Senin, 24 September 2018

Nama-Nama yang Muncul dalam Prosa dan Puisi (Jawa Pos, 23 September 2018)



Nama-Nama yang Muncul dalam Prosa dan Puisi
Oleh Setia Naka Andrian



Judul Buku                : Perihal Nama
Penulis                         : Widyanuari Eko Putra
Penerbit                       : Kelab Buku Semarang
Cetakan                       : I, Mei 2018
Jumlah Halaman          : 170 halaman
ISBN                           : 978-602-6694-43-0

Pemberian nama dari orangtua kepada anaknya, kerap kali melewati pertimbangan panjang. Bahkan tidak jarang, terjadi perdebatan alot di antara kedua orangtua tersebut. Sebelum sepenuhnya menjatuhkan suatu nama kepada sang anak yang baru saja menghirup napas ke dunia. Terkait nama yang tidak bisa dikata sederhana tersebut, pun dibahas panjang lebar dalam buku Perihal Nama karya Widyanuari Eko Putra (Kelab Buku Semarang, 2018).
Buku yang dicap sebagai kumpulan enam esai seputar prosa, puisi, dan buku tersebut mencoba menggiring pembaca menyelami ketidaksederhanaan penamaan tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra, baik prosa maupun puisi. Nama-nama yang dihadirkan dalam karya kerap dipertimbangkan pengarang, bagaimana kesesuaiannya dengan cerita yang diusung.
Bagi Widyanuari, dalam esai berjudul Yang Tersembunyi di Balik Nama, bahwasanya nama tercipta sebagai konsekuensi atas pertimbangan-pertimbangan: ideologi, konteks zaman, kebersesuaian dengan tema cerita, hingga eksplorasi yang semata-mata demi capaian estetik atau efek tertentu. (hlm. 45).
Widyanuari memberikan perhatian serius terhadap kehadiran nama-nama dalam berderet karya sastra. Di antaranya, novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwe Dekker), Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, novel Tetralogi Buru garapan Pramoedya Ananta Toer, Para Priyayi karya Umar Kayam, Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo, hingga karya-karya terbaru Triyanto Triwikromo, Ritus, Anak-Anak Mengasah Pisau, dan Ular di Mangkuk Nabi.
Dalam kasus penamaan yang dilakukan Triyanto, misalnya, Widyanuari menangkap kecenderungannya menciptakan nama-nama yang khas, berkesan gaib, mistis, dan ajaib. Nama-nama tersebut, di antaranya Manyar, Kabrut, Blandrek, Abilawa, Ragaula, Rudrat, Natasja Korolenko, Nyonya Bangsa.
Meskipun, dalam esai judul serupa, Widyanuari menghadirkan pernyataan dari Seno Gumira Ajidarma, berikut, “Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas “mengarang”,”
Pada kasus tersebut, Seno memberikan pernyataan bahwa penamaan tokoh-tokohnya dalam cerita dibuat sekenanya saja. Tentu banyak kita dapati bagaimana Seno menggunakan nama Sukab dalam beberapa cerpen-cerpennya. Lain kasus ketika Seno menggarap novelnya Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh pewayangan serupa Togog, Prabu Janaka, Hanuman, Rama, Sinta, dan lainnya dihadirkan begitu rupa dalam novel yang mendekonstruksi cerita wayang tersebut.
Selanjutnya, dalam esai berjudul Sebuah Nama, Sebuah Cerita, Widyanuari menyingkap maksud pencantuman nama dalam puisi. Penyair-penyair serupa Chairil Anwar, Afrizal Malna, Iman Budi Santosa, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Erich Langobelen, Alex R. Nainggolan, Nurul Ilmi El-Banna, Sengat Ibrahim, M. Noeris, dan lainnya.
Nama-nama dicantumkan secara khusus dalam puisi. Puisi ditujukan untuk seseorang, diberikan, dihadiahkan, atas rasa kagum, penghormatan, ketakziman, dan lainnya. Seperti gubahan puisi Chairil Anwar, di antaranya pada judul “Kenangan untuk Karinah Moordjono”, “Hampa kepada Sri”, “Kawanku dan Aku kepada L. K Bohang” dan lainnya.
Menurut temuan Widyanuari, nama-nama seakan diabadikan secara terang-terangan di dalam puisi. Kerap kali diletakkan di bawah judul, atau bahkan tak sedikit pula nama-nama tersebut dicantumkan menyatu dalam judul, “Kepada Penyair Bohang”. Ada kalanya nama-nama dicantumkan dengan inisial, “Lelaki Empat Penjuru Kepada ULP” karya Iman Budi Santosa untuk Umbu Landu Paranggi. Didapati pula puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo, berjudul “Rumah Kontrakan untuk ulang tahun SDD”, “Memo Celana untuk Iqbal”, “Rumah Persinggahan untuk S.S.”.
Dalam kedua esai panjang Widyanuari tersebut, nama-nama memiliki keberadaan yang tidak biasa, baik dalam prosa maupun puisi. Nama-nama mendapuk peran tersendiri dalam sebuah karya sastra. Nama-nama yang bermakna dan tidak semena-mena dihadirkan dalam karya sastra, serta nama-nama yang diberi kehormatan tersendiri saat dicantumkan dalam sebuah puisi.
Keempat esai berikutnya dicatat Widyanuari dengan tidak sepanjang esai pertama dan kedua. Judul esai Tidak Ada Jassin hari Ini, Upaya Menulis Ulang dan Menafsir, Menjelajahi Parodi ala martin, dan Pengorbanan Membaca Buku, seakan menjadi anak-anak yang berusia pendek. Meski, napas yang ditiupkan Widyanuari kepada esai-esai tersebut tetap sama. Hanya saja, pembaca barangkali akan merasa terganggu. Pengisahan nama-nama seakan kian memendek dan memudar.***

─Setia Naka Andrian, Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Minggu, 16 September 2018

Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal (Suara Merdeka, 16 September 2018)


Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal
Oleh Setia Naka Andrian



Tak banyak yang mengira digedung kecil di belakang GOR Bahurekso Kendal kerap terselenggara aktivitas dari para pegiatseni. Tak sedikit seniman cukup belia berproses kreatif di gedung serupa bangunan taman kanak-kanak itu.
Ya, bangunan tua itu adalah Balai Kesenian Remaja (BKR). Rumah para pegiat seni dan ruang bertemu beberapa komunitas yang tersudut dipusat kota. Sangat tak tersentuh pembangunan, minim fasilitas. Gedung yang hanya didiami dan dirawat seadanya oleh para pegiatseni di segenap jalan sunyi mereka.
BKR kalah rupa dari taman kota,alun-alun, seputaran jalan pusat kota yang selalu riuh. Orang-orang itu sekadar ingin melepas lelah, mengatasi dahaga, atau mengenyangkan perut semata. Lalu mereka berfoto,bersama beberapa teman,mengabadikan momen seadanya dialun-alun, di Taman Garuda, di bawah lambang Indonesia yang gagah, menjulang ke langit.
Tak ada yang salah denganupaya pemerintah mempercantik pusat kota atau mendirikan bangunan yang gemebyar ke hadirat mata khalayak. Namun para penyuara kebijakan tentu harus mempertimbangkan pula keberadaan ruang kreatif di pusat kota. Sebuah ruang yangkerap menjadi rumah bertemu,berdiskusi, menyibak gagasan, proseskreatif, serta mempresentasikan karya cipta.
Bolehlah kita tengok, misalnya,gelaran Barang Bukti Theater Parade #4, parade teater reguler yang digarap Teater Atmosfer Kendal, beberapa waktu lalu. Kita akan disuguhi parade teater di gedung yang sempit. Sesungguhnya tak jadi soalbesar atau kecil ruang akan tampak dengan seberapa orang yang menghuninya. Nah, saat parade teater itu, penonton membeludak. BKR pecah oleh kisaran 130 penonton pada tiap sesi, baik sore maupun malam. Belum lagi aktivitas lain; forum mingguan Jurasik (Jumat Sore Asik) dan seabrek laku kesenian lain.
Jika memasuki ruang pertunjukan, saat membuka pintu gedung, kita langsung menghadapi penonton yang lesehan di karpet lusuh. Bahkan jika ada penonton yang hendak keluar, pintu gedung tak dapat terbuka dengan leluasa. Harus ada beberapa penonton merelakan diri bergeseratau berdiri. BKR seakan anak tiri, atau bahkan anak yang tak dianggap memiliki orang tua. Ia berdiri lemas diantara gerak pembangunan yangkerap menyuarakan diri untuk mempercantik kota.

Di Mana Saja
Dewasa ini kita seakan tak bisamengelak dan beranggapan: kesenian dapat kita nikmati kapan saja dandi mana saja. Gawai di genggaman seakan mampu menjawab segalanya, termasuk sebagai ruang menyibak jagat estetika. Kita menapaki segenap keindahan di sebuah media, diruang kedua, selepas diabadikan dari ruang pertama yang berdarah-darah.
Kita tentu mafhum, tak sedikit pulayang masih beranggapan kesenian masih selalu butuh gedung. Ruang untuk mempresentasikan karya cipta, selepas beberapa waktu ditempaproses panjang. Ruang yang menjadidapur untuk menggodok berbagai gagasan, ide kreatif, hingga bahasan kerja bersama antarkomunitas. Kendali Seni Kendal, misalnya. Itulah gelaran tahunan, yang disebut embrio festival kesenian, yang telah berlangsung dua kali, 2016 dan 2017. Dan, tahun ini pun sudah mulai digodok.
Bolehlah jika kita bersuara dan meyakini, panggung di ruang publik dibuka begitu lebar. Seniman dapat memanfaatkan untuk menyuguhkan karya cipta. Seniman rupa dapat leluasa menunaikan gagasan di dinding-dinding, di tembok-tembok, bahkan di jalanan yang kerap dilewati manusia, yang ditempa panas dan hujan sekalipun.
Penyair pun dapat membacakan sajak di pasar, di lampu merah, atau dimana saja yang memungkinkan disinggahibanyak mata. Guyuran kata-kata akan bebas memasuki tubuh baru, puluhan, bahkan ratusan hati, akan turut serta menyambut kehadiran upaya mereka menebar kesadaran kolektif.
Namun tetap saja gedung serupa BKR pastilah sangat mereka butuhkan. Apalagi jika ruang serupa itu hanya satu-satunya—gedung di pusat kota, dapat diakses dengan mudah. Rumah yang patut dipertahankan dan dirawat sebagai titik pertemuan para pegiat seni di Kota Bahurekso.***

— Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini sesekali menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.

Puisi, Wisata, dan Kota Literasi (Derap Guru, September 2018)


Puisi, Wisata, dan Kota Literasi
Oleh Setia Naka Andrian

Di Padang Panjang Sumatera Barat baru saja terselenggara perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara 2018, pada 3 hingga 6 Mei 2018. Para penyair serumpun bahasa menulis puisi tentang kota. Puisi-puisi diberi tugas berat, mencatat kota! Puisi-puisi dipekerjakan oleh para penyair untuk menggiring publik melalui narasi sebuah Kota Hujan, Kota Serambi Makkah: Padang Panjang. Keelokan, kesejukan, hingga sejarah, budaya serta seabrek tetek-bengeknya menggoda penyair untuk menuliskannya dengan sepenuh energi dan estetika.
Ratusan penyair dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Timor Leste hadir ke Padang Panjang bersama puisi-puisinya, anak nurani mereka. Ratusan penggubah puisi juga berkhidmat untuk memasang telingan atas paparan materi dari berbagai negara. Di antaranya, Abdul Hadi WM (Indonesia), Rusli Marzuki Saria (Indonesia), Phaosan Jehwae (Thailand), Rahimah Binti A. Hamid (Malaysia), dan Hjh Dyg Fatimah Hj Awang Chuchu Ismayah (Brunei Darussalam).
Penyair dan para puisi mengunjungi kota yang mempertemukan mereka dalam jagat kata-kata. Penyair dan para puisi menyapa kota “sesungguhnya”, mereka menginap dalam kampung-kampung wisata yang disuguhkan panitia, yakni Kubu Gadang dan Sigando. Dikarenakan sebelumnya, melalui puisi para penyair lebih dulu menerka keelokan, kesejukan, sejarah, budaya serta apa saja tentang sebuah kota. Jika barangkali, di antara para penyair ada yang belum sempat singgah di Padang Panjang.
Setidaknya kita mafhum, layak menuduh jika sebelumnya di antara para penyair ada yang hanya menjelajahi mesin pencarian serba tahu (baca: google) untuk melancarkan proses penciptaan puisinya. Bagi mereka yang belum sempat mengunjungi atau sama sekali belum pernah memiliki kontak sejarah maupun batin dengan Kota Hujan tersebut. Meskipun, tetap sah-sah saja.
Puisi masih tetap dituliskan. Puisi diberi tempat untuk menunaikan tugasnya. Puisi-puisi yang lahir dengan mengusung tema yang diminta panitia, segala tentang Padang Panjang. Dengan mengelaborasikan diksi: sejuk, hutan, hujan, kabut, dan gunung. Alhasil, dalam perhelatan tersebut diluncurkanlah buku kumpulan puisi Epitaf Kota Hujan (Padang Panjang dan Puisi-Puisi Penyair Asia Tenggara), yang merupakan puisi-puisi yang lolos seleksi sebagai tiket untuk mengikuti Temu Penyair Asia Tenggara. Puisi-puisi hasil kurasi dari Ahmadun Yosi Herfanda, Iyut Fitra, dan Sulaiman Juned.
Puisi-puisi tidak selesai hanya dibukukan. Puisi-puisi tidak hanya berhenti pada peluncuran dan diskusi. Dalam perhelatan Asia Tenggara itu, puisi-puisi bermisi menggaet pelancong dan pencanangan Padang Panjang sebagai Kota Literasi. Penyair dan para puisi diajak untuk bertandang di sebuah desa wisata, Kubu Gadang. Mereka disuguhi beraneka suasana, jajanan, makanan, rumah-rumah gadang, seni tradisi beladiri Silek Lanyak, serta sejumlah kesenian tradisi lainnya.
Dengan harapan, segala itu mampu menjadi kenangan tersendiri bagi penyair dan para puisi. Agar suatu saat nanti, jika barangkali para penyair Asia Tenggara bepergian di Sumatera Barat, maka Padang Panjang lah satu-satunya tempat untuk dikunjungi, satu-satunya kampung halaman yang patut untuk disinggahi kembali.
Seperti dalam penggalan puisi Badrul Munir Chair dalam buku Epitaf Kota Hujan. Berikut, Sehampar halaman, sesamar lekuk kain buaian/ kukenang hari lalu sebagaimana seorang juru kunci/ menghitung sisa-sisa hari sebelum gunung/ memeluk dan memanggilnya kembali.//
Berkat puisi, atas berbaik-hatinya kata-kata yang segalanya menarasikan Padang Panjang, akhirnya membuat kota itu dinobatkan sebagai Kota Literasi oleh Perpusnas RI. Tak lain, niatan tersebut sebagai wujud keseriusan Kota Padang Panjang mendukung Gerakan Literasi Nasional, yang akhir-akhir ini begitu lantang digemborkan seantero Indonesia ini.
Meskipun, kita boleh juga bertanya-tanya. Bukankah jika yang diundang untuk perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara sudah tidak hanya penyair dari dalam negeri saja, sudah tentu pemerintah pusat harus turut serta. Dikarenakan, kali itu panitia yang menghelat acara se-Asia Tenggara tersebut hanya dari Pemerintah Kota Padang Panjang, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Padang Panjang, serta Forum Pegiat Literasi Padang Panjang semata. Sederhananya, bolehlah kita angkat topi kepada Padang Panjang, kepada para junjungan penyair dan segenap pegiat literasi di sana.
Dan di luar segala itu, boleh pula kita turut melempar sinis. Apa pula pengaruh perhelatan se-Asia Tenggara yang telah rampung itu, jika selepas acara tiada kita temukan perubahan apa-apa. Baik pada diri penyair, masa depan puisi, nasib gerakan literasi, hingga segala sesuatu yang berkait-paut pada sastra, kesenian, dan kebudayaan di Indonesia ini.***

─Setia Naka Andrian, Peserta Temu Penyair Asia Tenggara 2018. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Senin, 03 September 2018

Puisi Setia Naka Andrian (Litera.co.id, 1 September 2018)


Kami Diajak Bertapa

Kami yang telah diajak bertapa
Bersama mereka, anak-anak
yang kerap girang sebelum petang
dititipkan kepada siapa-siapa

Kami yang telah diajak bertapa
Bersama mereka, ibu-ibu
pencuci piring di bawah pohon-pohon
yang gagal kekal
Sebelum segalanya tak tahu
akan ditumpahkan ke mana

Kami yang telah diajak bertapa
Bersamamu, Tuan
Kami rela menjadi rupa atau ketiadaan
Bahkan, kami telah mengirim kepadamu
Satu meter tanda tanya
di bawah kening-kening
yang tak sempat pecah itu
Meski kerap dibanting habis-habisan
di bawah hujan dan terik dadamu
yang kian tak lapang

Kau tahu, Tuan,
Bahwa dalam segenap kegagalan
dan segala degub yang kerap memilih hilang
Kami berupaya mengirim ke hadiratmu
Bersama para pemanjat pilu
Yang kian bersetia
dengan paras wajahmu
dan sisa hujan yang tanggal
dengan malu-malu

Demi keangkuhanmu, Tuan
Telah kami hancurkan
diri kami sendiri
Atas nama keriuhan dan kepenatan
Kami rela menggagalkan waktu
Yang kian bergerak mengelabui
cara buruk bunuh diri sendiri

Demi keangkuhanmu, Tuan
Yang tak pernah rela disiplin
Mengukur jejak-jejak kehilangan
Saat kami diburu benda-benda gagal
Yang kerap malih wujud
di balik kegagapan

Hingga di tengadah jalan
yang tak lagi lengang
Kami bersamamu, Tuan
Menghitung mundur jejak-jejak
yang berlalu
Selepas itu, betapa hari-hari kami
Seakan kian disembunyikan
dalam diri lain
yang tak sempat kita temukan
sebelum atau sesudahnya

Kami seakan tak pernah
mencari mata-matamu
yang urung bertekuk-tubuh itu
Bahkan guyur hujan ini, Tuan
Kali pertama segalamu tanggal
dari diri kami sendiri

Namun kami yakin, Tuan
Tuhan telah melepas kami di sini
Diminta mengembara dalam bara
Merencanakan dalam titik-titik tak berupa
yang mengumpamakan jejak dan doa-doa

Dan di ruang ini, Tuan
Kami seakan diciptakan kembali
Di antara kerangka masa depan
yang terbelah-belah

Kami diajak menumbuhkan kembali
Apa yang bermula dan apa yang bermuara
Bahkan, kami hendak diajak menyuarakan lagi
Bagaimana kepulangan
yang tumbuh di luar alam pikiran

Lalu selepas ini, akan kau kirim
ke mana lagi kami, Tuan
Jutaan jam yang lalu,
kami telah kau ajak
untuk menyeberangi sungai-sungai tanpa perahu
Kami juga kerap kali kau paksa
untuk mengarungi laut-laut
yang tak lagi biru

Dan kami semakin gagal, Tuan
Bahwa kamilah kabar
yang kau kirimkan kala itu
Saat segalanya tak sempat menanami dirinya
dengan segenap rindu
Kamilah misteri yang kau ajarkan
turun-temurun ke hadirat anak-cucu
Mitos dan mimpi buruk
yang telah kau ramu tanpa pintu

Kamilah kerja yang kau ciptakan
dari tubuh-tubuh renta
Riwayat kehilangan
yang terus menggerakkan
segala yang kerap bermula
dan tak pernah berakhir di mana-mana

Dan suatu saat nanti, Tuan
Ketika malam telah begitu berbinar
Memikirkanmu lagi adalah cara lain
Untuk berpandai memilih kekalahan
Segalanya melimpah ruah
Di balik nada dari mulut-mulutmu yang pecah

Kendal, Februari 2018


Maka Hijrahlah Kami

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Menyusuri pagi-pagi
Yang tak sempat ditiduri
tubuhmu sendiri

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Dari segala yang tak menemukan
suara yang kau janjikan
Hingga kami menemukan
Patahan-patahan luka
Yang dalam-dalam

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Meninggalkan rupa wangi
Meninggikan arah telunjuk jari

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Menyusupi liang-liang kecil
Yang tiada pernah kami temukan lagi

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka bolehlah kami sebut diri
yang gagal ini
Diri yang angkuh,
Yang kerap mandi selepas
Hangus dalam bara apimu

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Bolehkah kami bersimpuh
Di antara hutan-hutan
Yang tak lagi dikepung nama-namamu?

Kendal, Februari 2018


Lahir dari Rindu

lahirlah kami dari rindu
dan batu-batu
ketika segala hal
telah menjadi
selain dirimu

lahirlah kami dari rindu
dari segala napas
dan segenap kata
yang diucapkan
selain dari mulutmu

lahirlah kami dari rindu
dari duka, yang lupa
dikirimkan penyair,
para pemahat debu itu
yang kerap ragu
menciptakan dirinya
dari segenggam mimpi
yang lucu-lucu

lahirlah kami dari rindu
dari peperangan yang maha benar
yang memilih pergi,
mencari tahu
di mana kadar iman
di mana kepulangan panjang

Kendal, November 2017


Senin, 27 Agustus 2018

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 26 Agustus 2018)







Bacalah Kami

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia seperti ini lagi.
Bacalah. Kami seakan tidur lagi.
Saban hari menata bantal
yang berduri-duri

Bacalah kami. Bacalah.
Bangunkan kami. Bangunkanlah.
Hari seperti apa lagi
yang hendak kau turunkan
dari istanamu
yang menjulang tinggi

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia bangun pagi.
Sedangkan kau masih keringetan
di ujung tidur yang gemetar.
Lihatlah, kami hinggap
dalam episode yang penuh dengan
hamparan tanah tak berpasir lagi

Bacalah kami. Bacalah.
Kami singgah sesekali
dalam diri lain.
Bacalah kami. Bacalah.
Surga beranak-pinak
dalam dasar lelap
dan godaanmu
yang bermekaran lagi

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia membangunkanmu
dari setiap petaka.
Bacalah kami. Bacalah.
Pagi semakin gundah.
Mengeja hari-harimu
yang kian patah-patah.

Kendal, Agustus 2017


Kami Membacamu

Kami membacamu. Kami mengeja.
Bagaimana degup dada dan hentak kaki berirama.
Kami membacamu. Kami mengeja.
Bagaimana suaramu menghantam semangat kami.
Dalam batin dan segenap jiwa.

Kami membacamu. Kami mengeja.
Tanah air bergerak menuju ke hadirat raga kami
yang tak pernah sempurna. Kami membacamu.
Kami mengeja. Peluh dan keringat tumpah mengaliri
setiap waktu. Saat kami tumbuh menjadi jejak
yang tak sanggup bersuara tanpa kemerdekaan darimu.

Kami membacamu. Kami mengeja.
Betapa hidupmu tak pernah sia-sia.
Betapa perjuanganmu tak pernah kunjung reda.
Kami membacamu. Kami mengeja.
Betapa segalanya tumpah menjadi satu.
Menjadi Indonesia. Negeri yang tak pernah goyah
sepanjang masa. Selama-lamanya.
Selama kami membacamu. Selama kami mengejamu.

Kendal, Agustus 2017


Dua Hari Dua Malam

Dua hari dua malam
Lewat dalam dua jam yang getar
Aku ingin sejenak bertapa
di bahumu sebelah kanan

Dua hari dua malam
Roda tak lagi diputar pelan
Aku ingin bersamamu pulang
Menuju hari-hari berlalu lalang
di sekitar rintik dan telapak tangan

Dua hari dua malam
Aku tak ingat apa-apa
Begitu pula denganmu
Yang lenyap dalam pelajaran
dan masa silam

Dua hari dua malam
Aku tak kunjung bangun
Dari sisa-sisa pengembaraan
dan kau, meninggalkan jasadku
Yang gemuruh di balik doa-doa
Hingar-bingar dalam dada-dada

Kendal, Agustus 2017


Berdiri di Luar

Maka berdirilah kami
Di atas tubuh-tubuh yang berapi-api
Maka melambunglah dada-dada kami
Di bawah ruang yang tak bersekat lagi

Maka berdirilah kami
Dari dalam benak dan batin yang paling sunyi
Dari dalam angan dan ingatan
yang kerap tidur di siang hari
Dari dalam takdir yang dikelilingi kehadiran
yang tak mati-mati

Maka berdirilah kami
Dari segalanya yang selalu mencoba belajar
Memahami banyak hal di luar tubuh kami
Menekuri beragam ruang di luar kegagalan kami

Kami kerap berupaya untuk menjadi diri lain di luar tubuh kami
Kami kerap bersandiwara untuk memutar rupa lain
Selain wujud yang diriwayatkan di luar rumah-rumah kami
Kami hendak menjadi serupa, tapi apakah bisa
Kami hendak menjadi seragam, tapi lihatlah
Di luar sana, orang-orang mulai mencangkok lengan tangan-tangannya
Orang-orang menanam beton di punggungnya

Mereka telah lupa, betapa masa lalu
telah membentuk diri sangat lain bagi sesamanya
Mereka telah lupa, betapa masa depan
telah menjunjung berjabat-jabat cerita
Kini, kami seakan belajar lagi
Untuk tidak sekadar tenggelam dalam keriuhan
yang sesungguhnya diciptakan saudara sendiri

Maka berdirilah kami, melampaui pagar dan dinding
yang sesungguhnya hanya telah dibuat
oleh orang-orang di rumah kami sendiri

Maka berdirilah kami
Saat kami melihat, betapa megahnya diri mereka
menjelmakan diri kami
Maka berdirilah kami, bersama-sama mereka,
atau siapa saja, untuk mengembalikan segalanya
Kembali merenungkan betapa eloknya rumah kita
Rumah yang didirikan atas berupa rumah-rumah
Rumah yang telah berdiri di atas kepala leluhur milik kita sendiri..

Semarang, September 2017


Kiai Syarif

Kami tak tahu, sudah tumbuh
dukuh-dukuh baru
Kami tak tahu,
Sudah mekar pengikut-pengikut baru
Kami tak tahu,
Sudah berapa ratus kemuliaan
tumbang
dalam punggung sejarah baru

Lihatlah, kami bisa apa
Jika bumi tunduk
Lihat, di sekitar Wanglu Gedhe itu
Bukti bagi ke hadirat
kepada iman
dalam satu musim
yang melipatgandakan tubuhnya

Bahkan kami tak tahu, ada apa
dengan Kyai Syarif
Ia dirikan rumah, tempat bersembah
Bagi penyebaran Islam
di sekujur Poncorejo

Masa itu, ia mengajarkan agama
Meriwayatkan ketiadaan dan keabadian
Yang kerap menyundul-nyundul di dada
masyarakat Dukuh Binangun,
Bandingan, Kaumsari, dan Planjen

Meski bagi Kalang,
tiada bisa tertembus syiar
yang dibawa olehnya
Tubuh mereka tergeletak
Membaca tuhan dalam terbata
Membaca diri dalam sepenuh tiada

Kendal, September 2017