Kamis, 24 Maret 2016

Urbanisme dan Riwayat Kampung (Wawasan, 23 Maret 2016)

Urbanisme dan Riwayat Kampung
Oleh Setia Naka Andrian

Ingatan saya membuka lebar menuju beberapa lagu-lagu terkait urbanisme, di antaranya Tunggu Aku di Jakarta (Sheila on 7), Sapa Suruh Datang Jakarta (Melky Goeslaw), serta Preman Urban (Slank), ketika menjadi salah satu saksi pemanggungan teater yang digelar Teater Gema di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang, Rabu (16/3). Mereka menggarap lakon Ronggeng Keramat (RK) karya Eko Tunas yang disutradarai oleh Alfiyanto (Komunitas Panggung Semarang). Panggung teater diciptakan sedemikian rupa, bersikeras meyakinkan diri dan berupaya menyuarakan teater sebagai sebuah peristiwa. Mereka coba tunaikan tugas besar untuk menjaga peristiwa dengan memproduksi teater dari lakon yang meriwayatkan kampung serta kehidupan urban.
Jakarta dan kampung halaman menjadi dua sisi mata uang yang saling berseberangan. Jakarta menjadi kota impian untuk memanjangkan iman tentang upaya mengubah kehidupan menjadi lebih baik dalam tataran ekonomi. Sedangkan kampung, diriwayatkan sebagai tubuh yang masih alami, segala sesuatunya terasa manual, lambat dan jauh dari kemajuan-kemajuan, hingga ditakdirkan sebagai tempat yang serba sulit untuk memperoleh banyak uang (pekerjaan). Dalam cerita, dikisahkan Dukuh Keramat yang masih alami, penuh aroma bunga melati yang menjadi khas kampung dan dicita-citakan memberi kemakmuran. Namun ternyata segalanya tidak sesuai yang diimpikan,
Dalam lagu Sheila on 7, setidaknya melambungkan keyakinan Jakarya sebagai kota penancap mimpi. Penggalan syairnya, Tunggulah aku, di Jakarta mu. Tempat labuhan, semua mimpiku. Seperti halnya dalam lakon RK ini, Paijo dan Paimin, pada awal pertunjukan digambarkan sebagai warga kampung Dukuh Keramat yang hendak hijrah ke kota dengan mimpinya untuk memperoleh kemakmuran. Namun sebaliknya, ada penggambaran lain yang berkebalikan dengan Paimin dan Paijo. Terdapat dua tokoh, Raden Bos dan Katak. Keduanya merupakan kaum kota yang berkeinginan menguasai kampung.
Raden Bos, dalam kisahnya ditakdirkan sebagai orang yang sangat kaya raya, ia memiliki kekuasaan, dan Katak sebagai orang kepercayaannya. Mereka berdua berpikir bagaimana menciptakan surga buatan di kampung. Dengan dalih ‘negatif’ menyelamatkan kesenian kampung (ronggeng), mereka ciptakan tempat-tempat hiburan dan perempuan-perempuang ronggeng sebagi objek pemuas nafsu para pelanggan. Pada akhirnya, Raden Bos merasa telah memiliki segalanya, dari mulai harta, tahla, hingga akhirnya wanita menjadi titik akhir keruntuhannya. Raden Bos menyerahkan kekuasaan dan segala hartanya untuk orang kepercayaannya, Katak. Termasuk juga senjata, sebagai simbol kemenangan atas kekuasaan dalam pengisahan lakon. Akhirnya, saat Raden Bos sedang lengah dengan wanita-wanitanya (para ronggeng), ia mati ditangan Katak, ditembak dengan menggunakan senjata yang dimiliki Raden Bos sendiri.

Isu Urban dan Teater Modern
Isu-isu urbanisme, setidaknya menjadi garapan yang cukup menggairahkan bagi teater-teater modern (kontemporer) saat ini. Teater yang membentuk ingatan dan makna baru dalam setiap gagasan dalam garapan-garapannya mengenai takdir sebuah kota serta kekejaman-kekejamannya. Seperti pengisahan Radhar Panca Dahana (2001), teater modern menjadi teater yang berada di kota besar, menggunakan meode-metode kerja yang serupa yang serupa dengan teater di Barat, serta memiliki kebebasan fakultatif dalam proses kreatif maupun pemilihan idiom-idiomnya. Sebut saja, Teater Sae, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater Garasi.
Barang tentu, proses penciptaan teater bagi para pembuat teater sangat berpengaruh gerak zaman yang selalu menjadi langkah dan pijakan manusia dalam menciptakan penanda kehidupan dan lingkungannya. Bahkan, persoalan kekalahan, kegagalan, kemuraman, menjadi dalih memperoleh keimanan kita dalam menyimak takdir panggung teater yang seolah-olah ‘sesungguhnya’. Seperti halnya kegagalan Paimin dan Paijo, setelah berjuang di Jakarta, ternyata segalanya sangat tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan dan mereka impikan sebelumnya. Jakarta menjadi tempat yang suram.
Dalam dialog, mereka mengeluhkan, “Di Jakarta, kita ini kayak coro-coro saja ya!” (Kayak coro-coro: seperti para kecoa). Itu bukti, bahka kota telah menelantarkan mereka. Hal ini seperti yang disuarakan Slank dalam lagunya Preman Urban yang mengisahkan teman dari desa yang berniat mengejar mimpi di Jakarta. Syairnya, temanku seorang pengembara, yang datang dari timur negeri ini. Mencoba mengadu nasib di Jakarta, karena di desa kelahirannya susah mengejar mimpi.
Melki Goeslaw pun seolah turut menyalahkan juga dalam lagunya, Sapa Suru Datang Jakarta. Berikut penggalan syairnya, Ado kasian yeng mama. Jauh-jauh merantau mancari hidup mama. Nasib tidak beruntung. Siang dan malam yeng mama. Jalan kesana kemari. Sanak saudara mama. Semua tidak peduli. Sapa suru datang Jakarta. Hingga pada akhir cerita, Paimin dan Paijo berkeinginan untuk pulang kampung, karena merasa kota tidak memberikan apa-apa, kota telah menelantarkan mereka. Setelah sampai di kampung Dukuh Keramat, mereka kaget, semua telah berubah. Tidak lagi mereka temukan aroma melati, yang dulu menjadi aroma khas Dukuh Keramat. Kampung tumbuh menjadi bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Kampung tak lagi mampu mengisahkan dirinya sebagai ruang gerak berkemanusiaan yang selalu dirindukan.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.

Tidak ada komentar: