Senin, 30 Desember 2019

Segala tentang Hitungan


Segala tentang Hitungan
Oleh Setia Naka Andrian

Angka 2019 akan segera bergeser menjadi angka genap 2020. Tentu tak sedikit di antara kita yang turut serta menyambutnya dengan serius, biasa saja, atau bahkan menolaknya. Ada yang menyambut sekadarnya. Berdiam diri di depan rumah, sambil menanti tabur kembang api yang dipaksa meledak dari kejauhan. Atau menyambut serius dan berharap tidak biasa-biasa saja, berharap tidak selesai begitu saja atau hilang dengan begitu cepatnya.
Misalnya saja yang (akan) dikerjakan (dihimpun) oleh Tanjung Alim Sucahya dan Andaru Mahayekti. Ya, dua anak muda jomblo yang sempat mengaku diri mereka masih berantakan itu. Jumat (27 Desember) lalu memang saya berjumpa mereka di Bojonggede, desa lahir dan tinggalnya Tanjung. Saat itu kami berbincang tentang beberapa hal, lalu gelisah, lalu ingat angka tahun, ingat laku dalam diri personal dan komunal.
Cukup panjang perbincangan dan berderet kegelisahan yang kami panjatkan. Akhirnya, selepas makan siang di sebuah warung, bersepakatlah untuk membuat sebuah terbitan (bundelan) yang dicetak terbatas untuk menyambut pergantian tahun. Ya, saya cukup bahagia, ketika Tanjung dan Andaru mengetuk palu. Meski dengan was-was.
Dan kali ini, di ujung angka bulan ini, saya ingin turut serta menyambutnya dengan catatan pendek, sederhana, biasa-biasa saja ini. Yang mengusik saya, tentu perihal hitungan. Sungguh, hitungan begitu kentara mengusik benak dan batin saya kali ini. Barangkali juga Anda, atau bisa jadi tidak sama sekali.
Meski jika boleh sedikit menepi dan menyingkir sejenak, hitungan itu bukan hak kita. Ada Yang Maha Menghitung, yang akan mengakhiri segala penjumlahan gerak hidup-mati kita. Namun dalam medan proses kreatif, kita harus berani menghitung itu. Bahkan, perihal laba dan rugi pun harus dihitung. Tentu, segala itu tidak langsung menuju hitungan mentah. Atau hitungan-hitungan yang nampak saja, yang menggedor mata kita semata.
Bagi saya sendiri misalnya, penghujung tahun ini menjadi momen yang cukup membuat was-was. Paling tidak, meski saya belum merasa ini tahun paling berarti, namun saya merasa angka 2019 menjadi sejarah cukup panjang tersendiri dalam proses kreatif. Baik dalam diri personal, maupun komunal bersama kerja-kerja kreatif bersama kawan-kawan di Kendal. Ya, paling tidak ada dua jejak lawatan yang saya kerjakan. Pertama, saat dipercaya menjalani residensi penulisan di Polewali Mandar Sulawesi Barat selama satu bulan, dan residensi penulisan di Leiden Belanda selama dua bulan. Belum lagi beberapa aktivitas lain yang menyita benak dan batin, baik dalam diri maupun di luar dan di sekitar diri saya.
Sekali lagi, meski saya kerap menganggap itu sebagai anugerah terbesar dalam tahun ini, namun semua itu menjadi was-was tersendiri. Bagaimana selepasnya. Apa yang akan saya kerjakan. Apa yang selanjutnya akan saya tunaikan. Paling tidak dalam hal proses penciptaan. Saya cukup gelisah. Bagaimana kiranya dengan tahun selanjutnya? Bagaimana dengan proses penciptaan tahun selanjutnya di angka 2020? Saya takut, jika ternyata semua akan bergulir biasa-biasa saja. Atau bahkan semakin menurun, lebih parah dan hacur dari apa yang dikerjakan sebelumnya. Jatuh dalam lubang yang sama!
Menarik memang, saat-saat dalam kerja di kedua tanah residensi itu. Saya menjadi cukup terbiasa untuk berbaik sangka dengan hitungan-hitungan. Seberapa jauh mata memandang, seberapa pendek hati kecil menerawang, seberapa tebal ingatan dan catatan bergandengan. Itu yang setidaknya menghinggapi saya dalam membunuh hari-hari di tanah residensi. Dan tentu, semakin ke sini, semakin banyak hal yang terasa belum selesai. Banyak yang harus lekas ditunaikan. Dan pastinya, tak sedikit pula kemalasan dan kegagalan-kegagalan yang kian menggerogoti harkat penciptaan (karya).
Meski sungguh, jika boleh sekadar membahagiakan diri, telah banyak yang terjadi, telah tak sedikit yang dikerjakan, terutama bersama beberapa kawan di Kendal. Yang tentu, segala itu lebih mending jika dibandingkan dengan kerja-kerja komunitas lain. Namun apakah semua itu cukup? Tentu tidak, boleh berbahagia sejenak. Selepas itu, kembalilah gelisah! Jangan berharap semua akan baik-baik saja. Jangan berharap semua akan jatuh di pangkuan dengan tiba-tiba.
Dan semakin ke sini, saya kerap berbangga diri, saat melihat kampung halaman, di kota kelahiran saya (Kendal) ini telah bergulir tidak sedikit aktivitas kreatif dari berbagai kepala anak muda dan bermacam rupa komunitas. Ini sungguh membahagiakan. Hanya saja, sepertinya selepas itu tidak cukup bahagia begitu semata. Tidak cukup berbangga diri saja. Semua harus disambut dan dirayakan tidak hanya dengan percuma.
Sudah saatnya mulai menghitung. Meski paling sederhana, coba menengok diri sendiri. Mohon maaf, ini misalnya yang sedang saya coba dan upayakan pada diri saya sendiri. Paling tidak, sungguh biadabnya saya, jika belum apa-apa sudah merasa tua. Sudah merasa telah mendapatkan segalanya. Dan tiba-tiba saya ingat penggalan syair “Tong Kosong” (Slank): Sedikit ngerti ngaku udah paham. Kerja sedikit maunya kelihatan. Otak masih kayak TK kok ngakunya sarjana. Ngomong-ngomongin orang kayak udah jagoan.
Itu yang bagi saya sangat bahaya. Dalam hati: “Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari segala itu. Jangan sampai. Sebab bagaimana, jika misalnya itu terjadi. Saya akan merasa telah mampu melabeli diri sendiri. Belum apa-apa sudah menyebut dan menempeli diri dengan sebutan pengamat budaya. Belum apa-apa sudah mengaku sebagai pemerhati bidang tertentu. Apalagi jika semua itu, dengan begitu percaya dirinya dilabelkan dalam biodata yang ditulis sendiri. Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari segala itu. Jauhkan. Belum lagi, Tuhan, jika menciptakan sesuatu, saat mencipta karya tertentu masih ingin menghitung berapa penonton yang hadir. Saat hamba menulis, masih menghitung berapa buku atau unggahan di blog yang dibaca orang. Lalu hamba akan marah-marah, menggonggong penuh sesal dan duka mendalam di status media sosial. Jauhkan hamba dari segala itu, Tuhan. Jauhkan.”
Meski saya yakin, segala itu pekerjaan berat. Namun sudah saatnya hitungan itu tidak lagi dijatuhkan sekadar pada hitungan di luar kerja artistik. Buat apa? Buat apa menghitung berapa kali menyelenggarakan festival seni? Buat apa selalu berpusingan memaksakan diri setiap setahun sekali, sebulan sekali harus menyelenggarakan selebrasi acara yang ujung-ujungnya hanya akan berakhir pada foto-foto yang menjamur di media sosial semata?
Kalau itu sebuah kerja yang dikerjakan sendiri, dengan jerih-penat sendiri, dengan kepala sendiri, bahkan dengan menyisihkan uang sendiri. Buat apa jika masih terjebak dalam segala hal di luar medan artistik? Buat apa tunduk dalam hitungan-hitungan di luar medan artistik itu? Saya kira, tak ada gunanya. Itu hanya akan membuat kita semakin lemah dalam menghitung substansi kerja kreatif kita. Lalu jika sudah kian larut begitu, hari-hari akan terasa melelahkan. Semua akan dirasa memuakkan. Setiap kali berjumpa dengan diri lain di luar diri kita akan kian panas saja. Saling menyalahkan. Saling mengumpat, menabur amarah, dan segala hal yang sia-sia. Lalu tak terasa, usia telah menjatuhkan diri kita dalam lubang angka yang sudah cukup tua.
Dan tiba-tiba sadar, ternyata seumur-umur hanya melakukan berbagai hal yang itu-itu saja. Bahkan merasa kerap jatuh pada lubang yang sama. Lebih-lebih ternyata dirasa kerap memproduksi kegagalan-kegagalan yang berulang-ulang setiap tahunnya. Lalu kemudian yang tersisa hanya lelah yang mendarah-daging pula. Kemudian hanya mampu menimbun kenangan yang muncul dari mulut yang dibesar-besarkan. Tak ada riwayat jelas, tak ada jejak arsip, tak ada dokumentasi matang, tak ada yang dibanggakan dan diwariskan kepada generasi setelahnya. Semua hanya timbunan omong kosong belaka. Yang hanya dibesar-besarkan pula.***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, resensi buku, dan beberapa aktivitas lain yang masih biasa-biasa saja. Dapat disapa 24 jam tanpa henti melalui nomor ponsel (WA): 085641010277, setianakaandrian@upgris.ac.id dan beberapa media sosial yang dikelolanya.

Kaceb! (Tribun Jabar, 29 Desember 2019)



Kaceb!
■cerpen Setia Naka Andrian



Apa yang mengendus dari otak Kaceb jika harus mengayuh becak pada hari yang begitu panas? Ditambah lagi sedang musim bulan puasa. Matahari benar-benar terasa di atas kepalanya. Rasa panas seketika memanggang tubuhnya yang hitam pekat itu. Karena bagaimanapun semua orang tahu, jika kalor pasti akan meluncur menuju benda-benda yang hitam atau yang gelap-gelap semacam kulitnya si Kaceb. Begitulah orang-orang memanggilnya. Walaupun sesungguhnya Kaceb sudah tidak tepat lagi jika dipanggil dengan tambahan gelar “si”. Kaceb sudah hampir purna sebagai lelaki setengah baya. Usianya pun kini sudah genap enam puluh lima tahun.
Kaceb hidup sebatangkara tanpa istri, apalagi anak. Ia benar-benar mandiri. Menurut kabar yang beredar di warung-warung kampung ini pun sungguh mengharukan. Bahwa si Kaceb merupakan seorang anak tunggal dari seorang ayah yang juga bekerja sebagai tukang becak. Itu mungkin masih sebagai kabar biasa dan ringan-ringan saja, jika ada seorang tukang becak yang berasal dari anak seorang tukang becak pula. Namun, ada yang membuat warga kampung tak jadi terharu dengan kisah si Kaceb, malah dianggap lucu. Katanya dulu ayahnya si Kaceb itu bernama Tukang Becak. Karena ternyata ayah dari ayahnya si Kaceb, atau bisa disebut kakeknya si Kaceb, juga merupakan seorang tukang becak pula. Maka dari itu ayahnya si Kaceb diberi nama Tukang Becak oleh kakeknya.
Konon menurut kabar yang juga beredar di warung-warung kampung ini, kakek si Kaceb yang bernama Abdul Kasur, merupakan seseorang yang memprakarsai alat transportasi yang bernama becak di kota ini. Terlampau dulu sekali katanya, ketika masa itu kakek si Kaceb masih menggunakan tenaga kaki untuk menjalankan roda-roda becaknya. Hingga pada masa itu becak baru menggunakan roda dua yang berjajar dan di atasnya ada semacam tempat duduk layaknya becak-becak yang ada di jaman sekarang. Lalu kakek si Kaceb menariknya dari depan melalui dua batang kayu yang agak melengkung.
Kakek si Kaceb terkenal sebagai sosok pekerja keras. Ia dulunya bekerja sebagai juru angkat di rumah megah pedagang Tionghoa. Juru angkat itu bahasa kerennya masa itu, kalau sekarang orang-orang menyebutnya sebagai kuli. Becak itu pun ia kenali ketika bekerja di situ. Becak yang dikenal orang-orang setempat berasal dari bahasa Hokkien, yakni be chia yang berarti kereta kuda itu digunakan oleh kakek si Kaceb sebagai alat untuk mengangkut barang dagangan orang Tionghoa majikannya tersebut.
Lalu lambat laun dan tidak terasa telah bertahun-tahun kakeknya si Kaceb mengabdikan diri sebagai juru angkat kepada orang Tionghoa itu. Akhirnya muncul masalah klise yang sering orang-orang ketahui dari keluhan para pedagang, yakni bangkrut. Kakek si Kaceb pun akhirnya mau tidak mau harus hengkang dari jabatan juru angkat itu setelah roda perdagangan orang Tionghoa tersebut dinyatakan resmi gulung tikar. Kakeknya merasa sangat sedih saat itu. Karena itulah pekerjaan satu-satunya yang sanggup dilakukan untuk menghidupi seorang istri tercinta dan seorang anaknya, yakni ayahnya si Kaceb yang bernama Tukang Becak.
Ternyata kakeknya tidak mau angkat kaki juga dari rumah orang Tionghoa itu. Berhari-hari ia tetap ndongkrok di rumah megah juragannya. Walaupun kemegahan rumah juragannya pun semakin purna pula, karena barang-barang seisi rumah terkuras habis untuk menebus kebangkrutan bisnis perdagangannya. Yang katanya, kebangkrutan itu terlahir akibat dari ulah istrinya yang tertipu oleh lelaki muda tampan yang kebetulan orang Tionghoa juga. Istrinya main cinta belakang dengan pemuda itu. Maka akhirnya istrinya menuruti segala yang diinginkan oleh pemuda itu, asalkan servis yang diberikan pemuda itu mampu memuaskannya.
Itu semua pun terjadi karena ternyata istrinya telah bertahun-tahun tidak dijatah oleh suaminya, lelaki setengah baya Tionghoa itu. Yang katanya sudah tidak kuat lagi. Lalu akhirnya bertahun-tahun pula istrinya main cinta belakang dengan pemuda tampan itu. Segala harta benda yang diacungi oleh pemuda itu pasti akan diberikan. Pemuda itu pun tetap senang dan bangga-bangga saja menjadi laki-laki simpanan. Walaupun bertahun-tahun meladeni perempuan tua yang sudah lumutan namun masih kegatelan itu.
Lalu istrinya pun kemudian diceraikan. Meninggalkan dua orang anak yang hanya tinggal nama. Keduanya sudah lama mati berboncengan naik sepeda. Mati berjamaah karena kecelakaan tertabrak kereta api ketika hendak berangkat sekolah tingkat awal dulu, setaraf Sekolah Dasar.
Lelaki Tionghoa yang sudah senja itu pun kini hanya dapat mengenang ending yang serba salah. Ia sebenarnya juga sangat merasa bersalah kepada dirinya sendiri. Karena ia merasa akar permasalahan dari kebangkrutan usahanya itu akibat dirinya yang tak mampu memenuhi kebutuhan istrinya. Jadi ia mencoba lapang dada saja. Walaupun semua telah pergi dari pelukannya. Istrinya pergi, hartanya juga lari. Hanya hutang-hutang saja yang masih terus menunggunya untuk segera dilunasi satu persatu.
***
                       
Ternyata kakek si Kaceb belum mau juga angkat kaki dari rumah orang Tionghoa itu. Berhari-hari yang hampir seminggu ia tetap ndongkrok di rumah megah juragannya yang kini kosong tidak berisi apa-apa. Berhari-hari itu mereka berdua saling bercerita tentang keluarganya masing-masing, dari mulai masalah menghidupi anak dan istri hingga bagaimana cara membahagiakan istri. Termasuk juga masalah nafkah malam hari yang sering ditunggu-tunggu oleh setiap istri.
Orang Tionghoa itu pun semakin sedih yang menjadi-jadi. Bayangkan saja, apa rasanya seorang lelaki yang ditinggal dan dihianati oleh istrinya karena ia telah tak lagi mampu memberi nafkah malam hari. Sungguh sangat kasihan bila ada laki-laki semacam itu. Mungkin sebab itu juga yang menjadikan kakeknya si Kaceb tak kuasa pergi meninggalkan juragannya sendirian menikam kesedihan. Karena semua orang yang dulu di dekatnya telah tiada. Termasuk seluruh pekerjanya, penjaga pintu gerbang, penjaga toko, tukang kebun, juga para juru dapurnya. Semuanya pergi jauh-jauh meninggalkan juragan yang tinggal sebatang rokok itu. Dulu orang-orang menyebutnya begitu. Lelaki Tionghoa tua yang tinggal sebatang rokok. Karena ia perokok berat. Lebih-lebih ketika masa kebangkrutan itu. Selalu hampir setiap waktu ia menghisap rokok. Ibaratnya yang ada dalam puisi-puisi pemuda jaman sekarang, lelaki setengah baya itu adalah kereta yang asapnya terus memanjang dan tak pernah ada henti-hentinya.
“Kenapa kau tidak mau pergi dari rumah ini? Aku sudah tidak lagi memiliki apa-apa. Aku sudah tidak kuat membayarmu,” ucap juragan setengah baya yang telah benar-benar hampir tak menjadi juragan itu. Wajahnya yang keriput nampak menunggu jawaban dari kakeknya si Kaceb yang tak kunjung juga menyambut dengan kata-kata. Wajahnya mencoba berakraban dengan matanya yang kian melulu bertanya-tanya juga. Raut mukanya nampak murung campur gelisah dan kesedihan yang entah. Kepalanya seringkali menunduk resah dengan kopyah hitam yang menutupi beberapa gelintir rambutnya yang hampir genap memutih. Sambil matanya berkaca-kaca mengenang dan sangat menyesal ketika telah bertahun-tahun tak sanggup memberi nafkah malam hari kepada istri tercintanya. Nyaris air matanya mengucur, namun selalu tertahan akibat ingat kelaki-lakiannya ketika mulutnya tiap beberapa detik mengasap yang terus memanjang dan tak pernah ada henti-hentinya itu.
***

Setelah genap satu minggu, kakek si Kaceb akhirnya terpaksa harus angkat kaki dari rumah juragan yang telah bertahun-tahun menjadi tumpuan hidupnya. Dengan sangat terpaksa ia harus meninggalkannya jauh-jauh karena malam itu tiba-tiba rumah megah yang kosong itu menjadi gempar dan dikepung orang-orang. Ketika juragannya diketahui telah bunuh diri dengan memotong kemaluannya sendiri. Darah mengucur dari pangkal kemaluannya hingga merahnya merambah ke hampir seluruh tubuhnya. Entahlah kenapa, mungkin karena ia begitu menyesal dengan diri dan tubuhnya yang memiliki kemaluan semacam itu. Hingga ia membanting-banting dan memukul-mukulkan batang kemaluannya ke seluruh tubuhnya hingga darah berhamburan kemana-mana dan ia benar-benar kehilangan nyawa.
Kakek si Kaceb benar-benar angkat kaki. Selamanya, juragan Tionghoa itu tinggal kenangan. Mayatnya diurus oleh sebuah asuransi yang ternyata sudah dipersiapkan oleh mendiang sejak dulu semasa hidupnya jaya. Sehingga rumah serta tanahnya itu pun diurus asuransi tersebut. Namun dari kekosongan rumah itu masih menyisakan sebuah becak yang ternyata dulu dipakai kerja oleh kakek si Kaceb. Becak itu tidak sengaja terdampar di belakang rumah dan tertumpuk sampah-sampah, yang membuat penagih hutang tidak tahu keberadaan benda itu. Akhirnya becak itu pun dibawa pulang oleh kakek si Kaceb, setelah ditanyakan kepada pihak asuransi mengenai becak itu menjadi hak siapa. Ternyata pihak asuransi mengatakan bahwa becak tidak termasuk hak mereka, hanya rumah tanpa seisinya dan tanahnya saja yang diasuransikan untuk mengurus kematian juragan Tionghoa itu.
***

Kakek si Kaceb pulang ke rumah. Menemui seorang istri tercinta dan seorang anak, si Tukang Becak—ayahnya si Kaceb. Selanjutnya mereka hidup cukup bahagia. Kakek si Kaceb menjadi tukang becak. Mengemudikan untuk mencari nafkah guna menghidupi anak dan istrinya.
Namun konon setelah berjalannya waktu, pemerintahan Belanda pada masa itu melarang keberadaan becak. Karena jumlahnya yang semakin bertambah, yang katanya membahayakan keselamatan penumpang dan menimbulkan kemacetan. Entah kemacetan yang seperti apa, dalam cerita-cerita yang beredar di warung-warung semacam itu.
***

Lambat laun hingga negeri ini merdeka dan setelah meninggalnya kakek si Kaceb, becak masih tetap eksis juga pada masa ayahnya si Kaceb. Walaupun pada masa itu sempat ada aturan dari Gubernur, mengenai larangan terhadap angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, hingga meletus razia mendadak di daerah bebas becak. Karena becak dianggap sebagai biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan dikatakan sebagai alat angkut yang tidak manusiawi. Walaupun pada sisi lain becak juga mulai tergerus persaingan dengan kehadiran ojek motor, mikrolet dan metromini.
Masa itu pemerintah juga mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Pemerintah memprogramkan para tukang becak untuk beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Dengan semena-mena pemerintah menggaruk becak dan membuangnya jauh-jauh dari ingatan para tukang becak. Namun si Tukang Becak, ayah si Kaceb tetap bertahan dengan becaknya. Hingga akhirnya ia meninggal, kemudian profesinya berlanjut diwariskan kepada keturunan selanjutnya, yakni si Kaceb. Sosok yang kini dikenal dan akrab di mata orang-orang, yang memiliki nama lengkap Kaceb Gnakut. Nama yang merupakan kebalikan dari nama ayahnya, Tukang Becak. Dibaca dari belakang.
Begitulah kisahnya yang terus berlanjut hingga masa ini. Si Kaceb yang sudah hampir purna sebagai lelaki setengah baya. Usianya sudah genap enam puluh lima tahun. Ia tetap mengayuh becak. Walaupun hari begitu panas pada musim bulan puasa semacam ini. Ia tetap hidup sebatangkara tanpa istri dan anak. Karena menurut kabar yang beredar di warung-warung, ia tetap setia dengan becak yang memiliki sejarah tersendiri bagi keluarganya. Keluarga becak.
Namun hingga kini ia berani memutuskan dengan serius untuk tidak ingin menikah. Bukan karena takut tak sanggup menafkahi atau mencukupi kebutuhan hidup anak dan istri, melainkan ia takut memiliki anak. Ia punya ketakutan tersendiri jika kelak anaknya menjadi tukang becak lagi. Tekadnya, ia ingin memutus keturunan keluarga sampai dirinya. Keluarga becak.***

Kendal,  Juli 2016 - Leiden, November 2019

Senin, 23 Desember 2019

Agama Air (Kompas.id, 21 Desember 2019)


Agama Air
■cerpen Setia Naka Andrian



Sebelum cahaya hari ini napasnya tersendat-sendat hingga sepenuhnya lenyap di sisi barat kepala jagat, dan sebelum ada pertanyaan-pertanyaan keluar dari mulut para pelayat, “Ia meninggal karena apa? Apakah ia bisa hidup tanpa minum? Ada berapa sungai yang akan diwariskan kepada kita?”
Sebelum semua itu bergulir. Bolehlah aku bercerita tentang kisah yang sempat menyangkut dalam hari-hari masa kecilku.
Sore hari. Hampir serupa dengan waktu kali ini. Pun sama di Sungai Blorong ini. Aku ingat betul, sore itu kakek tiba-tiba menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk sendirian, selepas mandi di sungai bersama tiga orang teman sekampung. Salah seorang perempuan, dua sisanya laki-laki yang tak lebih tampan dariku (masa kecil). Tentu pembaca bisa sedikit punya bayangan. Meski tak sepenuhnya gamblang.
Aku melamun, menatapi sungai jernih, tepinya berpasir. Persis seperti bibir pantai. Bahkan semasa kecil itu, aku sering bilang kepada ibuku, saat hendak izin main ke sungai, aku selalu bilang, “Ibu, aku ke pantai dulu.” Kali pertama ibuku kaget dan bertanya, “Hah, pantai mana? Sama siapa? Pantai itu jauh. Kau tidak boleh ke sana sendirian. Tidak boleh pula ke sana hanya dengan ketiga temanmu itu yang masih kecil-kecil. Kau bisa hilang. Kau bisa dimakan ikan raksasa.”
Begitulah ibuku. Termakan kisah-kisah miring tentang Sungai Blorong. Sungguh menyakitkan jika diresapi kala itu, saat masih masa awal di bangku SD itu. Meski jika sekarang, aku sadar. Itu semua karena kasih sayang tak terhingga sepanjang masa. Seperti yang tertanam dalam lagu yang moncer di telinga kita sebagai anak sejati seorang ibu itu.
Mari kita kembali ke bibir pantai (imajinasi) masa kecilku itu. Di pasir-pasir yang tak putih itu, aku melamun jauh. Melihat sumur-sumur kecil yang kekal ke dalam. Jika aku ingat-ingat, diameternya kisaran tujuh jengkal jari tanganku kala itu. Sumur yang berdinding anyaman bambu-bambu. Air di dalamnya sangat jernih. Melampaui jernihnya air sungai. Sejernih air mineral yang kita temukan saat ini. Sungguh. Dulu, siapa saja sering minum langsung air itu, meski hanya disaring dengan sarung atau kain apa saja.
Sekarang kita kembali pada bagian saat kakek hadir mengagetkanku. Ia menepuk pundak kecilku. Sontak aku kaget. Lamunanku kala itu terpecah-belah. Meski jika diminta untuk mengingatnya sekarang, dan diminta untuk mengisahkannya, sungguh aku sangat kesulitan. Seperti apa lamunanku kala itu.
Yang pasti, aku hanya ingat, kakek bilang kepadaku, “Kau jangan berlama-lama di sungai ini sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.”
“Memang teman-temanku sudah pulang, Kek. Namun lihat perempuan-perempuan itu. Mereka masih mandi. Masih mencuci pakaian. Masih menimba air. Memasukkan air-air sungai ke sumur, menggunakan tengadah tangan-tangannya.”
Dengan sambil menjelajah pandangan menyisir semua sumur-sumur di tepi sungai itu, kakek dengan keras menyeretku, “Ayo lekas pulang! Sudah tidak ada siapa-siapa di sini!”
Sampai sekarang, aku masih berupaya keras untuk menangkap maksud beberapa perkataan kakekku kala itu. Namun bagaimana lagi, saat aku hendak berjuang keras menangkap maksud kata-kata itu, saat aku tersadar betapa pentingnya mengungkap, sungguh sangat disayang, kakek sudah tiada. Akhirnya, aku hanya bertanya-tanya pada diri sendiri, kepada segala sisa debu dalam jarum-jarum jam di rumahku.
Namun izinkan aku melanjutkan apa adanya cerita ini, hingga sepenuhnya usai.
Selepas sampai di rumah, kakek masih memarahiku dengan perkataan-perkataan yang masih senada seperti saat di sungai tadi. Hanya dengan rupa improvisasi secukupnya. “Kau jangan berlama-lama di sungai itu sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap. Kenapa kau tak lekas pulang? Sudah tidak ada siapa-siapa di sungai itu!”
Aku tak menjawab apa-apa. Karena saat itu, aku menganggap kakek sedang tidak wajar. Tidak seperti kakek biasanya. Ia sangat aneh. Matanya sedang tak beres. Kakek tak melihat apa yang aku lihat di sungai. Ya, melihat perempuan-perempuan di sungai itu. Yang hadir sesaat selepas ketiga temanku pergi pulang duluan. Pasti selalu begitu. Hari itu saat kakek menjemputku pun begitu. Aku selalu asyik, tenang, dan sangat damai saat memandangi mereka saat mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya. Lebih-lebih mereka melakukan segala itu tanpa bercakap-cakap. Suasana begitu sunyi, hanya gemericik air yang tebentur batu-batu, pohon-pohon atau tumbuhan-tumbuhan menjalar yang melambai di sungai. Perempuan-perempuan itu hanya saling bertatap mata dengan nyala yang sangat teduh, dan bertatap senyum sangat lembut dengan perempuan lainnya. Pun saat aku di situ, mereka sangat menyambutku, dengan tatapan matanya yang sangat teduh, dengan tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Sesaat setelah kakek meredakan kata-katanya, dan seperti sangat menunggu ada beberapa kata terucap dari mulutku, aku pun menghempaskan tangannya yang memegangi tanganku. Aku lari ke kamar. Kakek pun membiarkanku. Lalu aku melompat dari jendela. Lari sekencang-kencangnya. Melewati kebun-kebun di sebelah rumah. Menerobos tanah-tanah kosong yang hanya dipenuhi alang-alang dan rerumputan liar yang tingginya melampaui tubuhku.
Aku nampak kelelahan. Keringat mengucur sekujur tubuhku. Tidak seperti biasanya. Meski memang, biasanya aku menuju ke sungai tak pernah lari seperti sekarang ini. Biasanya pun tidak ada tragedi jemput paksa dari kakek.
Dan, hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat. Ini tidak seperti biasanya pula. Sungguh. Atau jangan-jangan, ada benarnya apa yang dikatakan kakek. Bahwa katanya, langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.
Ah, aku tak boleh takut. Aku ingat, kata kakek di lain kesempatan, “Anak laki-laki tak boleh penakut! Harus siap menghadapi berbagai kemungkinan. Bahkan terhadap segala kemungkinan yang sangat tidak kita inginkan sekalipun, yang sangat menyakitkan sekalipun!”
Itu kata kakek. Sangat membantuku kala itu. Sangat memompa energi tersendiri bagi keberanianku sebagai seorang anak kecil yang masih ingusan. Akhirnya aku pun terus lari sekencang-kencangnya. Sungai menjadi tujuan utama yang harus kutunaikan hari itu. Karena bagaimanapun, aku laki-laki. Dan aku tak mau meninggalkan segala sesuatu yang belum tuntas. Aku tak mau pergi dari sungai sebelum semua orang pergi. Seperti biasanya. Aku tak mau seorangpun menjemputku paksa untuk mengakhiri perjumpaanku dengan sungai, dengan sumur-sumur itu, dengan perempuan-perempuan itu. Termasuk oleh kakekku sendiri. Aku tak mau. Semuanya harus tuntas. Tanpa sisa. Harus selesai. Harus kuakhiri saat semua orang pergi meninggalkan sungai. Aku akan pulang selepas perempuan-perempuan itu meninggalkan sungai!
Begitu kiranya yang aku rasakan saat itu. Sungguh sok heroik. Namun, apa adanya begitu yang aku rasakan saat itu.
Mari kita lanjutkan ceritanya saat itu. Aku berharap, pembaca jangan marah-marah, jangan sinis, dan mohon menahan segala umpatan, jangan ditumpahkan sembarangan. Sekadar saran, alangkah baiknya, seduhlah kopi terlebih dahulu. Lalu lanjutkan kembali membaca cerita ini.
Tibalah aku di sungai. Aku harus bersusah payah menjemputnya kembali, atas ulah jemputan paksa dari kakekku. Aku melangkah turun ke sungai. Sekitar tiga puluh langkah kaki anak-anak untuk tiba di dasar sungai, di pasir-pasir tepi aliran sungai, yang didapati perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Langkah kaki kecilku kala itu cukup kesusahan, menapaki satu persatu anak tangga dari tanah, menuju ke dasar sungai. Hujan masih lebat. Langit hampir gelap. Napas cahayanya sudah sangat terengah-engah, sebentar lagi akan meninggalkanku, tak lagi menerangiku di sungai.
Namun segala itu kulupakan begitu saja, saat aku masih melihat perempuan-perempuan itu masih dalam aktivitas yang sama. Aku sungguh bahagia. Aku bisa menunaikan perjumpaanku dengan mereka, hingga mereka benar-benar usai dan meninggalkan sungai. Sungguh, bahagianya aku saat itu. Mereka masih dalam posisi yang sama. Tiada yang berkurang sedikitpun. Tidak bergerak dari posisi semula saat aku masih di sungai, saat aku belum dijemput paksa oleh kakekku. Meski hari telah hujan lebat. Langit sudah semakin gelap. Namun mereka tetap mandi, tetap mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Hujan masih mengguyur lebat. Aku pelan-pelan mendekati mereka. Menggerakkan langkah pelan untuk mendekat. Semakin dekat, dan dekat. Sesampai pada jarak lima langkah kaki kepada mereka, aku berhenti. Aku menatap mereka dari belakang. Hujan semakin lebat. Mereka tiba-tiba bersamaan menoleh kepadaku. Dengan tatapan tajam yang aneh. Tidak seperti biasanya. Semakin tajam tatapannya. Mulutnya nampak bengis mengutukku. Sungguh. Ini tak seperti yang kudapatkan pada hari-hari biasanya. Sambutan mereka kepadaku tak seperti biasanya. Tiada lagi tatapan matanya yang sangat teduh. Tiada lagi tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Berangsur-angsur mereka semua pergi meninggalkan sungai. Dengan langkah kepergian yang tak seperti biasanya. Mereka melangkahkan kaki menjauh dariku. Tubuhnya bergerak ke depan, namun kepalanya tak sedikit pun memutar sesuai gerak tubuhnya. Kepala mereka semua masih terus menghadapku. Matanya menatapku dengan sangat tajam dan aneh. Mulutnya pun nampak sangat bengis. Tubuhku gemetar tak karuan. Mereka terus melangkah jauh meninggalkanku. Berjalan jauh dari tepi sungai, naik ke atas, melawan arus sungai. Hingga sepenuhnya mereka lenyap di tikungan sungai. Aku merasa sangat kacau. Tubuh terguncang. Aku semakin tak sanggup mengendalikan diri.
***

Ada yang menepuk pundakku. Dan bangunlah tubuhku, bangunlah jiwaku. Aku berdiri pelan, sambil menata tubuh dan jiwaku sendiri. Pelan-pelan mata kuarahkan kepada siapa yang telah menepuk pundakku, saat tertidur. Ternyata bukan kakekku. Ia nampak seperti seorang pemungut sampah. Selepas mataku membuka penuh, sungguh aku kaget. Aku berdiri di tempat yang aneh. Namun aku sangat mengenali. Ini sungai. Ya, benar. Ini sungai yang setiap hari aku kunjungi. Aku berjumpa dengan perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Aku sangat ingat, dan sangat hafal. Namun ini ada yang berubah, semuanya sangat beda. Sungai tak lagi berair lagi, tak lagi berpasir lagi. Sumur-sumur itu telah penuh dengan sampah-sampah. Perempuan-perempuan itu telah tiada. Orang-orang kampung berdiri di atas bantaran sungai. Di tangan kanan mereka, digenggam ember dengan erat-erat. Mata mereka menatapku dengan sangat lemah.***

Kendal-Pati, Juni 2019

Catatan:
Sungai Blorong merupakan sebuah sungai yang ada di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sungai yang diyakini warga setempat sebagai sungai yang dihuni Nyi Blorong. Sungai yang berkelok, seperti kelokan jalan ular raksasa yang dilewati oleh Nyi Blorong.

Puisi Setia Naka Andrian (Buletin Tanpa Batas, Agustus 2019)



Bunga yang Tumbuh dari Perahu
:fa

Bunga, kau mawar yang tumbuh
dari perahu-perahu. Seratus abad
lamanya aku menunggumu. Di tepi
mimpi yang mekar dari ujung telunjuk
yang pernah kau arahkan mengaliri
sepanjang garis telapak tanganmu.
Mengalir, mengalir, dan menganakpanah,
hingga sekarang, ketika kau tumbuh
dewasa.

Lihatlah bunga, jarimu telah menemukan
putaran roda dalam doa yang mengatasnamakan
mataku kepadamu. Sungguh, kau melampaui
kebaikan-kebaikan yang mengabadikan
peristiwa.

Bunga, tahukah kau, kini kau semacam
tanah airku. Sungguh, kau tiba-tiba menjadi
ruang angkasa. Apa lagi semenjak orang-orang
telah yakin jika tubuhmu terbuat dari pahala.
Setiap pagi, kau semakin tumbuh dari doa-doa
yang ramah mengatasnamakan manusia.
Sebagai umat yang memburu garis tangan,
yang belum tentu disepakati bersama-sama.

Sanggar Gema, Juli 2014


Takdir yang Mempertemukan Kita
:fa

Begitulah takdir, mempertemukan kita
dari perjalanan dan penghianatan-penghianatan.
Ia yang membawa kita menelusuri jejak dan
luka-luka. Ia yang mengajak kita berjabat cerita
dengan nasib dan kemanusiaan. Ia yang mengajari,
bagaimana kita menjadi hujan, angin, laut dan
berakhir menjadi malapetaka yang paling bijaksana.
Hingga kita tak sempat berburuk sangka.
Begitulah takdir, yang kelak akan menanyakan
kepada kita. Takdir menanyakan banyak hal
kepada kita. Di depan dada kita, dan kita tak
menjawab apa-apa, kecuali saling mencium kening
di antara kita. Lalu kita meletakkannya pelan-pelan,
tepat di bawah kaki ibu-ibu pejalan kaki yang selalu
menyebut-nyebut nama kita dalam setiap doa dan
ramalan buruk yang paling bijaksana.

Sanggar Gema, Juli 2014


Seberapa Perempuan Kau Mempercayaiku
:fa

Sayang, seberapa perempuan kau mempercayaiku.
Apakah kau sadar, jika saat ini telah tercipta jalan
layang di antara perasaan kita. Bahkan kita masih
begitu kuat untuk mengingat bagaimana cara lilin
menyalakan rindunya yang begitu panjang dalam
dada kita. Waktu itu, ketika kau dan aku masih
sempat mengumpat air mata tetangga kita. Ketika
kebahagiaan sedang malas bersuara kepada
kebencian yang masih selalu berpaling muka
dengan kerelaan.
Bayangkan saja, kaki dan tangan mereka
telah malas membaca matematika dan segala
teka-teki yang muncul setelah pesta kepergian.
Dan aku cukup heran, sedang kemarin, kita cukup
meragukan bagaimana panjang jabat tangan dan
suara yang sempat menyimpan pesan sepanjang
rumah. Lalu dada kita malas mendewasakan
barang sepenggal ciuman. Tentunya kau masih
ingat, bukankah kita juga ada karena berpuluh jam
menunggu saat rumah kita diselamatkan berkepung
doa yang tak tahu dari mana asal luapannya?

Bilik Kunang-kunang, Juli 2014


Perasaan yang Menjadi Dinding Rumah
:fa

Sayang, percayalah, kelak perasaan kita
akan menjadi dinding rumah yang paling
mekar setiap harinya. Lihatlah, dada kita
sudah mahir berjabat cerita. Udara yang
dikeluarkannya telah menjadi cahaya paling
ramah. Mengawali setiap ucapannya dari
persoalan-persoalan kecil yang sering
dilupakan orang-orang. Bahkan, kita selalu
berusaha menyelesaikannya dengan hanya
mengingat bagaimana kesedihan telah mahir
menipu kita.
Bayangkan saja, dada kita selalu berusaha
menahan bagaimana kecemasan yang selalu
mengawali keyakinan kita. Dada kita telah mahir
bagaimana membacakan doa dan bagaimana
mengutuk dosa. Dan sepertinya, mereka telah
menemukan jawaban dari beragam pertanyaan
yang dulu sempat kita perdebatkan. Saat itu, kau
tak begitu pandai menyembunyikan rahasia
seperti sekarang. Kau melakukan semuanya
kepadaku, termasuk kesedihanmu yang selalu
kau luapkan dengan rindu.

Bilik Kunang-kunang, Juli 2014


Jika Benar Kau Turun

Jika benar kau turun sebagai pedang,
maka doakan aku sebagai penjara.
Lalu bebaskan aku dengan pura-pura.
Namun jika kau turun sebagai kota,
berilah aku risalah mengenai sebuah
desa yang pernah kita telusuri bersama.
Ketika kita masih sama-sama mencari
tahu bagaimana perasaan orang-orang
yang membenci kenangan dan bagaimana
kebencian mengatasnamakan dirinya.
Kepada air mata orang-orang itu, dan
seberapa jauh kita menaruh penyesalan.
Sebagai kata terakhir yang pernah kita
ibaratkan bersama-sama pada sebuah
rumah yang saat itu sedang dipertaruhkan
dengan nama tuhannya masing-masing.

Sanggar Gema, Juli 2014




Minggu, 15 Desember 2019

Catatan Kecil; Kepada Keluarga Coelen


Siapa yang akan mengira, suatu saat kita akan dijatuhkan pada sebuah titik tertentu? Siapa yang dapat meramalkan dengan begitu presisi bagaimana takdir sebuah tubuh? Ya, tentu tak ada yang sanggup. Semua kehendak Tuhan.

Begitu pula, saat saya dan istri dijatuhkan dalam sebuah keluarga yang begitu menerima kami. Sedalam-dalam menyambut begitu baik kehadiran kami. Bahkan telah yakin terhadap kami, sebelum kami hinggap di rumahnya.

Keluarga itu adalah Keluarga Coelen. Jika boleh menyebut, mereka tinggal di Value Island (Pulau Nilai). Nama itu saya ajukan sebagai nama pulau kecil yang begitu tenang dan damai sebagai sebuah daerah hunian. Sebuah pulau kecil yang dikelilingi kanal, dan hanya ada satu jembatan untuk menuju pulau tersebut.

Nama itu saya ajukan saat suatu malam, saya terlibat perbincangan dengan Kang Robert Coelen. Ia mengisahkan tentang sebuah laman yang berisi segala informasi terkait perkembangan dan perencanaan teknologi di sebuah perkampungan kecil di kota tua Leiden itu. Saya diajak untuk melihat laman tersebut, akhirnya saya buka alamatnya melalui laptop saya. Dan, terbukalah dengan otomatis diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Maka nampaklah sebuah nama tampilan laman tersebut, "Pulau Nilai".

Ah, sungguh nama yang menarik. Kami pun berkali-kali menyuarakan nama itu dengan begitu takjub. Lebih-lebih, nama itu merupakan sebuah forum khusus dalam sebuah laman yang hanya bisa diakses oleh warga di kampung itu. Begitu seriusnya sebuah perkampungan kecil itu, bukan? Bahkan suatu malam, Kang Robert sempat berpamitan. Katanya, ia hendak hadir di sebuah forum warga tersebut untuk membahas mengenai teknologi tepat guna yang dapat mengatasi segala wujud alternatif produksi energi. Berat sekali forum warga itu bukan? Entahlah, padahal itu hanya forum warga setempat. Bukan forum yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi atau forum-forum ilmiah lainnya. Bayangkan!

Di Keluarga Coelen tersebut, sejak awal sebelum kami jumpa, segalanya seakan tumbuh dalam segala keyakinan yang begitu mekar. Di antara kami saling yakin. Berkait-paut. Bahkan saya sendiri seperti tak habis pikir, masih ada keluarga yang seperti itu. Menyambut dengan baik, menganggap kami, saya dan istri saya sebagai keluarga. Penuh, serupa anak sendiri.

Ya, kami beruntung bisa dikenalkan dengan Keluarga Coelen tersebut. Tak lain berkat kebaikan Mas Sigit Susanto mengenalkan saya dengan Mas Syahril Siddik, selanjutnya Mas Syahril Siddik mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen. Akhirnya kami tinggal di rumah Keluarga Coelen. Lebur menjadi satu. Terciptalah keutuhan yang saling berpadu. Meski barangkali, kami yang lebih banyak menyerap pelajaran-pelajaran dari keluarga itu. Meski dalam segala hal, bahkan dalam keyakinan, kami sangat beda.

Namun bukankah segala perbedaan itu jika bertemu, akan semakin menjadi menguatkan segala yang kita miliki dan kita yakini bukan? Dari segala perbedaan itu, kami saling belajar. Dan tentu bukan semakin memudarkan, justru kian menguatkan segala yang kita miliki dan yang kita yakini.

Kiranya dua bulan kami bersama, sejak 16 Oktober 2019 itu. Tinggal dalam satu atap rumah yang begitu hangat. Rumah yang tidak hanya menghalau segala dingin musim yang menampari dari luar saja. Namun, rumah dan seisinya yang utuh menjaga kami dari segala hal yang tak patut kami terima. Dari mulai Teh Tuti dan Kang Robert, serta kedua anaknya begitu baik menyambut serta memelihara benak dan batin kami. Meski sesungguhnya tidak ada ikatan apa pun di antara kami. Sungguh, hampir segalanya kami beda. Barangkali persamaannya hanya satu: kami adalah sama-sama manusia!

Setiap kali makan, kami memasak bersama. Meski sesungguhnya yang kita makan pun akan selalu beda. Ada yang mereka makan, ternyata kami tidak memakannya. Akhirnya, mereka menghormati kami. Bahkan kerap kali sangat menjaga dan lebih mengutamakan makanan kami.

Mereka telah banyak mengenalkan tentang nilai-nilai hidup yang sebelumnya tak pernah kami tahu. Bagaimana menjadi manusia, bagaimana menjadi dewasa, menjadi keluarga, mengelola waktu, mencipta mimpi-mimpi, dan tak sedikit tawaran-tawaran dalam menghadapi segala hidup yang kian tak karuan ini.

Sungguh, kami terkadang merasa aneh dan bingung sendiri. Betapa baiknya orang-orang asing ini. Betapa pedulinya mereka kepada kami yang sesungguhnya entah dan tak jelas ini. Kadang saya berpikir, apakah ini semua hanya mimpi? Ternyata tidak, ini sungguh nyata. Dan saya merasa ini anugerah yang begitu besar bagi kami.

Ya, seperti yang saya sampaikan tadi. Kami begitu rupa dianggap sebagai keluarga sendiri. Persis, kami seperti anak-anak mereka. Hampir setiap hari istri saya memasak, menyiapkan makanan berasama, belanja bersama, dan hingga tak jarang selalu makan bersama. Baik makan pagi, siang, atau malam. Bahkan saat ulang tahun Kang Robert, kami diajak makan malam bersama dengan kedua anaknya.

Tentu, tak henti-hentinya kami mengucapkan terima kasih sangat. Begitu besar terima kasih kami, dan begitu pula kami mengucapkan maaf yang sama besarnya dengan terima kasih itu. Sebab kami yakin, sebagai "anak", kami pasti selalu diberi banyak kebaikan. Begitu pula, kami pasti selalu berbuat kesalahan.

Ya, selama dua bulan, kami merasa hidup dalam sebuah keluarga sendiri. Mendapat kasih dan sayang serupa keluarga sendiri. Perhatian yang diberikan pun serupa perhatian mereka kepada anak-anaknya. Kami seakan hanyut dalam sebuah ruang dan waktu yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. Sebab yang kami pikirkan sebelumnya tak seperti itu. Kami kerap was-was, takut dan segala macam perasaan yang entah. Bagaimana lagi, kami akan tinggal selama dua bulan di sebuah tempat yang sangat jauh. Dan itu kali pertama. Jika boleh bilang, kami tak punya modal apa-apa.

Namun saya seakan lenyap, hanyut dalam keluarga yang begitu hangat itu. Hingga suatu saat, perpisahan pun tiba. Ya, hari itu datang saat saya mencoba menuliskan catatan ini. Hari ini, Sabtu, 14 Desember 2019. Siang hari waktu Belanda, kami harus bergegas pulang ke Tanah Air. Burung besi bernama lengkap Qatar Airways akan mengantarkan kami kembali kepada kenyataan, ke kampung halaman. Penerbangan terjadwal sore hari. Akhirnya kami pun di antar ke Schiphol International Airport bersama Teh Tuti dan Kang Robert.

Sebelum berangkat menginjakkan kaki keluar rumah, kami pun menyempatkan diri untuk mengucapkan kata pamit. Meski sungguh, terasa berat saya memulai untuk mengucapkannya.

Saya sempat bingung, harus memulai dari mana. Kata-kata pun seakan menutup dirinya rapat-rapat dalam tubuh ini. Mereka seakan enggan keluar. Begitu rapat, sembunyi, dan malas mengucapkan bait-bait perpisahan itu.

Seusai kami sarapan, dan setelah berulang kali saya coba, akhirnya kata-kata itu keluar dengan begitu terbata-bata. Dengan sangat lambat, tak seperti biasanya. Tak selancar kata-kata yang saya tuliskan kali ini, dalam catatan kecil ini.

Kami berucap pamit. Terima kasih sangat atas segala yang diberikan kepada kami, dan mohon maaf atas segala salah atau khilaf yang tentu kerap keluar dari diri kami. Dan, keluarga itu pun menyambut sama seperti kami. Sama-sama terima kasih dan minta maaf. Teh Tuti berucap, "Bawa yang baik-baik dan tinggalkan segala yang buruk."

Kami pun akhirnya saling melepas. Kami diantar menuju Schiphol. Peluk hangat perpisahan, perasaan tak karuan, mata berkaca-kaca seakan hendak tumpah dengan sendirinya. Namun kami pendam dengan pelan pada diri kami masing-masing. Berusaha tabah, namun kami tak bisa. Meski sungguh, kami saling melihat dan merasakan segala itu di antara kami. Dan kami saling berucap serta meyakinkan dalam hati. Bahwa suatu saat, pasti akan jumpa kembali. Kami berucap dan sangat yakin, "Kita adalah keluarga baru. Suatu saat kita pasti akan jumpa kembali. Pasti. Entah di Indonesia, atau di Belanda, atau di belahan dunia sebelah mana pun." Yang pasti, kami tak akan pernah bisa melupakan segala kebaikan-kebaikan yang begitu bernilai di Pulau Nilai itu.

Teh Tuti dan Kang Robert serta seluruh Keluarga Coelen di Pulau Nilai, kami tunggu di Kendal. Kami ajak singgah pula ke Tayu Pati. Menikmati aneka ikan laut dan tentu kopyor yang begitu menggoda itu. Dan, Ustaz Syahril Siddik pun mengamini, saat sama-sama melepas kami di Schiphol yang bertepatan sedang ada aksi Green Peace yang begitu riuh itu. Beliau juga kami tunggu di kampung halaman kami. Suatu saat. Insya Allah.[]

Sabtu, 14 Desember 2019

Pembatas Buku Itu Cendera Kata



Barangkali memang sudah menjadi kebiasaan bagi siapa saja, selepas bepergian akan selalu ditagih oleh-oleh. Diminta cendera mata oleh siapa saja. Sudah, itu pasti. Entah bagi yang serius meminta, menanti, atau yang hanya iseng semata. Atau entah.

Nah, sama halnya dengan lawatan saya ke Negeri Penjajah kali ini, sejak 16 Oktober hingga 14 Desember 2019. Tidak sedikit teman, saudara, kenalan, mantan, atau siapa pun, yang meminta cendera mata itu.

Terus terang, dan bukan berlagak sombong atau bagaimana. Maaf, jika teman saya, kenalan saya, atau saudara saya sedikit dan bisa dihitung dengan jari, pasti sudah saya bawakan apa pun yang diminta. Entah baju, celana, kaos, topi, sepatu, sandal, kaca mata, meja, kursi, almari, atau bahkan calon pasangan pun akan saya bawakan bagi teman-teman yang masih mengidap jomblo akut. Hehe.

Selain itu, lawatan saya ini sangat terbatas. Barangkali tak sesederhana yang terbayangkan. Bahkan terbatas tidak hanya ukuran nominal uang saja, namun waktu dan banyak hal lain. Dan memang, sejak dulu kala, saya paling malas membawakan apa pun. Diminta atau dititipi apa pun yang tentunya segala itu di luar kerja lawatan saya. Jika itu masih terkait dalam lingkaran kerja kreatif, bisa jadi saya masih akan membantu. Itu pun jika kerja lawatan saya sudah aman.

Sering saya diumpat, dicibir, atau apa pun di sekitar itu, sebab tak bisa memenuhi. Dan barangkali saya akan dianggap egois, tidak tahu diri, tidak mau membantu, dan lainnya di sekitar itu. Tolong dan maaf, barangkali Anda tak tahu kondisi yang sesungguhnya dihadapi. Bagaimana kaki-kaki dan tangan-tangan saya, mata saya, telinga saya, mulut dan hidung saya bergerak dalam kerja lawatan ini. Bagaimana tubuh yang selalu berperang dengan musim yang durjana dan lainnya. Ya, barangkali dikira semua enak, nyaman, melenggangkan tubuh di tanah residensi sebagai turis bergelimang kemewahan. Tidak, sungguh, tidak sesederhana itu, Kawan! Suatu saat akan saya kisahkan satu-satu.

Ini lawatan saya kali ketiga, jika diukur sebagai sebuah kerja kreatif yang cukup lama dan jauh. Kali pertama saat hinggapi Kelantan Malaysia, lalu sebulan di Polewali Mandar Sulawesi Barat, dan kali ketiga ini selama dua bulan di Leiden Belanda. Bahkan saat menjalani itu semua, istri saya pun tidak saya beri oleh-oleh apa pun. Duh!

Tentu saya juga ingin belajar adil, satu tidak, ya yang lain tidak. Satu sama, ya yang lain sama. Maka sudah, saat ini saya menciptakan sebuah Cindera Kata. Itu berwujud pembatas buku, memuat sebuah puisi saya dan foto atas lukisan yang saya ambil dari Rijksmuseum Amsterdam.

Ya, puisi itu berjudul "Amsterdam Kemarin". Salah satu puisi yang saya tulis saat menjalani residensi, kerja lawatan di Negeri Penjajah ini. Dan, puisi itu tak lain merupakan salah satu puisi yang bakal masuk dalam buku terbaru saya. Judul buku dan penerbitnya, masih dirahasiakan. Nanti saat yang tepat, pasti akan saya kabarkan.

Ya, begitu sederhananya. Maaf, dan sungguh maaf bagi siapa pun yang kerap mengharap serta memohon segala itu. Sungguh, bukan maksud apa-apa. Jika Anda termasuk yang mau memperoleh Cindera Kata itu, boleh mampir atau temui saya. Selama persediaan masih ada, pasti saya berikan.

Memang, awalnya saya berniat mencipta Cindera Kata berupa buku. Namun segala itu urung, selepas ada tawaran dari sebuah penerbit yang hendak mengapresiasi karya saya. Tentu selepas saya pulang dari residensi ini. Selepas berembuk dan melewati pertimbangan cukup panjang dengan penerbit, maka terputuskanlah jalan baik itu. Cindera Kata tidak lagi sebuah buku, namun sebuah pembatas buku.

Ya, begitulah. Terkadang segala sesuatu tak semulus yang kita rencanakan. Semua bisa berubah. Yang pasti, segala oleh-oleh itu tak jauh-jauh dari kata. Mau bagaimana lagi, hanya itu yang bisa saya berikan. Tidak bisa lebih. Jika hendak minta lebih, mohon maaf, jangan minta kepada saya. Minta saja kepada Pak Jokowi, biar dikasih bonus sepeda sekalian deh!

Dan, jika hendak minta lebih dari itu, bolehlah Anda mengapresiasi buku terbaru saya itu. Bagaimana mau minta gratis pula? Ah, sepertinya maaf juga. Dan sudah cukup sering pula kiranya saya merelakan buku-buku saya untuk digratiskan kepada tidak sedikit orang. Bahkan jika dibanding dengan yang saya jual, tidak akan pernah menutup dengan yang saya gratiskan. Bolehlah bagi Anda yang sempat saya beri salah satu atau dua buku saya secara cuma-cuma, acungkan jari dalam hati saja. Dan bolehlah pula jika ada relawan yang hendak menghitung berapa jumlah orang dan buku yang diterima itu.

Masak sih mau terus-terusan begitu? Bolehlah disimak sejenak bagaimana kerja penerbitan itu. Ada proses panjang di balik terciptanya sebuah buku. Dari mulai proses penulisnya, penyuntingannya, perwajahan dan tata letak isi bukunya, proses cetaknya, dan lain-lain. Ada kerja panjang dan tentu sangat lengang. Akan mulai kapan dan dari mana kita menghargai sebuah kerja kreatif?[]