Jumat, 18 Oktober 2019

Beberapa Anugerah dan Hal Lain yang Tak Terduga di Sekitarnya





Alhamdulillah, saat melihat pengumuman Residensi Penulis Indonesia 2019 dari Komite Buku Nasional dan Kemendikbud yang sedang saya jalani ini, saya merasa sedang bermimpi. Ya, dini hari itu. Saat malam 17-an, saya bersama teman-teman di kampung sedang menyimak film-film perjuangan Indonesia yang kami putar di dinding sebuah lapangan.

Sungguh, saya seakan tak bisa berkata apa-apa kala itu. Salah seorang teman sekampung pun berkali-kali menawarkan kopi, dan saya menolak dengan mengiyakan halus. Berkali-kali ditawarkan, berkali-kali pula saya menolaknya.

Dada pun berdebar tak karuan. Bahagia bercampur rasa yang entah. Lalu, seorang perempuan terbaik dalam hidup saya pun menyela mengirim pesan dalam WhatsApp, sesekali melempar panggilan. Saya abaikan pula. Saya masih terpaku dalam layar ponsel pintar yang sudut-sudutnya telah retak.

Ya, ponsel pintar yang tak akan saya sebutkan merknya, yang begitu menyita perhatian saya. Berkali-kali saya segarkan ulang dalam laman pengumuman, barangkali ada kesalahan pasang nama atau entah bagaimana. Tubuh saya jatuhkan pelan-pelan, merebah tanpa bantal di lapangan kecil, di kampung tinggal saya.

Kemudian seperti ada yang membawa diri saya lari, jauh, terbang menuju negeri kincir itu. Saya seakan melihat sungai yang berhenti bergerak. Orang-orang di sekitarnya memandangiku. Tak berkedip. Hanya sesekali menggaruk-garukkan tangannya di kepala mereka masing-masing. Bersamaan. Sangat berpola. Tanpa jeda.

Seorang perempuan terbaik dalam hidup saya tadi, kembali melakukan panggilan di ponsel pintar saya (yang tak akan pernah saya sebutkan merknya itu). Kali ini lebih kencang, melampaui angin diri hari yang menemani begadang kami saat itu. Kali ini lebih kencang.

Ponsel pintar saya bergerak. Melompat dari genggaman tangan. Terus melompat-lompat, memantul seperti bola bekel. Saya mengikutinya. Dan, hingga sampailah saya di depan pintu rumah. Pintu masih terkunci.

Saya diam, berdiri. Menunggu tak cukup lama. Beberapa puluh detik kemudian, pintu seakan membuka sendiri. Seorang perempuan muncul dari balik pintu. Saya dipeluknya erat-erat. Sambil ia bertanya, inikah hadiah 10 tahun perjumpaan kita? Saat kali pertama kau melangitkan cinta di sebuah kedai kecil kala itu

Saya berdiam kata. Bibir ini bergerak pelan menuju keningnya.

Ya, bulan Agustus 2019 ini, menjadi penanda tersendiri bagi hidup saya. Termasuk bagi keluarga kecil saya, bersama seorang istri. Sejak pengumuman malam itu, saat saya sedang menjalani tirakatan malam Agustusan.

Sungguh anugerah tak terkira. Selalu saja ada orang-orang baik yang begitu rupa memberikan kebaikan yang sangat tak masuk akal. Yang pertama, seorang penulis buku kelahiran Boja Kendal, yang sudah cukup lama menetap di Swizerland dan menikah dengan seorang perempuan warga sana.

Dari penulis tersebut, sebut saja Mas S, saya diminta untuk mampir ke Swizerland. Yang selanjutnya saya hendak diajak jalan-jalan, merekam segala hal di sana. Bahkan tidak hanya diminta mampir semata. Namun kami (saya dan istri) akan diberikan tiket bus (Flexbus) untuk perjalanan pergi pulang dari Denhaag ke Swizerland. Ini sungguh sangat tak saya bayangkan sebelumnya.

Sebab, sudah bisa sampai di Leiden Belanda saja saya sudah sangat bahagia tak terkira. Lha ini, saya ditawari untuk mampir ke Swizerland dan diberikan tiket cuma-cuma pula.

Sudah itu, ada seorang kawan baik Mas S, ia bernama Mas Krisna, siap memberikan kamar cuma-cuma saat saya singgah dua hari dua malam di Swizerland bersama istri.

Kata Mas S, "Nanti kamu aku buatkan chat wa grup dengan Krisna, ia temanku di Luzern yang akan siapkan kamar untuk kamu dan istrimu. Kamar 2 malam gratis. Dia biasa sewakan kamar apartemennya untuk backpacker. Namun untuk residensi pengarang, ia tidak mau ambil uangnya. Perkiraanku antara akhir November atau Awal Desember ya, kamu dan istrimu akan singgah dua hari dua malam di Swiss."

Begitulah, sungguh ada nikmat tersendiri bagi kaum residensi dari desa semacam saya ini. Dan Mas S tersebutlah, yang sangat rajin membantu dan mengarahkan segala proes keberangkatan residensi saya. Bayangkan saja, setiap kali ada sesuatu, misalnya rencana saya diajak ke Swizerland, saya dibuatkan grup WhatsApp untuk mempermudah komunikasi. Meski hanya bertiga, yakni Saya, Mas S, dan Mas Krisna. Lalu saat saya hendak mencari tiket, saya dibuatkan grup lagi. Dimasukkan dalam grup dengan beberapa kenalannya yang pernah beli tiket ke Eropa, juga bahkan dengan orang yang bekerja di perusahaan penyedia saja pembelian tiket. Bayangkan!

Ya, begitulah Mas S. Yang saya kenal sudah sejak cukup lama. Bahkan saat saya masih mengenyam proses kuliah sarjana pada sekitar 2008-2009. Saat itu saya menghadiri berbagai kegiatan sastra di Boja. Termasuk gelaran tahunan Parade Obrolan Sastra dan berlanjut Kemah Sastra serta berbagai kegiatan lain. Tentu gelaran tersebut yang digerakkan sepenuhnya oleh Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dan Pondok Maos Guyub Boja Kendal. Yang tak lain, kuncennya adalah Mas S dan Mas Heri CS (sastrawan dan jurnalis yang begitu kalem, yang saya kagumi itu).

Paling terbaru perjumpaan saya dengan Mas S pada bulan Syawal lalu, bulan Juli 2019. Selepas Ramadan, ada acara sastra yang terselenggara di Boja Kendal. Ya, di situ juga ada Mas Heri CS yang lengkap dengan anak dan istri tercintanya. Saya pun baca puisi bersama grup musikalisasi puisi Paradoks, yang fokus menggarap karya puisi-puisi penyair Kendal. Termasuk puisi dari Mas S dan Mas Heri CS juga digarap grup musikalisasi yang beranggotakan para guru tersebut.

Bahkan, melalui Mas S pula, saya dikenalkan dengan Mas Syahril Siddik, ia seorang dosen dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang kini sedang menempuh program PhD bidang antropologi di Universiteit Leiden. Ini juga ada grub WhatsApp juga. Dibuatkan Mas S pula. Yang berisi saya, Mas S, Mas Syahril, dan Mas Heri CS. Bahangkan lagi! Sungguh saya sangat alhamdulillah bertubi-tubi!

Dalam grup tersebut, boleh saya kata itu grup utama yang menghubungkan selanjutnya dengan grup-grup lain (yang diciptakan Mas S) untuk persiapan residensi saya. Baik yang terkait dengan proses visa, pembelian tiket pesawat, bahkan hingga sesuatu yang berkait dengan jaket, sepatu, copet, sarung, tas kecil untuk paspor, dan banyak lagi hal remeh-temeh lain.

Melalui Mas Syahril, saya mendapat banyak informasi terkait rencana tinggal saya di Leiden. Ia juga mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen dan berlanjut saya kenal pula dengan suaminya, yakni Mr. Robertus J. Coelen, asli warga Belanda, yang merupakan seorang profesor di sebuah universitas di Belanda.

Teh Tuti dan Pak Robert begitu baik menyambut kedatangan saya dan istri. Kami kadang merasa sangat bingung sendiri. Hampir setiap saat Teh Tuti selalu saja mengirim pesan untuk menanyakan bagaimana proses kami, bagaimana persiapan residensi, jauh hari sejak sebelum memperoleh visa. Ya, sejak Agustus itu. Selepas beberapa hari selepas pengumuman yang lolos residensi.

Bahkan saat pengurusan visa pun, kami sangat dibantu oleh Teh Tuti. Ya, perempuan kelahiran Jawa Barat yang kini menetap di Belanda bersama suami dan anak-anaknya.

Saat mengurus visa, kami cukup kesulitan, ternyata ada satu syarat yang belum terpenuhi. Yakni perihal rencana tinggal kami selama dua bulan di Belanda. Awalnya kami mempercayakan diri dengan menggunakan surat tinggal dari seorang mahasiswa program PhD di Leiden yang hendak menyewakan kamarnya. Namun ternyata, surat itu tak kuat. Alias ditolak saat kami melakukan pengurusan visa di Kedutaan Belanda melalui VFS Global di Kuningan City Mall Jakarta. Surat itu tak bersuara. Jadi kami harus mencari surat Gemeente (dari walikota setempat) yang akan saya tinggali di Belanda. Jika tidak itu, ada saran lain dari VFS Global, yakni kami harus melakukan booking hotel.

Jadi intinya, mereka tidak mau jika ada orang dari luar yang tinggal belum ada kejelasan hendak tinggal di mana. Maka surat itu sangatlah penting. Akhirnya kami pun berusaha untuk memesan hotel. Kami coba berbagai pemesanan online untuk mencari bukti booking hotel. Namun selalu saya, berakhir sama pada saat akhir pemesanan, saat tiba pada tahapan pembayaran selalu saja gagal. Sebab harus membayar melalui kartu kredit. Dan, kartu kredit kami tak cukup. Biaya hotel untuk dua bulan mencapai sekitar 60 juta.

Kami pun sempat putus asa, sebab kami sudah berupaya pinjam pula kartu kredit dari beberapa saudara dan teman baik. Namun tetap saja pemesanan gagal. Entah kenapa, karena limit kartu kredit tak cukup atau entah sebab apa. Karena sempat ada yang hendak pinjami kartu kredit yang limitnya mencapai 44 juta pun, tetap saja kami kesusahan.

Dan, kami pun gelisah. Bingung sebingung-bingungnya. Entah, semakin tak tahu harus berbuat apa. Mengingat waktu yang sudah sangat mepet. Sebab pengajuan visa maksimal 15 hari sebelum keberangkatan. Dan hari Jumat itu, adalah hari-hari akhir sebelum menuju hari paling akhir pada Senin depannya.

Akhirnya, kami pun curhat dengan Teh Tuti. Ia pun memberi solusi, meskipun awalnya tak janji. Ia pun tentu tak akan memberikan harapan lebih bagi kami. Sebab hari pengurusan surat Gemeente (dari walikota setempat) tinggal satu hari, yakni pada Sabtu semata. Dan kebetulan saat itu suaminya, Pak Robert sedang pergi ke luar negeri. Ia bilang dalam pesan singkat melalui WhatsApp, Ini Robert sedang ke luar negeri. Baru nanti malam akan pulang. Semoga besok pagi ia bisa ke walikota dan mengurus surat Gemeente itu. Semoga masih bisa dan segera jadi hari itu juga.

Semoga, semoga, semoga. Doa, doa, doa. Hanya itu yang menyelimuti ikhtiar kami. Pun Teh Tuti sama, hanya mampu berusaha dan berdoa.

Akhirnya, Sabtu itu Pak Robert ke kantor walikota. Alhamdulillah, surat Gemeente, surat keterangan tinggal itu bisa keluar untuk kami. Intinya surat itu berisi, bahwa akan ada kolegateman dari Pak Robert yang akan tinggal di rumahnya selama dua bulan. Dan surat tersebutlah sepertinya aturan baru yang dikeluarkan oleh Kedutaan Belanda saat pengurusan visa. Jadi misalkan tahun-tahun sebelumnya bisa menggunakan surat tinggal dari mahasiswa PhD yang menyewakan kamarnya, kali ini sudah tidak bisa. Harus ada surat Gemeente tersebut, yakni yang dikeluarkan oleh walikota setempat yang diajukan oleh seorang warga Belanda.

Itu salah satu bukti birokrasi di Belanda. Yang tentu dapat dicontoh. Kata seorang teman baik saya, Bung, di Belanda itu birokrasinya kelas kakap. Profesional banget. Tidak hanya hitungan hari. Hanya hitungan jam. Bahkan menit! Beda dengan di Indonesia.

Ya, itu benar. Saya mebuktikan dan mengalami. Bahkan saat saya berkomunikasi (melalui surat elektronikemail), hitungan jam semua beres. Surat-menyurat berkepala surat dan bertanda tangan pejabat bisa keluar hitungan jam. Tidak sampai melewati 3 jam. Bayangkan!

Kembali lagi terkait pengurusan visa tadi. Berkait dengan surat Gemeente tadi. Ya, misalnya hendak menggunakan pilihan lain (yang disarankan VFS Global), yakni harus melampirkan bukti pemesanan hotel. Meski bagi petugas di VFS Global sendiri menyarankan mencari pemesanan hotel yang nantinya bisa dibatalkan tanpa syarat. Alias dibatalkan tanpa potongan biaya. Jadi pemesanan hotel itu pun hanya digunakan untuk keperluan pengajuan visa semata.

Selanjutnya, Senin berikutnya kami ke Jakarta lagi untuk pengajuan visa. Pengajuan itu pun sudah diterima. Menurut dari pihak VFS Global, penyedia jasa layanan visa bagi Kedutaan Belanda itu pun menyatakan segala syarat telah terpenuhi. Namun tetap saja, hasilnya (visa bisa keluar atau tidak) bergantung sepenuhnya dari pihak Kedutaan Belanda.

Kami pun cukup lega saat itu. Meskipun masih menyisakan deg-degan, sebab menunggu kabar dan jawaban, visa akan keluar atau tidak.

Selepas sekitar satu minggu, visa kami keluar. Visa saya duluan keluar, yakni pada hari Jumat, pada minggu yang sama dari pengajuan Senin itu. Ini lagi yang membuat kami deg-degan. Sebab pengajuan kami bersamaan, namun kabar visa dari istri belum juga muncul pada hari yang sama dengan saya. Ditambah lagi deg-degan yang lainnya. Kabar visa sudah ada jawaban itu memang lumayan melegakan, namun sesungguhnya justru semakin menjadikan kami semakin deg-degan. Sebab itu jawaban tersegel, hanya kami sendiri atau orang bersangkutan yang bisa membukan jawabannya visa disetujui atau ditolak!

Lalu meski harus berpegang gambling, istri saya yang bergerak sendirian ke Jakarta. Sebab saya harus menjalani kuliah di Jogja. Awalnya saya hendak bolos, namun dilarang oleh istri. “Nantinya kau akan tidak masuk kuliah dua bulan. Kali ini biar aku saja yang ambil hasil visa ke Jakarta. Meski visaku belum ada kabar,” begitu katanya.

Saya pun menuruti perkataannya. Pesanlah tiket kereta untuk keberangkatan dan kepulangan istri. Jadwal keberangkatan pagi sekitar pukul 06.00 WIB dan akan tiba di Jakarta sekitar pukul 12.00 WIB. Kemudian tiket kepulangannya terjadwal sekitar pukul 18.00 WIB dan akan tiba di Semarang kembali pada sekitar pukul 24.00 WIB.

Ada waktu luang, waktu yang dapat dihitung kotor dari pukul 12.00 hingga 18.00. Digunakan penuh untuk menjemput kabar visa kami. Meski kabar visa punya istri masih belum ada. Ia bergerak sendirian membawa kecemasan. Sendirian. Tanpa seorang kekasih yang begitu setia menemani. Hehe.

Namun alhamdulillah, saat perjalanan berkereta, sekitar pukul 11.00 ada pemberitahuan masuk dalam emailnya. Ada kabar, bahwa kabar visa istri sudah bisa diambil. Dan istri pun semakin deg-degan. Apalagi saya. Lebih!

Selepas sampai pun, istri harus mengantri. Tambah lagi deg-degan saat ia begitu saya tanyai terus bagaimana hasil visa, bagaimana hasil visa. Bahkan tidak hanya saya yang tanya. Saat ia mengantri untuk mengambil hasil visa, ibu dan kakaknya serta teman-teman dekatnya pun turut menanyakan. Bagaimana hasil visa, bagaimana hasil visa. Dan semua itu membuat istri saya semakin nggak karuan. Bahkan saya tiba ia dipanggil untuk dapat giliran mengambil hasil visa, ia sangat deg-degan gemetar nggak karuan.

Apalagi saat membuka bungkusan paspor tersegel yang di dalamnya ada hasil visanya. Ia susah membuka. Gemetar nggak karuan membuka plastil bersegel itu. Namun alhamdulillah, visa kami berdua disetujui. Visa kami keluar. Saya dengan visa short study dan istri saya dengan visa turis.

Sudah, kami cukup lega. Meski selanjutnya kami harus tiba pada bagian persiapan lainnya. Yakni salah satunya memesan tiket penerbangan. Ini cukup berkelok lagi kisahnya.

Selepas saya dibuatkan grup pembelian tiket oleh Mas S, yang tentu ini sangat saya manfaatkan. Sebab mau bagaimana lagi, ini kali pertama pengalaman saya harus membeli tiket penerbangan yang sangat jauh. Penerbangan menuju belahan bumi sebelah sana. Jauh sekali dari tinggal saya. Jadi saya harus mempertimbangkan banyak hal. Terutama harga tiketnya. Harus cari yang paling murah. Juga yang transitnya satu kali. Sebab ada yang bilang, bahaya jika transit berkali-kali. Selain nanti kalau ketinggalan penerbangan, juga nanti terkait dengan keribetan pemeriksaan di bagian imigrasi. Ada yang menyarankan untuk tidak transit di negara tertentu yang ribet pemeriksaannya. Itu sungguh memakan waktu, tenaga, dan lainnya.

Akhirnya kami pun menemukan tiket pilihan atas berbagai pertimbangan. Kami pun berusaha untuk membayarnya. Tiket pulang pergi berdua sekitar 28 juta. Pemesanan dari skyscanner. Ini saya bandingkan, ada selisih 3 jutaan dari pemesanan lain yang saya lakukan dari jasa pesan tiket online di Indonesia.

Akhirnya saat tiba pada tahapan pembayaran, dan hendak bayar namun kami mengalami kesusahan. Pakai kartu debit tak bisa, pakai kartu kredit pun sama. Selalu gagal transaksi. Entah kenapa. Kami pun berpusingan kembali. Sebab yang biasa saya lakukan pun memakai jasa pemesanan online bisa dengan pembayaran menggunakan internet banking.

Sungguh, kami kehabisan akal. Akhirnya kami dibantu oleh Teh Tuti. Ia memesankan tiket dengan harga yang lebih terjangkau, selisih yang sangat lumayan itu. Ya, selisih 3 juta itu sangat banyak. Apalagi jadwal kepulangan kami ke Indonesia pada pertengahan Desember. Itu saat-saat tiket mahal. Momen Natal dan tahun baru.

Teh Tuti pun membantu kami. Memesankan dan membayarkan tiket penerbangan pulang dan pergi senilai sekitar 28 juta itu. Bayangkan, 28 juta tidak sedikit. Kami belum kenal jauh. Kami belum pernah jumpa dengan keluarga Pak Robert Coelen dan Teh Tuti Coelen. Sungguh!

Bahkan tidak hanya dibantu pembayaran tiket saja. Perihal sewa kamar tinggal pun kami dibantu. Dan kami membayarkan kemudian hari. Pengiriman uang dari bank di Indonesia ke bank di Belanda pun butuh waktu. Tidak hitungan detik bisa sampai. Sebab sudah transaksi beda negara.

Pembayaran tiket yang tak murah itu kami telah dibantu. Pun biaya penginapan. Bahkan untuk penginapan pun awalnya kami diminta untuk bayar saat kami sudah tiba di Belanda. Entah, coba misalnya jika kami kabur. Lari atau bagaimana. Pasti mereka akan rugi besar karena telah membayarkan duluan. Ya, jumlah uang yang tak sedikit. Namun, barang tentu semua kembali pada saling percaya. Jika sudah begitu, tak ada yang tak mungkin![]

11 komentar:

Nyi Penengah mengatakan...

Barokallah ya Mas Naka
Semuanua dimudahkan oleh-Nya
Bisa berangkat dengan istri pula.
Luar biasa rejeki dari-Nya
Turut bahagia rasanya.

harrisgtg99 mengatakan...

Sungguh Saya tenggelam sangat dalam di ceritanya Pak Naka seolah-olah Saya ikut serta di dalam, pun Saya dimabuk kata-kata yang sangat mengelitik walaupun ada beberapa kata yang salah penulisan, tapi ya wajar karna itu munisiawi. Ada hal yang sangat penting Saya curi secara terang-terangaan dari cerita Pak Naka sebuah kekuatan magic cinta yang sangat besar diberikan kepada Pak Naka dari orang-orang terkasih. Artinya kekuatan cinta sangat penting untuk sebuah perjuangan. Mulai dari mencari chanel, pengurusan tempat tinggal, pengurusan visa, dan harga tiket yang menyakiti mata ketika melihat harganya. Tapi itu lah sebuah perjuangan Pak Naka yang mendikte kita untuk terus berjuang dan berkarya. Satu pesan dari Saya pak, terus berkarya jangan berhenti dan jangan lupa sama kita mahasiswa bapak yang di UPGRIS selalu menanti karya berikutnya.
(Haris Gunawan 1B)

Mega Lusviyani mengatakan...

Beberapa orang ingin sesuatu terjadi, beberapa orang berharap itu akan terjadi.yang lain mewujudkannya menjadi kenyataan. dan pak naka telah membuktikannya atas kerja keras, usaha dan doa.
(Mega Lusviyani 1B)

Yulia Rachmawati mengatakan...

MasyaAllah, cerita yang bapak tulis ini benar-benar menunjukkan semua apa yang kita inginkan betul-betul perlu perjuangan dan kerja keras. Setelah apa yang kita inginkan tercapai, semua itu tak semudah dan tak seindah apa yang orang lain lihat. Semua itu benar-benar perlu kesabaran, kerja keras, perlu dukungan dari orang sekitar, termasuk orang-orang terkasih.
Dan benar kata kebanyakan orang, orang baik akan selalu dipertemukan dengan orang baik pula. Dan Pak Naka membuktikan perkataan itu. Tulisan-tulisan Pak Naka selalu membuat orang lain termasuk diri saya sendiri berusaha untuk tetap berjuang dan berusaha mencapai apa yang diinginkan. Sukses terus Pak Naka, semoga bapak dan istri selalu dalam lindungan Allah. Aamiin..
(Yulia Rachmawati 1B)

Anisa Nur'aini mengatakan...

Sungguh cerita ini sangat menyentuh, mengesankan hingga membuat pembaca merinding saat membacanya pak. Ini sangat memotivasi, memberi bukti bahwa usaha tidak akan menghianati hasil:-V


(Anisa Nur'aini 1B)

Reni Ulfiana Wulandari mengatakan...

Sungguh perjuangan yang luar biasa pak, saya membacanya sampai merinding. Betapa beratnya orang ketika menuju kesuksesan. Berbagai rintangan harus dilalui, meskipun ribuan rintangan menghadang yang bisa membuat putus asa, menyerah, bahkan berhenti di tengah jalan. Akan tetapi, di sini saya mendapatkan pelajaran bahwa kesuksesan itu tidak bisa didapat dengan cara yang instan, tetapi butuh perjuangan yang sangat besar.
Sukses terus Pak Naka dan keluarga. Semoga selalu mendapat kemudahan dari-Nya... Aamiin
(Reni Ulfiana Wulandari 1B)

atrivika rohmah nisa utami mengatakan...

pak naka kren disela-sela perjalanan ke belanda masih aktif juga blognya. semoga perjalan lancar, sehat selalu dan pulang ke indonesia dengan membawa banyak cerita dan penglaman yang bisa di bagikan kepada mahasiswanya.

Risa Aulia Puspita Dewi mengatakan...

Cerita ini sangat menginspirsi, tentang perjuangan pak naka meraih kesuskesan yang membuat saya merinding saat membacanya.
semangat pak naka!!!
sukses terus!!!

(Risa aulia puspita dewi 1B)

Tri Vani Winda Devi mengatakan...

Keren pak Naka....ceritanya sangat menginspirasi pembaca. Walaupun banyak rintangan rintangan yang ada tapi pak naka tetep berjuang dan dapat memperoleh kesuksesan dengan residensi ke luar negeri. Pak Naka inspirator pembaca..top deh...
(Tri Vani Winda Devi 1B)

Fridha Rizki mengatakan...

Sukses terus Pak Naka, semoga mendapat pengalaman baru yg berkah

(Fridha Rizki Mardiana 1B)

Aldhel Oezank mengatakan...

Mantap bang...