Minggu, 19 Juli 2020

Yang Selalu Ada dalam Ingatan dan Keabadian


Yang Selalu Ada dalam Ingatan dan Keabadian
Oleh Setia Naka Andrian


Perjumpaan awal dengan Sapardi Djoko Damono adalah pada obrolan buku puisinya Kolam (Editum, 2009) di Semarang, Juni 2010. Dari buku itu, saya jatuh hati dan menjatuhkan diri berkali-kali pada puisi berjudul Bayangkan Seandainya. Berikut puisinya, /Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu yang menggoda burung itu untuk hinggap di lengannya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini wajahmu sendiri yang itu-itu juga, yang tak kunjung habis meski telah kaukupas dengan ganas selembar demi selembar setiap hari./
Pada Februari 2019, sepuluh tahun kemudian, saya dapat bersua dengannya di Institut Kesenian Jakarta yang berada di Jalan Cikini Raya itu. Dua kali perjumpaan pada hari-hari yang tak berjauhan di bulan Februari itu. Ya, tujuan awal menemuinya dikarenakan kepentingan untuk meminta rekomendasi melanjutkan studi. Kala itu saya berencana berkuliah di salah satu universitas di Depok. Saya mendapatkan nomor ponsel Sapardi Djoko Damono dari seorang teman sejak masa kuliah yang jago baca puisi dan bermain teater, yang saat ini bekerja sebagai wartawan dan ia menetap di Jakarta.
Saya menyimpan nomor ponselnya, selepas beberapa detik saya simpan, muncul akun WhatsApp dari nomor tersebut. Nampaklah gambar diri yang khas dengan topi pet dan berkaca mata. Sudah pasti ini benar nomornya, tak salah lagi. Dengan segera saya mengetik pesan singkat dengan begitu cermat dan hati-hati. Pesan yang berisi perkenalan dan menyampaikan maksud saya menghubunginya. Pesan singkat yang tak panjang tetapi tak pendek juga menghampirinya. Sekitar beberapa menit kemudian, dibalaslah pesan singkat saya tersebut.
Saya deg-degan, berdebar tak karuan selepas mendapati balasan pesan singkat darinya. Bagaimana tidak, tokoh besar bernama Sapardi Djoko Damono yang begitu moncer dalam kerja akademik dan kerja proses kreatif itu telah membalas pesan singkat saya yang bukan siapa-siapa. Bagaimana tidak, ia profesor sastra di sebuah universitas terbaik di negeri ini, pun profesor dalam penulisan karya kreatif. Sosok muda mana yang tak mengaguminya dan tak ingin bercita-cita menjadi seperti dirinya? Terutama bagi siapa saja yang berkuliah di program studi bernapas sastra.
Saya ingat, kala itu ia tak hanya membalas seadanya, tetapi telah disambutnya dengan sangat baik pula pesan saya. Tentunya, ia juga berkenan untuk lekas saya temui. Ia meminta saya menemui di IKJ. Tak menunggu lama, saya langsung bergegas mencari tiket kereta api untuk mengatur jadwal keberangkatan menuju Jakarta esok harinya.
Saat tiba di IKJ yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki, saya langsung menuju ruang dosen pascasarjana IKJ di mana Sapardi Djoko Damono berada, selepas ditunjukkan arah ruangnya oleh seorang satpam. Saya duduk di kursi antrian. Saya beruntung, sebab saya hanya menunggu urutan dari seorang mahasiswa saja yang sedang bimbingan, saya yakin sedang bimbingan tugas akhir (tesis). Nyaris hampir satu jam saya menanti di ruang tunggu, tepat di hadapan ruang tempat Sapardi Djoko Damono sedang memberikan bimbingan dengan begitu sabar dan santun. Penuh balutan tawa lepas pula saat ia membimbing mahasiswa tersebut. Saya melihat dan mendengar langsung, bagaimana gerak tubuh dan raut mukanya kala itu.
Selepas usai membimbing, ia keluar dari ruang dan langsung paham jika saya menunggunya. Kami berbincang di kursi tunggu di depan bilik-bilik ruang dosen, tempat saya menunggu hampir satu jam. Namun waktu tunggu saya rasa begitu cepat, bahkan saya seakan tak cukup waktu untuk menyiapkan dengan matang mengenai apa saja yang hendak saya sampaikan kepadanya. Saya pun kembali berdebar tak karuan, seperti halnya seorang pencari kerja yang sedang mau diwawancarai oleh pimpinan di sebuah tempat kerja.
Namun ternyata, ia menyambut saya dengan baik dan santun. Berbalut tawa lepas pula seperti yang saya lihat sebelumnya saat membimbing mahasiswanya. Ia menanyakan kabar dan dari mana asal (rumah tinggal) saya, serta beberapa perkenalan kecil lain. Kemudian, saya pun kembali menyampaikan maksud seperti yang sudah saya sampaikan di pesan melalui WhatsApp.
Sapardi Djoko Damono menyambut baik maksud saya. Ia pun bersedia memberikan rekomendasi kepada saya, sambil ia nampak melihat berkas-berkas yang saya bawa serta beberapa buku puisi yang saya terbitkan. Dengan penuh deg-degan dan perasaan tak karuan pun saya beranikan untuk memberikan beberapa buku puisi tersebut kepada Sapardi Djoko Damono. Ia membaca dan membuka beberapa bagian. Itu perjumpaan kali pertama, kemudian berlanjut pada perjumpaan kedua selang beberapa hari sembari ia melihat berkas-berkas yang saya berikan untuk mengisi rekomendasi.
Tak ada yang kurang dari perjumpaan kedua, bahkan saya merasa ia kian akrab menyambut kehadiran saya, seperti telah saling kenal lama. Beberapa wejangan pun meluncur dan saya terima dengan sebaik-baiknya. Batin saya kala itu, kapan lagi saya mendapati momentum empat mata dalam waktu nyaris satu jam setiap pertemuannya. Seperti hitungan waktu yang saya lihat saat ia membimbing mahasiswanya. Selepas kembali berbincang dan ia memberikan rekomendasi kepada saya, tak lama kemudian saya pamit. Ia berpesan, terus semangat beproses dan semoga selalu mendapat jalan terbaik.
Namun kini, Sapardi Djoko Damono telah berpulang. Nomor WhatsApp terakhir dilihat pada Jumat, 15.26 WIB. Tepat dua hari yang lalu. Saya ingat, terakhir kali saya menghubunginya adalah ketika mengucapkan ulang tahun yang ke-80 pada tahun ini. Tak kusangka, ternyata itu ucapan terakhir yang saya kirim langsung kepada penyair besar Sapardi Djoko Damono.
Padahal sempat suatu ketika saya berniat untuk meminta alamat surat elektroniknya dan mengirimkan puisi-puisi saya untuk diberi komentar. Sebab sempat saya tahu, ada salah seorang penyair muda yang mengirim puisi-puisinya melalui surat elektronik. Ia membalas dan memberikan komentar sangat panjang. Penyair muda itu sontak sangat kaget dan tentu sangat bersyukur mendapatkan komentar panjang atas puisi-puisi yang ditulisnya.
Namun pasti, akan saya kirim puisi-puisi menuju surga keabadianmu di sana. Semoga kau membalas kembali dan memberi komentar atas puisi-puisi yang tak kunjung bagus-bagus juga yang telah saya kirimkan itu. Selamat jalan Sapardi Djoko Damono, karya-karyamu akan selalu abadi di benak dan batin kami. Saya yakin, kau tak akan tersesat dalam menziarahi keabadianmu di sana. Seperti dalam penggalan puisimu dalam buku puisi Babat Batu berjudul Ziarah Batu berikut. /Kami memutuskan untuk memulai ziarah/ menjenguk perigi dekat gua/ meski air di sana tidak lagi/ memantulkan wajah kami// kami sudah menguasai peta hari ini/ tak akan tersesat ke kanan atau ke kiri/[]

— Setia Naka Andrian, pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Selasa, 21 April 2020

Puisi Setia Naka Andrian (Ideide.id, 21 April 2020)


Sudah Berapa Jam Lalu

Sudah berapa jam lalu,
kau tumbuh di atas punggungku
Kau menikam banyak rindu
Yang ditanam pelan
di antara catatan yang lupa
Ditanam di jalan-jalan
Menuju ketiadaanmu

Sudah berapa jam lalu,
kau telah memilih tak megunjungiku
Kau bilang,
“Sudahlah, jangan cemas
Aku telah tumbang
dalam sekejap waktu
Selepas segalamu tumbuh
di punggungku”

Demikianlah kau,
yang menjadikan kami kikir
Yang membiarkan segenap rakyatmu
terlampau fakir
untuk menentukan segala iman

Masa itu, kau begitu rupa
bergegas berlari
Jika pagi datang
dengan berjingkat begitu tinggi
Jika pagi mendesakmu
agar mengangkat lagi
kedua kaki setinggi-tinggi

Kendal, April 2018


Nama-Nama yang Berlalu

Dalam segala nama mereka
Telah disebutkan nama-namamu
yang berlalu
Doa-doa yang telah lama
tanggal di batu-batu.

Dalam segenap raga mereka
Nama-nama kerap digiring dari segala duka
Setiap pagi menyala, siapa saja melihatmu
Mengapung di sungai-sungai panjang
yang sering memilih berubah pikiran
Untuk menemukan muara yang lengang

Lihatlah, nama-nama baik telah berlalu
Doa-doa dengan napas tinggi
lebih memilih singgah
dan menggantung huruf-huruf vokalnya
Di setiap nada yang mengembang di udara
Saat setiap orang telah bergegas lari
Mendirikan badan lain,
sebelum segalanya tumbang
Menjatuhkan banyak hal di luar segala
yang tak lagi dikehendaki

Dalam segala nama-nama yang berucap
Dan dibiarkan mengembang di udara
Maka bergeletakanlah nama-nama kecilmu
di antara tubuh mereka
Sejauh mata yang telanjang
Sejauh kegagalan tumbang
di sebelah ragamu sendiri

Dan sejak saat itu, segala nama telah berlalu
Tumbang di segala arah
yang urung menunjuk kematian tubuhmu

Kendal, April 2018


Pada Mata yang Tak Lagi Retak

Pada mata yang tak lagi retak,
pada alis yang tak sempat bercabang
Kau telah mengirim kami
Dalam kedatangan yang berulang-ulang
Dan kau diam-diam
telah mengunjungi banyak risau
dalam kegundahan

Pada mata yang tak lagi retak,
Pada segala cahaya yang berlalu-lalang
Meninggalkan diri kita
Di antara segenap hujan
yang gagal menidurkanmu

Pada mata yang tak lagi retak,
Kau kembali kepada kami
Yang tiada pernah tega
Menggerakkan mata sendiri
Kau menatapi kami diam-diam
yang tak kunjung matang

Pada mata yang tak lagi retak,
pada hidung yang mencium sedalam-dalam
Kau berjalan mengunjungi kami
Kau berkata dengan pelan,
“Sudah saatnya kami menenangkan batin
dan ragamu
Yang kerap tanggal di pematang
Yang kerap berlinang
saat terik di dada tak kunjung
melambaikan tangan,”

“Pada mata yang tak lagi retak,
Pada segala yang sedang malas berkemarau
Mereka yang sekian kali menabur hujan
yang tak sempat reda,
memanjakan ketiadaan di setiap gerak luka,”

Pada mata yang tak lagi retak,
Semua memanas, membakar televisi, radio, dan koran
Semua hangus, kecuali bibir-bibir yang berdesakan
menempel di media sosial

Kendal, April 2018


Musim

Musim telah matang
Ia mengejar hujan
yang sering absen datang

Di balik telapak tangannya
yang kapalan,
musim sering menggerutu
menyaksikan banyak hutan panas
yang sering salah jadwal kunjungan
Melupakanmu, melupakan desa
dan kampung halamanmu

Kendal, April 2018


Hari Sudah Pagi

Hari sudah pagi
Sudah saatnya kita bergegas pergi
Sudahlah, tak ada lagi
yang menyegarkan matamu
Semuanya penuh lika-liku,
membakarmu,
Mengumpat segala celamu

Lihatlah di luar,
bala tentara sudah menunggu,
Berbaris pasukan berkuda
Siap mengawal dari segala udara
Dari segala napas
yang kerap mendengkur duluan

Hari sudah pagi,
Kau akan segera diajak pergi
Kepada segala yang memacu jejak
Saat orang-orang masih direkam
Dalam segala cara cepat
Untuk bergegas meruntuhkan

Kendal, April 2018


Bacakan Kepada Kami

Bacakanlah kepada kami
Ribuan angka yang jatuh
di luar kepala

Bacakanlah kepada kami
Jutaan purnama kesembilan
yang tanggal
sebelum menunda akhirnya

Bacakanlah kepada kami
Kepada segala bibir
yang tumbuh di luar suara
Kepada segala umpatan
yang menempel
di dinding-dinding kening
dan dadamu
yang kian hari
kian saling melambaikan tangan

Kendal, April 2018


Bahasa Ingin Lelap Tidur

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah kangen bertemu ibunya
Dalam tidur,
Dalam mimpi
yang katanya sudah bolong-bolong

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah lupa rasanya tamasya
Saat mengunjungi ragam warna
dan makna
Yang kian bertebaran, diciptakan
di sembarang dinding kamus-kamusmu
yang terbakar

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah ingin menjadi sore hari
Ingin bergegas jadi waktu senyap
Yang memilih mengerami
segala kesunyian

Bahasa ingin lelap tidur
Ia merasa sudah cukup tua
untuk mengenang masa muda
yang tanggal berkali-kali di jendela

Bahasa ingin lelap tidur
Ia ingin sowan kepada para leluhurnya
Yang kabarnya, sudah tak lagi tinggal
di jendela-jendala

Kendal, April 2018


Bergegaslah Menyelam

Bergegaslah, Sayang
Bergegaslah menyelam
Dasar laut hampir tutup
Tiketmu tinggal sepenggal angin

Bergegaslah Sayang
Bergegaslah menyelam
Hari sudah hampir lepas,
pantai telah bergerak
meninggalkan segala panas

Lihat, di sana rumahmu
Yang menawarkan segenap keretakan
Bersama doa yang sedang asyik kabur
Ia telah lama menanam diri
Di atas sana, saat kami telah libur panjang
Saat segalanya telah memilih tunai duluan

Kendal, April 2018


Berjalan ke Utara

Kami lah yang berjalan ke utara itu
Kami lah pencari ladang
Yang kerap tak sempat mengaliri diri
Dengan beragam aroma bunga
Atau apa saja,
selain dari napas-napas panjangmu

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Kami lah pejinak pematang
Yang kerap tak kunjung habiskan
cara berupa-rupa
Kami tak tahu, kapan akan menemukan
Segala ubi-ubian, jagung, atau apa saja
Yang leluasa menggerakkan tubuh

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Yang berjalan dan tak berani
diam-diam menilai segala ketiadaanmu

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Yang hanya mencoba menembus
Segala lubang sela-sela jari kaki
untuk menghamburkan segala rupa
Untuk selalu tunduk, dan berlutut
Di bawah nama-nama keajaibanmu

Kendal, April 2018


Berat Duka

Sudah berapa berat duka
yang ditumbuhi peluru
Sudah berapa berat suka
Ditumbuhi malu

Kami enggan bertapa lagi
Lereng gunung tak lagi asyik
Untuk menyembunyikan kekalahanmu

Sudah berapa berat duka
yang segalanya telah luput
Memikul doa kami yang kerap runtuh
Enggan memilah puncak mana
Yang pertama akan ditempuh

Sudah berapa berat duka
Yang tak lagi bisa berbuat apa-apa    
Kami kian hari seakan kian
membunuh masa depan kami sendiri

Kami sudah tak begitu akrab
Dengan duka-dukamu
Maka bergegaslah kami,
Menuju segala ketiadaan itu
Kami berlarian, menembus segala
yang tak pernah kami temukan
Dalam sekelebat nyawa
Yang diam-diam kerap mengunjungi
duka-duka itu

Kendal, April 2018


Sumber: https://ideide.id/puisi-setia-naka-andrian-2.html

Sabtu, 18 April 2020

Pagebluk dan Telur Naga Merah (Cendananews, 18 April 2020)


Pagebluk dan Telur Naga Merah
cerpen Setia Naka Andrian

Kampung tiba-tiba digegerkan kabar tentang telur yang bisa menangkal pagebluk. Desas-desus itu beredar luas. Selepas hampir tiga bulan ini virus mematikan menebar di seluruh dunia, hingga sampai di sebuah kampung terpencil yang cukup jauh dari kota.
"Kamu tahu tentang kabar telur yang manjur itu, Sul?" Tanya penasaran Sutanto Aji kepada Samsul Maarif di sebuah angkringan.
"Sepenuhnya tahu sih, tidak. Hanya kabar-kabar yang berseliweran saja. Itu pun hanya sepenggal-penggal saja. Sepertinya kabar-kabar itu kerap disampaikan dengan tidak lengkap. Tidak saya terima gamblang. Malah semakin membingungkan saja." Jawab Samsul sambil sesekali menyeruput kopi panas dari tangan kirinya. Lalu mengisap dalam-dalam keretek yang dijepit dari dua jari tangan kanannya.
"Namun saya sebenarny­­a heran, Sul. Kenapa seluruh warga percaya begitu saja." Ucap Aji dengan begitu entengnya, sambil ia menikmati gorengan yang baru saja diangkat dari wajan.
"Kenapa bisa begitu, Ji?" Samsul jadi penasaran. Ditatapnya lekat mata Aji.
"Mau bagaimana, Sul. Coba kita yang sudah hidup di tahun 2020 ini agak logis. Bagaimana bisa pagebluk ini akan berakhir begitu saja, hanya dengan sebutir telur itu? Kita tahu kan, Sul. Italia, Sul. Italia saja kesusahan menghadapi pagebluk ini.” Kian serius menyampaikan pendapatnya. Meski dengan penuh tekanan, namun suara kian diperlambat. Takut jika sampai didengar orang. “Negara-negara di Eropa yang sudah sangat maju juga susah mengusir virus mematikan ini. Seluruh dunia pusing."

Udara dingin menyergap sekujur gerobak angkringan itu. Samsul diam. Namun tetap tak berhenti menyeruput kopi pahitnya yang kian dingin. Asap dihembuskan dari mulut dan hidungnya dengan penuh kelegaan. Meski matanya seakan menerawang jauh. Entah ke mana. Aji dan Samsul duduk bersebelahan. Di sebuah kursi kayu panjang, tepat di depan gerobak angkringan.
"Mas Aji, Mas Samsul. Maaf ya, saya tadi tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Diam-diam saat saya mengurus gorengan, kisah yang kalian bicarakan turut mengusik saya. Namun saya diam saja. Sebab takut juga kalau ikut berkomentar." Tutur Pak Ahyar, pemilik angkringan yang begitu lugu dan dikenal baik hati itu.
"Lho, takut kenapa, Pak?" Aji penasaran.
"Ya, kenapa bisa takut, Pak?" Samsul turut tanya.
“Sebentar, ya. Saya sambil mengemasi dagangan dulu. Hari sudah larut. Sebentar lagi hujan sepertinya juga akan turun.”

Aji dan Samsul kian penasaran. Mereka nampak tak sabar ingin mendengar penjelasan Pak Ahyar yang sedang berkemas memberesi dagangannya. Meski usianya sudah setengah abad lebih, namun ia masih nampak segar menjalani hari-harinya dengan berjualan hingga larut malam. Hampir setiap malam ia membuka angkringannya. Meski telah ada edaran dari pemerintah agar warung-warung ditutup. Termasuk terkait pembatasan kerumunan. Namun kampung ini cukup jauh dari pusat kota. Orang-orang keras kepala sesekali masih keluyuran. Meski sekadar untuk cari angin dan minum kopi di angkringan. Termasuk anak muda semacam Aji dan Samsul.
Angin dingin menyambar kian kencang. Langit nampak mendung, kian gelap. Aji menarik risleting jaketnya hingga leher. Samsul membetulkan dan mengencangkan gulungan sarungnya mengitari leher. Gemuruh guntur sesekali memecah suara angin yang menampari daun-daun pepohonan. Sudut perempatan jalan tempat gerobak angkringan itu memangkal pun tak ditemui orang lain selain mereka.

“Begini, Mas Aji, Mas Samsul.” Pak Ahyar mendekati kedua anak muda itu. Sontak Aji dan Samsul memberinya tempat untuk duduk bersebelahan. Keduanya antusias pasang telinga untuk lekas menadah apa saja yang akan keluar dari mulut Pak Ahyar. “Waktu itu, tengah malam hampir serupa ini. Hanya saja saat itu langit cerah. Tidak sedang hampir hujan seperti sekarang. Pak Lurah dan Ki Mahmud mampir di angkringan ini. Mereka pesan kopi panas.”
“Wah, Pak Lurah dan Ki Mahmud mau apa tengah malam mampir ke sini, Pak?” Samsul makin penasaran, hingga ia menunda niat untuk menyalakan kembali kereteknya yang baru saja mati. Aji mengangguk, memberi penguatan. Kedua mata mereka metatap ketat ke arah Pak Ahyar.
“Ada pembicaraan yang tak sengaja saya dengar malam itu. Sama persis seperti malam ini yang saya dengar dari kalian. Saya ingat, saat saya mendengar itu, tentu sebelum kabar telur itu gempar di kampung ini. Kalau tidak salah, baru satu minggu kemudian desas-desus tentang telur ini merebak ke mana-mana.” Aji dan Samsul kian khidmat. Seakan tidak ingin sepatah kata pun yang meluncur dari mulut Pak Ahyar tak tertangkap telinga mereka.
“Pak Lurah bicara sangat pelan kepada Ki Mahmud. Nampak sangat berhati-hati sekali. Seakan takut jika saya mendengar. Pak Lurah meminta tolong kepada Ki Mahmud, agar ia mau memberi petunjuk untuk menangkal pagebluk yang sedang merebak ini. Awalnya Ki Mahmud bernada menolak halus.”
“Wah, kenapa sampai menolak, Pak? Bukankah Ki Mahmud itu orang pintar yang terkenal sangat suka membantu siapa saja?” Dengan masih penuh penasaran, cerocos Samsul memutus pembicaraan Pak Ahyar begitu saja.
“Sebentar, sabar. Pasti saya lanjutkan.” Pak Ahyar sambil melihat sisi kanan dan kiri, meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang mengintai pembicaraan mereka. Aji dan Samsul pun turut serta memantau. “Namun Pak Lurah memohon dengan sangat, bahwa semua demi kemaslahatan. Lalu akhirnya Ki Mahmud menyampaikan sesuatu kepada Pak Lurah. Ia menyampaikan mengenai telur naga merah itu.”
Aji menyergah, “Lantas bagaimana dengan telur itu, Pak?” Samsul mengangguk, memberi penguatan.
“Ki Mahmud bilang, kalau telur naga merah diyakini bisa menangkal pagebluk yang sudah tiga bulanan ini meresahkan warga dunia. Termasuk di kampung kita ini.”
Samsul menyerobot, “Telur itu bisa didapat di mana, Pak? Sebab yang beredar selama ini, semua simpang siur.”
Aji turut bicara, “Ya, benar, Pak. Ada yang bilang telur itu bisa didapat di bawah rumah Ki Mahmud. Setelah menggali lima meter tepat di bawah pintu rumahnya.”
“Ada lagi yang bilang jika telur itu bisa ditemukan di dasar Sungai Waru. Terus ada juga yang bilang jika telur itu akan keluar dari perut seorang perempuan yang mengandung lima bulan dan ditinggal mati suaminya.” Samsul penuh meyakinkan.
“Kemarin malam, Pak Sarmuni saat ngopi di sini juga bilang, kalau telur itu akan datang dengan sendirinya di atap rumah perawan tua yang selalu gagal menikah akibat calon suaminya meninggal tanpa sebab sesaat sebelum pernikahan itu dijalani.” Pak Ahyar menambahkan.
“Nah. Itu masalahnya, Pak. Semua kabar tentang telur itu tidak ada titik temunya.” Aji menegaskan.
“Dan semua itu membuat seluruh warga di kampung ini bertanya-tanya. Selain kecemasan dan ketakutan yang kian hari kian tak karuan, kita semua juga dibuat bertanya-tanya tentang kepastian telur itu, Pak. Sesungguhnya kedua itu sama-sama meresahkan.” Samsul menambahkan.
Aji mendesak, “Malam itu Ki Mahmud tidak menyampaikan di mana telur itu bisa ditemukan, Pak?”
“Saya tak mendengar jelas dan pastinya di mana telur itu bisa didapat. Namun saat itu Ki Mahmud beberapa kali menyebut Bukit Limanan.” Jawab Pak Ahyar masih dengan nada was-was, takut jika ada yang mendengar. “Namun selanjutnya saya tak tahu. Mereka pulang, sesaat kemudian selepas Bukit Limanan disebut-sebut itu.”

Aji dan Samsul terdiam. Seakan mereka berjumpa dalam titik lamun yang sama. Seakan sama-sama menerawang Bukit Limanan yang tak jauh dengan kampung mereka. Bukit itu menjadi pembatas kampung ini dengan kampung sebelah.
Sesekali gemuruh guntur kembali memecah suasana. Dingin angin kian menampari siapa saja. Tak terkecuali Pak Ahyar, Aji, dan Samsul yang sedang serius dalam pembicaraan.

Pak Ahyar kembali melanjutkan pembicaraan yang terputus. Aji dan Samsul kembali menaruh telinga juga matanya ke arah Pak Ahyar, “Memang, selama ini kita dibuat bertanya-tanya. Berita-berita di televisi juga semakin membuat kita semua ketakutan. Setiap saat selalu saja dibakarkan kematian orang-orang terinfeksi berjatuhan. Selama tiga bulan ini saja ribuan orang di seluruh dunia telah direnggut virus mematikan itu. Meski memang warga di sini belum ada yang terinfeksi. Dan kita semua tentu tak ada yang berharap terinfeksi, kan?”
“Ya, semoga saja virus itu tidak akan sampai di sini.” Ucap Samsul sepenuh doa.
“Semoga misteri telur naga merah itu lekas terungkap.” Aji turut menaruh doa.

Petir menyambar. Pak Ahyar kaget, begitu pula Aji dan Samsul. Langit sudah nampak hampir menumpahkan seluruh airnya. Pak Ahyar mendongak ke atas, kemudian mengajak pulang, “Mas Aji, Mas Samsul, sebentar lagi hujan akan turun. Kita sudahi pembicaraan kita malam ini ya...”
Sesaat kemudian hujan turun cukup lebat. Mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Meski Aji dan Samsul masih memendam rasa penasaran. Telur naga merah di Bukit Limanan. Saat berjalan pulang, Aji dan Samsul berencana esok hari akan pergi ke Bukit Limanan.
***

Aji dan Samsul menepati rencananya untuk pergi ke Bukit Limanan. Pagi hari mereka berangkat bersama. Ditempuh dengan jalan kaki. Sebab untuk menuju ke bukit itu, mereka harus melewati tepi sungai, sawah, dan hutan. Namun saat belum jauh berjalan meninggalkan rumah mereka yang memang berdekatan, Aji menepuk pundak Samsul dan berkata, “Sul, berhenti sebentar. Lihatlah ke Balai Desa.” Bisik Aji kepada Samsul, saat melihat Pak Lurah dan Ki Mahmud sedang serius berbincang.
Akhirnya mereka berdua penasaran dan cari cara agar bisa menguping pembicaraan Pak Lurah dan Ki Mahmud. Mereka mengendap-endap melewati sebelah pagar luar Balai Desa untuk mendekat menuju tempat Pak Lurah dan Ki Mahmud duduk di depan Balai Desa.
“Saya tak habis pikir, kenapa putra Pak Romdon yang bekerja di Wuhan itu nekat pulang juga. Padahal tahu kalau bapaknya setiap malam mengajar mengaji anak-anak sekampung. Pulang diam-diam juga. Sudah seminggu ini di rumah. Sedangkan Pak Romdon juga nekat, masih mengajak anak-anak mengaji.” Pak Lurah nampak kesal, namun ia juga bimbang. “Kalau sudah begini bagaimana Ki Mahmud? Jika telur naga merah itu bisa jadi penangkal, yang akan menghalangi. Kalau ini virus sudah dibawa dan pasti menyebar ke anak-anak, juga tentu kepada orangtua mereka, apa yang akan kita harapkan dari penangkal itu? Ini sudah seharusnya tidak ditangkal lagi. Namun diobati.”
“Maaf  Pak Lurah, selama beberapa bulan ini, sejak kita di angkringan Pak Ahyar itu, sungguh saya selalu berupaya untuk melakukan berbagai cara agar bisa mendapatkan telur naga merah di Bukit Limanan. Sesuai petunjuk dari mimpi yang saya dapatkan. Namun apa daya, ternyata telur naga merah itu tak kunjung saya dapatkan.”

Sejurus kemudian, salah seorang perangkat desa datang menemui Pak Lurah, “Pak, izin menyampaikan laporan. Beberapa warga demam, batuk kering, dan kesulitan bernapas. Saat ini mereka dirawat di Puskesmas. Sebentar lagi akan dibawa ke rumah sakit kota. Dari sesak napas dan gejala yang diderita, mereka dinyatakan terinfeksi.”
Pak Lurah tak mengeluarkan sepatah kata pun, begitu pula dengan Ki Mahmud. Mata Pak Lurah menerawang jauh. Sepertinya ia merasa gagal, tak dapat berbuat banyak untuk warga desanya. Aji dan Samsul melongo, saling bertatapan.[]

Kendal, Maret 2020

Sumber: https://www.cendananews.com/2020/04/pagebluk-dan-telur-naga-merah.html