Senin, 25 Januari 2016

Mental Plagiarisme (Koran Wawasan, 25 Januari 2016)

Mental Plagiarisme
Oleh Setia Naka Andrian

Plagiarisme menjadi penyakit paling kronis di dunia akademis kita. Penjiplakan yang sudah sangat mutlak melanggar hak cipta tersebut ternyata hingga saat ini tidak sedikit menjangkiti para pelajar, guru, mahasiswa, dosen, bahkan guru besar kita. Tentu kita ingat, kala itu cukup ramai diperbincangkan dan begitu menyeruak di beberapa media massa. Menghadapi kasus plagiarisme, kita seakan kesulitan untuk memeranginya.
Dalam bahasan ini, akan lebih fokus pada plagiarisme karya tulis, baik ilmiah maupun populer, yang kerap kali menggenangi lautan akademis kita. Lebih-lebih, sangat memprihatinkan jika mental plagiarisme meracuni mahasiswa. Walaupun sesungguhnya kebiasaan buruk ini dapat kita bunuh dengan sangat mudah. Pembunuhnya ya diri kita sendiri. Bagaimana pemahaman kita, mental kita, jika berhadapan dengan segala aktivitas kreatif dalam berpendapat atau bergagasan.
Kenapa perlu aktivitas kreatif? Sebelumnya mari kita simak lagu Slank berikut, “Kopi Air Hujan“ (2007): Lemparkan biji di halaman, kelak akan menjadi barang. Menadahkan tangan di jalanan, kelak akan menjadi uang. Pasang tampang pasang aksi, begitupun menghasilkan. Nggak ada tangis bayi kelaparan. Nggak ada dentuman meriam. Nggak usah takut deh. Di kampung di kota orang sibuk pada bisnis. Banyak yang punya rekening di negeri Swiss. Pemboikot sekarang pada modis-modis. Pengemis aja mudik carter bus. Hidup di alam yang ramah, di atas tanah subur dan kaya. Nggak usah pake banyak tenaga. Mikir sedikit pasti jalan. Hidup senang nggak ada perang. Makan kenyang ngapain ribut-ribut?
Sangat gamblang yang dilukiskan Slank dalam lagunya tersebut. Dalam lagu diimajinasikan, bahwa dunia sangat membuka lebar untuk digarap manusia. Kita akan sangat mudah melakukan apa saja. Asalkan ada niatan untuk bergerak. Lemparkan biji di halaman, kelak akan menjadi barang. Sangat sederhana, dan sangat mudah. Begitu saja, dengan tindakan sederhana saja sudah dapat menghasilkan. Apa lagi jika tindakan sederhana tersebut dilanjutkan/dibumbui dengan gerak kreatif. Apa jadinya? Tentu akan lebih bagus dan melimpah lagi hasilnya. Begitu pula dengan tindakan lain, bahkan hingga hal yang seharusnya sangat tidak baik, mengemis. Seseorang pasang tampang memelas, menadahkan tangan, akhirnya mendapat uang.

Upaya Kecil dalam Gerak Kreatif
Sangat benar yang diteriakkan Slank, “Mikir sedikit pasti jalan!” Lalu, apakah para plagiator tidak mau berupaya? Jawabnya tentu, ya benar, mereka malas mikir! Dalam hal ini terkait proses kreatif, misalnya. Seorang plagiator akan lebih bernapsu untuk menyelesaikan sesuatu. Semua ingin instan. Cepat jadi tulisannya, lalu dikirim di media, atau jika mahasiswa ya biar lekas bisa dikumpulkan sebagai tugas, dan lain sebagainya. Padahal, segalanya butuh proses panjang. Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma. Misal penulis yang sudah sangat “pendekar”, dengan begitu cepat menyelesaikan karyanya, misalnya. Tentu itu bisa jadi kita saat ini hanya melihat 1% hasilnya saja, yang saat ini di hadapan kita. Lalu apa kita paham betul 99% perjuangan dan proses panjangnya yang tentu sangat jungkir-balik itu?
Sungguh sangat membahayakan. Mental plagiarisme, barangkali tidak sedikit dilakukan teman-teman mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah. Asal comot saja dari internet. Karangan/pendapat orang lain diambil begitu saja, tanpa membubuhkan nama penulisnya. Diramu dari banyak tulisan dari beberapa blogger misalnya, hingga akhirnya menjadi satu jelmaan tulisan baru, menjadi karangan baru, atau makalah baru dengan modivikasi sedemikian rupa. Bahkan ada juga yang ditemukan beberapa paragraf sama persis. Menjadikan karangan/tulisan tersebut seolah-olah karya sendiri. Sungguh sangat sesat.
Barang tentu, semua itu ada karena plagiator tidak mau berusaha, alasannya kehabisan ide, buntu, dan lain sebagainya. Itu semua karena tidak ada upaya, sekecil apa pun upaya itu. Kita bisa menyimak beragam media massa yang terbit setiap harinya. Atau momen-momen penting di sekitar kita. Peristiwa besar, atau kejadian-kejadian sederhana lainnya. Dari situ, kita dapat meramunya menjadi karya. Entah itu karya tulis ilmiah, populer, atau bahkan bisa juga diramu menjadi karya seni. Tinggal semua yang kita tangkap tersebut direkam dengan baik, dicatat, lalu diendapkan. Kiranya apa yang terjadi, ada solusi apa, ada upaya apa untuk menanggulangi atau meluruskan, jika ada yang kurang lurus, misalnya.
Jika masih mentok, lakukan diskusi kecil dengan beberapa teman dekat. Bisa juga bersama teman-teman komunitas. Padahal saat ini sudah sangat banyak forum-forum diskusi, kegiatan-kegiatan seminar, misalnya jika di kampus. Semua itu bisa menjadi ruang galian untuk berproses kreatif. Walaupun dengan cara kere-aktif, kita akan tetap menemukan kebermanfaatan-kebermanfaatan lain. Tentunya, sangat banyak upaya-upaya kecil yang sekiranya dapat kita lakukan dalam proses pembelajaran. Jika seseorang masih mahasiswa, tentu malah sangat banyak ruang yang bisa menampung.
Saya ingat, dulu, saya bersama teman-teman dalam Komunitas Sastra Lembah Kelelawar, sebuah komunitas yang kami dirikan di luar lembaga kampus. Hampir setiap malam kami bertemu, waktu itu komunitas hanya beranggotakan empat orang saja. Kami bertemu, membawa masalah dan kegelisahannya masing-masing dalam wilayah kesenian dan budaya misalnya, atau bahkan hingga menjamah dunia politik. Kami diskusikan, kemudian masing-masing dari kami menuliskannya dalam berbagai jenis tulisan. Entah puisi, cerita pendek, esai, catatan perjalanan, dan tulisan-tulisan lainnya yang sangat sederhana dan bisa dibilang tidak kelihatan jenis kelaminnya.
 Lalu tulisan-tulisan tersebut kami muat sendiri dalam buletin komunitas buatan kami sendiri, yakni Buletin Kelelawar, atau kami kirim ke media kecil kepunyaan teman-teman komunitas lain. Dengan niatan, kami memulai proses. Dari hal-hal kecil yang sangat sederhana. Kami lepas dulu tulisan-tulisan yang bergantung pada gagasan-gagasan orang lain. Intinya, kami saat itu butuh dasar kuat dalam menulis. Kami upayakan sangat berdikari, biar tidak memanjakan diri dengan ketergantungan-ketergantungan gagasan/ide lain. Kami lakukan dan kami tulis segala yang sederhana, yang kami pahami saja, sejauh mana mata, hati dan jiwa kami mengembara dalam jagat kata-kata. Seperti halnya yang tentu sering dikatakan penyair Afrizal Malna dalam setiap pelatihan-pelatihan menulisnya, “Tulislah apa yang kamu lihat, bukan apa yang kamu pikirkan!” Hal tersebutlah pembelajaran yang sangat sederhana. Ibaratnya, kenapa harus jauh-jauh sampai bintang, jika di sekitar kita sangat banyak kunang-kunang. Bukankah begitu?


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.