Senin, 14 Agustus 2017

Sastra Lokal dan Kebinekaan (Wawasan, 11 Agustus 2017)

Sastra Lokal dan Kebinekaan
Oleh Setia Naka Andrian

Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) 2017 telah terselenggara pada 18 hingga 20 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Ini kali kedua perhelatan yang diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, selepas Munsi pertama pada tahun lalu.
Jika tahun lalu peserta Munsi dipilih berdasarkan rekomendasi tiap-tiap daerah bagi para pegiat sastra, kali ini peserta yang diundang Munsi lebih diperketat lagi. Yakni di antaranya melalui seleksi buku (karya) yang dikirimkan kepada panitia, kemudian diseleksi oleh dewan kurator. Selain itu, undangan peserta Munsi dari para alumni Munsi I yang telah turut serta dalam penulisan antologi puisi Munsi I tahun 2016. Selanjutnya, undangan Munsi kategori yang ketiga berasal dari para budayawan, pemerhati, dan pakar sastra yang berkompeten.
Perhelatan Munsi II ini tentu telah menjadi sebuah pertemuan yang menghantarkan para sastrawan Indonesia dalam perbincangan hangat. Yakni menyibak Kebinekaan Indonesia yang saat-saat ini kerap didengungkan dalam berbagai gerak perbincangan dan laku, baik di kalangan akademisi, pemerintah, komunitas seni budaya, hingga masyarakat luas. Mengingat berbagai persoalan dinilai kian menjadi-jadi, berupaya menggoyahkan kebinekaan Indonesia.
Dalam sebuah perbincangan yang disampaikan Radhar Panca Dahana, ia menegaskan bahwasanya karya sastra Indonesia tentu sudah sangat mencerminkan kebinekaan Indonesia jika kita semua mau menengok dan kembali pada karya-karya sastra lokal. Bahkan, dunia pun akan tergeleng-geleng melihat karya sastra kita. Jika kita tengok, berapa provinsi yang ada di Indonesia ini, kemudian berapa kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, bahkan berapa kampung yang melingkupinya.
Jika karya sastra lokal dari segenap titik daerah itu kita garap, setiap tahunnya akan bermunculan berapa karya sastra di Indonesia ini? Segala ini akan bergulir sehat jika para sastrawan tergerak untuk lebih memperhatikan dan berupaya sekuat tenaga untuk mengangkat sastra lokal tersebut.
Setidaknya, melalui garapan sastra lokal tersebut dapat menjadi bahan pijakan untuk pembelajaran sastra kita. Sudah tentu, suntikan Kebinekaan Indonesia kepada anak didik di sekolah sebagai sebagai sebuah ikhtiar tercapainya pendidikan karakter bagi generasi penerus bangsa dapat dilalui dengan guyuran karya-karya sastra lokal.
Pada Munsi II ini pun, didapati perbincangan mengenai Sastrawan Masuk Sekolah, dengan tujuan akan terjadi gerak sinergi antara guru bahasa Indonesia dan sastrawan lokal dalam pencapaian gerak pembelajaran sastra yang lebih berdaya guna. Selain itu, sekiranya para sastrawan lokal juga dapat membantu mengaktualisasikan proses kreatifnya kepada siswa, terutama terkait sastra lokal yang hendak atau sedang digarap dan ditekuninya.
Sudah tentu ini terkesan bukan sebagai kerja yang mudah, tidak seenteng membalikkan telapak tangan atau mengubah posisi belahan rambut. Namun, segala ini tentu dapat dilakukan perlahan. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak terkait, kepedulian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta kesadaran kolektif dari berbagai pihak lain, termasuk bagi para sastrawan lokal. Kenapa perlu dicanagkan program Sastrawan Masuk Sekolah?
Selama ini, tidak sedikit telah dikeluhkan bahwa guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kerap melewati (melompati) materi kesastraan dalam pembelajarannya. Jika tidak melewati (melompati), mereka sampaikan dengan seadanya dan sesampainya, atau seingat-ingatnya saja, apa yang masih nyangkut dalam sisa-sisa ingatan masa kuliah.
Apalagi dulu pada masa kuliah hanya didapat di kelas saja, itupun dosennya kerap izin tidak masuk kelas, ditambah lagi tidak ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM) sastra, tidak pernah menghadiri acara atau diskusi-diskusi sastra, buku-buku sastra juga hanya koleksi yang diwajibkan dari dosen mata kuliah itu semata. Lalu pengalaman kesastraan dari mana yang dikantongi?
Entahlah, dengan alasan apa pun, tentu segala itu sangat tidak bisa dimaafkan. Dosa besar bagi dunia pengajaran! Dosa turun-temurun yang tiada pernah terampuni! Sudah menjadi rahasia umum, tidak jarang didapati kasus itu, guru melompati materi sastra dalam mengajar di kelas.
Padahal sudah sangat jelas, anak didik sangat perlu disuntik sastra. Bahkan sudah menjadi keharusan bagi negara-negara maju, bahwa bacaan-bacaan sastra wajib dikonsumsi semua siswa, semua mahasiswa dalam bidang ilmu apa pun. Setiap tahun diharuskan mengkhatamkan sekian puluh judul buku sastra.
Nah jika di Indonesia ini bagaimana? Jangankan semua siswa atau mahasiswa semua bidang ilmu, bagi yang jelas-jelas menekuni sastra saja, berapa buku sastra yang diwajibkan untuk ditelan setiap tahunnya? Sudahkah kampus-kampus yang ditangkringi program studi kesastraan memberlakukan aturan itu dengan ketat dan tegas?
Mustahil kita berteriak-teriak, mendengung-dengungkan kebinekaan, toleransi, dan seabrek kemuliaan-kemuliaan berkehidupan. Kita paham, tanpa sastra, sudah tentu hidup ini akan menjadi kaku. Akan semakin sering kita temui generasi penerus bangsa yang kehilangan roh spiritual, moral, dan jiwa nasionalisme. Akan sering pula kita temukan orang-orang yang memiliki sumbu pendek, mudah menyalahkan orang lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bahkan, akan mudah mengkafirkan kaum lain yang katanya tidak sesuai dengan keyakinannya. Begitu panjangnya pekerjaan rumah kita. Lalu hendak kita mulai dari mana? Tentu, yang paling sederhana adalah jawaban klise yang begitu menggedor telinga kita, dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari kesadaran kolektif berbagai pihak yang telah tersebut sebelumnya tadi.***


─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Peserta Munas Sastrawan Nasional (MUNSI II) 2017. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Tahun ini akan menerbitkan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.

Selasa, 08 Agustus 2017

Catatan Harian Seorang Bapak 'Nakal' (Derap Guru. Agustus 2017)

Catatan Harian Seorang Bapak ‘Nakal’
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku         : “Bapak Nakaaal...!”
Penyusun            : Budi Maryono
Penerbit              : Gigih Pustaka Mandiri
Cetakan              : I, April 2017
Tebal                  : xiv + 376 halaman
ISBN                  : 978-602-1220-14-6

Di era seperti sekarang ini, tentu masyarakat kita telah begitu asing dengan catatan harian. Diary (buku harian) seakan telah menjauh dari benak, ingatan, dan imaji seseorang. Buku harian yang dulu berwujud kecil-mungil dan selalu dibawa ke mana pun seseorang pergi, kini tak tersentuh, tak menjadi bagian dari aktivitas keseharian lagi.
Seseorang seperti sudah tidak lagi punya waktu untuk mencatat segala yang dialami, dijalani, dan berkesan setiap harinya. Seseorang sudah terlanjur disibukkan dengan seabrek rutinitas dan pekerjaannya masing-masing. Sibuk menyuntuki gawai canggihnya untuk berkomentar dalam group-group media sosial saat menunggu bus di halte, menunggu keberangkatan kereta, atau menanti jadwal penerbangan di bandara.
Meski sesungguhnya tak pelak lagi, setiap diri tentu butuh mengabadikan momen bermakna, memanjangkan ingatan dari kejadian yang berkesan, baik momen personal atau peristiwa lain bersama sahabat, pasangan, komunitas, atau keluarga.
Budi Maryono dalam bukunya “Bapak Nakaaal...!” (Gigih Pustaka Mandiri, April 2017) seakan mengajak dan mengingatkan kembali kepada khalayak ramai, betapa catatan harian perlu dikerjakan lagi. Buku yang cukup tebal tersebut berisi catatan dari kisah penulis bersama keluarganya dalam berlaku hidup di rumah, bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Bertitimangsa 2010-2014, tiap tahun terdiri dari berbagai judul yang telah berurutan kapan peristiwa terjadi dan kapan catatan dituliskan.
Budi Maryono seakan berikhtiar mencipta sejarah kehidupan bagi keluarga, bagi seorang istri dan ketiga anaknya. Catatan-catatan ditulis dengan pengisahan sederhana, mudah dipahami dan tidak panjang, rata-rata berkisar dua hingga tiga halaman. Nampak jelas, penulis prosa Di Kereta Kita Selingkuh (2008) ini hendak menyasar para pembaca yang lebih luas, tidak hanya para penyuka sastra semata, namun ia tujukan untuk keluarga Indonesia.
Kejadian-kejadian sederhana dan syarat tak terduga di benak pembaca dihadirkannya dalam buku ini. Dari mulai kisah keluarga penyayang kucing, persoalan pengasuhan anak, penanaman akhlak dan moral bagi anak, memerdekakan anak dalam menentukan masa depannya, hingga perihal laku keluarga dalam beragama.
Rencana semula berdua saja tapi kemudian berubah pikiran dan kami sepakat untuk iktikaf serumah. Kemarin, Jumat 17 Agustus, kami pun berangkat dengan taksi sekitar pukul sepuluh malam. (Ketika Lebaran di Depan Mata, hlm. 179). Kisah Budi Maryono bersama istri dan anak-anaknya menjalani iktikaf berjamaan di Masjid Baiturrahman Semarang pada malam 29 Ramadan. Tengah malam hingga pukul tiga pagi, mereka memilih baitullah ketimbang baitulmall ketika lebaran sudah di depan mata.
Budi Maryono, dalam buku ini menyuguhkan kisah-kisah berbentuk prosa pendek yang bersumber dari kenyataan hidupnya. Kisah-kisah mengalir dengan nada tak menggurui, walaupun terkadang kerap didapati nasihat yang ia sampaikan kepada anak-anaknya melalui dialog dalam kisahnya. Ia memposisikan diri sebagai “bapak” pencatat. Lebih banyak menyibak momen istri dan anak-anaknya, baik di dalam maupun di luar rumah. Namun, ia tetap menjadi bapak ‘nakal’ dalam menyutradarai jagat keluarganya.
Hanya saja, ada bagian-bagian kisah yang seakan menjenuhkan pembaca. Ketika Budi Maryono tak sedikit menghadirkan kisah-kisah momen ulang tahun yang berulang setiap tahunnya. Anggota keluarganya berjumlah lima, berapa kali dalam setiap tahun kisah itu berulang? Belum lagi, ulang tahun pernikahannya pun kerap dikisahkannya pula. Meskipun ceritanya tercatat berbeda-beda, namun jika dengan momen sama, tentu tetap saja akan mengganggu mata pembaca.***



─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016) dan Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).

Spirit Selepas Lebaran Rampung (Derap Guru, Agustus 2017)

Spirit Selepas Lebaran Rampung
Oleh Setia Naka Andrian

Lebaran telah usai. Halal bi halal tinggal sisa-sisa. Tidak sedikit dari lembaga pemerintahan, pendidikan, komunitas, organisasi serta masyarakat luas menjalani ritual tahunan tersebut pada minggu pertama, kedua, ketiga, atau bahkan minggu keempat Lebaran. Saling bermaaf-maafan, setelah mengaku banyak berbuat salah. Halal bi halal dilaksanakan, setelah tunai menjalankan puasa di bulan Ramadan. Datang bersama keluarga lengkap dengan anak-anaknya. Sapa, gurau dan canda menjadi kebahagiaan tersendiri dalam ritual silaturahmi. Sambil menikmati beragam sajian masakan khas daerah.
Pemaknaan halal bi halal ditandai dengan berlangsungnya perayaan Idul Fitri. Tentunya sama halnya yang dilakukan di daerah-daerah lain. Pada intinya, halal bi halal menjadi ajang silaturahmi sesama untuk saling memaafkan, setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Selain itu dimaknai pula sebagai ajang pertemuan setelah seseorang jarang bertemu atau bahkan berpuluh-puluh tahun tidak pernah bertemu. Hingga akhirnya momen penuh berkah tersebut ditandai pula dengan kegiatan reuni.
Bagi masyarakat Kendal misalnya, selain momen tersebut juga didapati tradisi yang menjadi penghormatan tersendiri bagi tokoh penyebar agama Islam di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Dikenal dengan sebutan Syawalan, sebagai peringatan hari meninggalnya Kiai Asy’ari atau dikenal dengan Kiai Guru. Syawalan berlangsung sejak H+1 Lebaran hingga tiba pada puncaknya yakni H+7 atau biasa disebut masyarakat luas dengan sebutan Lebaran Kupat.
Syawalan yang digelar rutin setiap tahun selepas Idul Fitri ini memang sudah rutin digelar tiap tahun. Hingga akhirnya tradisi ini mampu menyedot ribuan orang untuk berduyun-duyun mengunjungi makam di bukit Jabal Desa Protomulyo. Para peziarah datang tidak hanya dari dalam kota saja, namun dari berbagai penjuru kota pula. Mereka berniat tulus untuk mendoakan dan mengharap berkah kebaikan di bulan Syawal. Walaupun untuk menempuh makam, mereka harus berjalan kaki lima kilometer menaiki bukit. Bahkan karena terlalu banyaknya peziarah yang berkunjung, warga harus bergantian untuk mendapatkan kesempatan mendoakan langsung di depan makam Kiai Asy’ari atau Kiai Guru.
Selain itu juga ke makam Sunan Katong, Kiai Mojo, Kiai Mustofa, Wali Musyafa. Makam begitu ramai, ribuan orang berjubel, penuh dan berdesakan. Hingga hal tersebut dimanfaatkan para pedagang untuk menjual makanan, minuman, mainan anak-anak. Syawalan menjadi keberkahan, tradisi masyarakat. Muslichin (2008) menyebutkan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang berangkat dari sistem keyakinan. Dalam tradisi masyarakat mengulangi apa yang dilakukan oleh manusia pada masa dahulu.
Tradisi menjembatani apa yang sudah diciptakan dan dimulai oleh nenek moyang sampai generasi yang terakhir. Manusia masa sekarang sebagai pendukung kebudayaan tersebut merasa memiliki dan perlu menjalankan apa saja yang telah melekat menjadi bentuk tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan kesungguhan dan didasari ideologi Islam yang kuat. Maka masyarakat tidak melaksanakan sebatas rutinitas semata, namun mampu menumbuhkan spirit tersendiri. Tentunya akan mereka gunakan untuk bekal pada kelangsungan hidup berikutnya, agar lebih semangat, berkah dan mampu membawa perubahan yang cukup fundamental bagi substansi kebudayaan Indonesia.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Universitas PGRI Semarang. Menulis buku Perayaan Laut (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).

Senin, 07 Agustus 2017

Paguyuban dan Sambung Napas Institusi

Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Oleh Setia Naka Andrian

Hari Minggu, adalah hari yang saya setir untuk selalu bangun pagi. Bahkan lebih pagi dari hari-hari lain. Jika hari Senin hingga Jumat (hari kerja), saya biasa bangun pukul 5 hingga mepet-mepetnya pukul 6 atau melestnya pukul 6.30, maka tidak untuk hari Minggu. Tubuh ini seakan telah merekam jejak gerak anggotanya, seolah ada alarm kecil yang selalu menggedor diri ini untuk untuk bangun sangat pagi. Hanya di hari Minggu saja. Tak lain karena sejak dulu kala, hari Minggu selalu saya gunakan untuk memburu koran.
Mengingat di Kendal, di tempat lahir dan tempat tinggal saya begitu susah untuk menemukan warung penjual koran yang lengkap. Penjual koran yang mampu menyediakan beraneka ragam pilihan koran, seperti halnya beragam menu masakan yang ditawarkan di balik etalase warung masakan Tegal (Warteg). Kita akan dibuat manja untuk menunjuk apa saja yang bakal diramu untuk dimasukkan ke dalam perut sebagai pemenuh nutrisi tubuh dan penggugur godaan lapar mata.
Itu tidak saya temukan. Rumah saya berada di tengah, di kecamatan Brangsong. Saya dapat menemukan koran-koran yang saya pilih dengan harus menembus arah barat dan timur. Barat di kecamatan Kota Kendal, dan timurnya berada di kecamatan Kaliwungu. Itu pun, belum lagi jika dihadapkan dengan penjual koran di Kaliwungu yang kerap tutup tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada saya. Jika penjual koran tersebut boleh berpendapat dalam catatan ini, pasti ia akan teriak, “Lha memang situ siapa?”
Kedua belah arah berburu koran tersebut kian menjadi bagian kecil dari jagat hidup saya yang entah. Seolah tak bisa dipisahkan dengan hari Minggu. Hari-hari yang seharusnya saya atau siapa pun akan menganggap sebagai hari pancal selimut (hari bermalas-malasan, hari kruntelan), namun segala itu dapat dijalani dengan mulus karena kekuatan yang sulit diriwayatkan itu.
Belum lagi jika dulu yang lebih silam, saat saya masih tinggal bersama kedua orangtua. Tempat tinggal saya lebih jauh lagi, meskipun masih dalam satu kecamatan dengan tempat persembunyian saya saat ini. Tentu pembaca yang sempat menghinggapi ngunduh mantu pernikahan saya akan cukup paham. Betapa pelosoknya kampung halaman saya. Betapa buruknya jalan yang harus dilalui hingga menuju kampung tempat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga melampaui masa setengah matang, sebelum hengkang melanjutkan kuliah di kota tetangga.
Segala itu seakan dipandang sebagai beban yang enteng, karena semua dilakukan berkali-kali. Dimulai dari keinginan dan keyakinan kuat untuk mendapatkan sesuatu. Jika dalam sebuah proses penciptaan aktor teater, ada yang disebut sebagai aktor bentukan mekanik, aktor yang dibentuk seorang sutradara (pelatih, ahli) karena tempaan gerak latihan yang berkesinambungan dan pembiasaan.
Lalu ada pula aktor bentukan alamiah, dengan tanpa dipacu atau tanpa tempaan apa pun, daya keaktorannya tetap bercahaya dan memukau ke hadirat penonton di atas panggung pertunjukan. Nah, yang saya lakukan ini hampir semacam aktor bentukan mekanik tadi, karena tempaan berkali-kali dan kebiasaan yang didorong atas keinginan keras serta kecintaan mendalam. Benar, mirip dengan dengungan penyemangat diri, bisa karena biasa! Dalam hal apa pun, kita tentu dapat berpengang dari itu. Entah aktivitas kerja, kegemaran, berkomunitas, dan segala macam berguyub-guyub lainnya.
Seperti halnya Minggu pagi ini, pada 6 Agustus 2017. Pertemuan Paguyuban Fakultas Pendiidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas PGRI Semarang di Pemancingan Baron Semarang menjadi salah satu bagian kecil yang sangat berdampak besar bagi kehidupan saya pribadi. Maaf sedikit intermeso, jika kalimat tersebut membuat saya ternobatkan menjadi sosok halu di hadapan pembaca. Ah, lagi-lagi saya harus bertemu dengan istilah semacam halu itu, yang saya temukan dari ucapan istri saya. Katanya itu istilah gaul, yang jika diperpanjang menjadi halusinasi. Kata istri saya, kaum halu. Saya kaum yang penuh khayal. Waduh.
Namun begitulah adanya, saya menemukan catatan kecil ini pun atas imbas dari pertemuan paguyuban tersebut. Atas pertemuan, tegur-sapa, kisah dan cerita-cerita dari teman kerja, guru, dosen. Di antaranya, Bu Sri Suciati, Bu Siti Lestari, Bu Asrofah, Bu Ngatmini, Pak Suyitno, Pak Broto, Pak Harjito, dan lainnya. Segenap canda, lomba anak-anak yang lucu-lucu, serta rangkaian acara dalam paguyuban, begitu rupa membuat diri ini semakin tergugah. Semakin banyak yang harus dipikirkan, dilakukan, dan tentu, diperjuangkan! Tentu, dalam gerak diri, dan sambung napas institusi.
Saya seakan digiring dalam banyak ruang yang masih kosong. Tiba-tiba saya kembali ingat kampung halaman, ingat berburu koran, ingat segala hal yang awalnya tiada terngiang di benak dan hati saya. Jika boleh saya tegaskan, semua itu karna imbas pertemuan. Benar, karena paguyuban! Jika kita renungkan sejenak, kini kita hidup di zaman yang serba mudah.
Kita seakan dibuat manja atas segala godaan-godaan yang ditawarkan. Mau makan bisa di antar sampai tujuan, hanya dengan menekan beberapa tombol ajaib dalam ponsel pintar kita. Mau janjian, dipenuhi dengan tombol itu lagi. Bahkan, hingga mau membatalkan janjian pun sama, kita diselamatkan dengan tombol itu lagi. Sungguh, betapa semuanya bergantung, bermuara, dan berimbas dari tombol itu.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dan yang begitu menggoda itu, seakan semakin membunuh pertemuan tubuh kita ke hadirat khalayak. Kita beranggapan, bahwa pertemuan-pertemuan telah rampung di ruang-ruang grup-grup yang dilahirkan dari aplikasi ponsel pintar kita. Lantas, kita beranggapan tiada perlu lagi menjalani pertemuan tubuh. Jika tidak ya, pertemuan tubuh itu semakin berkurang, lalu hingga berakhir pada hilang mutlak. Sama sekali tidak bertemu, sama sekali tiada lagi jabat sapa, jabat cerita, dan jabat-jabat tralala lainnya.
Tentu, sebuah pertemuan dalam paguyuban atau dalam wujud komunitas lainnya, tetap perlu ditegakkan. Dengan jabat tubuh, kita akan semakin menjauh dari kecurigaan, was-was, kegagalpahaman terhadap diri lain, atau setidaknya, dapat dikatakan pertemuan tubuh telah menemukan nilai lain yang sangat tidak kita temukan melalui media apa pun, secanggih apa pun. Sebab, di ragam media itu, kita tak mampu bertatap mata. Sebab katanya, mulut bisa bohong, dan mata tidak. Di media sosial, mata kita hanya dihadapkan dengan layar kaca. Mata tak bertemu dengan mata. Mata yang hanya akan semakin menggiring kita dalam curiga-curiga.***


─Setia Naka Andrian, tinggal di setianakaandrian.blogspot.co.id yang sedang berupaya menjadi setianakaandrian.com

Sabtu, 05 Agustus 2017

Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif (Tribun Jateng, 5 Agustus 2017)

Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif
Oleh Setia Naka Andrian

Salim Said dalam bukunya Profil Dunia Film Indonesia (1982) mengisahkan bahwasanya Usmar Ismail berusia 29 tahun ketika mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada 1950. Usmar konon berkata, “Kami tidak akan mempertimbangkan segi komersial.” Dengan bakat dan kemauan ia bertekad menciptakan film nasional. Terbukti, film pertamanya Darah dan Doa (kisah Long March Siliwangi) mengalami keterbatasan dana ketika sedang melakukan pemotretan (pengambilan gambar) di Subang Jawa Barat.
Pengisahan tersebut setidaknya dapat dijadikan pijakan generasi muda kita, khususnya bagi sineas yang sedang berasyik-masyuk dalam gegap komunitas. Bahwa sebuah proses kreatif harus tetap dilakukan, apa pun yang terjadi. Persoalan dana produksi pun sejak masa Usmar hingga saat ini menjadi masalah klasik. Tiada alasan apa pun yang dapat menghentikan roda berkesenian.
Seperti di Kendal, Rumah Kreatif Film Kendal (RKFK) telah menggelar pemutaran perdana filmnya beberapa waktu lalu pada 30 Juli 2017 di Pendopo Kabupaten Kendal. Malam itu, di ruang pemutaran yang seadanya, ruang akustik yang entah, sound system ala kadarnya dan pencahayaan yang semena-mena, tak membuat film berjudul Reksa dengan durasi 44 menit gagal menghampiri khalayak. Gedung pendopo malam itu begitu penuh dengan kisaran 300 pengunjung, sebagian besar di antara mereka adalah anak muda.
Hal serupa itu sekiranya menjadi bukti nyata, bahwa masyarakat kita begitu menggemari film. Ketimbang misalnya, jika dihadapkan dengan pertunjukan teater, apalagi jika diminta untuk merampungkan sebuah kisah dalam novel. Maka terbukti, akhir-akhir ini banyak bermunculan film yang bersumber dari kisah novel. Menjadi upaya lain untuk tetap menghadirkan kemuliaan kisah novel melalui sebuah karya visual dan audio. Lengkap sudah, masyarakat kita hanya diminta untuk duduk manis saja, bisa pula tiduran, atau dengan cara menonton seperti apa pun. Mereka tetap bisa menikmati guyuran kisah dengan tenang.
Apalagi film garapan Mustofa, sineas yang baru berusia 19 tahun tersebut mencoba mengangkat persoalan yang begitu dekat dengan masyakarat Kendal. Benak penonton diguyur bahasa, gerak, seni, budaya, dan segala hal yang begitu lekat dengan kampung halaman mereka. Dari mulai barongan khas Kendal, tradisi mencari ikan (gebyok), hingga persoalan pelik mengenai Tenaga Kerja Wanita (TKW) begitu rupa dihadirkan dalam jagat layar mereka.
Mengingat, Kendal merupakan pengirim TKW terbanyak di Jawa Tengah selepas Cilacap. Ini tentu menjadi persoalan lain, karena RKFK berencana untuk memutar keliling film ini ke kampung-kampung. Akan beda ceritanya jika suatu ketika film tersebut diputar dalam sebuah kampung yang ternyata didapati banyak keluarga TKW. Entah, segala ini dapat melukai mereka atau justru membuat mereka sadar.
Meski siapa pun berharap, melalui tangan Mustofa, sineas yang baru saja mendapatkan beasiswa di Jogja Film Academy tersebut, dapat membuat film ini benar-benar menjadi ikhtiar untuk memantik kesadaran kolektif masyarakat kita. Dihadirkannya sebuah keluarga petani miskin. Mereka adalah Reksa, seorang anak SD yang diperankan oleh Wahyu Zulfahmi. Dilahirkan dari ayah bernama Sukri yang diperankan Jatmiko dan ibu bernama Sum yang diperankan Siti Nur Azizah.
Awalnya Reksa sangat tidak menginginkan jika ibunya berangkat kerja ke Malaysia. Begitu pula ibunya, ia pun sama seperti Reksa. Apa pun yang terjadi, tetap ingin menjalani segenap hidup di negeri sendiri. Namun segala itu tak bertahan lama. Sukri, sang ayah tak kuasa menahan godaan dari tetangganya yang ternyata dapat hidup lebih layak karena sang istri bekerja di luar negeri. Setiap kali mengantarnya anaknya, Sukri menggunakan sepeda butut. Selalu berpapasan dan bertemu dengan tetangganya yang mengenakan sepeda motor saat mengantar anaknya. Sepeda motor hasil keringat sang istri yang bekerja di luar negeri.
Pada akhirnya, Sukri nampak naik pitam. Terlihat memaksakan agar Sum mau bekerja di Malaysia. Sum pun tak kuasa menolak, begitu pula Reksa. Meskipun, keseharian Reksa nampak berantakan selepas ditinggal ibunya. Segala ketidakberesan pun dijalani Reksa, sebagai anak yang begitu merindukan kehadiran sosok ibu, yang baginya sangat tak tergantikan. Reksa mencuci pakaiannya sendiri, suatu ketika baju seragamnya tak kering. Lantas ia tetap mengenakan seragam itu ke sekolah. Akhirnya, ia diledek temannya. Reksa jadi korban.
Selain beberapa hal tersebut, RKFK juga berupaya mengajak masyakarat untuk menumbuhkan rasa kecintaan dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi serta dimiliki daerahnya. Banyak kearifan suatu wilayah yang ternyata belum tergarap, belum tercatat, dan bahkan semakin tak dikenali. Tentu segala ini sesunggunya menjadi pekerjaan rumah bersama. Segenap masyarakat punya hak untuk menyelamatkannya. Sebelum Kendal benar-benar lupa ingatan, karena tiada lagi yang sanggup atau terketuk hati untuk menyelamatkan riwayat kampung halaman. Meskipun dalam peluncurannya, film Reksa tak dihadiri oleh pejabat. RKFK mengaku telah mengirim undangan kepada pemimpin dan segenap dinas terkait.***


─Setia Naka Andrian, Dosen UPGRIS. Pencatat gerak seni budaya Kendal.