Senin, 06 Januari 2020

Tubuh Identitas di Jagat Kanvas

Tubuh Identitas di Jagat Kanvas
Oleh Setia Naka Andrian



Sore itu, 16 September 2018, selepas memarkir motor dan tiba di Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal, saya mencoba melangkahkan kaki pelan-pelan menuju ruang pameran bertajuk Identity yang digarap Sanggar Lontong Opor (SLOP) Kendal. Sungguh kali itu saya begitu deg-degan (berdebar) bercampur perasaan bahagia tak terkira yang begitu aneh dan lain-lain, ketika menghadiri pameran yang digawangi SLOP Kendal selama 15 hingga 21 September 2018. Bahkan saking bahagianya, saya dengan sengaja berniat untuk tidak mengikuti prosesi pembukaan pamerannya. Saya sengaja, agar setidaknya saya lebih leluasa hinggapi ruang pameran saat dibenamkan sunyi. Merayakan kebahagiaan yang hakiki, paling tidak, ini hiburan tersendiri bagi penenun estetika kota kecil seperti saya ini. Kehadiran saya pada hari selanjutnya di pameran tersebut pun sempat pada pagi hari yang sangat pagi. Saat beberapa teman yang bermalam di gedung BKR Kendal masih terlelap dalam lelah, selepas menggenjot acara pembukaan dan meladeni tamu di hari pertama pameran.
Entah disebut laku macam apa ini, hanya saja, saya hendak berupaya menemukan diri saya, diri di sekitar saya, serta diri khalayak dalam pameran yang ditawarkan SLOP Kendal tersebut. Dengan tanpa campur tangan godaan prosesi pembukaan pameran, siapa pemberi sambutan dan siapa yang membuka pameran, atau iming-iming apa saja yang memungkinkan dijatuhkan di dalamnya. Yang pasti, saya sepenuhnya ingin digoda oleh karya-karya hasil ciptaan 13 perupa yang menyuguhkan karyanya. Karya-karya ciptanya saja, bahkan tidak pula untuk godaan-godaan lain yang dimungkinkan akan muncul dari para perupanya. Menyambut pameran ini, bagi saya, setidaknya tentu tak lain karena ini pameran kali pertama yang terselenggara di BKR Kendal dalam dua tahun ke belakang ini. Saat dua tahun ini memang di BKR Kendal telah cukup riuh diramaikan beberapa aktivitas kesenian, baik dari teater, musik, sastra, film, tari, dan lainnya. Kehadiran pameran tersebut seakan menjadi oase tersendiri bagi khazanah jagat estetika di kota kecil serupa Kendal.
Dua tahun belakangan, baru kali ini pameran seni rupa hinggapi BKR. Maka sungguh, saya pribadi, dan tentu saya yakin tidak sedikit yang lain pun turut bahagia menyambut pameran ini. Meski, secara entah kebetulan atau tidak, bahwasanya pameran SLOP Kendal ini merupakan pameran kali pertama yang diselenggarakan kelompoknya, selama berdiri pada 29 Juni 2017. Meski sempat disampaikan oleh seorang pegiat, bahwa SLOP ini merupakan hasil “bermetamorfosart” (baca: istilah dari Dante, pegiat SLOP) dari Kendal Sketcher yang tentu sudah sempat berproses kreatif jauh lebih lama sebelumnya. Saat saya memasuki ruang pameran, sontak mata saya langsung tergoda, tak bisa mengelak untuk menerobos hingga sudut ruang pameran, dalam tampilan karya yang dipajang memutar melingkupi dinding gedung persegi panjang dari BKR Kendal tersebut. Karya yang menggoda mata saya kali pertama adalah lukisan karya M. Ghilmanul Faton yang ia beri titel Destruction, (2018, Acrylic on Canvas, 80 x 65 sentimeter).
Mata dan batin saya dijatuhkan berkali-kali untuk khidmat dalam perjalanan imajinasi tak terduga yang entah akan dibawa ke mana. Bahkan, Ghilman seakan menjerumuskan saya dalam dimensi waktu yang tak menentu, mana mula, mana muaranya. Namun, tentu segala itu tak disuguhkan Ghilman dengan semena-mena. Ia tetap memberikan tawaran atas jalan-jalan terbaik untuk para penikmat yang sedang berasyik-masyuk menyibak karyanya. Ghilman berbaik hati, menciptakan banyak pintu yang dapat segera dipenuh-sesaki mata dan batin penikmat karyanya. Meski, Ghilman mengusung karyanya dalam gerbong surealisme. Ia menjatuhkan bergelimang persoalan di sekitar perusakan, pemusnahan, penghancuran, pembinasaan, dalam jagat kanvasnya. Ia seakan khusyuk menekuri ragam peristiwa yang dikabarkan begitu tegas. Ia menyerukan berita-berita penghancuran “identitas” manusia dalam sebuah “surat kabar” penuh warna “lubang interpretasi”.
Selanjutnya, mata saya digoda dengan kehadiran lukisan Tak Ada Kuda Troya di Tanah Hijau karya Moch. Taufiqurrohman (2018, Acrylic on Canvas, 65 x 60 sentimeter). Dari karya tersebut, Taufiq hendak menyuarakan dan membangun keyakinan kepada khalayak, bahwa Indonesia (Tanah Hijau) ini tak akan pernah menemui kisah yang serupa dengan kisah Kuda Troya di Yunani. Ketika orang-orang Yunani hendak memasuki kota Troya dan memenangkan peperangan. Taufiq telah menawarkan “kesegaran” gagasan yang dijatuhkan dalam jagat “dominasi” hijau. Taufiq seakan mengajak khalayak yakin, dan lekas membenamkan imajinasi masyarakat tentang Indonesia yang akan bubar. Meski dapat kita simak, berbagai persoalan ekonomi, politik, sosial telah muncul di mana-mana. Bahkan persoalan sangat seksi yang berkait-paut dengan agama. Namun tidak, segalanya akan tetap baik-baik saja. Indonesia kaya segalanya, bangsa ini sanggup mengatasinya!
Berikutnya, ada godaan lagi yang dihadirkan dalam jagat estetika A. M. Dante dalam titel Mencuri Dengar (2018, Acrylic on Canvas, 100 x 80 sentimeter). Dante di situ menyajikan sebuah kegelisahan yang ia tangkap di sekitarnya. Terkait peristiwa-peristiwa kekinian yang, misalnya bertebaran di jagat media sosial. Orang-orang seakan ada saja alasan untuk selalu ingin tahu tentang apa saja yang dialami, dilakukan, atau yang mengidap pada diri lain. Apalagi tentang segala sesuatu yang beraroma tak sedap tentang seseorang. Pastilah akan menjadi tranding topic di media sosial, dengan tanda pagar (tanda #) paling ramai digunjing, disimak, dan dibagikan orang-orang.
Meski dari karya Dante tersebut digulirkan dalam jagat kanvasnya dengan cukup sederhana dan bernuansa paradoksal. Ia hadirkan dengan sosok muda yang sedang “mencuri dengar” melalui sebuah kaleng makanan instan yang ditempel rapat di telinga kiri. Dari tawaran Dante tersebut, seakan mengguyur mata dan batin khalayak yang telah khidmat menyimak karyanya, agar setidaknya turut serta mengamini atas segala fenomena itu. Perihal betapa berharganya waktu yang diberikan Tuhan kepada kita, setiap harinya, setiap jamnya, setiap menit dan setiap detiknya. Lantas, apakah segala itu hanya akan kita habiskan untuk mengintai diri-diri lain di sekitar kita, dan kita ikut-ikutan untuk mencatat segala yang beraroma tak sedap? Lalu kita mencari celah untuk menyalahkannya, menghujatnya, menjatuhkannya? Dante seakan mengajak kita untuk kembali melihat diri kita, melihat kekurangan kita, dan tentu selanjutnya yang harus kita lakukan adalah melihat kelebihan diri lain di sekitar kita. Bukan melihat kekurangannya!
Tiga karya tersebut, setidaknya telah menjadi pijakan tersendiri (setidaknya) bagi saya, untuk selanjutnya memasuki karya-karya lainnya. Meski, saya pun tak bisa mengelak, bahwasanya 11 karya lain (dari 10 perupa, dikarenakan ada seorang perupa yang menyajikan dua karya dalam pameran) turut serta menopang “identitas” yang ditawarkan SLOP Kendal dalam pamerannya. B. Pecut Sumantri dalam Political Game (2017, Acrylic on Canvas, 50 x 40 sentimeter); Didung Putra Pamungkas dalam Petak Umpet (2017, Acrylic, Marker on Canvas, 100 x 100 sentimeter); Maghfur Jazil dalam Tirto Kahuripan (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Nanang Arifuddin dalam Penghuni Ruang Cinta (2018, Charocal Powder on Canvas, 90 x 70 sentimeter); Ali Ahmad Murtadho dalam Bertaruh (2018, Acrylic, Pastel on Canvas, 100 x 90 sentimeter); Saufit Anam dalam Confidence (2018, Acrylic on Canvas, 80 x 60 sentimeter); Lutfi Haidani Akhsan dalam Blackletter Freestyle (2018, Pigment Mixmedia on Canvas, 80 x 60 sentimeter); M. Rifqi Mubarok dalam Save Me (2018, Acrylic, Ballpoint, White Market on Canvas, 120 x 80 sentimeter); Hendriyanto PSK dalam Still Life (2018, Oil on Canvas, 45 x 60 sentimeter); dan Sukirno dalam Wanita dan Bunga Kerta (2018, Oil on Canvas, 80 x 60 sentimeter) serta Seikat Seruni (2018, Oil and Marker on Canvas, 80 x 60 sentimeter).
Segala identitas yang ditawarkan para perupa telah disambut hangat oleh mata dan batin khalayak. Mereka telah mutlak menghadirkan tubuh-tubuh identitas dalam karya-karyanya. Tubuh-tubuh identitas yang tak hanya bergulir dari dalam diri para perupa semata. Namun telah begitu rupa hinggap pada identitas lain, yang sepenuhnya hadir dalam tubuh-tubuh identitas yang baru. Tubuh-tubuh identitas yang dibawa oleh “kepala” politik, “leher” ekonomi, “tangan” sosial, “dada” agama, “jari-jari” kemanusiaan, dan lainnya. Dari segala itu, selanjutnya berhamburanlah identitas yang dirombak, identitas yang (barangkali) tak dikehendaki oleh mata dan batin kita sekalipun seakan telah turut serta dihadirkan dalam karya-karya dalam pameran tersebut. Dan perlu dicatat, segala itu dijatuhkan para perupa SLOP Kendal di jagat kanvas dengan tidak semena-mena!***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa aktivitas lain yang masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti melalui nomor ponsel (WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan beberapa media sosial yang dikelolanya.



























Tidak ada komentar: