminta untuk duduk manis saja, bisa pula tiduran, atau dengan cara menonton seperti apa pun. Mereka tetap bisa menikmati guyuran kisah dengan tenang.
Apalagi film garapan Mustofa, sineas yang baru berusia 19 tahun tersebut mencoba mengangkat persoalan yang begitu dekat dengan masyakarat Kendal. Benak penonton diguyur bahasa, gerak, seni, budaya, dan segala hal yang begitu lekat dengan kampung halaman mereka. Dari mulai barongan khas Kendal, tradisi mencari ikan (gebyok), hingga persoalan pelik mengenai Tenaga Kerja Wanita (TKW) begitu rupa dihadirkan dalam jagat layar mereka.
Mengingat, Kendal merupakan pengirim TKW terbanyak di Jawa Tengah selepas Cilacap. Ini tentu menjadi persoalan lain, karena RKFK berencana untuk memutar keliling film ini ke kampung-kampung. Akan beda ceritanya jika suatu ketika film tersebut diputar dalam sebuah kampung yang ternyata didapati banyak keluarga TKW. Entah, segala ini dapat melukai mereka atau justru membuat mereka sadar.
Meski siapa pun berharap, melalui tangan Mustofa, sineas yang baru saja mendapatkan beasiswa di Jogja Film Academy tersebut, dapat membuat film ini benar-benar menjadi ikhtiar untuk memantik kesadaran kolektif masyarakat kita. Dihadirkannya sebuah keluarga petani miskin. Mereka adalah Reksa, seorang anak SD yang diperankan oleh Wahyu Zulfahmi. Dilahirkan dari ayah bernama Sukri yang diperankan Jatmiko dan ibu bernama Sum yang diperankan Siti Nur Azizah.
Awalnya Reksa sangat tidak menginginkan jika ibunya berangkat kerja ke Malaysia. Begitu pula ibunya, ia pun sama seperti Reksa. Apa pun yang terjadi, tetap ingin menjalani segenap hidup di negeri sendiri. Namun segala itu tak bertahan lama. Sukri, sang ayah tak kuasa menahan godaan dari tetangganya yang ternyata dapat hidup lebih layak karena sang istri bekerja di luar negeri. Setiap kali mengantarnya anaknya, Sukri menggunakan sepeda butut. Selalu berpapasan dan bertemu dengan tetangganya yang mengenakan sepeda motor saat mengantar anaknya. Sepeda motor hasil keringat sang istri yang bekerja di luar negeri.
Pada akhirnya, Sukri nampak naik pitam. Terlihat memaksakan agar Sum mau bekerja di Malaysia. Sum pun tak kuasa menolak, begitu pula Reksa. Meskipun, keseharian Reksa nampak berantakan selepas ditinggal ibunya. Segala ketidakberesan pun dijalani Reksa, sebagai anak yang begitu merindukan kehadiran sosok ibu, yang baginya sangat tak tergantikan. Reksa mencuci pakaiannya sendiri, suatu ketika baju seragamnya tak kering. Lantas ia tetap mengenakan seragam itu ke sekolah. Akhirnya, ia diledek temannya. Reksa jadi korban.
Selain beberapa hal tersebut, RKFK juga berupaya mengajak masyakarat untuk menumbuhkan rasa kecintaan dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi serta dimiliki daerahnya. Banyak kearifan suatu wilayah yang ternyata belum tergarap, belum tercatat, dan bahkan semakin tak dikenali. Tentu segala ini sesunggunya menjadi pekerjaan rumah bersama. Segenap masyarakat punya hak untuk menyelamatkannya. Sebelum Kendal benar-benar lupa ingatan, karena tiada lagi yang sanggup atau terketuk hati untuk menyelamatkan riwayat kampung halaman. Meskipun dalam peluncurannya, film Reksa tak dihadiri oleh pejabat. RKFK mengaku telah mengirim undangan kepada pemimpin dan segenap dinas terkait.***


─Setia Naka Andrian, Dosen UPGRIS. Pencatat gerak seni budaya Kendal.

Kamis, 27 Juli 2017

Pengajar di Luar Tempurung (Wawasan, 27 Juli 2017)

Pengajar di Luar Tempurung
Oleh Setia Naka Andrian

Tentu setiap orang menyimpan banyak kenangan dari riwayat pengajar/gurunya masing-masing. Barangtentu sudah sangat kita akrabi ungkapan William Arthur, bahwa guru biasa ‘mengatakan’, guru baik ‘menjelaskan’, guru superior ‘mendemonstrasikan’, dan guru luar biasa ‘menginspirasi’. Pasti sepanjang hidup kita hanya akan mengingat beberapa saja pengajar yang menginspirasi, dibandingkan dengan begitu banyak pengajar yang ‘terlupakan’ riwayat kenangannya saat kita mengenyam bangku sekolah.
Entah tentang guru fisika yang selalu tidak membawa apa-apa ketika masuk kelas, namun begitu hafal dengan rumus-rumus dan segenap materi yang disampaikan di kelas. Guru yang berprofesi sebagai pengusaha sukses dengan mobil mewah yang selalu berganti-ganti. Atau guru bahasa Indonesia yang mahir membaca puisi, berteater, menulis, dan langganan juara lomba. Guru penulis buku-buku pelajaran yang diterbitkan penerbit major, dan seabrek kenangan lainnya. Tentu segala itu akan mudah kita riwayatkan kembali sebagai inspirasi hidup. Lebih-lebih, segala itu kita peroleh lebih banyak dari kenangan pengisahan guru kita di kelas pada sela-sela pelajaran sebagai intermezzo, ketimbang pelajaran yang disampaikannya.
Apa lagi di negeri kita ini, pembelajaran yang paling mujarab tentu yang disampaikan melalui metode ceramah. Tentu tidak dapat kita pungkiri, walaupun telah banyak ditemukan seabrek metode pembelajaran oleh pakar pendidikan kita. Tetap saja, dari mulai pagi di sekolah formal, hingga sore hari di sekolah diniah, misalnya. Guru kita akan lebih gemar berceramah. Mengisahkan banyak hal, baik yang masih terkait dengan materi pelajaran, atau bahkan yang sama sekali tidak ada kaitannya. Segala itu, tentu dilakukan atas dasar ikhtiar pembentukan nilai lain. Agar sekolah tidak hanya terkesan mengemban tugas untuk mengguyur ilmu pengetahuan semata.
Guru menginspirasi, tentu yang begitu terkenang di benak siswanya. Guru yang mampu memberikan ‘spirit lain’ atau pandangan lain kepada siswanya. Guru yang mampu menyeret imajinasi siswanya untuk mendalami sesuatu yang memang patut untuk diperjuangkan demi kehidupan diri, yang lebih baik tentunya. Guru yang tidak sekadar memberikan contoh semata, namun benar-benar mengajak untuk bergelut pada bidang tertentu. Entah yang dapat dilakoni pada saat masih menjalani proses pembelajaran di sekolah, atau kelak pada masa selanjutnya.
Seperti halnya tadi, guru fisika yang melampaui guru fisika lainnya, guru bahasa Indonesia pula. Tentu guru-guru tersebut merupakan pengajar yang berani mengambil keputusan lain. Guru yang beraktivitas tidak sekadar menyuntuki tugas-tugas administratif di sekolah tempatnya mengajar saja. Namun, telah mampu mengembangkan segenap potensi diri. Entah  dengan memperbanyak persinggungannya dengan komunitas atau forum-forum tertentu yang memicu semangat untuk menjadi ‘diri lain’ selain sebatas sebagai guru semata.
Guru yang tidak melulu percaya bahwa kehidupannya hanya sebatas menyuntuki segala yang sudah diterimanya saat ini. Artinya, tidak ada niatan untuk lebih memompa potensi dalam diri, keluar dan berpetualang lepas melampaui capaian orang lain di sekitarnya. Seperti halnya yang dikisahkan Benedict Anderson (2016), bahwasanya peneliti (seseorang) yang merasa betah dengan posisi mereka di suatu disiplin, jurusan, atau universitas tidak akan mencoba berlayar keluar dari pelabuhan atau mencoba-coba cari angin. Menurutnya, yang perlu dipegang teguh adalah kesiapan untuk mencari angin itu dan keberanian untuk mengikutinya, manakala ia menembus ke arahmu.
Pastilah setiap orang memiliki potensi lain, baik yang sudah kelihatan, yang masih samar-samar, atau bahkan yang belum nampak sekalipun. Hal ini tentu yang perlu dipicu adalah niatan untuk menemukan sesuatu yang baru, jika barangkali beberapa hal yang sudah ditemukan belum sepenuhnya klik di hati atau belum mampu menggapai capaian tertentu. Maka tidak heran, jika banyak pula masyarakat kita, selepas lulus sekolah/kuliah pada bidang tertentu, setelah itu bekerja pada bidang lain yang sangat berseberangan. Bisa jadi, itu semua akibat diri yang gegabah dan belum sepenuhnya mengamini bahwa hidup di dunia ini sejatinya adalah sebuah proses, sebuah perjalanan panjang untuk menjadi.
Lalu bagaimana dengan nasib pengajar kita saat ini? Dalam segenap aktivitas mereka seolah-olah begitu terbebani dengan kesibukan aktivitas administratif yang bertumpuk-tumpuk. Kegiatan di luar akademik yang membabi-buta, serta seabrek perjumpaan kerja yang seakan semakin menceraikan mereka dari buku, perlombaan bagi guru, atau bahkan pergulatan komunitas dan forum-forum mulia yang seharusnya diperlukan untuk menyambuki diri menjadi pengajar-pengajar yang bergerak di luar tempurung.
Mengingat, pada kenaikan pangkat jenjang tertentu misalnya. Guru Utama dengan pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e diwajibkan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Di antaranya tuntutan pengembangan diri,  publikasi ilmiah, dan/atau pengembangan karya inovatif. Misalnya pada bagian publikasi ilmiah, guru dituntut untuk publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru. Jika segala ini dituntut pemerintah, tentu mereka akan mau melakukan. Namun akankah masih mampu mengejar karya yang fenomenal, jika guru masih bernalar di dalam tempurung? Jika guru masih selalu disuntuki kerja-kerja administratif yang bertubi-tubi?***


─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.

Sabtu, 29 April 2017

Jalan Tol dan Kematian Kota (Tribun Jateng, 29 April 2017)

Jalan Tol dan Kematian Kota
Oleh Setia Naka Andrian

Selepas peristiwa pembebasan lahan usai, yang didahului dengan tarik-ulur harga tanah, tragedi kecil dengan pemerintahan desa/kelurahan, atau bahkan hingga berdemo menuju pemerintahan tinggi di atasnya. Kita tak jarang akan melihat di warganet, orang-orang mengunggah foto riwayat rumahnya. Dari mulai potret awal ketika rumah didirikan, diperjuangkan dengan bertaruh keringat dari tahun ke tahun, hingga saat terjadi penggusuran akibat proyek pembangunan jalan tol.
Mereka seakan begitu tak rela melepas tanahnya. Berdalih, segala itu warisan leluhur yang tak terkira nilainya, dan patut dipertahankan sampai kapan pun! Namun akhir kata dalam unggahan foto-fotonya, “Biarlah segala ini berakhir. Biar bagaimanapun, semua ini demi suksesnya gerak pembangunan bangsa dan negara!”
Segala itu belum berakhir begitu saja. Tentu akan menyisakan berbagai persoalan baru bagi masyarakat kita. Awal mulanya, harga bangunan dan tanah yang diganti oleh pemerintah terkesan berduit-duit, melimpah-ruah. Ternyata setelah dibelikan lahan baru, kemudian membangun rumah lagi, uang tersebut tidak cukup. Lalu akhirnya, masyarakat lagi yang kelimpungan. Mengadu lagi, mengumpat lagi! Menyalahkan pemerintah lagi!
Belum lagi persoalan baru yang menimpa kota. Tentu ini bukan lagi hal sepele dan dapat dibiarkan begitu saja. Bergelimang pekerjaan rumah yang tidak hanya menyangkut harkat diri perorangan. Namun sudah berdampak pada kelangsungan hidup khalayak dan masa depan kota. Bayangkan saja, misalnya di kota kecil semacam Kendal. Selepas jalan tol Semarang-Batang dibangun, kemudian selanjutnya beroperasi. Apa yang akan terjadi dengan wilayah yang awalnya sebatas kota singgah ini?
Kota yang sebelumnya dimanfaatkan oleh pengguna Jalan Pantura hanya sebatas untuk merebah selepas mengisi bahan bakar di pom bensin, melucuti lelah sejenak di hotel-hotel melati, atau sekadar mencari warung-warung pinggir jalan untuk mengobati perut yang lapar. Segala itu sebatas mampir, tidak lebih! Kota singgah ini pun, sebelumnya seakan tak kuasa memberikan kemanjaan apa-apa. Baik itu untuk memanjakan mata atau bahkan lidah mereka!
Mata para pengendara, pelancong yang lewat tadi seakan semakin tak menemukan sesuatu yang berkesan. Seakan tiada lagi yang terkenang, membuat mereka kelak akan mampir lagi ketika melewati kota ini. Bahkan untuk urusan lidah, yang kita pahami dapat menjadi keutamaan bagi orang-orang bepergian. Siapa pun pasti ingin menjalani wisata kuliner! Sudahkah itu digarap di kota singgah semacam Kendal ini?
Seharusnya segala ini menjadi kegelisahan bersama. Kita harus sadar, kota ini bukan kota tujuan. Selepas jalan tol Semarang-Batang beroperasi, kita akan kejatuhan dampak yang bertubi-tubi. Bisa jadi, kota singgah yang dahulunya hendak bercita-cita menjadi kota tujuan pun akan pupus seketika. Bahkan untuk mempertahankan menjadi kota singgah (lagi) pun harus melalui jalan lebih panjang dan lengang.
Jika tidak segera mengambil tindakan berarti, cepat atau lambat kota ini akan berangsur-angsur mati. Para pengendara, pelancong, turis lokal maupun manca, akan lebih memilih berselancar di jalan tol yang lepas dan bebas hambatan itu. Menuju kota-kota tujuan semacam Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar (Bali). Kota singgah ini tidak akan kebagian apa-apa. Masyarakat kita yang (katanya) telah mendapat berduit-duit dari hasil pembebasan tanah pun seakan mereda. Menikmati kehidupan baru di tempat tinggal baru, dan ‘seolah-olah’ merajut kebahagiaan baru.
Lagi-lagi pemerintah kabupaten/kota (Bupati Kendal) harus segera lepas tindakan. Masyarakat pun wajib membantu. Persoalan ini akan mulus dilalui hanya dengan kerja kolektif. Sudah tentu, sangat perlu mendengar pertimbangan dari tokoh/sesepuh masyarakat, sejarawan, budayawan dan seniman dalam gerak pembangunan yang benar-benar meriwayatkan kearifan kota.
Mau diapakan kota ini, hendak dibawa ke mana, mau disulap menjadi apa, dan lain sebagainya. Sudah seharusnya, tatanan kota pun harus dikemas ulang sedemikian rupa. Merujuk yang sudah disinggung sebelumnya, secara sederhana, kota ini wajib memanjakan mata dan lidah para pelancong! Kedua itu tentu dapat kita jadikan sebagai awal pijakan.
Setelah keduanya selesai, maka kemanjaan hati pun akan dilampaui. Para pelancong akan berkesan, mereka akan terkenang atas kemanjaan-kemanjaan yang dihidangkan di hadapan mata, lidah, dan tentunya di hati. Maka mau tidak mau, kelak mereka akan mengulangi persinggahannya lagi. Akan datang kembali, mengajak orang-orang baru, mengabarkan kepada handai-taulan dan sanak-saudara. Otomatis, pundi-pundi pedagang akan semakin penuh, perekonomian masyarakat kota bergerak melambung tinggi.
Sudah seyogianya perlu dipetakan lagi, mana saja tempat-tempat wisata di Kendal ini yang berpotensi digarap lagi. Terutama wisata alam di kota ini yang sekiranya masih bertenaga untuk memanjakan mata khalayak. Tentu hal ini sebetulnya bukan lagi menjadi sesuatu yang sulit. Tidak sedikit wisata alam di kota ini yang memiliki daya pukau. Ada Curug Sewu, Goa Kiskendo, Pulau Tiban, Pantai Sikucing, dan lainnya. Tentu salah satu tugas saat ini, hanya bagaimana mengelolanya lebih baik lagi. Lihat saja beberapa waktu dekat ini, Sungai Bladon yang terletak di Dusun Krayapan-Brangsong telah membuktikan.
Sungai yang tidak disangka-sangka itu tiba-tiba meledak dibanjiri banyak pengunjung. Masyarakat hilir-mudik, tidak hanya dari dalam kota saja yang berdatangan, namun menyedot ratusan warga dari kota-kota tetangga. Sungai yang terkesan masih asri, bersih, dan cocok untuk digunakan berfoto di balon pelampung yang bisa disewa pelancong. Itu menjadi salah satu bukti atas aset alam yang dimiliki kota ini. Sudah saatnya kota berbenah. Proyek pembangunan tol sudah berjalan. Sebentar lagi akan beroperasi. Seluruh lapisan masyarakat wajib urun rembug, turut andil dalam menciptakan masa depan kota yang lebih baik!***


─Setia Naka Andrian, Dosen UPGRIS, Menulis buku Perayaan Laut dan Remang-Remang Kontemplasi.