Sabtu, 10 September 2016

Membangun Kota dengan Seni (Tribun Jateng, 10 September 2016)

Membangun Kota dengan Seni
Oleh Setia Naka Andrian

Nasib kota sebuah kota tentu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak melulu urusan pemerintah saja, yang biasanya kerap kali lebih mementingkan bangunan infrastrukturnya ketimbang sumber daya manusianya.
Peran seniman lokal bisa jadi sebagai tumpuan utama. Kenapa begitu, karena bagaimanapun sejarah dan usia kota tidak bisa lepas dari nilai-nilai estetis di dalamnya. Baik terkait ketahanan filosofis dan kulturalnya. Itu tanggung jawab seniman, bukan?
Saya ingat, apa yang dikisahkan Tubagus P. Svarajati (2012) dalam sepenggal esainya, “Meski kita paham, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis.”
Seniman kita, seakan begitu abai dengan kota yang melahirkan dirinya. Bahkan, jika di antara mereka masih selalu dihinggapi beragam apologia sebelum melakukan apa-apa. Maka cepat atau lambat, takdir sebuah kota akan berhenti begitu saja.
Dalam hal ini, jika kita simak di Kendal, selama lima tahun terakhir telah banyak bermunculan komunitas-komunitas seni kreatif. Baik yang fokus bersastra, seni rupa, teater, musik, film, dan lainnya. Seakan menyibak belantara kota melalui seabrek aktivitas saban harinya. Namun apa arti semua itu, jika program-program kreatif belum menyentuh bahkan sangat jauh dengan aktivitas pendokumentasian riwayat kota secara serius. Sebab, nasib sebuah kota akan tetap selalu bertarik magnet, antara sebuah kenyataan dan gagasan.
Komunitas seni kreatif layaknya hanya akan menjadi angin lalu, yang akan tumbuh berkembang beberapa saat. Lalu pada akhirnya pelan-pelan menunggu tumbang atau menemui ajal, kehancuran, mati suri, dan entah istilah mengerikan lainnya. Memang, sangat sulit kita temukan, misalnya, beberapa kelompok yang begitu berjaya pada masa lalu dan hingga saat ini masih bergerak atau menyisakan catatan kemuliaan di mata publik.
Sebut saja, jika di Kendal memiliki Teater Semut, dengan Aslam Kusatyo sebagai sutradara sekaligus aktor kawakan yang konon salah satu tokoh yang begitu mati-matian menghidupi khazanah teater dan sastra di tanah Bahurekso ini. Tentu, hingga saat ini masih terdengar, mengingat bagaimana ia diakui telah melahirkan jawara-jawara lomba teater, baca dan tulis puisi misalnya, bagi kalangan pelajar.
Begitu pula, ia dicatat melahirkan generasi penerus yang khusyuk menekuni sebagai pengajar ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah. Bolehlah kita sebut beberapa tokoh muda. Di antaranya Akhmad Nasori, Hidayat Kliwon, dan Sobiron, misalnya. Ada pula yang mendirikan kelompok baru, sebut saja Akhmad Sofyan Hadi, aktor yang sempat menyabet juara II monolog dalam ajang Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) 2008, sebagai salah seorang pendiri Jarak Dekat dengan beberapa aktivitas yang berniat menghidupi teater di Kendal. Walaupun tetap saja, jika di kota tetangga (Semarang) kesenian teaternya dihidupi oleh teater-teater kampus, maka di Kendal diramaikan dengan teater-teater sekolah (pelajar SMA sederajat). Hal tersebut dibuktikan selama bertahun-tahun dengan terselenggaranya beberapa parade teater yang dihuni oleh berjubel kelompok teater dari sekolah.

Generasi Patah-Patah
Sudah sepatutnya, masa lalu kesenian kota memiliki generasi kebanggaan, komunitas yang diagung-agungkan, atau tokoh-tokoh yang diidamkan menjadi tumpuan masa depan sebuah kelompok pada khususnya, atau nasib kota pada umumnya. Namun kenyataannya, kota seakan tak mampu memberikan apa-apa. Seorang seniman yang seharusnya menjadi ujung tombak, motor penggerak roda kesenian di sebuah kota, yang konon katanya karena persoalan klasik, maka di antara mereka pelan-pelan meninggalkan kota ini. Sebut saja misalnya, salah seorang sastrawan ternama di negeri ini, Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair kelahiran Kaliwungu Kendal, mantan redaktur sastra koran Republika yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Ia banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari ia mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Tentunya, sederet persoalan tadi, atau kendala apapun tidak akan mampu menghalangi sebuah gerakan kesenian yang benar-benar khusyuk dan berasyik-masyuk dalam bidangnya masing-masing. Semua lini sudah seharusnya mampu berbaur untuk menentukan nasib sebuah kota. Barangtentu kita ingat, beberapa waktu lalu ketika Kendal Expo 2016, Bupati Kendal, Mirna Annisa, meluncurkan program “Kendal Permata Pantura”. Bupati yang masih terhitung belum lama ini menjabat, dengan seabrek program yang diidamkannya, tentu perlu dukungan dan kawalan yang ketat.
Mengingat pada bulan-bulan ini, sedang fokus pada peresmian Kawasan Industri Kendal dan mulai aktifnya Pelabuhan Tanjung Kendal. Lalu, apakah konsep besar yang disuarakan melalui Kendal Permata Pantura cukup masyhur dengan didirikannya kawasan industri dan pelabuhan baru saja? Lalu bagaimana nasib beberapa destinasi wisata semacam Pantai Sikucing, Goa Kiskendo, Curug Sewu? Jika mengidamkan kota ini menjadi permatanya pantura, apakah tempat-tempat itu hanya akan dibiarkan dengan pola pengembangan yang setengah-setengah dan sewajarnya saja?
Tentu jawabannya, sudah waktunya Kendal memiliki agenda festival kesenian yang diselenggarakan tahunan. Jika kita mau tengok kota-kota tetangga, taruhlah festival rutin FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), lalu Dieng Culture Festival. Sudah sepatutnya, Kendal tidak hanya sekadar menciptakan kegiatan sebatas selebrasi semata, atau bahkan yang hanya terkesan sebagai pasar malam semata. Maka dalam hal ini, peran serta segenap seniman dalam berbagai bidang pun sangat dibutuhkan. Pemerintah kabupaten dengan dinas-dinas terkaitnya sangat mustahil mampu mensukseskan kerja besar tersebut.
Jika sudah ada keterlibatan kelompok-kelompok seniman, yang kebanyakan anak muda tersebut, tentu kota ini saya yakin tidak akan kesulitan menentukan arah gerak masa depan kotanya. Tentu, jika semua sudah benar-benar niat ingsun untuk meriwayatkan kota secara serius dan metodis. Baik melalui sastra, seni rupa, film, maupun teater. Festival yang menyuarakan seni kontemporer yang tidak mengesampingkan nilai tradisi dan filosofis kota. Tentu Kendal pelan-pelan akan menggema di penjuru kota, bahkan seantero negeri ini. Dengan seruan, “Kenali Kendal!” Tempat-tempat wisata dikelola dengan sajian tontonan sekaligus tuntunan seni dan budaya. Selanjutnya, pundi-pundi pendapatan daerah pun akan terdongkrak. Kota berangsur-angsur akan semakin merekonstruksi masa depannya yang kian gemilang. Semoga.***



─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016).