Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Juli 2020

Yang Selalu Ada dalam Ingatan dan Keabadian


Yang Selalu Ada dalam Ingatan dan Keabadian
Oleh Setia Naka Andrian


Perjumpaan awal dengan Sapardi Djoko Damono adalah pada obrolan buku puisinya Kolam (Editum, 2009) di Semarang, Juni 2010. Dari buku itu, saya jatuh hati dan menjatuhkan diri berkali-kali pada puisi berjudul Bayangkan Seandainya. Berikut puisinya, /Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu yang menggoda burung itu untuk hinggap di lengannya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini wajahmu sendiri yang itu-itu juga, yang tak kunjung habis meski telah kaukupas dengan ganas selembar demi selembar setiap hari./
Pada Februari 2019, sepuluh tahun kemudian, saya dapat bersua dengannya di Institut Kesenian Jakarta yang berada di Jalan Cikini Raya itu. Dua kali perjumpaan pada hari-hari yang tak berjauhan di bulan Februari itu. Ya, tujuan awal menemuinya dikarenakan kepentingan untuk meminta rekomendasi melanjutkan studi. Kala itu saya berencana berkuliah di salah satu universitas di Depok. Saya mendapatkan nomor ponsel Sapardi Djoko Damono dari seorang teman sejak masa kuliah yang jago baca puisi dan bermain teater, yang saat ini bekerja sebagai wartawan dan ia menetap di Jakarta.
Saya menyimpan nomor ponselnya, selepas beberapa detik saya simpan, muncul akun WhatsApp dari nomor tersebut. Nampaklah gambar diri yang khas dengan topi pet dan berkaca mata. Sudah pasti ini benar nomornya, tak salah lagi. Dengan segera saya mengetik pesan singkat dengan begitu cermat dan hati-hati. Pesan yang berisi perkenalan dan menyampaikan maksud saya menghubunginya. Pesan singkat yang tak panjang tetapi tak pendek juga menghampirinya. Sekitar beberapa menit kemudian, dibalaslah pesan singkat saya tersebut.
Saya deg-degan, berdebar tak karuan selepas mendapati balasan pesan singkat darinya. Bagaimana tidak, tokoh besar bernama Sapardi Djoko Damono yang begitu moncer dalam kerja akademik dan kerja proses kreatif itu telah membalas pesan singkat saya yang bukan siapa-siapa. Bagaimana tidak, ia profesor sastra di sebuah universitas terbaik di negeri ini, pun profesor dalam penulisan karya kreatif. Sosok muda mana yang tak mengaguminya dan tak ingin bercita-cita menjadi seperti dirinya? Terutama bagi siapa saja yang berkuliah di program studi bernapas sastra.
Saya ingat, kala itu ia tak hanya membalas seadanya, tetapi telah disambutnya dengan sangat baik pula pesan saya. Tentunya, ia juga berkenan untuk lekas saya temui. Ia meminta saya menemui di IKJ. Tak menunggu lama, saya langsung bergegas mencari tiket kereta api untuk mengatur jadwal keberangkatan menuju Jakarta esok harinya.
Saat tiba di IKJ yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki, saya langsung menuju ruang dosen pascasarjana IKJ di mana Sapardi Djoko Damono berada, selepas ditunjukkan arah ruangnya oleh seorang satpam. Saya duduk di kursi antrian. Saya beruntung, sebab saya hanya menunggu urutan dari seorang mahasiswa saja yang sedang bimbingan, saya yakin sedang bimbingan tugas akhir (tesis). Nyaris hampir satu jam saya menanti di ruang tunggu, tepat di hadapan ruang tempat Sapardi Djoko Damono sedang memberikan bimbingan dengan begitu sabar dan santun. Penuh balutan tawa lepas pula saat ia membimbing mahasiswa tersebut. Saya melihat dan mendengar langsung, bagaimana gerak tubuh dan raut mukanya kala itu.
Selepas usai membimbing, ia keluar dari ruang dan langsung paham jika saya menunggunya. Kami berbincang di kursi tunggu di depan bilik-bilik ruang dosen, tempat saya menunggu hampir satu jam. Namun waktu tunggu saya rasa begitu cepat, bahkan saya seakan tak cukup waktu untuk menyiapkan dengan matang mengenai apa saja yang hendak saya sampaikan kepadanya. Saya pun kembali berdebar tak karuan, seperti halnya seorang pencari kerja yang sedang mau diwawancarai oleh pimpinan di sebuah tempat kerja.
Namun ternyata, ia menyambut saya dengan baik dan santun. Berbalut tawa lepas pula seperti yang saya lihat sebelumnya saat membimbing mahasiswanya. Ia menanyakan kabar dan dari mana asal (rumah tinggal) saya, serta beberapa perkenalan kecil lain. Kemudian, saya pun kembali menyampaikan maksud seperti yang sudah saya sampaikan di pesan melalui WhatsApp.
Sapardi Djoko Damono menyambut baik maksud saya. Ia pun bersedia memberikan rekomendasi kepada saya, sambil ia nampak melihat berkas-berkas yang saya bawa serta beberapa buku puisi yang saya terbitkan. Dengan penuh deg-degan dan perasaan tak karuan pun saya beranikan untuk memberikan beberapa buku puisi tersebut kepada Sapardi Djoko Damono. Ia membaca dan membuka beberapa bagian. Itu perjumpaan kali pertama, kemudian berlanjut pada perjumpaan kedua selang beberapa hari sembari ia melihat berkas-berkas yang saya berikan untuk mengisi rekomendasi.
Tak ada yang kurang dari perjumpaan kedua, bahkan saya merasa ia kian akrab menyambut kehadiran saya, seperti telah saling kenal lama. Beberapa wejangan pun meluncur dan saya terima dengan sebaik-baiknya. Batin saya kala itu, kapan lagi saya mendapati momentum empat mata dalam waktu nyaris satu jam setiap pertemuannya. Seperti hitungan waktu yang saya lihat saat ia membimbing mahasiswanya. Selepas kembali berbincang dan ia memberikan rekomendasi kepada saya, tak lama kemudian saya pamit. Ia berpesan, terus semangat beproses dan semoga selalu mendapat jalan terbaik.
Namun kini, Sapardi Djoko Damono telah berpulang. Nomor WhatsApp terakhir dilihat pada Jumat, 15.26 WIB. Tepat dua hari yang lalu. Saya ingat, terakhir kali saya menghubunginya adalah ketika mengucapkan ulang tahun yang ke-80 pada tahun ini. Tak kusangka, ternyata itu ucapan terakhir yang saya kirim langsung kepada penyair besar Sapardi Djoko Damono.
Padahal sempat suatu ketika saya berniat untuk meminta alamat surat elektroniknya dan mengirimkan puisi-puisi saya untuk diberi komentar. Sebab sempat saya tahu, ada salah seorang penyair muda yang mengirim puisi-puisinya melalui surat elektronik. Ia membalas dan memberikan komentar sangat panjang. Penyair muda itu sontak sangat kaget dan tentu sangat bersyukur mendapatkan komentar panjang atas puisi-puisi yang ditulisnya.
Namun pasti, akan saya kirim puisi-puisi menuju surga keabadianmu di sana. Semoga kau membalas kembali dan memberi komentar atas puisi-puisi yang tak kunjung bagus-bagus juga yang telah saya kirimkan itu. Selamat jalan Sapardi Djoko Damono, karya-karyamu akan selalu abadi di benak dan batin kami. Saya yakin, kau tak akan tersesat dalam menziarahi keabadianmu di sana. Seperti dalam penggalan puisimu dalam buku puisi Babat Batu berjudul Ziarah Batu berikut. /Kami memutuskan untuk memulai ziarah/ menjenguk perigi dekat gua/ meski air di sana tidak lagi/ memantulkan wajah kami// kami sudah menguasai peta hari ini/ tak akan tersesat ke kanan atau ke kiri/[]

— Setia Naka Andrian, pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Selasa, 24 Maret 2020

Gagasan Gemilang dari Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS Menjelang Wisuda

Gagasan Gemilang dari Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS Menjelang Wisuda
Oleh Setia Naka Andrian



Ada satu persoalan cukup parah yang dialami bagi para mahasiswa jomblo. Yakni saat mereka harus menghinggapi panggung wisuda!

Coba bayangkan, pada sebuah momen yang sangat ditunggu-tunggu bagi segenap kaum intelektual kampus, namun pada saat itu hanya merayakan seorang diri. Di hadapan kedua orangtuamu, kau berdiri mematungkan badan seorang diri. Lalu banyak orang yang melihatmu mbatin dengan saksama, "Lho maaf ya, ini situ wisuda Taman Kanak-Kanak atau wisuda sarjana? Kok ya masih saya hanya ditemani orangtua semata?"

Meskipun sesungguhnya bapak/ibumu bakal mbatin pula, "Dosa apa anakku ini, ya Tuhan. Sungguh malang sekali nasibmu, Nak. Padahal kami berharap, lengkap sudah kebahagiaanmu pada saat wisuda ini. Tapi malah menjadi lengkap sudah deritamu!"

Begitulah beberapa hal yang menjadi tradisi was-was, tragedi penderitaan mendalam, atau apa saja yang kerap dikaitkan dengan seabrek hal-hal yang ngenes-ngenes. Bahkan berdasarkan hasil riset kontemporer yang dilakukan oleh Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia Komisariat UPGRIS, menyimpulkan bahwasanya penderitaan yang dibarengi dengan kewaspadaan serupa ini sudah dialami semenjak mereka baru saja memulai menjalani kehidupan kampus. Selepas mereka lulus dari SMA!

Coba bayangkan, Mblo! Mereka sesungguhnya sudah merencanakan sedemikian rupa dengan upaya yang dirasa begitu tak terhingga untuk mencari pasangan! Dibela-belain harus melakukan pendekatan sana-sini, dibela-belain harus mengikuti kegiatan kampus ke sana-sini. Bahkan rela setiap saat menjadi ojek dadakan tanpa prabayar atau pascabayar! Namun tetap saja, segala itu tiada hasil apa-apa.

Hasil riset kontemporer itu setidaknya juga memberi jawaban signifikan, bahwa saat bimbingan skripsi berlangsung pun mereka masih saja cemas, memikirkan hendak berfoto dengan siapa saat bertoga nanti?

Akhirnya setelah berjalan beberapa kali wisuda. Selepas direnungkan sedalam-dalam, dan daripada bersusah payah memikirkan segenap peta penderitaan itu. Maka berjumpalah mereka, para jomblowan-jomblowati dengan gagasan besar yang tidak lain disengkuyung secara akbar oleh Paguyuban Jomblo Pura-Pura Bahagia Indonesia UPGRIS.

Mereka ciptakan sebuah usaha menengah ke atas ke bawah ke samping kanan dan ke kiri secara mendalam, akurat dan terpercaya. Usaha itu tak lain adalah usaha jasa sewa pasangan untuk wisuda!

Paling tidak, bagi mereka, ada kebahagiaan kecil-kecilan yang didapati sesaat selepas ritual wisuda usai dijalani. Mereka bisa berfoto dan pamer pasangan kepada orangtua dan sanak-saudara. Meskipun sesudahnya mereka akan kembali dan bermula lagi pada penderitaan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan panjang akan berjatuhan kembali, yang tak lain dari bapak/ibumu, "Mana seseorang yang sudah sempat kau ajak berfoto bersamamu saat wisuda? Yang sudah sempat kau kenalkan kepada bapak/ibu saat wisuda itu? Kapan ia akan diajak ke sini untuk membicarakan segala sesuatunya menuju ke jalan yang lebih matang?"

Foto kamu dan pasangan sewaanmu sudah terlanjur dipajang di ruang tamu. Setiap ada tamu datang pasti akan bertanya kepada bapak/ibumu. Kamu dan pacar sewaanmu tersenyum manis dan sangat bahagia. Namun sebatas dalam foto yang bersemayam di dinding itu saja. Tidak lebih. Sungguh, demi Tuhan, tidak bisa lebih dari itu.*** 

Kamis, 09 Januari 2020

Kepada yang Bernapas Panjang


Kepada yang Bernapas Panjang


Sabtu, 23 November 2019 baru saja hinggap di layar laptop. Saya duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja. Di depannya persis, ada jendela kaca yang sangat jarang dibuka. Saya biasa memandangi apa saja ke luar sana. Daun mapel berguguran. Orang-orang berlalu-lalang namun dengan langkah yang begitu sepi. Anak-anak kecil mengayuh sepeda dengan riang. Mereka berkejaran namun sama sekali tak berlomba kecepatan.

Terus saya pandangi luar sana. Semakin jauh. Bahkan sempat nyaris tenggelam dalam lamunan. Saya masih duduk. Namun seperti baru saja terbangun dari sebuah tidur pendek yang panjang. Meski sungguh, raga ini masih terjaga. Belum sampai memejamkan apa-apa.

Sedari tadi saya seperti merasakan ada yang aneh. Seakan ada yang tidak lengkap. Bahkan saya merasa janggal memposisikan tubuh saya sendiri. Ya, terus-terusan begitu. Entah kenapa, kamar menginap saya seperti dikunjungi orang-orang. Sejak berjam-jam yang lewat. Mereka nyaris mengitari saya, di samping dan belakang tubuh saya. Awalnya saya biarkan saja. Namun pelan-pelan saya penasaran, dan akhirnya saya beranikan untuk memandangi mereka satu-satu. Mereka menyambut hangat. Hangat sekali, tak sedingin 2° C di luar kaca jendela kamar. Udara nyaris beku, menjatuhkan daun-daun mapel yang menguning itu ke tanah basah.

Ini petang yang cukup aneh. Tak seperti biasanya. Sebab yang telah lalu, hanya satu-satu yang datang. Paling ya hanya mengintip dari jendela. Atau paling banter ya menempel di plafon kamar. Itu pun hadir saat saya sudah rebahan dan tersisa beberapa watt saja. Namun kali ini mereka hinggap bersamaan untuk hadir ke kamar lantai dua ini. Seperti sudah janjian saja dalam sebuah grup WhatsApp dengan diberi nama “Hinggapi Kamar Naka!”.

Bayangkan, kali ini mereka berkerumunan hadir di kamar saya. Petang-petang tengah malam pula. Ya, di kamar dalam sebuah rumah di perkampungan Waardeiland Leiden yang dipenuhi dengan rumah-rumah berdesain hampir serupa. Dinding-dinding bata terbuka yang khas rumah Belanda. Namun ingat, meskipun wujud rumah-rumahnya nyaris sama, ini bukanlah perumahan bersubsidi seperti yang saya tinggali di Kendal itu. Ya, rumah tipe 36 itu. Artinya berkamar tiga: dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Dan, berventilasi enam. Kalau di sini, berlantai tiga, berkamar lima, dan tidak berventilasi. Udara di luar keras dan beku!

Setelah memberanikan diri untuk memandangi tipis-tipis, pelan-pelan saya menyapa mereka. Meski hanya dengan mata saja. Belum bersapa suara. Takut jika nanti mengganggu penghuni lain di rumah ini. Sebab Leiden ini, saya rasakan seperti kota tua yang sunyi. Di jalanan, di pusat-pusat perbelanjaan, ruang perjumpaan manusia, semua terkesan jauh dari keriuhan suara. Apalagi saat di rumah. Belum lagi saat di jalanan kampung, seperti berjalan sendirian. Orang-orang tiada yang nongkrong membunuh waktu di luar. Entah sambil ngopi atau membakar rokok. Semua orang memilih di dalam rumah. Apalagi saat musim gugur mendekati musim dingin begini. Juara deh kalau ada yang berani berlamaan di luar. Apalagi kalau sampai dengan pakai kaos oblong!

Saya pandangi mereka satu-satu. Begitu pula kedua mata mereka dijatuhkan ke sekujur tubuh saya. Ya, saya seakan mengenal baik mereka. Banyak di antaranya begitu saya hafal, waktu-waktu lalu sering datang ke kamar ini. Meski datang sendirian, mengintip dari jendela, mengintai dari plafon, atau nyangkut di debu-debu yang nempel di layar monitor. Namun, sepertinya ada seorang yang lebih saya kenal. Ya, ia seolah juga mengenal saya. Bahkan lebih dari saya mengenalinya. Saya berpikir keras. Sesekali memejamkan mata. Kemudian membukanya lagi. Memejamkan mata lagi, dan membukanya lagi. Siapa ia sebenarnya? Mereka semua masih berdiri. Menatapku dengan hangat. Begitu pula seseorang yang saya rasa telah kenal lebih tadi. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Ya, benar. Ia mendekat. Saya tidak takut. Hanya sedikit deg-degan dan berdebar saja. Atau entah seperti apa, susah sekali menerjemahkan rasanya.

Ia kian mendekat. Sepertinya sudah sangat tua. Wajahnya seperti tak asing. Saya seakan kian akrab saja dengan wajah itu. Namun siapa ya? Sepertinya mirip dengan wajah kakek saya dari garis ibu. Ya, sepertinya tidak salah lagi. Saya begitu akrab dengan tipe wajah itu. Meski kakek saya pun telah meninggal jauh sebelum saya lahir. Saya hanya mampu melihat lukisan wajahnya di dinding kamar nenek. Itu pun sudah lama. Saat saya masih kecil. Namun entah kenapa lukisan itu saat ini sudah tak ada. Sudah hilang, dicuri orang, atau entah nenek menyimpannya rapat-rapat di tempat paling sembunyi.

Siapa ya? Aduh, kamar menginap saya ini juga tak begitu terang. Hanya nyala lampu baca saja yang bersinar. Fokus ke bawah. Sama sekali tak punya kekuatan lebih untuk menyinari sekitar. Hanya sisa-sisa cahaya saja yang menebar halus. Saya berpikir keras. Dalam hati berkecamuk. Apakah benar itu kakek buyut saya?

Lalu pelan-pelan kakek itu mendekati saya. Kian dekat saja. Sangat dekat. Namun saya tak kuasa memandanginya. Pandangan saya tujukan di layar monitor laptop. Ya, memukul-mukul huruf. Menulis catatan kecil yang sedang Anda baca ini. Kakek itu kian mendekat. Semakin dekat. Sangat dekat. Sungguh, kini berada tepat di samping kiri saya. Aduh, mau apa ini? Saya masih diam saja, membatu. Pandangan kaku di layar monitor. Namun jari-jari saya masih terus melanjutkan menulis. Ya, menulis catatan kecil ini.

“Nak, kenapa kamu di sini?”

“Maaf, maaf, Kek. Kakek bertanya kepada saya?”

“Ya, tanya kepadamu. Siapa lagi kalau bukan kepadamu?”

“Oh ya maaf, Kek. Saya kira melempar pertanyaan sembarangan saja.”

“Ya, tidaklah. Saya ini datang jauh-jauh ke sini ini serius. Sidak!”

“Ya, Kek. Sekali lagi maaf ya, Kek...”

“Ya, tak apa. Saya maafkan jauh-jauh tadi sebelum kamu minta maaf. Pertanyaan saya, kenapa kamu di sini?”

“Ya ini, Kek. Saya kan sedang residensi. Bukankah seluruh dunia tahu program residensi ini, Kek? Kok sampai kakek belum tahu?”

“Kakek kan ya sudah nggak sempat buka-buka koran atau medsos. Di akhirat sibuk. Banyak keindahan yang sayang untuk dilewatkan!”

“Oh ya, Kek. Ini saya sedang menjalani program Residensi Penulis Indonesia 2019 dari Komite Buku Nasional Kemendikbud, Kek. Selama dua bulan tinggal di Leiden ini. Menjalani riset untuk menulis sastra. Begitu, Kek.”

“Coba kamu kisahkan dengan sungguh-sungguh, seperti apa saja yang kamu lalui. Namun ingat, tetap dengan pengisahan yang segar!”

“Lantas bagaimana dengan orang-orang itu, Kek?”

“Sama saja dengan Kakek, mereka menantimu untuk berkisah.”

“Oh ya, Kek. Begini, saat berangkat residensi ini, saya sudah mengantongi kisah kecil. Lengkap dengan patahan-patahan kisah dan bercak-bercak mitos yang melingkupinya. Namun tetap saja, saya masih membawa rasa penasaran mendalam. Dan, apa boleh buat. Saya harus mengunjungi negeri penjajah ini, untuk singgah di Leiden ini dan beberapa kota lain. Berharap agar bisa membantu diri saya ini untuk menyibak lebih dalam tentang pijakan tema yang hendak saya garap. Begitu, Kek.”

“Kau memburu naik apa?”

“Sepeda, Kek. Mau naik apa lagi. Biasanya juga naik bus, kereta, atau trem. Namun mahal, Kek. Lebih sering naik sepedanya. Ya, meski sesekali naik bus, kereta, atau trem itu. Buat icip-iciplah, Kek. Kakek pasti belum pernah naik kereta dan trem, bukan? Apalagi bus, pernah? Ah, Kakek generasi lampau sih.”

“Eh, kamu tak boleh begitu. Coba saja, kamu sampai di sini naik apa?”

“Naik pesawat dari Indonesia, Kek. Kenapa memang?”

“Salah. Kamu ke sini naik sebuah kendaraan, yang bernama masa lalu. Jangan sepelekan dengan yang dinamakan masa lalu. Jangan sepelekan sesuatu yang lampau. Kamu pasti tahu apa yang dikerjakan oleh Iksaka Banu itu, bukan?”

“Wah, Kakek kenal Iksaka Banu?”

“Lha iya dong. Sesekali di akhirat ya Kakek buka youtube. Salah satu penulis idola Kakek itu ya Iksaka Banu, yang melambung dengan karya-karyanya berkait-paut dengan sejarah kolonial itu. Langganan mendapatkan penghargaan pula. Pasti dong, Kakek mengidolakan.”

“Emang Kakek sudah baca buku cerpennya terbaru, Teh dan Pengkhianat itu?”

“Ya, belum.”

“Belum kok mengaku mengidolakan?”

“Ya bagaimana lagi, di akhirat sepertinya belum dipasok. Kalau youtube kan emang gampang, tinggal ketik nama saja langsung bisa dapat kabarnya. Apalagi zaman sekarang sudah banyak acara vlog itu.”

“Oh ya tak apalah, Kek. Mending mengikuti, daripada tidak sama sekali.”

“Ya, benar. Nah, itu Iksaka Banu sempat bilang dalam sebuah acara di youtube. Intinya, saat-saat ini menarik penulisan sastra yang berpijak pada sejarah. Yah, paling tidak bisa melengkapi sejarah yang ada. Dan, sebisanya menjadi tawaran lain melalui penulisan teks sastra itu.”

“Ya, Kek. Memang benar. Semoga saja nanti bisa menemukan karya segar dari residensi ini ya, Kek. Mohon doa dan restunya selalu ya, Kek...”

“Itu pasti. Nah, yang terpenting kamu harus mematangkan pijakan datamu untuk menyokong teks sastra yang hendak kamu tulis itu. Meskipun nantinya itu karya fiksi, namun dengan kematangan fakta sejarah, pasti setidaknya akan lebih bertenaga nantinya karyamu.”

“Ya, Kek. Saat berangkat saya sudah diberi saku oleh Pak Muslichin, guru sejarah saya semasa SMA itu, Kek. Yang dulu sering bela saya saat sering bandel dan bolos sekolah..”

“Oh baik banget gurumu. Namun kelewatan juga, anak bandel dan bolosan kok dibela ya...”

“Ya, tapi kan membelanya pilih-pilih, Kek. Bandel, bolosan, namun tetap yang baik hati.... Hehe...”

“Lantas bagimana lagi kelanjutannya?”

“Oh ya, Kek. Dari guru sejarah saya itu, saya juga di beri saku oleh Soelardjo Pontjosoetirto. Ia sempat meneliti tema yang saya selami ini pada 1971. Menarik banget, Kek.”

“Bagaimana dengan Soelardjo Pontjosoetirto? Dia suka naik sepeda juga?”

“Bukan perihal suka naik sepeda, Kek. Ini kata Soelardjo Pontjosoetirto, bahwasanya pada tahun tiga puluhan, tak lain pada masa pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang sering mendengar cerita mengenai golongan orang yang sedang saya cari, Kek. Dalam cerita tersebut dikemukakan tentang yang menarik mengenai golongan orang-orang itu. Terutama terkait dengan asal-usul golongan orang-orang itu. Meski segalanya terkait dengan cerita miring, tidak wajar, dan sekitarnya. Tentunya bagi Soelardjo Pontjosoetirto, cerita semacam itu, secara kebetulan niscaya dapat membantu pemerintahan Hindia Belanda dalam memperteguh penjajahannya.”

“Kenapa begitu?”

“Ya begitulah, Kek. Pemerintahan Hindia Belanda tentunya paham, kala itu penduduk kita begitu bermacam-macam. Dari berbagai suku dan golongan yang memiliki dan memegang teguh etnosentrisme mereka masing-masing. Suku bangsa atau golongan satu dengan lainnya saling menghina, saling merendahkan. Segala itu yang dimanfaatkan.”

“Semacam mengadu domba begitu?”

“Ya, begitulah, Kek.”

“Lantas apa lagi, Nak?”

“Ya, sebenranya saya lebih menghindar dari segala persoalan semacam itu. Sebab saya rasa akan kurang nyaman juga. Saya akan lebih menelusur pada jejak-jejak di luar itu, Kek.”

“Apa itu? Kakek penasaran!”

“Namun maaf, Kek. Saya tak bisa sepenuhnya menjelaskan sekarang.”

“Kenapa bisa begitu? Kakek kan malah jadi tambah penasaran!”

“Biar saja Kakek penasaran. Bukankah itu malah akan lebih baik. Jadi Kakek akan menunggu-nunggu. Hehe.”

“Ah, kamu bisa saja. Kalau begitu, Kakek pergi dulu ya...”

“Wah, kenapa tergesa, Kek?”

“Kakek banyak urusan yang harus lekas diselesaikan di akhirat.”

"Kek, di akhirat, apa Tuhan suka minjemin sepeda?"

Kakek diam saja. Tak menjawab apa-apa. Hanya melempar senyum kecil. Itu pun hanya sebentar. Kakek membalikkan tubuhnya. Berjalan pelan menjauh dari saya. Orang-orang lainnya membuntuti. Mereka seakan lenyap begitu saja dalam dinding kamar menginap saya.

Alarm ponsel tiba-tiba berteriak keras. Saya terbangun. Tak seperti saat masa kecil di kampung halaman, saya kerap terbangun dengan bunyi kokok ayam yang ramai sekali. Bukan dibangunkan alarm dari ponsel.[]

Senin, 06 Januari 2020

Tubuh Identitas di Jagat Kanvas

Tubuh Identitas di Jagat Kanvas
Oleh Setia Naka Andrian



Sore itu, 16 September 2018, selepas memarkir motor dan tiba di Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal, saya mencoba melangkahkan kaki pelan-pelan menuju ruang pameran bertajuk Identity yang digarap Sanggar Lontong Opor (SLOP) Kendal. Sungguh kali itu saya begitu deg-degan (berdebar) bercampur perasaan bahagia tak terkira yang begitu aneh dan lain-lain, ketika menghadiri pameran yang digawangi SLOP Kendal selama 15 hingga 21 September 2018. Bahkan saking bahagianya, saya dengan sengaja berniat untuk tidak mengikuti prosesi pembukaan pamerannya. Saya sengaja, agar setidaknya saya lebih leluasa hinggapi ruang pameran saat dibenamkan sunyi. Merayakan kebahagiaan yang hakiki, paling tidak, ini hiburan tersendiri bagi penenun estetika kota kecil seperti saya ini. Kehadiran saya pada hari selanjutnya di pameran tersebut pun sempat pada pagi hari yang sangat pagi. Saat beberapa teman yang bermalam di gedung BKR Kendal masih terlelap dalam lelah, selepas menggenjot acara pembukaan dan meladeni tamu di hari pertama pameran.
Entah disebut laku macam apa ini, hanya saja, saya hendak berupaya menemukan diri saya, diri di sekitar saya, serta diri khalayak dalam pameran yang ditawarkan SLOP Kendal tersebut. Dengan tanpa campur tangan godaan prosesi pembukaan pameran, siapa pemberi sambutan dan siapa yang membuka pameran, atau iming-iming apa saja yang memungkinkan dijatuhkan di dalamnya. Yang pasti, saya sepenuhnya ingin digoda oleh karya-karya hasil ciptaan 13 perupa yang menyuguhkan karyanya. Karya-karya ciptanya saja, bahkan tidak pula untuk godaan-godaan lain yang dimungkinkan akan muncul dari para perupanya. Menyambut pameran ini, bagi saya, setidaknya tentu tak lain karena ini pameran kali pertama yang terselenggara di BKR Kendal dalam dua tahun ke belakang ini. Saat dua tahun ini memang di BKR Kendal telah cukup riuh diramaikan beberapa aktivitas kesenian, baik dari teater, musik, sastra, film, tari, dan lainnya. Kehadiran pameran tersebut seakan menjadi oase tersendiri bagi khazanah jagat estetika di kota kecil serupa Kendal.
Dua tahun belakangan, baru kali ini pameran seni rupa hinggapi BKR. Maka sungguh, saya pribadi, dan tentu saya yakin tidak sedikit yang lain pun turut bahagia menyambut pameran ini. Meski, secara entah kebetulan atau tidak, bahwasanya pameran SLOP Kendal ini merupakan pameran kali pertama yang diselenggarakan kelompoknya, selama berdiri pada 29 Juni 2017. Meski sempat disampaikan oleh seorang pegiat, bahwa SLOP ini merupakan hasil “bermetamorfosart” (baca: istilah dari Dante, pegiat SLOP) dari Kendal Sketcher yang tentu sudah sempat berproses kreatif jauh lebih lama sebelumnya. Saat saya memasuki ruang pameran, sontak mata saya langsung tergoda, tak bisa mengelak untuk menerobos hingga sudut ruang pameran, dalam tampilan karya yang dipajang memutar melingkupi dinding gedung persegi panjang dari BKR Kendal tersebut. Karya yang menggoda mata saya kali pertama adalah lukisan karya M. Ghilmanul Faton yang ia beri titel Destruction, (2018, Acrylic on Canvas, 80 x 65 sentimeter).
Mata dan batin saya dijatuhkan berkali-kali untuk khidmat dalam perjalanan imajinasi tak terduga yang entah akan dibawa ke mana. Bahkan, Ghilman seakan menjerumuskan saya dalam dimensi waktu yang tak menentu, mana mula, mana muaranya. Namun, tentu segala itu tak disuguhkan Ghilman dengan semena-mena. Ia tetap memberikan tawaran atas jalan-jalan terbaik untuk para penikmat yang sedang berasyik-masyuk menyibak karyanya. Ghilman berbaik hati, menciptakan banyak pintu yang dapat segera dipenuh-sesaki mata dan batin penikmat karyanya. Meski, Ghilman mengusung karyanya dalam gerbong surealisme. Ia menjatuhkan bergelimang persoalan di sekitar perusakan, pemusnahan, penghancuran, pembinasaan, dalam jagat kanvasnya. Ia seakan khusyuk menekuri ragam peristiwa yang dikabarkan begitu tegas. Ia menyerukan berita-berita penghancuran “identitas” manusia dalam sebuah “surat kabar” penuh warna “lubang interpretasi”.
Selanjutnya, mata saya digoda dengan kehadiran lukisan Tak Ada Kuda Troya di Tanah Hijau karya Moch. Taufiqurrohman (2018, Acrylic on Canvas, 65 x 60 sentimeter). Dari karya tersebut, Taufiq hendak menyuarakan dan membangun keyakinan kepada khalayak, bahwa Indonesia (Tanah Hijau) ini tak akan pernah menemui kisah yang serupa dengan kisah Kuda Troya di Yunani. Ketika orang-orang Yunani hendak memasuki kota Troya dan memenangkan peperangan. Taufiq telah menawarkan “kesegaran” gagasan yang dijatuhkan dalam jagat “dominasi” hijau. Taufiq seakan mengajak khalayak yakin, dan lekas membenamkan imajinasi masyarakat tentang Indonesia yang akan bubar. Meski dapat kita simak, berbagai persoalan ekonomi, politik, sosial telah muncul di mana-mana. Bahkan persoalan sangat seksi yang berkait-paut dengan agama. Namun tidak, segalanya akan tetap baik-baik saja. Indonesia kaya segalanya, bangsa ini sanggup mengatasinya!
Berikutnya, ada godaan lagi yang dihadirkan dalam jagat estetika A. M. Dante dalam titel Mencuri Dengar (2018, Acrylic on Canvas, 100 x 80 sentimeter). Dante di situ menyajikan sebuah kegelisahan yang ia tangkap di sekitarnya. Terkait peristiwa-peristiwa kekinian yang, misalnya bertebaran di jagat media sosial. Orang-orang seakan ada saja alasan untuk selalu ingin tahu tentang apa saja yang dialami, dilakukan, atau yang mengidap pada diri lain. Apalagi tentang segala sesuatu yang beraroma tak sedap tentang seseorang. Pastilah akan menjadi tranding topic di media sosial, dengan tanda pagar (tanda #) paling ramai digunjing, disimak, dan dibagikan orang-orang.
Meski dari karya Dante tersebut digulirkan dalam jagat kanvasnya dengan cukup sederhana dan bernuansa paradoksal. Ia hadirkan dengan sosok muda yang sedang “mencuri dengar” melalui sebuah kaleng makanan instan yang ditempel rapat di telinga kiri. Dari tawaran Dante tersebut, seakan mengguyur mata dan batin khalayak yang telah khidmat menyimak karyanya, agar setidaknya turut serta mengamini atas segala fenomena itu. Perihal betapa berharganya waktu yang diberikan Tuhan kepada kita, setiap harinya, setiap jamnya, setiap menit dan setiap detiknya. Lantas, apakah segala itu hanya akan kita habiskan untuk mengintai diri-diri lain di sekitar kita, dan kita ikut-ikutan untuk mencatat segala yang beraroma tak sedap? Lalu kita mencari celah untuk menyalahkannya, menghujatnya, menjatuhkannya? Dante seakan mengajak kita untuk kembali melihat diri kita, melihat kekurangan kita, dan tentu selanjutnya yang harus kita lakukan adalah melihat kelebihan diri lain di sekitar kita. Bukan melihat kekurangannya!
Tiga karya tersebut, setidaknya telah menjadi pijakan tersendiri (setidaknya) bagi saya, untuk selanjutnya memasuki karya-karya lainnya. Meski, saya pun tak bisa mengelak, bahwasanya 11 karya lain (dari 10 perupa, dikarenakan ada seorang perupa yang menyajikan dua karya dalam pameran) turut serta menopang “identitas” yang ditawarkan SLOP Kendal dalam pamerannya. B. Pecut Sumantri dalam Political Game (2017, Acrylic on Canvas, 50 x 40 sentimeter); Didung Putra Pamungkas dalam Petak Umpet (2017, Acrylic, Marker on Canvas, 100 x 100 sentimeter); Maghfur Jazil dalam Tirto Kahuripan (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Nanang Arifuddin dalam Penghuni Ruang Cinta (2018, Charocal Powder on Canvas, 90 x 70 sentimeter); Ali Ahmad Murtadho dalam Bertaruh (2018, Acrylic, Pastel on Canvas, 100 x 90 sentimeter); Saufit Anam dalam Confidence (2018, Acrylic on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Lutfi Haidani Akhsan dalam Blackletter Freestyle (2018, Pigment Mixmedia on Canvas, 80 x 60 sentimeter); M. Rifqi Mubarok dalam Save Me (2018, Acrylic, Ballpoint, White Market on Canvas, 120 x 80 sentimeter); Hendriyanto PSK dalam Still Life (2018, Oil on Canvas, 45 x 60 sentimeter); dan Sukirno dalam Wanita dan Bunga Kerta (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter) serta Seikat Seruni (2018, Oil and Marker on Canvas, 80 x 60 sentimeter).
Segala identitas yang ditawarkan para perupa telah disambut hangat oleh mata dan batin khalayak. Mereka telah mutlak menghadirkan tubuh-tubuh identitas dalam karya-karyanya. Tubuh-tubuh identitas yang tak hanya bergulir dari dalam diri para perupa semata. Namun telah begitu rupa hinggap pada identitas lain, yang sepenuhnya hadir dalam tubuh-tubuh identitas yang baru. Tubuh-tubuh identitas yang dibawa oleh “kepala” politik, “leher” ekonomi, “tangan” sosial, “dada” agama, “jari-jari” kemanusiaan, dan lainnya. Dari segala itu, selanjutnya berhamburanlah identitas yang dirombak, identitas yang (barangkali) tak dikehendaki oleh mata dan batin kita sekalipun seakan telah turut serta dihadirkan dalam karya-karya dalam pameran tersebut. Dan perlu dicatat, segala itu dijatuhkan para perupa SLOP Kendal di jagat kanvas dengan tidak semena-mena!***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa aktivitas lain yang masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti melalui nomor ponsel (WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan beberapa media sosial yang dikelolanya.



























Senin, 30 Desember 2019

Segala tentang Hitungan


Segala tentang Hitungan
Oleh Setia Naka Andrian

Angka 2019 akan segera bergeser menjadi angka genap 2020. Tentu tak sedikit di antara kita yang turut serta menyambutnya dengan serius, biasa saja, atau bahkan menolaknya. Ada yang menyambut sekadarnya. Berdiam diri di depan rumah, sambil menanti tabur kembang api yang dipaksa meledak dari kejauhan. Atau menyambut serius dan berharap tidak biasa-biasa saja, berharap tidak selesai begitu saja atau hilang dengan begitu cepatnya.
Misalnya saja yang (akan) dikerjakan (dihimpun) oleh Tanjung Alim Sucahya dan Andaru Mahayekti. Ya, dua anak muda jomblo yang sempat mengaku diri mereka masih berantakan itu. Jumat (27 Desember) lalu memang saya berjumpa mereka di Bojonggede, desa lahir dan tinggalnya Tanjung. Saat itu kami berbincang tentang beberapa hal, lalu gelisah, lalu ingat angka tahun, ingat laku dalam diri personal dan komunal.
Cukup panjang perbincangan dan berderet kegelisahan yang kami panjatkan. Akhirnya, selepas makan siang di sebuah warung, bersepakatlah untuk membuat sebuah terbitan (bundelan) yang dicetak terbatas untuk menyambut pergantian tahun. Ya, saya cukup bahagia, ketika Tanjung dan Andaru mengetuk palu. Meski dengan was-was.
Dan kali ini, di ujung angka bulan ini, saya ingin turut serta menyambutnya dengan catatan pendek, sederhana, biasa-biasa saja ini. Yang mengusik saya, tentu perihal hitungan. Sungguh, hitungan begitu kentara mengusik benak dan batin saya kali ini. Barangkali juga Anda, atau bisa jadi tidak sama sekali.
Meski jika boleh sedikit menepi dan menyingkir sejenak, hitungan itu bukan hak kita. Ada Yang Maha Menghitung, yang akan mengakhiri segala penjumlahan gerak hidup-mati kita. Namun dalam medan proses kreatif, kita harus berani menghitung itu. Bahkan, perihal laba dan rugi pun harus dihitung. Tentu, segala itu tidak langsung menuju hitungan mentah. Atau hitungan-hitungan yang nampak saja, yang menggedor mata kita semata.
Bagi saya sendiri misalnya, penghujung tahun ini menjadi momen yang cukup membuat was-was. Paling tidak, meski saya belum merasa ini tahun paling berarti, namun saya merasa angka 2019 menjadi sejarah cukup panjang tersendiri dalam proses kreatif. Baik dalam diri personal, maupun komunal bersama kerja-kerja kreatif bersama kawan-kawan di Kendal. Ya, paling tidak ada dua jejak lawatan yang saya kerjakan. Pertama, saat dipercaya menjalani residensi penulisan di Polewali Mandar Sulawesi Barat selama satu bulan, dan residensi penulisan di Leiden Belanda selama dua bulan. Belum lagi beberapa aktivitas lain yang menyita benak dan batin, baik dalam diri maupun di luar dan di sekitar diri saya.
Sekali lagi, meski saya kerap menganggap itu sebagai anugerah terbesar dalam tahun ini, namun semua itu menjadi was-was tersendiri. Bagaimana selepasnya. Apa yang akan saya kerjakan. Apa yang selanjutnya akan saya tunaikan. Paling tidak dalam hal proses penciptaan. Saya cukup gelisah. Bagaimana kiranya dengan tahun selanjutnya? Bagaimana dengan proses penciptaan tahun selanjutnya di angka 2020? Saya takut, jika ternyata semua akan bergulir biasa-biasa saja. Atau bahkan semakin menurun, lebih parah dan hacur dari apa yang dikerjakan sebelumnya. Jatuh dalam lubang yang sama!
Menarik memang, saat-saat dalam kerja di kedua tanah residensi itu. Saya menjadi cukup terbiasa untuk berbaik sangka dengan hitungan-hitungan. Seberapa jauh mata memandang, seberapa pendek hati kecil menerawang, seberapa tebal ingatan dan catatan bergandengan. Itu yang setidaknya menghinggapi saya dalam membunuh hari-hari di tanah residensi. Dan tentu, semakin ke sini, semakin banyak hal yang terasa belum selesai. Banyak yang harus lekas ditunaikan. Dan pastinya, tak sedikit pula kemalasan dan kegagalan-kegagalan yang kian menggerogoti harkat penciptaan (karya).
Meski sungguh, jika boleh sekadar membahagiakan diri, telah banyak yang terjadi, telah tak sedikit yang dikerjakan, terutama bersama beberapa kawan di Kendal. Yang tentu, segala itu lebih mending jika dibandingkan dengan kerja-kerja komunitas lain. Namun apakah semua itu cukup? Tentu tidak, boleh berbahagia sejenak. Selepas itu, kembalilah gelisah! Jangan berharap semua akan baik-baik saja. Jangan berharap semua akan jatuh di pangkuan dengan tiba-tiba.
Dan semakin ke sini, saya kerap berbangga diri, saat melihat kampung halaman, di kota kelahiran saya (Kendal) ini telah bergulir tidak sedikit aktivitas kreatif dari berbagai kepala anak muda dan bermacam rupa komunitas. Ini sungguh membahagiakan. Hanya saja, sepertinya selepas itu tidak cukup bahagia begitu semata. Tidak cukup berbangga diri saja. Semua harus disambut dan dirayakan tidak hanya dengan percuma.
Sudah saatnya mulai menghitung. Meski paling sederhana, coba menengok diri sendiri. Mohon maaf, ini misalnya yang sedang saya coba dan upayakan pada diri saya sendiri. Paling tidak, sungguh biadabnya saya, jika belum apa-apa sudah merasa tua. Sudah merasa telah mendapatkan segalanya. Dan tiba-tiba saya ingat penggalan syair “Tong Kosong” (Slank): Sedikit ngerti ngaku udah paham. Kerja sedikit maunya kelihatan. Otak masih kayak TK kok ngakunya sarjana. Ngomong-ngomongin orang kayak udah jagoan.
Itu yang bagi saya sangat bahaya. Dalam hati: “Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari segala itu. Jangan sampai. Sebab bagaimana, jika misalnya itu terjadi. Saya akan merasa telah mampu melabeli diri sendiri. Belum apa-apa sudah menyebut dan menempeli diri dengan sebutan pengamat budaya. Belum apa-apa sudah mengaku sebagai pemerhati bidang tertentu. Apalagi jika semua itu, dengan begitu percaya dirinya dilabelkan dalam biodata yang ditulis sendiri. Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari segala itu. Jauhkan. Belum lagi, Tuhan, jika menciptakan sesuatu, saat mencipta karya tertentu masih ingin menghitung berapa penonton yang hadir. Saat hamba menulis, masih menghitung berapa buku atau unggahan di blog yang dibaca orang. Lalu hamba akan marah-marah, menggonggong penuh sesal dan duka mendalam di status media sosial. Jauhkan hamba dari segala itu, Tuhan. Jauhkan.”
Meski saya yakin, segala itu pekerjaan berat. Namun sudah saatnya hitungan itu tidak lagi dijatuhkan sekadar pada hitungan di luar kerja artistik. Buat apa? Buat apa menghitung berapa kali menyelenggarakan festival seni? Buat apa selalu berpusingan memaksakan diri setiap setahun sekali, sebulan sekali harus menyelenggarakan selebrasi acara yang ujung-ujungnya hanya akan berakhir pada foto-foto yang menjamur di media sosial semata?
Kalau itu sebuah kerja yang dikerjakan sendiri, dengan jerih-penat sendiri, dengan kepala sendiri, bahkan dengan menyisihkan uang sendiri. Buat apa jika masih terjebak dalam segala hal di luar medan artistik? Buat apa tunduk dalam hitungan-hitungan di luar medan artistik itu? Saya kira, tak ada gunanya. Itu hanya akan membuat kita semakin lemah dalam menghitung substansi kerja kreatif kita. Lalu jika sudah kian larut begitu, hari-hari akan terasa melelahkan. Semua akan dirasa memuakkan. Setiap kali berjumpa dengan diri lain di luar diri kita akan kian panas saja. Saling menyalahkan. Saling mengumpat, menabur amarah, dan segala hal yang sia-sia. Lalu tak terasa, usia telah menjatuhkan diri kita dalam lubang angka yang sudah cukup tua.
Dan tiba-tiba sadar, ternyata seumur-umur hanya melakukan berbagai hal yang itu-itu saja. Bahkan merasa kerap jatuh pada lubang yang sama. Lebih-lebih ternyata dirasa kerap memproduksi kegagalan-kegagalan yang berulang-ulang setiap tahunnya. Lalu kemudian yang tersisa hanya lelah yang mendarah-daging pula. Kemudian hanya mampu menimbun kenangan yang muncul dari mulut yang dibesar-besarkan. Tak ada riwayat jelas, tak ada jejak arsip, tak ada dokumentasi matang, tak ada yang dibanggakan dan diwariskan kepada generasi setelahnya. Semua hanya timbunan omong kosong belaka. Yang hanya dibesar-besarkan pula.***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa aktivitas lain yang masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti melalui nomor ponsel (WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan beberapa media sosial yang dikelolanya.