Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 April 2020

Pagebluk dan Telur Naga Merah (Cendananews, 18 April 2020)


Pagebluk dan Telur Naga Merah
cerpen Setia Naka Andrian

Kampung tiba-tiba digegerkan kabar tentang telur yang bisa menangkal pagebluk. Desas-desus itu beredar luas. Selepas hampir tiga bulan ini virus mematikan menebar di seluruh dunia, hingga sampai di sebuah kampung terpencil yang cukup jauh dari kota.
"Kamu tahu tentang kabar telur yang manjur itu, Sul?" Tanya penasaran Sutanto Aji kepada Samsul Maarif di sebuah angkringan.
"Sepenuhnya tahu sih, tidak. Hanya kabar-kabar yang berseliweran saja. Itu pun hanya sepenggal-penggal saja. Sepertinya kabar-kabar itu kerap disampaikan dengan tidak lengkap. Tidak saya terima gamblang. Malah semakin membingungkan saja." Jawab Samsul sambil sesekali menyeruput kopi panas dari tangan kirinya. Lalu mengisap dalam-dalam keretek yang dijepit dari dua jari tangan kanannya.
"Namun saya sebenarny­­a heran, Sul. Kenapa seluruh warga percaya begitu saja." Ucap Aji dengan begitu entengnya, sambil ia menikmati gorengan yang baru saja diangkat dari wajan.
"Kenapa bisa begitu, Ji?" Samsul jadi penasaran. Ditatapnya lekat mata Aji.
"Mau bagaimana, Sul. Coba kita yang sudah hidup di tahun 2020 ini agak logis. Bagaimana bisa pagebluk ini akan berakhir begitu saja, hanya dengan sebutir telur itu? Kita tahu kan, Sul. Italia, Sul. Italia saja kesusahan menghadapi pagebluk ini.” Kian serius menyampaikan pendapatnya. Meski dengan penuh tekanan, namun suara kian diperlambat. Takut jika sampai didengar orang. “Negara-negara di Eropa yang sudah sangat maju juga susah mengusir virus mematikan ini. Seluruh dunia pusing."

Udara dingin menyergap sekujur gerobak angkringan itu. Samsul diam. Namun tetap tak berhenti menyeruput kopi pahitnya yang kian dingin. Asap dihembuskan dari mulut dan hidungnya dengan penuh kelegaan. Meski matanya seakan menerawang jauh. Entah ke mana. Aji dan Samsul duduk bersebelahan. Di sebuah kursi kayu panjang, tepat di depan gerobak angkringan.
"Mas Aji, Mas Samsul. Maaf ya, saya tadi tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Diam-diam saat saya mengurus gorengan, kisah yang kalian bicarakan turut mengusik saya. Namun saya diam saja. Sebab takut juga kalau ikut berkomentar." Tutur Pak Ahyar, pemilik angkringan yang begitu lugu dan dikenal baik hati itu.
"Lho, takut kenapa, Pak?" Aji penasaran.
"Ya, kenapa bisa takut, Pak?" Samsul turut tanya.
“Sebentar, ya. Saya sambil mengemasi dagangan dulu. Hari sudah larut. Sebentar lagi hujan sepertinya juga akan turun.”

Aji dan Samsul kian penasaran. Mereka nampak tak sabar ingin mendengar penjelasan Pak Ahyar yang sedang berkemas memberesi dagangannya. Meski usianya sudah setengah abad lebih, namun ia masih nampak segar menjalani hari-harinya dengan berjualan hingga larut malam. Hampir setiap malam ia membuka angkringannya. Meski telah ada edaran dari pemerintah agar warung-warung ditutup. Termasuk terkait pembatasan kerumunan. Namun kampung ini cukup jauh dari pusat kota. Orang-orang keras kepala sesekali masih keluyuran. Meski sekadar untuk cari angin dan minum kopi di angkringan. Termasuk anak muda semacam Aji dan Samsul.
Angin dingin menyambar kian kencang. Langit nampak mendung, kian gelap. Aji menarik risleting jaketnya hingga leher. Samsul membetulkan dan mengencangkan gulungan sarungnya mengitari leher. Gemuruh guntur sesekali memecah suara angin yang menampari daun-daun pepohonan. Sudut perempatan jalan tempat gerobak angkringan itu memangkal pun tak ditemui orang lain selain mereka.

“Begini, Mas Aji, Mas Samsul.” Pak Ahyar mendekati kedua anak muda itu. Sontak Aji dan Samsul memberinya tempat untuk duduk bersebelahan. Keduanya antusias pasang telinga untuk lekas menadah apa saja yang akan keluar dari mulut Pak Ahyar. “Waktu itu, tengah malam hampir serupa ini. Hanya saja saat itu langit cerah. Tidak sedang hampir hujan seperti sekarang. Pak Lurah dan Ki Mahmud mampir di angkringan ini. Mereka pesan kopi panas.”
“Wah, Pak Lurah dan Ki Mahmud mau apa tengah malam mampir ke sini, Pak?” Samsul makin penasaran, hingga ia menunda niat untuk menyalakan kembali kereteknya yang baru saja mati. Aji mengangguk, memberi penguatan. Kedua mata mereka metatap ketat ke arah Pak Ahyar.
“Ada pembicaraan yang tak sengaja saya dengar malam itu. Sama persis seperti malam ini yang saya dengar dari kalian. Saya ingat, saat saya mendengar itu, tentu sebelum kabar telur itu gempar di kampung ini. Kalau tidak salah, baru satu minggu kemudian desas-desus tentang telur ini merebak ke mana-mana.” Aji dan Samsul kian khidmat. Seakan tidak ingin sepatah kata pun yang meluncur dari mulut Pak Ahyar tak tertangkap telinga mereka.
“Pak Lurah bicara sangat pelan kepada Ki Mahmud. Nampak sangat berhati-hati sekali. Seakan takut jika saya mendengar. Pak Lurah meminta tolong kepada Ki Mahmud, agar ia mau memberi petunjuk untuk menangkal pagebluk yang sedang merebak ini. Awalnya Ki Mahmud bernada menolak halus.”
“Wah, kenapa sampai menolak, Pak? Bukankah Ki Mahmud itu orang pintar yang terkenal sangat suka membantu siapa saja?” Dengan masih penuh penasaran, cerocos Samsul memutus pembicaraan Pak Ahyar begitu saja.
“Sebentar, sabar. Pasti saya lanjutkan.” Pak Ahyar sambil melihat sisi kanan dan kiri, meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang mengintai pembicaraan mereka. Aji dan Samsul pun turut serta memantau. “Namun Pak Lurah memohon dengan sangat, bahwa semua demi kemaslahatan. Lalu akhirnya Ki Mahmud menyampaikan sesuatu kepada Pak Lurah. Ia menyampaikan mengenai telur naga merah itu.”
Aji menyergah, “Lantas bagaimana dengan telur itu, Pak?” Samsul mengangguk, memberi penguatan.
“Ki Mahmud bilang, kalau telur naga merah diyakini bisa menangkal pagebluk yang sudah tiga bulanan ini meresahkan warga dunia. Termasuk di kampung kita ini.”
Samsul menyerobot, “Telur itu bisa didapat di mana, Pak? Sebab yang beredar selama ini, semua simpang siur.”
Aji turut bicara, “Ya, benar, Pak. Ada yang bilang telur itu bisa didapat di bawah rumah Ki Mahmud. Setelah menggali lima meter tepat di bawah pintu rumahnya.”
“Ada lagi yang bilang jika telur itu bisa ditemukan di dasar Sungai Waru. Terus ada juga yang bilang jika telur itu akan keluar dari perut seorang perempuan yang mengandung lima bulan dan ditinggal mati suaminya.” Samsul penuh meyakinkan.
“Kemarin malam, Pak Sarmuni saat ngopi di sini juga bilang, kalau telur itu akan datang dengan sendirinya di atap rumah perawan tua yang selalu gagal menikah akibat calon suaminya meninggal tanpa sebab sesaat sebelum pernikahan itu dijalani.” Pak Ahyar menambahkan.
“Nah. Itu masalahnya, Pak. Semua kabar tentang telur itu tidak ada titik temunya.” Aji menegaskan.
“Dan semua itu membuat seluruh warga di kampung ini bertanya-tanya. Selain kecemasan dan ketakutan yang kian hari kian tak karuan, kita semua juga dibuat bertanya-tanya tentang kepastian telur itu, Pak. Sesungguhnya kedua itu sama-sama meresahkan.” Samsul menambahkan.
Aji mendesak, “Malam itu Ki Mahmud tidak menyampaikan di mana telur itu bisa ditemukan, Pak?”
“Saya tak mendengar jelas dan pastinya di mana telur itu bisa didapat. Namun saat itu Ki Mahmud beberapa kali menyebut Bukit Limanan.” Jawab Pak Ahyar masih dengan nada was-was, takut jika ada yang mendengar. “Namun selanjutnya saya tak tahu. Mereka pulang, sesaat kemudian selepas Bukit Limanan disebut-sebut itu.”

Aji dan Samsul terdiam. Seakan mereka berjumpa dalam titik lamun yang sama. Seakan sama-sama menerawang Bukit Limanan yang tak jauh dengan kampung mereka. Bukit itu menjadi pembatas kampung ini dengan kampung sebelah.
Sesekali gemuruh guntur kembali memecah suasana. Dingin angin kian menampari siapa saja. Tak terkecuali Pak Ahyar, Aji, dan Samsul yang sedang serius dalam pembicaraan.

Pak Ahyar kembali melanjutkan pembicaraan yang terputus. Aji dan Samsul kembali menaruh telinga juga matanya ke arah Pak Ahyar, “Memang, selama ini kita dibuat bertanya-tanya. Berita-berita di televisi juga semakin membuat kita semua ketakutan. Setiap saat selalu saja dibakarkan kematian orang-orang terinfeksi berjatuhan. Selama tiga bulan ini saja ribuan orang di seluruh dunia telah direnggut virus mematikan itu. Meski memang warga di sini belum ada yang terinfeksi. Dan kita semua tentu tak ada yang berharap terinfeksi, kan?”
“Ya, semoga saja virus itu tidak akan sampai di sini.” Ucap Samsul sepenuh doa.
“Semoga misteri telur naga merah itu lekas terungkap.” Aji turut menaruh doa.

Petir menyambar. Pak Ahyar kaget, begitu pula Aji dan Samsul. Langit sudah nampak hampir menumpahkan seluruh airnya. Pak Ahyar mendongak ke atas, kemudian mengajak pulang, “Mas Aji, Mas Samsul, sebentar lagi hujan akan turun. Kita sudahi pembicaraan kita malam ini ya...”
Sesaat kemudian hujan turun cukup lebat. Mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Meski Aji dan Samsul masih memendam rasa penasaran. Telur naga merah di Bukit Limanan. Saat berjalan pulang, Aji dan Samsul berencana esok hari akan pergi ke Bukit Limanan.
***

Aji dan Samsul menepati rencananya untuk pergi ke Bukit Limanan. Pagi hari mereka berangkat bersama. Ditempuh dengan jalan kaki. Sebab untuk menuju ke bukit itu, mereka harus melewati tepi sungai, sawah, dan hutan. Namun saat belum jauh berjalan meninggalkan rumah mereka yang memang berdekatan, Aji menepuk pundak Samsul dan berkata, “Sul, berhenti sebentar. Lihatlah ke Balai Desa.” Bisik Aji kepada Samsul, saat melihat Pak Lurah dan Ki Mahmud sedang serius berbincang.
Akhirnya mereka berdua penasaran dan cari cara agar bisa menguping pembicaraan Pak Lurah dan Ki Mahmud. Mereka mengendap-endap melewati sebelah pagar luar Balai Desa untuk mendekat menuju tempat Pak Lurah dan Ki Mahmud duduk di depan Balai Desa.
“Saya tak habis pikir, kenapa putra Pak Romdon yang bekerja di Wuhan itu nekat pulang juga. Padahal tahu kalau bapaknya setiap malam mengajar mengaji anak-anak sekampung. Pulang diam-diam juga. Sudah seminggu ini di rumah. Sedangkan Pak Romdon juga nekat, masih mengajak anak-anak mengaji.” Pak Lurah nampak kesal, namun ia juga bimbang. “Kalau sudah begini bagaimana Ki Mahmud? Jika telur naga merah itu bisa jadi penangkal, yang akan menghalangi. Kalau ini virus sudah dibawa dan pasti menyebar ke anak-anak, juga tentu kepada orangtua mereka, apa yang akan kita harapkan dari penangkal itu? Ini sudah seharusnya tidak ditangkal lagi. Namun diobati.”
“Maaf  Pak Lurah, selama beberapa bulan ini, sejak kita di angkringan Pak Ahyar itu, sungguh saya selalu berupaya untuk melakukan berbagai cara agar bisa mendapatkan telur naga merah di Bukit Limanan. Sesuai petunjuk dari mimpi yang saya dapatkan. Namun apa daya, ternyata telur naga merah itu tak kunjung saya dapatkan.”

Sejurus kemudian, salah seorang perangkat desa datang menemui Pak Lurah, “Pak, izin menyampaikan laporan. Beberapa warga demam, batuk kering, dan kesulitan bernapas. Saat ini mereka dirawat di Puskesmas. Sebentar lagi akan dibawa ke rumah sakit kota. Dari sesak napas dan gejala yang diderita, mereka dinyatakan terinfeksi.”
Pak Lurah tak mengeluarkan sepatah kata pun, begitu pula dengan Ki Mahmud. Mata Pak Lurah menerawang jauh. Sepertinya ia merasa gagal, tak dapat berbuat banyak untuk warga desanya. Aji dan Samsul melongo, saling bertatapan.[]

Kendal, Maret 2020

Sumber: https://www.cendananews.com/2020/04/pagebluk-dan-telur-naga-merah.html

Senin, 30 Desember 2019

Kaceb! (Tribun Jabar, 29 Desember 2019)



Kaceb!
■cerpen Setia Naka Andrian



Apa yang mengendus dari otak Kaceb jika harus mengayuh becak pada hari yang begitu panas? Ditambah lagi sedang musim bulan puasa. Matahari benar-benar terasa di atas kepalanya. Rasa panas seketika memanggang tubuhnya yang hitam pekat itu. Karena bagaimanapun semua orang tahu, jika kalor pasti akan meluncur menuju benda-benda yang hitam atau yang gelap-gelap semacam kulitnya si Kaceb. Begitulah orang-orang memanggilnya. Walaupun sesungguhnya Kaceb sudah tidak tepat lagi jika dipanggil dengan tambahan gelar “si”. Kaceb sudah hampir purna sebagai lelaki setengah baya. Usianya pun kini sudah genap enam puluh lima tahun.
Kaceb hidup sebatangkara tanpa istri, apalagi anak. Ia benar-benar mandiri. Menurut kabar yang beredar di warung-warung kampung ini pun sungguh mengharukan. Bahwa si Kaceb merupakan seorang anak tunggal dari seorang ayah yang juga bekerja sebagai tukang becak. Itu mungkin masih sebagai kabar biasa dan ringan-ringan saja, jika ada seorang tukang becak yang berasal dari anak seorang tukang becak pula. Namun, ada yang membuat warga kampung tak jadi terharu dengan kisah si Kaceb, malah dianggap lucu. Katanya dulu ayahnya si Kaceb itu bernama Tukang Becak. Karena ternyata ayah dari ayahnya si Kaceb, atau bisa disebut kakeknya si Kaceb, juga merupakan seorang tukang becak pula. Maka dari itu ayahnya si Kaceb diberi nama Tukang Becak oleh kakeknya.
Konon menurut kabar yang juga beredar di warung-warung kampung ini, kakek si Kaceb yang bernama Abdul Kasur, merupakan seseorang yang memprakarsai alat transportasi yang bernama becak di kota ini. Terlampau dulu sekali katanya, ketika masa itu kakek si Kaceb masih menggunakan tenaga kaki untuk menjalankan roda-roda becaknya. Hingga pada masa itu becak baru menggunakan roda dua yang berjajar dan di atasnya ada semacam tempat duduk layaknya becak-becak yang ada di jaman sekarang. Lalu kakek si Kaceb menariknya dari depan melalui dua batang kayu yang agak melengkung.
Kakek si Kaceb terkenal sebagai sosok pekerja keras. Ia dulunya bekerja sebagai juru angkat di rumah megah pedagang Tionghoa. Juru angkat itu bahasa kerennya masa itu, kalau sekarang orang-orang menyebutnya sebagai kuli. Becak itu pun ia kenali ketika bekerja di situ. Becak yang dikenal orang-orang setempat berasal dari bahasa Hokkien, yakni be chia yang berarti kereta kuda itu digunakan oleh kakek si Kaceb sebagai alat untuk mengangkut barang dagangan orang Tionghoa majikannya tersebut.
Lalu lambat laun dan tidak terasa telah bertahun-tahun kakeknya si Kaceb mengabdikan diri sebagai juru angkat kepada orang Tionghoa itu. Akhirnya muncul masalah klise yang sering orang-orang ketahui dari keluhan para pedagang, yakni bangkrut. Kakek si Kaceb pun akhirnya mau tidak mau harus hengkang dari jabatan juru angkat itu setelah roda perdagangan orang Tionghoa tersebut dinyatakan resmi gulung tikar. Kakeknya merasa sangat sedih saat itu. Karena itulah pekerjaan satu-satunya yang sanggup dilakukan untuk menghidupi seorang istri tercinta dan seorang anaknya, yakni ayahnya si Kaceb yang bernama Tukang Becak.
Ternyata kakeknya tidak mau angkat kaki juga dari rumah orang Tionghoa itu. Berhari-hari ia tetap ndongkrok di rumah megah juragannya. Walaupun kemegahan rumah juragannya pun semakin purna pula, karena barang-barang seisi rumah terkuras habis untuk menebus kebangkrutan bisnis perdagangannya. Yang katanya, kebangkrutan itu terlahir akibat dari ulah istrinya yang tertipu oleh lelaki muda tampan yang kebetulan orang Tionghoa juga. Istrinya main cinta belakang dengan pemuda itu. Maka akhirnya istrinya menuruti segala yang diinginkan oleh pemuda itu, asalkan servis yang diberikan pemuda itu mampu memuaskannya.
Itu semua pun terjadi karena ternyata istrinya telah bertahun-tahun tidak dijatah oleh suaminya, lelaki setengah baya Tionghoa itu. Yang katanya sudah tidak kuat lagi. Lalu akhirnya bertahun-tahun pula istrinya main cinta belakang dengan pemuda tampan itu. Segala harta benda yang diacungi oleh pemuda itu pasti akan diberikan. Pemuda itu pun tetap senang dan bangga-bangga saja menjadi laki-laki simpanan. Walaupun bertahun-tahun meladeni perempuan tua yang sudah lumutan namun masih kegatelan itu.
Lalu istrinya pun kemudian diceraikan. Meninggalkan dua orang anak yang hanya tinggal nama. Keduanya sudah lama mati berboncengan naik sepeda. Mati berjamaah karena kecelakaan tertabrak kereta api ketika hendak berangkat sekolah tingkat awal dulu, setaraf Sekolah Dasar.
Lelaki Tionghoa yang sudah senja itu pun kini hanya dapat mengenang ending yang serba salah. Ia sebenarnya juga sangat merasa bersalah kepada dirinya sendiri. Karena ia merasa akar permasalahan dari kebangkrutan usahanya itu akibat dirinya yang tak mampu memenuhi kebutuhan istrinya. Jadi ia mencoba lapang dada saja. Walaupun semua telah pergi dari pelukannya. Istrinya pergi, hartanya juga lari. Hanya hutang-hutang saja yang masih terus menunggunya untuk segera dilunasi satu persatu.
***
                       
Ternyata kakek si Kaceb belum mau juga angkat kaki dari rumah orang Tionghoa itu. Berhari-hari yang hampir seminggu ia tetap ndongkrok di rumah megah juragannya yang kini kosong tidak berisi apa-apa. Berhari-hari itu mereka berdua saling bercerita tentang keluarganya masing-masing, dari mulai masalah menghidupi anak dan istri hingga bagaimana cara membahagiakan istri. Termasuk juga masalah nafkah malam hari yang sering ditunggu-tunggu oleh setiap istri.
Orang Tionghoa itu pun semakin sedih yang menjadi-jadi. Bayangkan saja, apa rasanya seorang lelaki yang ditinggal dan dihianati oleh istrinya karena ia telah tak lagi mampu memberi nafkah malam hari. Sungguh sangat kasihan bila ada laki-laki semacam itu. Mungkin sebab itu juga yang menjadikan kakeknya si Kaceb tak kuasa pergi meninggalkan juragannya sendirian menikam kesedihan. Karena semua orang yang dulu di dekatnya telah tiada. Termasuk seluruh pekerjanya, penjaga pintu gerbang, penjaga toko, tukang kebun, juga para juru dapurnya. Semuanya pergi jauh-jauh meninggalkan juragan yang tinggal sebatang rokok itu. Dulu orang-orang menyebutnya begitu. Lelaki Tionghoa tua yang tinggal sebatang rokok. Karena ia perokok berat. Lebih-lebih ketika masa kebangkrutan itu. Selalu hampir setiap waktu ia menghisap rokok. Ibaratnya yang ada dalam puisi-puisi pemuda jaman sekarang, lelaki setengah baya itu adalah kereta yang asapnya terus memanjang dan tak pernah ada henti-hentinya.
“Kenapa kau tidak mau pergi dari rumah ini? Aku sudah tidak lagi memiliki apa-apa. Aku sudah tidak kuat membayarmu,” ucap juragan setengah baya yang telah benar-benar hampir tak menjadi juragan itu. Wajahnya yang keriput nampak menunggu jawaban dari kakeknya si Kaceb yang tak kunjung juga menyambut dengan kata-kata. Wajahnya mencoba berakraban dengan matanya yang kian melulu bertanya-tanya juga. Raut mukanya nampak murung campur gelisah dan kesedihan yang entah. Kepalanya seringkali menunduk resah dengan kopyah hitam yang menutupi beberapa gelintir rambutnya yang hampir genap memutih. Sambil matanya berkaca-kaca mengenang dan sangat menyesal ketika telah bertahun-tahun tak sanggup memberi nafkah malam hari kepada istri tercintanya. Nyaris air matanya mengucur, namun selalu tertahan akibat ingat kelaki-lakiannya ketika mulutnya tiap beberapa detik mengasap yang terus memanjang dan tak pernah ada henti-hentinya itu.
***

Setelah genap satu minggu, kakek si Kaceb akhirnya terpaksa harus angkat kaki dari rumah juragan yang telah bertahun-tahun menjadi tumpuan hidupnya. Dengan sangat terpaksa ia harus meninggalkannya jauh-jauh karena malam itu tiba-tiba rumah megah yang kosong itu menjadi gempar dan dikepung orang-orang. Ketika juragannya diketahui telah bunuh diri dengan memotong kemaluannya sendiri. Darah mengucur dari pangkal kemaluannya hingga merahnya merambah ke hampir seluruh tubuhnya. Entahlah kenapa, mungkin karena ia begitu menyesal dengan diri dan tubuhnya yang memiliki kemaluan semacam itu. Hingga ia membanting-banting dan memukul-mukulkan batang kemaluannya ke seluruh tubuhnya hingga darah berhamburan kemana-mana dan ia benar-benar kehilangan nyawa.
Kakek si Kaceb benar-benar angkat kaki. Selamanya, juragan Tionghoa itu tinggal kenangan. Mayatnya diurus oleh sebuah asuransi yang ternyata sudah dipersiapkan oleh mendiang sejak dulu semasa hidupnya jaya. Sehingga rumah serta tanahnya itu pun diurus asuransi tersebut. Namun dari kekosongan rumah itu masih menyisakan sebuah becak yang ternyata dulu dipakai kerja oleh kakek si Kaceb. Becak itu tidak sengaja terdampar di belakang rumah dan tertumpuk sampah-sampah, yang membuat penagih hutang tidak tahu keberadaan benda itu. Akhirnya becak itu pun dibawa pulang oleh kakek si Kaceb, setelah ditanyakan kepada pihak asuransi mengenai becak itu menjadi hak siapa. Ternyata pihak asuransi mengatakan bahwa becak tidak termasuk hak mereka, hanya rumah tanpa seisinya dan tanahnya saja yang diasuransikan untuk mengurus kematian juragan Tionghoa itu.
***

Kakek si Kaceb pulang ke rumah. Menemui seorang istri tercinta dan seorang anak, si Tukang Becak—ayahnya si Kaceb. Selanjutnya mereka hidup cukup bahagia. Kakek si Kaceb menjadi tukang becak. Mengemudikan untuk mencari nafkah guna menghidupi anak dan istrinya.
Namun konon setelah berjalannya waktu, pemerintahan Belanda pada masa itu melarang keberadaan becak. Karena jumlahnya yang semakin bertambah, yang katanya membahayakan keselamatan penumpang dan menimbulkan kemacetan. Entah kemacetan yang seperti apa, dalam cerita-cerita yang beredar di warung-warung semacam itu.
***

Lambat laun hingga negeri ini merdeka dan setelah meninggalnya kakek si Kaceb, becak masih tetap eksis juga pada masa ayahnya si Kaceb. Walaupun pada masa itu sempat ada aturan dari Gubernur, mengenai larangan terhadap angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, hingga meletus razia mendadak di daerah bebas becak. Karena becak dianggap sebagai biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan dikatakan sebagai alat angkut yang tidak manusiawi. Walaupun pada sisi lain becak juga mulai tergerus persaingan dengan kehadiran ojek motor, mikrolet dan metromini.
Masa itu pemerintah juga mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Pemerintah memprogramkan para tukang becak untuk beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Dengan semena-mena pemerintah menggaruk becak dan membuangnya jauh-jauh dari ingatan para tukang becak. Namun si Tukang Becak, ayah si Kaceb tetap bertahan dengan becaknya. Hingga akhirnya ia meninggal, kemudian profesinya berlanjut diwariskan kepada keturunan selanjutnya, yakni si Kaceb. Sosok yang kini dikenal dan akrab di mata orang-orang, yang memiliki nama lengkap Kaceb Gnakut. Nama yang merupakan kebalikan dari nama ayahnya, Tukang Becak. Dibaca dari belakang.
Begitulah kisahnya yang terus berlanjut hingga masa ini. Si Kaceb yang sudah hampir purna sebagai lelaki setengah baya. Usianya sudah genap enam puluh lima tahun. Ia tetap mengayuh becak. Walaupun hari begitu panas pada musim bulan puasa semacam ini. Ia tetap hidup sebatangkara tanpa istri dan anak. Karena menurut kabar yang beredar di warung-warung, ia tetap setia dengan becak yang memiliki sejarah tersendiri bagi keluarganya. Keluarga becak.
Namun hingga kini ia berani memutuskan dengan serius untuk tidak ingin menikah. Bukan karena takut tak sanggup menafkahi atau mencukupi kebutuhan hidup anak dan istri, melainkan ia takut memiliki anak. Ia punya ketakutan tersendiri jika kelak anaknya menjadi tukang becak lagi. Tekadnya, ia ingin memutus keturunan keluarga sampai dirinya. Keluarga becak.***

Kendal,  Juli 2016 - Leiden, November 2019

Senin, 23 Desember 2019

Agama Air (Kompas.id, 21 Desember 2019)


Agama Air
■cerpen Setia Naka Andrian



Sebelum cahaya hari ini napasnya tersendat-sendat hingga sepenuhnya lenyap di sisi barat kepala jagat, dan sebelum ada pertanyaan-pertanyaan keluar dari mulut para pelayat, “Ia meninggal karena apa? Apakah ia bisa hidup tanpa minum? Ada berapa sungai yang akan diwariskan kepada kita?”
Sebelum semua itu bergulir. Bolehlah aku bercerita tentang kisah yang sempat menyangkut dalam hari-hari masa kecilku.
Sore hari. Hampir serupa dengan waktu kali ini. Pun sama di Sungai Blorong ini. Aku ingat betul, sore itu kakek tiba-tiba menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk sendirian, selepas mandi di sungai bersama tiga orang teman sekampung. Salah seorang perempuan, dua sisanya laki-laki yang tak lebih tampan dariku (masa kecil). Tentu pembaca bisa sedikit punya bayangan. Meski tak sepenuhnya gamblang.
Aku melamun, menatapi sungai jernih, tepinya berpasir. Persis seperti bibir pantai. Bahkan semasa kecil itu, aku sering bilang kepada ibuku, saat hendak izin main ke sungai, aku selalu bilang, “Ibu, aku ke pantai dulu.” Kali pertama ibuku kaget dan bertanya, “Hah, pantai mana? Sama siapa? Pantai itu jauh. Kau tidak boleh ke sana sendirian. Tidak boleh pula ke sana hanya dengan ketiga temanmu itu yang masih kecil-kecil. Kau bisa hilang. Kau bisa dimakan ikan raksasa.”
Begitulah ibuku. Termakan kisah-kisah miring tentang Sungai Blorong. Sungguh menyakitkan jika diresapi kala itu, saat masih masa awal di bangku SD itu. Meski jika sekarang, aku sadar. Itu semua karena kasih sayang tak terhingga sepanjang masa. Seperti yang tertanam dalam lagu yang moncer di telinga kita sebagai anak sejati seorang ibu itu.
Mari kita kembali ke bibir pantai (imajinasi) masa kecilku itu. Di pasir-pasir yang tak putih itu, aku melamun jauh. Melihat sumur-sumur kecil yang kekal ke dalam. Jika aku ingat-ingat, diameternya kisaran tujuh jengkal jari tanganku kala itu. Sumur yang berdinding anyaman bambu-bambu. Air di dalamnya sangat jernih. Melampaui jernihnya air sungai. Sejernih air mineral yang kita temukan saat ini. Sungguh. Dulu, siapa saja sering minum langsung air itu, meski hanya disaring dengan sarung atau kain apa saja.
Sekarang kita kembali pada bagian saat kakek hadir mengagetkanku. Ia menepuk pundak kecilku. Sontak aku kaget. Lamunanku kala itu terpecah-belah. Meski jika diminta untuk mengingatnya sekarang, dan diminta untuk mengisahkannya, sungguh aku sangat kesulitan. Seperti apa lamunanku kala itu.
Yang pasti, aku hanya ingat, kakek bilang kepadaku, “Kau jangan berlama-lama di sungai ini sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.”
“Memang teman-temanku sudah pulang, Kek. Namun lihat perempuan-perempuan itu. Mereka masih mandi. Masih mencuci pakaian. Masih menimba air. Memasukkan air-air sungai ke sumur, menggunakan tengadah tangan-tangannya.”
Dengan sambil menjelajah pandangan menyisir semua sumur-sumur di tepi sungai itu, kakek dengan keras menyeretku, “Ayo lekas pulang! Sudah tidak ada siapa-siapa di sini!”
Sampai sekarang, aku masih berupaya keras untuk menangkap maksud beberapa perkataan kakekku kala itu. Namun bagaimana lagi, saat aku hendak berjuang keras menangkap maksud kata-kata itu, saat aku tersadar betapa pentingnya mengungkap, sungguh sangat disayang, kakek sudah tiada. Akhirnya, aku hanya bertanya-tanya pada diri sendiri, kepada segala sisa debu dalam jarum-jarum jam di rumahku.
Namun izinkan aku melanjutkan apa adanya cerita ini, hingga sepenuhnya usai.
Selepas sampai di rumah, kakek masih memarahiku dengan perkataan-perkataan yang masih senada seperti saat di sungai tadi. Hanya dengan rupa improvisasi secukupnya. “Kau jangan berlama-lama di sungai itu sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap. Kenapa kau tak lekas pulang? Sudah tidak ada siapa-siapa di sungai itu!”
Aku tak menjawab apa-apa. Karena saat itu, aku menganggap kakek sedang tidak wajar. Tidak seperti kakek biasanya. Ia sangat aneh. Matanya sedang tak beres. Kakek tak melihat apa yang aku lihat di sungai. Ya, melihat perempuan-perempuan di sungai itu. Yang hadir sesaat selepas ketiga temanku pergi pulang duluan. Pasti selalu begitu. Hari itu saat kakek menjemputku pun begitu. Aku selalu asyik, tenang, dan sangat damai saat memandangi mereka saat mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya. Lebih-lebih mereka melakukan segala itu tanpa bercakap-cakap. Suasana begitu sunyi, hanya gemericik air yang tebentur batu-batu, pohon-pohon atau tumbuhan-tumbuhan menjalar yang melambai di sungai. Perempuan-perempuan itu hanya saling bertatap mata dengan nyala yang sangat teduh, dan bertatap senyum sangat lembut dengan perempuan lainnya. Pun saat aku di situ, mereka sangat menyambutku, dengan tatapan matanya yang sangat teduh, dengan tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Sesaat setelah kakek meredakan kata-katanya, dan seperti sangat menunggu ada beberapa kata terucap dari mulutku, aku pun menghempaskan tangannya yang memegangi tanganku. Aku lari ke kamar. Kakek pun membiarkanku. Lalu aku melompat dari jendela. Lari sekencang-kencangnya. Melewati kebun-kebun di sebelah rumah. Menerobos tanah-tanah kosong yang hanya dipenuhi alang-alang dan rerumputan liar yang tingginya melampaui tubuhku.
Aku nampak kelelahan. Keringat mengucur sekujur tubuhku. Tidak seperti biasanya. Meski memang, biasanya aku menuju ke sungai tak pernah lari seperti sekarang ini. Biasanya pun tidak ada tragedi jemput paksa dari kakek.
Dan, hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat. Ini tidak seperti biasanya pula. Sungguh. Atau jangan-jangan, ada benarnya apa yang dikatakan kakek. Bahwa katanya, langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.
Ah, aku tak boleh takut. Aku ingat, kata kakek di lain kesempatan, “Anak laki-laki tak boleh penakut! Harus siap menghadapi berbagai kemungkinan. Bahkan terhadap segala kemungkinan yang sangat tidak kita inginkan sekalipun, yang sangat menyakitkan sekalipun!”
Itu kata kakek. Sangat membantuku kala itu. Sangat memompa energi tersendiri bagi keberanianku sebagai seorang anak kecil yang masih ingusan. Akhirnya aku pun terus lari sekencang-kencangnya. Sungai menjadi tujuan utama yang harus kutunaikan hari itu. Karena bagaimanapun, aku laki-laki. Dan aku tak mau meninggalkan segala sesuatu yang belum tuntas. Aku tak mau pergi dari sungai sebelum semua orang pergi. Seperti biasanya. Aku tak mau seorangpun menjemputku paksa untuk mengakhiri perjumpaanku dengan sungai, dengan sumur-sumur itu, dengan perempuan-perempuan itu. Termasuk oleh kakekku sendiri. Aku tak mau. Semuanya harus tuntas. Tanpa sisa. Harus selesai. Harus kuakhiri saat semua orang pergi meninggalkan sungai. Aku akan pulang selepas perempuan-perempuan itu meninggalkan sungai!
Begitu kiranya yang aku rasakan saat itu. Sungguh sok heroik. Namun, apa adanya begitu yang aku rasakan saat itu.
Mari kita lanjutkan ceritanya saat itu. Aku berharap, pembaca jangan marah-marah, jangan sinis, dan mohon menahan segala umpatan, jangan ditumpahkan sembarangan. Sekadar saran, alangkah baiknya, seduhlah kopi terlebih dahulu. Lalu lanjutkan kembali membaca cerita ini.
Tibalah aku di sungai. Aku harus bersusah payah menjemputnya kembali, atas ulah jemputan paksa dari kakekku. Aku melangkah turun ke sungai. Sekitar tiga puluh langkah kaki anak-anak untuk tiba di dasar sungai, di pasir-pasir tepi aliran sungai, yang didapati perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Langkah kaki kecilku kala itu cukup kesusahan, menapaki satu persatu anak tangga dari tanah, menuju ke dasar sungai. Hujan masih lebat. Langit hampir gelap. Napas cahayanya sudah sangat terengah-engah, sebentar lagi akan meninggalkanku, tak lagi menerangiku di sungai.
Namun segala itu kulupakan begitu saja, saat aku masih melihat perempuan-perempuan itu masih dalam aktivitas yang sama. Aku sungguh bahagia. Aku bisa menunaikan perjumpaanku dengan mereka, hingga mereka benar-benar usai dan meninggalkan sungai. Sungguh, bahagianya aku saat itu. Mereka masih dalam posisi yang sama. Tiada yang berkurang sedikitpun. Tidak bergerak dari posisi semula saat aku masih di sungai, saat aku belum dijemput paksa oleh kakekku. Meski hari telah hujan lebat. Langit sudah semakin gelap. Namun mereka tetap mandi, tetap mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Hujan masih mengguyur lebat. Aku pelan-pelan mendekati mereka. Menggerakkan langkah pelan untuk mendekat. Semakin dekat, dan dekat. Sesampai pada jarak lima langkah kaki kepada mereka, aku berhenti. Aku menatap mereka dari belakang. Hujan semakin lebat. Mereka tiba-tiba bersamaan menoleh kepadaku. Dengan tatapan tajam yang aneh. Tidak seperti biasanya. Semakin tajam tatapannya. Mulutnya nampak bengis mengutukku. Sungguh. Ini tak seperti yang kudapatkan pada hari-hari biasanya. Sambutan mereka kepadaku tak seperti biasanya. Tiada lagi tatapan matanya yang sangat teduh. Tiada lagi tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Berangsur-angsur mereka semua pergi meninggalkan sungai. Dengan langkah kepergian yang tak seperti biasanya. Mereka melangkahkan kaki menjauh dariku. Tubuhnya bergerak ke depan, namun kepalanya tak sedikit pun memutar sesuai gerak tubuhnya. Kepala mereka semua masih terus menghadapku. Matanya menatapku dengan sangat tajam dan aneh. Mulutnya pun nampak sangat bengis. Tubuhku gemetar tak karuan. Mereka terus melangkah jauh meninggalkanku. Berjalan jauh dari tepi sungai, naik ke atas, melawan arus sungai. Hingga sepenuhnya mereka lenyap di tikungan sungai. Aku merasa sangat kacau. Tubuh terguncang. Aku semakin tak sanggup mengendalikan diri.
***

Ada yang menepuk pundakku. Dan bangunlah tubuhku, bangunlah jiwaku. Aku berdiri pelan, sambil menata tubuh dan jiwaku sendiri. Pelan-pelan mata kuarahkan kepada siapa yang telah menepuk pundakku, saat tertidur. Ternyata bukan kakekku. Ia nampak seperti seorang pemungut sampah. Selepas mataku membuka penuh, sungguh aku kaget. Aku berdiri di tempat yang aneh. Namun aku sangat mengenali. Ini sungai. Ya, benar. Ini sungai yang setiap hari aku kunjungi. Aku berjumpa dengan perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Aku sangat ingat, dan sangat hafal. Namun ini ada yang berubah, semuanya sangat beda. Sungai tak lagi berair lagi, tak lagi berpasir lagi. Sumur-sumur itu telah penuh dengan sampah-sampah. Perempuan-perempuan itu telah tiada. Orang-orang kampung berdiri di atas bantaran sungai. Di tangan kanan mereka, digenggam ember dengan erat-erat. Mata mereka menatapku dengan sangat lemah.***

Kendal-Pati, Juni 2019

Catatan:
Sungai Blorong merupakan sebuah sungai yang ada di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sungai yang diyakini warga setempat sebagai sungai yang dihuni Nyi Blorong. Sungai yang berkelok, seperti kelokan jalan ular raksasa yang dilewati oleh Nyi Blorong.

Minggu, 23 Juni 2019

Makam Nyai Malinda (Suara Merdeka, 23 Juni 2019)


Makam Nyai Malinda
■cerpen Setia Naka Andrian



Malinda, begitulah nama dalam nisan yang selalu basah dengan aroma kembang-kembang. Kerumun orang-orang pun mengantri dari hari ke hari. Sungguh, tak seperti pada umumnya peziarah datang ke makam alim ulama atau kiai. Kali ini nisan yang bertulis Malinda pun ramai pengunjung. Lebih-lebih ketika Ramadan seperti ini.
Para pengunjung juga bukan peziarah pada umumnya. Mereka datang dengan busana yang nyetil, banyak orang menyebut itu gaya you can see. Wow, siapa sebenarnya Malinda? Banyak orang bertanya-tanya seperti itu. Apakah ia dulunya seorang istri kiai besar? Atau mungkin ia seorang pemuka agama yang tersohor pada masanya? Warga kampung sekitar pun dulunya sering memperdebatkan tentang hal itu, namun jarang yang berani angkat bicara berpanjang lebar. Kebanyakan memilih untuk diam. Takut kalau terjadi apa-apa. Maklum karena berurusan dengan makam.
Pengunjung datang dari berbagai kota. Peziarah yang aneh, mengenakan pakaian yang aneh-aneh pula. Tidak wajar sebagai seorang peziarah. Kebanyakan perempuan cantik-cantik dan seksi-seksi yang datang ke makam itu. Mereka menebar aurat. Hingga terkadang membuat para pemuda warga kampung setempat dijadikan sebagai wisata tersendiri, mereka menyebutnya sebagai wisata cuci mata.
Setiap kamis sore para pemuda yang kebanyakan berumur belasan tak ingin ketinggalan untuk berwisata di makam Malinda. Bukan untuk menyaksikan makam Malinda yang biasa-biasa saja itu, makam yang hanya ditandai dengan nisan beton kusam tanpa cat. Tak lain mereka ingin menyaksikan para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja banyak peziarahnya. Sehingga membuat para pemuda sangat tak ingin ketinggalan untuk menyaksikan wisata cuci mata itu.
Hal semacam ini telah menjadi tren tersendiri bagi para pemuda setempat. Bahkan ada yang bilang kalau melewatkan satu hari saja, maka akan disebut oleh teman-temannya sebagai pemuda nggak gaul. Mereka tak peduli dengan bulan Ramadan sekalipun. Bagi mereka sore hari yang paling menyenangkan adalah ngabuburit sambil berwisata cuci mata di makam Malinda. Bayangkan saja, wisata cuci mata itu telah menandingi hingar-bingar sebuah konser musik rock kolosal termegah sepanjang abad ini. Sungguh mampu membius mereka sebagai tren tersendiri.
Lama-kelamaan wisata cuci mata itu tercium oleh masyarakat lebih luas. Bahkan kali ini tidak hanya para pemuda yang masih umur belasan saja, namun para om-om pun tak mau ketinggalan. Kali ini semakin ramai saja makam Nyai Malinda, orang-orang menyebutnya begitu. Menambahkan gelar nyai sebelum nama populer Malinda. Sungguh sangat ramai, hingga semua itu telah dijadikan sebagai tambang untuk mengeruk uang bagi warga setempat. Kepala desa pun memberi ijin kepada masayarakat untuk menjadi tukang parkir di makam tersebut, termasuk juga berjualan makanan untuk buka puasa bagi para pengunjung.
Masyarakat setempat pun sepertinya sangat senang, ketika banyak mobil mewah berdatangan dari berbagai kota besar di negeri ini. Para konglomerat pun menyempatkan diri bersama teman-teman seperjuangannya untuk menyaksikan kemegahan wisata cuci mata ini. Wow, sungguh sangat aneh. Sebuah makam menjadi tempat wisata yang begitu ramai, pengunjung setiap harinya semakin bertambah. Ibaratnya, setiap satu pengunjung hari ini akan bercerita setidaknya kepada dua orang untuk berkunjung besok.
Bayangkan saja bila hari ini yang berkunjung dua ratus orang, pasti otomatis besok akan datang empat ratus orang yang berbeda. Bukan main, itu setiap hari pada bulan Ramadan. Kalau seperti ini terus-menerus pasti kelak makam Nyai Malinda ini akan dikelola oleh dinas pariwisata, sebagai sebuah wisata cuci mata yang paling menghebohkan sepanjang abad ini.
Semakin hari komplek pemakaman Nyai Malinda semakin hiruk-pikuk dipadati peziarah. Juga otomatis warga setempat pun memanfaatkan sebagai lapangan kerja, semakin banyak yang menjadi tukang parkir, pedagang, hingga ada beberapa warga yang memiliki modal telah mendirikan penginapan di sekitar komplek pemakaman tersebut.
Sampai-sampai para keluarga peziarah makam lainnya pun kehabisan tempat untuk sekadar membisikkan doa kepada mendiang arwah yang jasadnya diabadikan bertetanggaan dengan makan Nyai Malinda. Lalu ada beberapa warga setempat, termasuk kepala desa beserta para jajaran kabinetnya berniat untuk mengadakan rapat guna mencanangkan penutupan komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa sempat menuturkan, jika para keluarga yang memiliki sanak saudara yang di makamkan di komplek pemakaman tersebut dan mereka merasa terganggu dengan adanya wisata cuci mata, maka kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung siap untuk membantu pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda tersebut.
Kehendak yang direncanakan oleh kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung itu pun semakin terdengar di mana-mana. Para wartawan dari berbagai media masa lokal maupun nasional pun turut andil, setiap hari berduyun-duyun memotreti wisata cuci mata itu. Mereka berdesakan mencari informasi tentang wisata yang paling heboh sepanjang abad ini.
Kini semakin lengkap saja menelusur permukaan hingga ke akar-akar pelosok negeri ini tentang kabar yang menggemparkan mengenai sebuah wisata cuci mata, sebuah tempat wisata yang hiruk-pikuk dengan para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja bertambah banyak para peziarahnya.
Sebuah pelosok kampung yang dulunya sepi dan sangat jauh dari keramaian kini telah menjadi pusat wisata yang hiruk-pikuk. Kepala desa beserta para jajaran kabinetnya pun kali ini benar-benar ingin menutup komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa juga telah menugaskan para jajaran kabinetnya dan beberapa warga kepercayaan untuk mendatangi para keluarga yang memiliki sanak saudara yang di makamkan di kompek pemakaman tersebut, untuk membicarakan perihal pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda.
Kali ini kepala desa benar-benar semakin mempertegas kehendak tersebut. Atas dukungan para jajaran kabinet serta masyarakatnya, pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda pun semakin hampir terealisasikan.
“Mari kita urus pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda. Agar kampung kita benar-benar menjadi tempat wisata yang besar sepanjang abad ini! Agar kelak menjadi tempat yang bersejarah dan menghasilkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kita. Sehingga warga kita akan benar-benar makmur dan sejahtera!”
Begitulah ungkap kepala desa dengan sangat lantang di hadapan forum rapat pencanangan penutupan komplek pemakaman dan pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda. Semua warga pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh kepala desa. Karena memang hal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan kehendak bersama.
Mengingat segenap warga pun merasa diuntungkan dengan adanya wisata cuci mata tersebut. Mereka tak mempedulikan apa pun mengenai segala dampak yang akan ditimbulkan dari wisata aneh itu. Walaupun anak-anak mereka yang masih umur belasan menjadi saksi tentang wisata terheboh sepanjang jaman di negeri ini.
Namun ternyata ada sesuatu yang belum terpikirkan oleh kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga segenap warga kampung. Yakni tentang penyebab makam Nyai Malinda yang begitu banyak dikunjungi oleh para peziarah. Semua itu terbesit ketika banyak dari wartawan yang menanyakan tentang keganjilan itu kepada para warga.
Namun tak satu pun warga yang mampu menjawabnya. Yang diketahui oleh warga setempat hanya sebatas para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi yang setiap harinya berkunjung adalah datang dari luar kota. Jadi para peziarah memang bukan dari warga tetangga, bukan pula dari warga setempat.
Mengingat Nyai Malinda sudah meninggal pada puluhan tahun yang lalu, ada yang bilang sudah hampir delapan puluh tahunan. Jadi meninggalnya Nyai Malinda sudah seumur manusia. Sehingga sangat sulit untuk mengetahui asal-usulnya. Juga karena warga setempat menganggap hal itu adalah keramat.
Mereka takut menanyakan sesuatu tentang hal yang terkait dengan orang yang sudah mati, sekalipun harus bertanya kepada para peziarah yang bahenol-bahenol itu. Ditambah lagi warga setempat pun tak ada yang tahu tentang sanak saudara ataupun keluarga dari Nyai Malinda. Entah tak ada yang tahu, atau mungkin ada namun tidak ingin mengungkap, atau bahkan di kampung ada yang benar-benar keluarganya tapi tidak mau diketahui.
Ah, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bermunculan. Namun begitulah, semua menjadi wajar-wajar saja dan standar-standar saja ketika warga setempat tak menggubris hal itu. Bagi warga setempat yang terpenting hanyalah mengeruk duit, ketika wisata cuci mata menjadi ladang untuk mengunduh duit. Sudah, segala jabat cerita selesai ketika bertemu dengan yang namanya duit.
Lalu tiba pada suatu hari warga digegerkan oleh berita dari surat kabar lokal, di situ tertuliskan perihal Nyai Malinda. Bahwa ia merupakan seorang mantan pelacur yang telah tobat. Namun warga setempat kala itu tak mau menerima dan mengampuni segala perbuatannya. Kemudian semua itu berangsur-angsur dan warga tetap tidak mau menerima keberadaan Nyai Malinda.
Hingga akhirnya ia mati karena sakit keras. Setelah beberapa tahun kemudian, tempat pemakaman yang digunakan untuk mengebumikan Nyai Malinda tergusur proyek pembangunan pelebaran jalan. Lalu salah seorang pekerja menemukan jasad yang masih utuh dengan kain kafan yang masih putih dan bersih pula. Jasad itu adalah Nyai Malinda.
Hingga selanjutnya makam Nyai Malinda dijadikan sebagai tempat ziarah bagi para pelacur, sampai saat ini. Karena bagi para pelacur yang berkunjung, berziarah ke makam Nyai Malinda adalah wujud untuk mencari berkah dalam melacur. Ungkap wartawan atas pengakuan seorang nenek tua renta yang ternyata tinggal di kampung tersebut. Seorang sepuh yang dulunya juga sempat mengurus pemindahan jasad Nyai Malinda di komplek pemakaman yang sekarang ini. Ya benar, nenek itu juga seorang mantan pelacur. Ungkap salah seorang wartawan surat kabar lokal setempat.***

Semarang, Desember 2015-2019

Senin, 12 Maret 2018

Pengamen Jamaah Jumat (NU Online, 11 Maret 2018)


Pengamen Jamaah Jumat
cerpen Setia Naka Andrian

“Allahumma shalli shalatan kamilatan wa salim salamaan tamman 'ala sayyidinaa Muhammadin alladzi tankhallu bihil-'uqodu wa tanfariju bihil-kurobu wa tuqdho bihi-lkhawa-'iju wa tunaalu bihi-rroghoibu wa khusnul-khowatimi wa yustatsqol-ghomaamu bi wajhihil-karimi wa 'ala alihi washohbihi fi kulli lamkhatin wa nafasin bi 'adadi kulli ma'luumin laka,” begitulah yang ia lantunkan pada setiap jumat-jumat.
Siapa pun pasti hafal bagaimana tubuh perempuan. Undakan yang berkelok, namun bukan semacam sungai. Banyak yang bilang bentuk biola paling cocok untuk mengingatnya. Juga perawakan semampai yang sering diidamkan lelaki sejagad. Lalu bagaimana jika perempuan itu sudah senja. Orang-orang pasti malas meliriknya. Apalagi membayangkan untuk sekadar inspirasi ketika mandi yang biasa dilakukan anak-anak muda saat kesepian.
Begitulah, seseorang yang kini diperbincangkan di kampung kami. Entah kami tak tahu dari mana datangnya perempuan tua yang menebar resah itu. Ia selalu bershalawat pada setiap hari jumat di masjid kampung kami. Bertepatan ketika shalat jumat. Ia selalu melantunkan lagu yang sama, shalawat Nariyah. Itu yang kadang membuat kami gemetar.
Bagi kami ia lah orang paling misterius yang kami jumpai sepanjang hidup. Ia sangat tak terawat. Baju yang dikenakan lusuh dan kumal. Daster yang kebesaran dan terseret ke tanah. Tubuhnya pun seperti sudah kebal dengan panu atau kadas. Walau terkadang kami melihatnya menggaruk-garuk beberapa petak tubuhnya ketika ia sedang bershalawat.
Dasternya sobek-sobek berserakan dan tak khatam menutupi tubuhnya. Rambutnya yang setengah nggimbal terurai. Mencoba menelungkupi payudaranya yang terlihat kendur serta terombang-ambing ke kanan dan kekiri, ketika ia melangkahkan kaki atau sedikit menggerakkan tubuhnya. Payudara yang telah kusam, sangat kotor dan pastinya juga bau. Sungguh menjijikkan. Jika harus mengingat-ingat perempaun tua itu.
Apalagi jika ada seseorang yang sedang makan melihatnya, maka seketika orang itu pasti langsung mengaburkan mata. Bau busuknya menyengat. Barangkali melebihi mayat yang sudah berbulan-bulan mengapung di sungai. Daster yang dikenakan pun dipenuhi kotoran-kotoran. Kami sering menebaknya sebagai kotorannya sendiri yang telah menghitam dan hampir mengering. Nampak semu kekuningan yang membuat kami semakin yakin kalau yang mengotori sekujur baju dan tubuhnya itu adalah kotorannya sendiri. Bau yang bertebaran pun kami begitu akrab. Karena kami setiap pagi juga mengeluarkan kotoran itu. Jadi dengan sendirinya kami hafal aroma itu.
Jika yang melihat sedang hamil, dalam hati langsung mengucap amit-amit jabang bayi. Lalu kalau yang melihat sedang asyik dengan pacarnya, yang perempuan berbisik kepada lelakinya, “Akankah kau masih setia kepadaku bila aku seperti itu?”
***

Sepertinya daster yang dikenakan itu dulunya berwarna putih. Kini sudah berubah warna tanah akibat kotoran hitam kekuningan yang menebar. Kulit pada sekujur tubuhnya pun telah disulap matahari hingga hitam pekat. Payudaranya yang pucat kotor dan mengendur serta terombang-ambing ke kanan-kiri pun seakan menampakkan betapa tergoncang kehidupannya. Sontak, siapa pun yang melihatnya pasti sangat ketakutan, cemas dan begitu resah akibat lengking suara yang dilantunkannya itu. Walaupun itu shalawat Nariyah. Puji-pujian untuk meminta syafaat nabi.
Itulah sebabnya yang terkadang membuat para pengurus masjid, seluruh warga serta para kiai sepuh imam di masjid kami kebingungan setiap kali perempuan tua itu ikut mengisi jamaah jumat, walaupun sekadar di serambinya.
Sudah beberapa bulan ini ia datang pada setiap jumat-jumat. Seluruh warga pun sama sekali tak tahu dari mana asalnya. Entah, barangkali ia diutus Tuhan sebagai perempuan paling tidak seksi di dunia ini, atau apa pun. Kami sulit untuk menebak serta mengira-ira. Setiap malam kami berlarut-larut mendiskusikan bersama seluruh warga, hanya untuk membahas keberadaan perempuan tua itu.
Namun tetap saja tak ada yang banyak tahu tentang fenomena dadakan itu. Walau kami sering berupaya mendatangkan orang-orang hebat secara bergantian tiap diskusi yang kami adakan. Secara bergantian kami hadirkan orang-orang tersohor yang ahli mistik serta orang-orang sakti, hingga ulama-ulama terkenal yang sering muncul di televisi. Kami minta mereka untuk memberi arahan atau apa saja yang setidaknya mampu sedikit mengurangi keresahan kami.
Namun entah, orang-orang hebat yang kami undang dengan sewa yang cukup mahal itu tetap saja tak menyelesaikan. Malah kami sering disuguhi petuah-petuah yang semakin tak terarah. Hingga ujung-ujungnya tetap saja menunjuknya sebatas orang gila saja.
Memang kenyataannya semacam itu. Siapa pun pasti tak jauh menudingnya sebagai orang gila. Namun kenapa setiap hari jumat perempuan itu selalu datang ke masjid dan bershalawat? Kenapa juga yang ia lantunkan adalah shalawat Nariyah?
Siapa pun pasti akan merinding jika mendengarnya meliukkan shalawat tersebut. Terutama bagi warga kami yang sebagian besar muslim. Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang sering beredar ke telinga rumah-rumah.
***

Mbah Kiai Haji Soleh, seorang imam paling sepuh di masjid kami berpendapat. Bahwa sebenarnya tak masalah jika ia tidak melakukannya di masjid. Ia juga tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Namun bila ia mengetuk pintu dari rumah ke rumah pasti malah banyak yang merasa iba. Pasti juga tak sedikit yang merelakan sepiring nasi dan teh hangat untuk diberikannya. Tapi jika dilakukan di masjid, bagaimana warga menanggapinya? Siapa pun pasti akan mengalami keresahan yang sama. Entah itu para pengurus masjid, seluruh warga serta para kiai sepuh pun pasti akan tetap saja mengalami keresahan yang sama seperti halnya yang sedang kami rasakan selama ini.
Lebih-lebih, ada warga yang tak sengaja mengamati perempuan tua itu. Katanya, dari hari ke hari ia semakin mendekati serambi masjid. Dari jumat satu ke jumat berikutnya, ia selalu semakin mendekat. Karena pada mulanya ia berada di luar pintu gerbang. Namun lama kelamaan semakin terus mendekat masuk ke area masjid. Sambil tetap bershalawat dengan satu alat musik yang terbuat dari tumpukan beberapa tutup botol yang dipaku pada sebuah balokan kayu kecil.
Entah alat itu dibuat sendiri atau merampas dari para pengamen yang sering berkeliaran di kampung kami. Sejauh mata kami memandang, barangkali perempuan itu tak ada bedanya dengan pengamen-pengamen liar itu. Namun pastinya lebih mencekam. Lantunan shalawatnya begitu menyayat dan melengking ngeri. Kian hari kami semakin cemas. Segala pertanyaan bercampur dengan isu terpanas saat ini. Tentang datangnya hari kiamat dengan berbagai tanda-tanda yang meraung-raung terkabarkan pada berbagai media. Meledak-ledak di telinga kami.
***

Beberapa bulan kemudian, ketakutan kami semakin menjadi-jadi. Perempuan tua itu kian hari semakin menuju ke area masjid. Hingga kali ini, kami sangat kebingungan dan tak kuasa berbuat apa-apa. Ia masuk satu barisan jamaah shalat jumat di masjid kami. Ia menelusup dengan cepat ketika adzan dikumandangkan untuk menunaikan shalat jumat.
Ketakutan kami semakin meledak. Ia tetap bershalawat ketika kami sudah mulai shalat. Melengkingkan shalawat dengan kondisi tubuh yang terus mengenduskan bau busuk. Kami pun tak kuasa melihat daster dan payudaranya yang sama-sama kedodoran, begitu kumal berwarna hitam kekuningan akibat kotorannya sendiri. Kami jijik bercampur merasa tak enak sendiri, ketika harus shalat dengan terpaksa melihat payudara kendur yang kotor bergelantungan terombang-ambing ke kanan-kiri.
Kami semakin tak kusyuk berserah kepada Tuhan. Gurauan anak-anak kecil pun serentak mengumpat dengan semangat, “Orang gila! Orang gila!”
Pikiran kami melayang kemana-mana. Ketakutan bercampur kecemasan serta keresahan yang begitu dalam. Barangkali tak terlukiskan melalui doa apa pun. Suasana menjadi ricuh. Kami semakin sulit memusatkan pendengaran untuk khidmad tertuju imam atau suara lengkingan shalawat perempuan itu. Juga hidung kami sangat terganggu, ketika bau busuk benar-benar menebar ke seluruh penjuru masjid. Hingga parfum wangi yang kami kenakan tak mampu berkutik untuk sekadar barang sesaat menyegarkan hidung pemakainya sendiri.
***

Kami beserta seluruh warga berkumpul. Mengundang semua ustadz dan kiai sepuh di kampung kami untuk membantu menyelesaikan masalah yang tidak bisa dianggap ringan ini. Kami juga terpaksa mengundang para santri dari warga kami yang telah malang melintang menimba ilmu di kota-kota santri seluruh penjuru negeri ini. Melalui orangtuanya masing-masing, mereka disuruh pulang secara paksa. Entah mereka akan pulang naik pesawat atau unta. Yang pasti kami sangat berharap jika dalam diskusi nanti mereka sudah datang.
Ketika diskusi hampir dimulai, tepat pukul sepuluh malam. Mereka, para santri telah tepat waktu untuk ikut bermusyawarah. Kebetulan kami selenggarakan di halaman masjid tempat tragedi perempuan tua itu terjadi.
Kami berunding sangat panas. Hingga dini hari kami belum juga menemukan jalan keluar. Kami sempat putus asa untuk menanggulangi kehadiran perempuan tua itu. Namun kemudian ada warga yang nyeletuk, “Bagaimana kalau masjid dipindah saja? Kita bongkar dan dibangun lagi di tempat lain.”
Akhirnya seluruh warga menyetujui ide dari salah seorang warga kami. Semua sepakat, termasuk para pengurus masjid, para santri, serta seluruh kiai sepuh yang menjadi imam di masjid kami.
***

Keesokan harinya, kami membongkar dan memindahkan masjid sesuai kesepakatan musyawarah malam itu. Kami mengevakuasi masjid beserta seisinya. Kami gunakan kembali barang-barang yang masih layak pakai, dan kami tinggalkan jika sudah tidak layak. Untungnya bahan-bahan pokok bangunan, batu-batu pondasi dan batu bata masih dapat kami gunakan kembali. Termasuk juga keramik yang masih dapat kami bongkar, dan hanya sedikit saja yang pecah ketika kami congkel satu persatu.
***

Pada suatu jumat, masjid sederhana telah dapat kami gunakan untuk kembali berjamaah. Walau masih belum sempurna jadi, namun sudah dapat kami naungi untuk beribadah. Masjid yang kelak akan menjadi sejarah tersendiri bagi anak dan cucu kami.
Seusai jumatan, kami merasa suasana semakin pagi. Hari begitu cerah. Secara tidak sengaja kami bersama-sama berjalan menuju area masjid yang lama. Kaki kami seakan memutar sendiri untuk menyambangi tempat bersejarah itu. Semua serentak mengikuti. Karena bagaimanapun inilah hari jumat pertama kami berjamaah shalat jumat di masjid yang baru saja kami pindahkan.
Selepas sampai di depan area masjid lama, kami melihat perempuan tua itu berdiri tepat pada titik yang dulu digunakan sebagai tempat imam memimpin jamaah. Ia berdiri tegak. Tetap mengumandangankan shalawat. Namun kali ini jauh lebih melengking dari sebelumnya.***

Sanggargema, Juli 2015