Jumat, 27 Mei 2016

Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci (Wawasan, 12 Mei 2016)

Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci
Oleh Setia Naka Andrian

Sepertinya kita seakan merasa kuwalahan sebagai pemakai jalan yang kian hari semakin padat saja. Kita tentu sangat kesusahan jika harus menyeberang di jalanan yang begitu padat. Lebih-lebih jika pagi hari, suasana jalanan begitu ramai dengan kendaraan orang-orang yang memburu waktu agar tidak telat menuju tempat kerja. Belum lagi siswa-siswa sekolah, bus, dan angkutan umum lainnya dengan segenap asap kenalpot yang terkadang begitu menyebalkan bersanding dengan parfum yang sudah kita kenakan di segenap badan, polesan wajah para perempuan pun terasa cepat kusam, itu menyakitkan. Menambah semakin cemas, lautan kendaraan bermotor berlalu-lalang seakan tanpa jeda. Hingga akhirnya, entah menjadi sebuah keberuntungan atau malah menjadi semacam pertolongan buat kita, jika tidak sedikit kita begitu dimanjakan oleh Pak Ogah, sosok berbendera dan bercadar atau berhelm yang senantiasa membantu kita menyeberang di jalan-jalan yang belum disambangi lampu merah, di persimpangan jalan atau jalan putaran balik jalan-jalan ramai di kota kita.
Pak Ogah, begitulah sebutannya. Mereka mau tidak mau, telah banyak membantu kita. Mereka tidak sedikit yang hanya meminta sekadarnya (seikhlasnya) melalui sebuah ember kecil, mengharap sebatas recehan dari para pengguna jalan. Namun ada pula, sebagian dari mereka yang ternyata cukup meresahkan dengan meminta paksa. Namun memang, kenyataan semacam itu terjadi tidak begitu saja. Tentu sangat beralasan. Entah yang dimaksudkan mereka dengan dalih membantu, atau bahkan mengemban misi soasial untuk tidak sekadar membantu pengguna jalan semata, namun meringankan beban Polisi yang sedang mengatur arus lalu lintas. Tentu itu sangat wajar, jika kita melihat jumlah pengatur lalu lintas (Polisi) di negeri ini seakan tidak sebanding dengan perempatan-perempatan atau persimpangan jalan yang begitu ramai pada tiap harinya.

Pengganggu atau Penertib
Pak Ogah, atau kerab disebut sebagai Polisi Cepek, seakan menjadi produk jalanan modern kita yang kehadirannya terkadang dirindu saat mampu menertibkan jalan, namun ada pula yang menganggap kehadirannya sangat mengganggu arus perjalanan kita. Tentu hal tersebut sangat wajar. Tidak sedikit pula sebagian dari mereka yang dinilai sangat meresahkan masyarakat. Misal saja ketika mereka yang awalnya berdalih ingin menolong ketika ada perbaikan jalan, ketika jalanan terpaksa harus dibuka dan ditutup secara bergantian. Mereka seakan mengatur dengan begitu apik. Dari sisi yang berlawanan, mereka saling berkopmunikasi jalur mana dulu yang akan diperkenankan untuk berjalan. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka tidak hanya menggerakkan simbol-simbol melalui bendera saja, namun sudah merelakan untuk memanfaatkan alat telekomunikasi semacam Handy Talkie (HT) atau bahkan rela menghabiskan pulsa telepon genggamnya untuk berkomunikasi mngatur jalanan.
Namun jika kita sempatkan menengok beberapa kicauan masyarakat di media sosial, atau barangkali di antara kita ada yang sempat mengalami sendiri, tidak sedikit Sdi antara mereka yang mengumpat ketika para pengguna jalan tidak memberi imbalan, menggedor kendaraan kita, sambil melotot dan marah-marah dengan teriakan-teriakannya. Lebih-lebih, sangat dimanfaatkan mereka jika perbaikan-perbaikan jalan dilalui kita pada saat malam hari atau di jalanan-jalanan yang sepi. Pada posisi tersebut, mereka seakan begitu memanfaatkan untuk memeras. Tentu sangat meresahkan. Mengingat, tidak banyak uluran-uluran tangan aparat Polisi yang menjangkau lalu lintas yang kita temui pada posisi semacam itu. Apalagi malam hari, sungguh sangat sedikit. Namun kita pun tak bisa menyalahkan. Barang tentu memang belum begitu banyak aparat penegak lalu lintas kita, mengingat negeri ini sangat luas. Masih banyak pula jalan-jalan kota, jalan-jalan daerah-daerah di negeri ini yang masih kerap rusak dan selalu ada perbaikan. Bahkan, masih banyak pula jalanan pedalaman yang masih bobrok. Di situlah, mereka para oknum yang berniat jahat mulai beraksi dengan berjuta dalih demi mendapatkan keberuntungan-keberuntungan, yang bagi mereka sangat mengasyikkan.
Keberadaan Pak Ogah hingga saat ini seakan masih terbelah antara dirindukan dan dicaci. Barang tentu, bagi para Polisi Cepek tersebut merasa sangat menguntungkan, sebab menjadi sebuah lapangan kerja tersendiri. Misal saja mengenai pengisahan Wawan (27) perantau dari Surabaya, yang saya kutip dari perbincangan dari salah satu media sosial. Dikisahkan Wawan yang sehari-harinya beroperasi di perempatan sebuah ruas jalan di Cilincing, Jakarta Utara. Ia bersama 3 orang temannya sudah setahun beroperasi. Diakui menjalani profesi tersebut karena tidak mempunyai pekerjaan lain setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik di Jakarta Barat. Wawan dan ketiga temannya mengaku senang dengan penghasilan dari mengatur lalu lintas kendaraan di persimpangan yang cukup ramai tersebut. “Kalo dihitung-hitung mah lumayan banget. Apalagi saya setiap hari emang di sini. Enggak pernah bolos, kecuali kalau emang sakit,” tutur Wawan. Bersama ketiga temannya, Wawan berpenghasilan 60 ribu sehari dalam waktu 2 jam. Jadi sehari mereka bisa dapat kesempatan 2 kali (pagi dan sore) atau 4 jam, maka kisaran rata-rata penghasilannya mencapai 120 ribu dalam sehari. Sungguh lumaan menguntungkan bagi mereka. Doa mereka, tentu ingin selalu jalanan ramai. Namun tetap saja, segala itu masih kita tunggu bagaimana pemerintah memiliki upaya mulia untuk menyelesaikannya. Penghakiman yang tepat dan tidak merugikan bagi siapa saja. Utamanya, tidak merugikan pula bagi para Polisi Cepek tersebut. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Selasa, 03 Mei 2016

Balutan “Luka” di Balik Perayaan Laut

Sebuah Catatan Pendek atas Kumpulan Puisi Setia Naka Andrian *)
Oleh Sawali Tuhusetya


Sebagai sebuah produk budaya, teks sastra tak pernah terlahir dalam situasi kosong. Ia berkelindan dengan berbagai persoalan dan dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang sastrawan. Tidak berlebihan apabila teks sastra tak pernah diam; ia terus menyuarakan luka, derita, bahkan juga kegelisahan sang sastrawan. Teks sastra, dalam konteks demikian, bisa dijadikan sebagai medium sang sastrawan dalam menyuarakan kegelisahan, luka, dan derita yang mengendap dalam ruang batinnya.
Demikian juga halnya dengan teks puisi. Sebagai genre sastra, teks puisi juga tak pernah hadir dalam situasi kosong. Ia senantiasa mengusung berbagai persoalan yang berkelindan dalam diri personal sang penyair (jagat cilik) dan berbagai dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang penyair (jagat gedhe). Melalui kepekaan intuitifnya, sang penyair senantiasa terlibat dalam pergulatan kreatif untuk menyuarakan kegelisahan yang mengerak dalam gendang nuraninya. Melalui bahasa sebagai medium utama dalam berekspresi, sang penyair melakukan transpirasi total kepenyairan sesuai dengan gaya tutur dan licentia poetica yang dimilikinya. Dalam proses pergulatan kreatif yang semacam itu lahirlah berbagai genre puisi dengan corak khasnya masing-masing.
Puisi-puisi karya Setia Naka Andrian (SNA) yang terkumpul dalam Perayaan Laut (PL) pun –dalam penafsiran awam saya– tak luput dari pergulatan yang semacam itu. SNA dengan amat sadar memilih puisi sebagai teks yang dianggap tepat untuk memberikan “kesaksian” dan menyuarakan kegelisahan yang mengendap dalam ruang batinnya. Kepiawaian dalam merawi kosakata, idiom, atau langgam bahasa agaknya dimanfaatkan benar untuk mengekspresikan berbagai persoalan yang bernaung di bawah jagat cilik dan jagat gedhe yang membayang dalam gendang nuraninya. Tak berlebihan kalau sejumlah puisi yang terantologikan dalam PL menyiratkan berbagai persoalan personal dan sosial yang menggelisahkan nuraninya; semacam cinta, idealisme, religi, atau hajat kehidupan yang yang lain.
Tema yang didedahkan dalam setiap puisinya pun tidak terjebak dalam narasi-narasi besar yang berambisi kuat untuk melakukan sebuah perubahan. SNA lebih suka mengakrabi persolan-persoalan keseharian yang seringkali luput dari perhatian banyak orang. SNA agaknya sangat menikmati betul ketika sedang berproses kreatif. Tema-tema keseharian yang diangkatnya justru mampu menumbuhkan imaji-imaji “liar” dan mencengangkan. Ibarat orang mau memetik mangga, ia tidak langsung melemparnya dengan batu, tetapi ia panjat dengan penuh kenikmatan sambil merapal mantra-mantra suci yang dianggap mampu menjadi sugesti untuk mendapatkan buah mangga yang diinginkannya. Dalam proses semacam inilah, SNA menemukan berbagai imaji dari “dunia lain” yang dianggap “liar” dan “mencengangkan”.
***
Jika ditilik dari muatan isi, 74 puisi yang terkumpul dalam anotologi PL sesungguhnya merupakan kisah tali-temali antara jagat cilik dan jagat gedhe yang yang bernaung-turba dalam kehidupan SNA. Sebagai sosok anak manusia yang secara biologis memiliki naluri sebagaimana makhluk Tuhan yang lain, SNA tak luput dari kisah pergulatan dengan masa depan yang “disembunyikan”, percintaannya dengan lawan jenis (fa?), aktivitasnya sebagai awak Teater Gema, hubungan kekerabatan dengan sanak-saudara, atau berbagai respon dan “kesaksian”-nya terhadap berbagai fenomena sosial yang mencuat ke permukaan.
Melalui kelincahannya dalam bertutur dengan permainan metafora yang secara estetik membuka ruang multitafsir, “keliaran” imaji yang mencengangkan tampak melalui dekonstruksi logika yang secara diametral sangat kontradiktif dengan logika awam. Simak saja: //Para masa depan terlihat lelah yang berjamaah/para masa depan mengantuk/lalu kita giring mereka pulang ke rumah/Kita ajak para masa depan untuk minum susu/kemudian mengajak mereka bergegas ke kamar mandi// (“Masa Depan yang Kelelahan”: 93); //kau pasti akan selalu gemetar/setiap mendengar kabar dari rumah/setiap pagi, ponselmu berkeringat/tak segan memukul mata dan telingamu// (“Perempuan Rantau”: 82); //Hari-hari telah sepakat/menjatuhkan bibir kita di laut/agar ikan-ikan semakin gemar/menidurkan petaka kita/dan membunuhnya pelan-pelan/dengan penuh ciuman// (“Perayaan Laut”: 72); //Hujan, maukah kau menjadi temanku/pagi ini sungai terlanjur menggantung dirinya/di atap kamar// (“Hujan, Maukah Kau Jadi Temanku”: 64).
Sebagai pemilik “kemerdekaan berekspresi”, tentu sah-sah saja SNA melakukan proses dekonstruksi logika untuk menciptakan metafora dalam menggarap persoalan yang dipuisikannya. Ia tidak harus mengikuti arus metafora “mainstream” yang sering didaur-ulang untuk menciptakan kekuatan dan daya estetik. Persoalan apakah puisinya bisa dipahami orang lain atau tidak, itu soal lain. “Pulchrum dicitur id apprensio”, begitulah kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Begitulah, pergulatan kreatif SNA sudah tertunaikan ketika ia berhasil merawinya ke dalam sebuah teks puisi.
Yang tidak kalah menarik, selalu saja ada balutan “luka” yang membayang dalam sebagian besar puisi SNA. Simak saja pada puisi bertitel “Bidadari Tidur dalam Kitab Suci” (:11), “Beberapa Nama yang Sering Muncul di Ponselmu” (:25), “Untuk Pernikahan yang Tak Sebatas Ciuman” (:27), “Kaki dan Kenangan Kita yang Terpisah-pisah” (:29), “Dari Perempuan Elegan hingga Perempuan Es Degan” (:34), “Kita Lahir dari Musim yang Bersebelahan” (:36), “Takdir yang Mempertemukan Kita” (:38), “Seorang Pemuda di Hati Kita” (:43), “Ada yang Tenggelam di Balik Rel Kereta” (:44), “Perihal Sandiwara” (:47), “Munajat Air Mata” (:52), “Tabrakan” (:55), “Seorang Luka” (:57), “Perempuan Berhati Kaca” (:58), “Rindu” (:61), “Lampu Merah” (:62), “Kehidupan Aneh di Balik Jendela” (:63), “Hujan, Maukah Kau Jadi Temanku” (:64), “Negeri Berhidung Panjang” (:66), “Perayaan Laut” (:72), “Perempuan yang Ingin Menjadi Kereta” (:75), atau “Kematian Hari-hari yang Menjadi Kamarmu” (:80).
Meski bertutur tentang “luka”, puisi-puisi tersebut tidak lantas terjebak dalam ungkapan-ungkapan vulgar yang sarat dengan sumpah serapah. Melalui permainan metaforanya, “luka” dibalut dalam kemasan bahasa tutur yang subtil dan lembut. //kau terus membayangi perjalananku/yang semakin subuh mendoakan cinta-cinta/kepada para tetangga yang sedang asyik menyeruput malapetaka dalam rahim istrinya// (:25), //dan orang-orang di sekitar kita/akan membaca hikayat kematiannya masing-masing/yang selalu bermula-mula/karena kesepakatan kita/adalah doa pertanggungjawaban lupa// (:27), //Begitulah takdir, mempertemukan kita/dari perjalanan dan pengkhianatan-pengkhianatan/Ia yang membawa kita menelusuri jejak dan luka-luka// (:38), atau //hendak kau kirim ke mana lagi/air matamu/lihatlah, sungai tiba-tiba dangkal/kesedihan meriwayatkan senyumnya/sebab keridaan tlah tak berpenghuni,/mereka bunuh diri/menggantung kakinya/setinggi-tinggi di atas kepala// (:52).
“Luka” dalam PL agaknya bukanlah fokus dan basis utama SNA dalam berproses kreatif. “Luka” lahir sebagai bagian dari “digresi” pemaknaan arus hidup yang mustahil dihindarinya ketika luka-luka peradaban masih menganga di tengah panggung kehidupan sosial. SNA hanya sekadar mewartakan dan memberikan kesaksian tentang “luka” yang memfosil dalam ceruk kehidupan umat manusia yang belum sepenuhnya terpotong oleh sejarah. Balutan “luka” dalam konteks PL juga bisa dimaknai sebagai pengejawantahan totalitas sikap SNA yang ingin tetap “setia” pada jalur kepenyairan yang “khas” menjadi miliknya; bertutur tentang persoalan apa pun, metafora tetap menjadi bagian esensial dalam sebuah teks puisi. Dengan kata lain, esensi puisi sebagai teks sastra akan kehilangan “roh”-nya apabila menanggalkan bahasa sebagai medium utama dalam membangun kekuatan dan daya estetika.
***
Sebagai sebuah catatan pendek, tulisan ini mustahil dapat menampilkan telaah secara utuh dan lengkap terhadap puisi-puisi SNA dalam PL. Masih banyak aspek dan unsur yang terabaikan. Menelaah puisi SNA membutuhkan kecermatan interteks secara intens. Saya berharap catatan pendek ini bisa dilengkapi melalui diskusi bersama.
Nah, selamat berdiskusi!
***
—————————————————–
*) Disajikan dalam “Bedah Buku Puisi Perayaan Laut Karya Setia Naka Andrian” pada Selasa, 17 Mei 2016 (pukul 19.00-selesai) di Kedai Kopi Jakerham, Sekopek, Kaliwungu” yang digelar oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)

Sumber: http://sawali.info/2016/05/18/balutan-luka-di-balik-perayaan-laut/

Kartini dan Keajaiban Surat (Wawasan, 25 April 2016)

Kartini dan Keajaiban Surat
Oleh Setia Naka Andrian

Bulan April, seakan kerap kali menjadi beban kita saat ini. Berat rasanya jika kita mengenang momen mulia yang setiap tahun diperingati ini hanya sebatas selebrasi semata, tanpa ada upaya pemuliaan-pemuliaan di dalamnya. Kita tentu paham, ada banyak upaya besar yang disuarakan RA. Kartini pada masa itu, hingga saat ini berdampak besar bagi bangsa kita ini, khususnya bagi kaum perempuan. Misalnya saja surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada teman-temannya di Eropa. Surat-surat yang berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial masyarakat kita saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Kartini dalam sebagian besar surat-suratnya mengisahkan keluhan dan gugatan-gugatan, di antaranya perihal budaya di Jawa yang seolah-olah menghambat kemajuan perempuan. Misalnya saja terkait keterbatasan pemerolehan pendidikan bagi kaum perempuan.
Selepas Kartini wafat, Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa tersebut. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda. Buku tersebut berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya" (terbit 1911). Buku dicetak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Selanjutnya pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”, diterjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah kembali "Habis Gelap Terbitlah Terang" versi Armijn Pane (Sastrawann Pujangga Baru). Surat-surat Kartini semakin diminati di mana-mana, hingga akhirnya juga pernah terbit dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan Agnes L. Symmers. Selain itu, juga pernah diterjemahkan dalam daerah, yakni bahasa Jawa dan Sunda.
Hingga kini, kita tentu selalu mengingat, sejak kita masih duduk di bangku SD, kelahiran Kartini selalu diperingati. Setiap tahun, Jepara dan 21 April selalu terngiang-ngiang di benak kita. Walau usia hidupnya hanya seperempat abad (25 tahun) namun hal besar telah dicapai. Kartini diriwayatkan sebagai seorang tokoh perempuan Jawa yang mempelopori kebangkitan perempuan pribumi. Putri R.M. Sosroningrat dan pasangan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini memberi angin segar bagi kaum perempuan. Ia sepenuhnya memperjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan-kebebasan, berotonomi dan memperoleh persamaan hukum setara dengan laki-laki. Hingga dampak besar dapat kita simak saat ini, pemimpin-pemimpin di negeri kita ini dari mulai kepala desa, kepala daerah, bahkan kepala negara sempat dipimpin oleh kaum perempuan.
Barangkali, baru kali itu terdapat surat-surat seorang perempuan pribumi yang begitu menarik perhatian masyarakat Belanda. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang dilambungkan Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Kartini mengubah pandangan kita terhadap perempuan. Kita semakin meyakini dan mengamini keberadaan mereka. Bahkan suatu ketika jika perempuan begitu menakjubkan dalam sikap laku dan gerak berkehidupan, kita begitu percaya hingga mengangkat tinggi posisi mereka di atas kita. Kita sangat yakin, pemikiran-pemikiran Kartini begitu menginspirasi generasi kita. Namun apakah segala itu hanya mampu kita kenang begitu saja. Kita rayakan setiap tahun. Kita ledakkan setiap April. Sedangkan jika sejenak kita kontemplasikan kecil-kecilan, kita saat ini sudah terasa malas menarasikan segala yang kita keluhkan dan yang kita gelisahkan dalam berkehidupan ini.
Kita seakan malas beranjak untuk mencatat hal-hal kecil di sekitar kita, dan barangkali segala yang kita anggap kecil itu belum tentu hal kecil pula di mata orang-orang. Kita lebih memilih berdiam di kamar, mendekam dalam kondisi paling sepi, berpeluk gawai, lalu berkicau di beberapa media sosial, bercakap-cakap dengan beberapa teman melalui pesan pribadi, begitu serampangan, tak terarah, dan pasti tak terdokumentasikan. Kita terkadang tak merasa, begitu berarti pengisahan-pengisahan semacam yang dilakukan Kartini pada masa itu. Ia begitu rajin menulis surat-surat untuk teman-temannya di Eropa, terkait segala yang digelisahkannya tentang kehidupan perempuan pribumi yang masih begitu banyak pengekangan-pengekangan, misalnya. Kaum perempuan yang belum memiliki persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Walaupun begitu, perjuangan-perjuangan perempuan terhadap kaumnya hingga saat ini masih terus digaungkan, misalnya saja pengisahan Dewi Nova yang begitu memperjuangkan diri, keluarga, dan anak-anaknya, dalam buku kumpulan cerita pendeknya, Perempuan Kopi (2012), dalam penggalan cerpennya, Belum tuntas khotbah pagi itu, suara gergaji mesin di kebun kopi menghentak jemaat. Beberapa nama menjerit, menangis berguling-guling, seolah gergaji itu merobek tubuh mereka. Anak-anak menangis kencang ketakutan, dipeluk erat ibu mereka. Melalui sepenggal pengisahan tersebut, kita seakan disuguhkan kenyataan hidup kita yang masih lekat dengan posisi perjuangan kaum perempuan (ibu) yang tiada batas. Pada segala lapis kehidupan kita, sampai kapanpun posisi perempuan masih selalu kita perhitungkan.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.