Kamis, 27 Juli 2017

Pengajar di Luar Tempurung (Wawasan, 27 Juli 2017)

Pengajar di Luar Tempurung
Oleh Setia Naka Andrian

Tentu setiap orang menyimpan banyak kenangan dari riwayat pengajar/gurunya masing-masing. Barangtentu sudah sangat kita akrabi ungkapan William Arthur, bahwa guru biasa ‘mengatakan’, guru baik ‘menjelaskan’, guru superior ‘mendemonstrasikan’, dan guru luar biasa ‘menginspirasi’. Pasti sepanjang hidup kita hanya akan mengingat beberapa saja pengajar yang menginspirasi, dibandingkan dengan begitu banyak pengajar yang ‘terlupakan’ riwayat kenangannya saat kita mengenyam bangku sekolah.
Entah tentang guru fisika yang selalu tidak membawa apa-apa ketika masuk kelas, namun begitu hafal dengan rumus-rumus dan segenap materi yang disampaikan di kelas. Guru yang berprofesi sebagai pengusaha sukses dengan mobil mewah yang selalu berganti-ganti. Atau guru bahasa Indonesia yang mahir membaca puisi, berteater, menulis, dan langganan juara lomba. Guru penulis buku-buku pelajaran yang diterbitkan penerbit major, dan seabrek kenangan lainnya. Tentu segala itu akan mudah kita riwayatkan kembali sebagai inspirasi hidup. Lebih-lebih, segala itu kita peroleh lebih banyak dari kenangan pengisahan guru kita di kelas pada sela-sela pelajaran sebagai intermezzo, ketimbang pelajaran yang disampaikannya.
Apa lagi di negeri kita ini, pembelajaran yang paling mujarab tentu yang disampaikan melalui metode ceramah. Tentu tidak dapat kita pungkiri, walaupun telah banyak ditemukan seabrek metode pembelajaran oleh pakar pendidikan kita. Tetap saja, dari mulai pagi di sekolah formal, hingga sore hari di sekolah diniah, misalnya. Guru kita akan lebih gemar berceramah. Mengisahkan banyak hal, baik yang masih terkait dengan materi pelajaran, atau bahkan yang sama sekali tidak ada kaitannya. Segala itu, tentu dilakukan atas dasar ikhtiar pembentukan nilai lain. Agar sekolah tidak hanya terkesan mengemban tugas untuk mengguyur ilmu pengetahuan semata.
Guru menginspirasi, tentu yang begitu terkenang di benak siswanya. Guru yang mampu memberikan ‘spirit lain’ atau pandangan lain kepada siswanya. Guru yang mampu menyeret imajinasi siswanya untuk mendalami sesuatu yang memang patut untuk diperjuangkan demi kehidupan diri, yang lebih baik tentunya. Guru yang tidak sekadar memberikan contoh semata, namun benar-benar mengajak untuk bergelut pada bidang tertentu. Entah yang dapat dilakoni pada saat masih menjalani proses pembelajaran di sekolah, atau kelak pada masa selanjutnya.
Seperti halnya tadi, guru fisika yang melampaui guru fisika lainnya, guru bahasa Indonesia pula. Tentu guru-guru tersebut merupakan pengajar yang berani mengambil keputusan lain. Guru yang beraktivitas tidak sekadar menyuntuki tugas-tugas administratif di sekolah tempatnya mengajar saja. Namun, telah mampu mengembangkan segenap potensi diri. Entah  dengan memperbanyak persinggungannya dengan komunitas atau forum-forum tertentu yang memicu semangat untuk menjadi ‘diri lain’ selain sebatas sebagai guru semata.
Guru yang tidak melulu percaya bahwa kehidupannya hanya sebatas menyuntuki segala yang sudah diterimanya saat ini. Artinya, tidak ada niatan untuk lebih memompa potensi dalam diri, keluar dan berpetualang lepas melampaui capaian orang lain di sekitarnya. Seperti halnya yang dikisahkan Benedict Anderson (2016), bahwasanya peneliti (seseorang) yang merasa betah dengan posisi mereka di suatu disiplin, jurusan, atau universitas tidak akan mencoba berlayar keluar dari pelabuhan atau mencoba-coba cari angin. Menurutnya, yang perlu dipegang teguh adalah kesiapan untuk mencari angin itu dan keberanian untuk mengikutinya, manakala ia menembus ke arahmu.
Pastilah setiap orang memiliki potensi lain, baik yang sudah kelihatan, yang masih samar-samar, atau bahkan yang belum nampak sekalipun. Hal ini tentu yang perlu dipicu adalah niatan untuk menemukan sesuatu yang baru, jika barangkali beberapa hal yang sudah ditemukan belum sepenuhnya klik di hati atau belum mampu menggapai capaian tertentu. Maka tidak heran, jika banyak pula masyarakat kita, selepas lulus sekolah/kuliah pada bidang tertentu, setelah itu bekerja pada bidang lain yang sangat berseberangan. Bisa jadi, itu semua akibat diri yang gegabah dan belum sepenuhnya mengamini bahwa hidup di dunia ini sejatinya adalah sebuah proses, sebuah perjalanan panjang untuk menjadi.
Lalu bagaimana dengan nasib pengajar kita saat ini? Dalam segenap aktivitas mereka seolah-olah begitu terbebani dengan kesibukan aktivitas administratif yang bertumpuk-tumpuk. Kegiatan di luar akademik yang membabi-buta, serta seabrek perjumpaan kerja yang seakan semakin menceraikan mereka dari buku, perlombaan bagi guru, atau bahkan pergulatan komunitas dan forum-forum mulia yang seharusnya diperlukan untuk menyambuki diri menjadi pengajar-pengajar yang bergerak di luar tempurung.
Mengingat, pada kenaikan pangkat jenjang tertentu misalnya. Guru Utama dengan pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e diwajibkan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Di antaranya tuntutan pengembangan diri,  publikasi ilmiah, dan/atau pengembangan karya inovatif. Misalnya pada bagian publikasi ilmiah, guru dituntut untuk publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru. Jika segala ini dituntut pemerintah, tentu mereka akan mau melakukan. Namun akankah masih mampu mengejar karya yang fenomenal, jika guru masih bernalar di dalam tempurung? Jika guru masih selalu disuntuki kerja-kerja administratif yang bertubi-tubi?***


─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.