Rabu, 14 Desember 2016

Menimbang (Ketiadaan) UN (Wawasan, 14 Desember 2016)

Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional
Oleh Setia Naka Andrian

Saya masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak menghadapi Ujian Nasional (UN). Yakni pada jenjang pendidikan dasar (SD), saat itu masih disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) tahun 2001.  Barangtentu hal itu sangat dirasakan pula oleh siswa saat ini. Jika kita runut beberapa istilah ujian tersebut, di antaranya Ujian Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Nasional (1980-2002), Ujian Akhir Nasional (2003-2004), dan Ujian Nasional (2005-sekarang).
Dalam perjalanan panjangnya, deretan ujian tersebut menjadi riwayat momok yang tiada terkira bagi siswa kita. Ujian menjadi sebuah titik akhir yang diyakini sebagai jalan penting. Jalan sangat akhir dan satu-satunya. Seolah proses-proses sebelumnya dan proses lainnya tidak begitu berarti jika sudah hendak berhadapan dengan UN. Mata pelajaran (mapel) lain yang tidak diujikan nasional pun menjadi terabaikan, tidak diajarkan dengan sebagai manamestinya seperti mapel nasional tersebut. Jika saya kala itu hendak UN pada jenjang SD, ya hanya Matematika, bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja yang diguyur mati-matian oleh guru kelas saya.
Bahkan, saya ingat betul kala itu. Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester akhir menjelang ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata pelajaran (mapel) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya. Misalnya pada mapel yang dinilai sangat sulit semacam matematika, pagi merampas jam mapel lain, dan siangnya masih ada tambahan jam pelajaran lagi. Bahkan sempat pula, pagi hari ada tambahan jam pelajaran pula sebelum waktu masuk kelas pada jam pelajaran yang semestinya.
Bayangkan, pengisahan tersebut sungguh sangat mengerikan. Tentu hal serupa masih terjadi hingga saat ini. UN menjadi ujian akhir yang menyeramkan. Lebih-lebih, pada masa saya kala itu, tidak ada ujian ulang. Jika tidak lulus ya sudah. Akan mengulang sekolah pada jalur kejar paket, di antaranya Kejar Paket A (SD), Kejar Paket B (SMP), dan Kejar Paket C (SMA). Itu bagi saya sangat mengerikan. Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan ujian.
Orangtua pun tentu tak berani mengganggu. Segala aktivitas yang seharusnya dilakukan semacam mencuci baju, membersihkan kamar, semua tidak diperintahkan kepada saya. Sungguh, segalanya begitu menyeramkan. Jika saya ingat kembali masa itu, saya rasa begitu tragis. Seakan UN menjadi penentu utama dan sama sekali tidak ada lainnya. Sebagai tolok ukur utama, dan sangat menutup penilaian lainnya.
Hingga akhir-akhir ini begitu ramai diperbincangkan mengenai moratorium UN. Berhari-hari bergulir menjadi diskusi publik yang bergelimang seakan tiada hentinya. Segenap pemangu kepentingan pendidikan, praktisi, politikus, bahkan hingga Presiden Jokowi turut andil dalam persoalan yang sebenarnya sudah menjadi penyakit tahunan bagi dunia pendidikan kita.
Tidak sedikit pihak pun, menginginkan agar dilaksanakan penghentian pelaksanaan UN. Wacana yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy ini, sekan hanya menungu ketuk palu peraturan presiden tentang penghentiannya. Namun, tentu segala ini harus benar-benar ditimbang dengan baik. Jangan sampai segala ini hanya akan menjadi tindakan-tindakan yang terkesan gegabah. Jangan sampai pula, segala ini akan dinilaimasyarakat sebagai penyakit lama, yakni pemerintahan (menteri) baru maka hadir pula kebijakan baru. Menteri baru, maka bergulirlah kurikulum baru.
Tentu masyarakat kita sudah sangat pandai. Masyarakat sudah mampu menilai. Tentu kita semua juga sangat paham, setiap orang (pemimpin) memiliki caranya masing-masing untuk memajukan bangsa dan negara ini. Barangtentu, segala itu ada baik dan buruknya. Ada pula kekurangan dan kelebihannya. Maka, barangtentu yang terpenting adalah segala yang diputusan itu sudah menjadi keharusan yang memang sudah melalui pertimbangan dan riset yang matang. UN hilang bagus, diganti dengan evaluasi lain, tentu bagus. Asal tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta tetappada jalur tujuan pendidikan kita.
Seperti halnya misalnya jika benar jadi, UN tingkat dasar dan menengah dikelola pemerintah daerah, lalu UN tingkat atas dikelola pemerintah provinsi, misalnya. Segala itu butuh persiapan yang matang. Pmerintah harus mempersiapkan siapa saja yang akan membuat soal di tingkat daerah dan provinsi terebut. Sudah layak atau belum para pembuat soal tersebut. Jika belum, bagaimana solusinya.
Lalu tetap harus pula mengantisipasi kecurangan-kecurangannya. Tingkat nasional saja banyak ditemui kasus, bagaimana lagi jika tingkat dan provinsi yang ruang lingkupnya lebih kecil. Seperti itu kiranya. Yang pasti, ujian harus tetap ada. Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati tentunya. Semoga.


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.