Rabu, 14 Desember 2016

Menimbang (Ketiadaan) UN (Wawasan, 14 Desember 2016)

Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional
Oleh Setia Naka Andrian

Saya masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak menghadapi Ujian Nasional (UN). Yakni pada jenjang pendidikan dasar (SD), saat itu masih disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) tahun 2001.  Barangtentu hal itu sangat dirasakan pula oleh siswa saat ini. Jika kita runut beberapa istilah ujian tersebut, di antaranya Ujian Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Nasional (1980-2002), Ujian Akhir Nasional (2003-2004), dan Ujian Nasional (2005-sekarang).
Dalam perjalanan panjangnya, deretan ujian tersebut menjadi riwayat momok yang tiada terkira bagi siswa kita. Ujian menjadi sebuah titik akhir yang diyakini sebagai jalan penting. Jalan sangat akhir dan satu-satunya. Seolah proses-proses sebelumnya dan proses lainnya tidak begitu berarti jika sudah hendak berhadapan dengan UN. Mata pelajaran (mapel) lain yang tidak diujikan nasional pun menjadi terabaikan, tidak diajarkan dengan sebagai manamestinya seperti mapel nasional tersebut. Jika saya kala itu hendak UN pada jenjang SD, ya hanya Matematika, bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja yang diguyur mati-matian oleh guru kelas saya.
Bahkan, saya ingat betul kala itu. Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester akhir menjelang ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata pelajaran (mapel) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya. Misalnya pada mapel yang dinilai sangat sulit semacam matematika, pagi merampas jam mapel lain, dan siangnya masih ada tambahan jam pelajaran lagi. Bahkan sempat pula, pagi hari ada tambahan jam pelajaran pula sebelum waktu masuk kelas pada jam pelajaran yang semestinya.
Bayangkan, pengisahan tersebut sungguh sangat mengerikan. Tentu hal serupa masih terjadi hingga saat ini. UN menjadi ujian akhir yang menyeramkan. Lebih-lebih, pada masa saya kala itu, tidak ada ujian ulang. Jika tidak lulus ya sudah. Akan mengulang sekolah pada jalur kejar paket, di antaranya Kejar Paket A (SD), Kejar Paket B (SMP), dan Kejar Paket C (SMA). Itu bagi saya sangat mengerikan. Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan ujian.
Orangtua pun tentu tak berani mengganggu. Segala aktivitas yang seharusnya dilakukan semacam mencuci baju, membersihkan kamar, semua tidak diperintahkan kepada saya. Sungguh, segalanya begitu menyeramkan. Jika saya ingat kembali masa itu, saya rasa begitu tragis. Seakan UN menjadi penentu utama dan sama sekali tidak ada lainnya. Sebagai tolok ukur utama, dan sangat menutup penilaian lainnya.
Hingga akhir-akhir ini begitu ramai diperbincangkan mengenai moratorium UN. Berhari-hari bergulir menjadi diskusi publik yang bergelimang seakan tiada hentinya. Segenap pemangu kepentingan pendidikan, praktisi, politikus, bahkan hingga Presiden Jokowi turut andil dalam persoalan yang sebenarnya sudah menjadi penyakit tahunan bagi dunia pendidikan kita.
Tidak sedikit pihak pun, menginginkan agar dilaksanakan penghentian pelaksanaan UN. Wacana yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy ini, sekan hanya menungu ketuk palu peraturan presiden tentang penghentiannya. Namun, tentu segala ini harus benar-benar ditimbang dengan baik. Jangan sampai segala ini hanya akan menjadi tindakan-tindakan yang terkesan gegabah. Jangan sampai pula, segala ini akan dinilaimasyarakat sebagai penyakit lama, yakni pemerintahan (menteri) baru maka hadir pula kebijakan baru. Menteri baru, maka bergulirlah kurikulum baru.
Tentu masyarakat kita sudah sangat pandai. Masyarakat sudah mampu menilai. Tentu kita semua juga sangat paham, setiap orang (pemimpin) memiliki caranya masing-masing untuk memajukan bangsa dan negara ini. Barangtentu, segala itu ada baik dan buruknya. Ada pula kekurangan dan kelebihannya. Maka, barangtentu yang terpenting adalah segala yang diputusan itu sudah menjadi keharusan yang memang sudah melalui pertimbangan dan riset yang matang. UN hilang bagus, diganti dengan evaluasi lain, tentu bagus. Asal tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta tetappada jalur tujuan pendidikan kita.
Seperti halnya misalnya jika benar jadi, UN tingkat dasar dan menengah dikelola pemerintah daerah, lalu UN tingkat atas dikelola pemerintah provinsi, misalnya. Segala itu butuh persiapan yang matang. Pmerintah harus mempersiapkan siapa saja yang akan membuat soal di tingkat daerah dan provinsi terebut. Sudah layak atau belum para pembuat soal tersebut. Jika belum, bagaimana solusinya.
Lalu tetap harus pula mengantisipasi kecurangan-kecurangannya. Tingkat nasional saja banyak ditemui kasus, bagaimana lagi jika tingkat dan provinsi yang ruang lingkupnya lebih kecil. Seperti itu kiranya. Yang pasti, ujian harus tetap ada. Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati tentunya. Semoga.


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Minggu, 23 Oktober 2016

Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi (Jawa Pos, 23 Oktober 2016)

Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi
Oleh Setia Naka Andrian

Belakangan tidak jarang dan begitu panjang diperdebatkan perihal dunia cetak dan digital. Semua seakan memberikan riwayat masing-masing yang dirasa sama-sama kuat atas dua hal tersebut.
Namun, tetap saja buku-buku cetak, koran, atau majalah cetak tetap yang masih tetap dan perlu diperjuangkan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Komunitas Lerengmedini (KLM) Boja Kendal Jawa Tengah.
Komunitas sastra di daerah kecil di Lereng Kebun Teh Medini yang begitu intens dalam program-program mulia dalam menggerakkan denyut sastra. Dari mulai Parade Obrolan Sastra dan Kemah Sastra yang sudah digelar tahunan dengan menghadirkan tokoh-tokoh sastra maestro, di antaranya Agus Noor, Ahmad Tohari, Remy Sylado, Korrie Layun Rampan, Martin Aleida, Iman Budhi Santosa dan sederet sastrawan lain.
Mereka kerap menjalankan gerakan tersebut selama berhari-hari di Bumi Perkemahan Lereng Medini. Menyuntuki buku, pentas baca puisi, hingga obrolan-obrolan kreatif yang terus didengungkan di sana.
Itu pun belum cukup atau menghentikan kegelisahan. Mereka buktikan, akhir-akhir ini KLM tengah gencar-gencarnya menggalakkan program mulianya yang diberi nama Wakul Pustaka. Dengan niatan sederhana, kata mereka, bahwasanya manusia tidak hanya cukup memberikan asupan untuk tubuh dengan hanya mengisi perut. Namun, bacaan-bacaan pun diperlukan manusia, khususnya bacaan sastra.
Buku-buku sastra tersebut, yang berupa puisi, cerpen, dan novel akan mereka letakkan di sebuah wakul, tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya digunakan oleh warga desa.
Wakul Pustaka itu kemudian mereka tawarkan ke warung-warung makanan yang ada di Boja. Dengan begitu, para pembeli akan menyantap buku-buku sastra tersebut. Mereka bisa menikmati puisi, cerpen atau novel atau bahkan buku-buku umum lainnya sembari menunggu makanan disajikan, atau selepas menyantap makanan.
Tentu sudah sangat wajar kita temukan di warung-warung makan, bertebaran koran-koran yang setiap hari diletakkan di meja-meja. Dengan dalih, para pelanggan merasa sedikit tergoda untuk membaca berita-berita atau apa saja yang ditawarkan dalam koran.
Godaan Wakul Pustaka seolah ingin menawarkan jika bacaan umum, dan sastra pada khususnya, itu juga sangat diperlukan untuk asupan gizi bagi jiwa manusia. Barangtentu, selain buku-buku dari tokoh-tokoh sastra nasional, buku terbitan komunitas mereka pun akan ditampilkan.
Jika ternyata dalam buku-buku bacaan tersebut juga didapati penulis lokal yang ternyata dikenal oleh para pelanggan di warung, KLM pun sangat berharap dengan begitu setidaknya akan membuat masyarakat Boja tergugah untuk mengenal dunia komunitas, dunia baca, dan dunia tulis-menulis lebih lanjut.
Lebih-lebih akan semakin mengepakkan sayap KLM yang selama ini berproses di Taman Baca Masyarakat (TBM) Pondok Maos Guyub di Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kendal. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh KLM di taman baca tersebut.
Misalnya, Reading Group, proses tadarus novel buku dengan pelan-pelan setiap seminggu sekali yang dilakukan bersama anak-anak seusia sekolah di lingkungan desa tersebut. Dari mulai pembacaan novel-novel sastrawan Indonesia, hingga tokoh dunia semacam Ernest Hemingway dengan karyanya The Old Man and The Sea pun sempat disuntuki di ruang taman baca kampung tersebut. Bayangkan!
Bahkan, sempat pula dilakukan penghargaan tahunan yang diberikan kepada penulis puisi, cerpen, pembaca puisi, dan beberapa pelaku kreatif lainnya yang semua berasal dari lingkungan tersebut.
Segala aktivitas itu tentu dapat dicontoh dan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain. Tentu butuh kesadaran dan penyadaran. Baik bagi para pegiat agar siap berdarah-darah menyusun strategi gerakan. Dan, dukungan bagi siapa saja untuk turut serta meramaikan, menyuarakan, dan menjaga makna gerakan literasi tersebut. Tentu semua akan berjalan beriringan. Patut kita contoh apa yang telah dilakukan KLM tersebut.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, Minggu, 23 Oktober 2016)


(Bukan) Mantan Aktivis

aku bukan aktivis itu
yang mondar-mandir
mentereng dengan jas pekat
berisi logo-logo masa depan
bertaring dengan kancing emas
bergelantungan kenangan
dan doa-doa ayah ibu

sebagai mahasiswa
yang sering lupa jadwal pulang
mengakrabi kampung halaman

aku bukan aktivis itu
yang kerap mendengkur
di gedung-gedung megah
yang katanya diciptakan
dari keringat degub jantung
dan kepalan tangan kirimu

aku bukan aktivis itu
arjuna yang selalu sigap
menggemborkan luapan visioner
tentang masa depan pondasi sarjana
dan segala hal tentang iman
kepada roda ekonomi tetangga

sudahlah, aku bukan aktivis itu
hari-hariku hanya kemalasan, katamu
aku hanya deretan huruf
yang sering lepas
dari tombol-tombol ponselmu
setiap hari
hanya memimpikan daun-daun hijau
bermekaran di atas batu
dan sisa reruntuhan bangunan
tubuhku sendiri

lalu sekarang apa maumu
aku masih sama seperti dulu
setiap pagi hanya menjadi puisi
menjadi koran
yang kerap ditumbuhi berita mati
siang hari,
berkutat bayang-bayang kamar mandi
sore hari menakar hidup
dengan segelas kopi

lalu malamnya lagi,
aku lari darimu
yang sedang memikirkan
banyak perkara
perihal rindu dan benci
yang tumbuh
di belahan dada paling kiri

ah, itu-itu lagi,
katamu,
semua seakan berjarak
menjadi iman
yang terbenam di bak mandi
dan kau tak lagi mau menepi
menemani kesekian kalinya
untuk tidak menjadi masa lalu
yang sering aku lukai

Kendal, Oktober 2016


Sebagian yang Luput

Aku lah sebagian itu
Dari yang luput
di hidupmu
Kita sempat bakar diri

Kepada doa kita
yang sebagian lagi dipisahkan
aku mengeras
di dadamu yang leleh

Sebab sepertiga malam
hingga paginya,
Selepas tubuh-tubuh berjatuhan
Kita seperti waktu
yang beku
Diliburkan setiap kali
Orang-orang sibuk
Memilih diri sendiri

Ia seperti waktu
Menyaksikan masa lalu
yang banyak dicari
di hari paling minggu

Ia seperti pagi, dua hari lalu
kita masih disibukkan
dengan lonceng
dengan sirine
dan gambar atap rumah
yang bocor

Mereka pastikan semua
bahwa tak ada lagi bagian lain
Selain tubuh-tubuh yang tanggal

Kendal, Oktober 2016


Sabtu, 22 Oktober 2016

Pengajaran Sastra Kita (Tribun Jateng, 22 Oktober 2016)

Pengajaran Sastra Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia baru saja digelar di Hotel Bidakara Jakarta Selatan, 18-20 Oktober ini. Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengundang 107 sastrawan dalam perhelatan bertajuk Peran Sastrawan dalam Pendidikan Karakter Masyarakat tersebut.
Beberapa narasumber yang hadir di antaranya Dadang Sunendar, Gufran Ali Ibrahim, Remy Sylado, Putu Fajar Arcana, Maman Suherman, Maman S. Mahayana, Nirwan Dewanto, dan Dino Umanuk.
Dalam musyawarah tersebut berlangsung diskusi masalah kesastraan yang ada di seluruh Indonesia yang dibahas bersama-sama sehingga menjadi bahan rekomendasi.
Ada beberapa hal menarik yang diperbincangkan. Terutama pada sidang komisi pembinaan sastra terkait peningkatan mutu apresiasi sastra melalui pengajaran. Misalnya saja dalam pembelajaran sastra banyak didapati karya sastra yang sebenarnya tidak cocok dengan teori sastra yang ada, namun dicocok-cocokkan. Seharusnya, teori mengikuti karya sastra yang ada, jika tidak ada teorinya, maka ciptakan teori yang baru.
Lebih-lebih pada peredaran buku-buku sastra di sekolah atau di perguruan tinggi. Tidak sedikit di antara sekolah/kampus yang masih belum update buku-buku sastra yang berkembang saat ini. Perpustakaan masih dinilai belum menampung karya-karya sastra baru. Misalnya, pada karya-karya sastra yang mendapat penghargaan dalam perhelatan-perhelatan sastra tertentu.
Maka pada forum, sastrawan yang hadir menyuarakan betapa sangat penting negara atau Badan Bahasa berkenan untuk merekomendasikan buku-buku sastra yang layak untuk diedarkan di sekolah/kampus. Perlu adanya kurator yang berkompeten untuk menentukan buku-buku sastra mana saja yang harus dikonsumsi siswa/mahasiswa.
Barang tentu peredaran karya-karya sastra yang bagus dan bernas akan menunjang penciptaan generasi unggul yang kreatif, baik di lingkungan sekolah maupun kampus. Siswa/mahasiswa saat ini masih dinilai sangat kering dan begitu jauh dengan iklim dunia literasi yang seharusnya.
Bolehlah, misalnya, dapat kita lihat, saat ini siswa/mahasiswa dalam hal apresiasi sastra masih hanya terhenti pada apresiasi baca. Sangat banyak didapati lomba baca puisi/cerpen. Belum pada tahapan mencipta karya, menulis karya. Entah dalam lomba atau lokakarya tertentu untuk menciptakan generasi-generasi pencipta.
Persoalan sangat rendahnya masyarakat kita dalam hal membaca buku, tentu menjadi masalah besar bagi bangsa ini. Segenap peserta forum pun begitu gelisah menyikapi virus malas membaca ini.
Coba kita simak saja, msyarakat kita akan sangat lebih menyukai menyaksikan/menonton film daripada membaca kisah yang difilmkan tersebut. Masyarakat kita akan lebih berbahagia terbahak-bahak menyaksikan Dono beserta teman-teman Warkopnya dari pada mencoba mencari buku-buku novel karyanya.
Lebih-lebih, tidak sedikit guru-guru atau pengajar di sekolah atau di perguruan tinggi yang masih begitu abai dengan pergerakan atau apa saja yang terjadi pada perkembangan sastra saat ini. Sastra koran seperti apa, sastra dari gerakan komunitas seperti apa, siapa saja sastrawan muda yang bermunculan, atau siapa saja sastra yang menjadi nominasi berbagai ajang penghargaan kesastraan, entah puisi, cerpen atau kritik sastra.
Tidak malah hanya melulu berkutat pada karya sastra masa lalu yang terkadang sudah sangat ketinggalan. Itu terkadang yang membuat pengajaran sastra kita menjadi sangat kuno. Sudah sangat puas hanya saja mengajarkan atau membacakan puisi "Aku Ingin" dari Sapardi Djoko Damono dengan cuma hasil "copy paste" dari internet, tanpa mengetahu seperti apa dalam bukunya.
Belum ada upaya pengajar kita berkeinginan melek literasi, dengan cara update karya-karya baru yang lebih segar. Misalnya saja jika puisi bolehlah diajak menekuri buku puisi Tidak Ada New York Hari Ini karya M Aan Mansyur yang begitu populer dalam film Ada Apa dengan Cinta 2, buku puisi Sarinah karya Esha Tegar Putra, Mendengarkan Coldplay karya Mario F. Lawi atau bahkan mengajar menyuntuki buku puisi karya penyair sarung Joko Pinurbo yang terbaru, Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu.
Belum lagi sangat sedikit pengajar kita yang mau mendatangi beberapa gerakan sastra yang ada di sekitar. Misalnya, saja jika di dekat-dekat Semarang dan Kendal ini, siapa yang mau meluangkan waktu untuk mendatangi acara obrolan buku semacam yang diselenggarakan oleh Kelab Buku Semarang dengan tawaran buku-buku sastra bagus yang dibahas dalam forum. Belum lagi perhelatan sastra tahunan yang diselenggarakan Komunitas Lerengmedini Boja Kendal, misalnya dalam Parade Obrolan Sastra atau Kemah Sastra.
Padahal sudah menjadi rahasia umum jika dalam forum obrolan dan kemah tersebut mendatangkan banyak tokoh-tokoh sastra kita. Sebut saja Agus Noor, Ahmad Tohari, Remy Sylado, Korrie Layun Rampan, Martin Aleida, dan sederet maestro lainnya banyak didatangkan di situ.
Belum lagi gerakan literasi Wakul Sastra yang saat ini sedang dijalankan Heri C. Santosa dalam komunitas tersebut dengan meletakkan buku-buku di warung-warung makan di Boja. Niatan mereka sederhana, bahwa diri manusia tidak hanya butuh kenyang perut saja. Jika hanya itu, lalu apa bedanya manusia dengan hewan. Namun jika sudah begini, sesunggunya hanya ada satu jawaban. Yakni, semua butuh kesadaran. Jika karya sastra itu kemuliaan, maka tentu pengajaran sastra adalah ibadah yang begitu mulia.***

─Setia Naka Andrian, Penulis Buku “Perayaan Laut” (2016). Peserta Munas Sastrawan Nasional 2016.


Minggu, 16 Oktober 2016

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, Minggu, 16 Oktober 2016)


Sejak Langit Merah

Sejak langit merah
Kita seakan tidur di hari paling terjaga
Betapa tidak,
Rumah-rumah kita begitu cepat
berubah-ubah warna

Kita, kian hari merasa tiada daya
Melihat doa dan janji
yang seakan tiada beda rupa-rupanya
Seperti dada kita yang mekar
dan kempis tiba-tiba
Serupa diri kita yang bising
Lalu tiba-tiba hening dengan terpaksa
Seakan menjadi paling rahasia
Mimpi dan masa depan kita dibeli
Dengan peluru pula,
dengan begitu tragis dan tiba-tiba

Kita lihat bersama,
hari-hari semakin sia-sia saja,
katamu,
Lalu kau merasa asing dengan diri sendiri
Suaramu seakan lantang,
ditanam dengan dalih yang beterbangan
Tubuhmu seolah membara,
Dihidupkan di depan speaker
yang meledakkan janji belaka
Dan perabotan kotor yang menumpuk
Ditumbuhkan paksa di dada-dada kita
Lalu selanjutnya,
kita seakan dibuat sangat butuh tangan mereka
Menunggu renovasi dapur
Menanti tanda tangan dan stempel
Hingga semua semakin tak berujung-ujung

Sejak langit merah
Di dapur, kita kian sengsara
Bumbu-bumbunya dipalsu di mana-mana
Aroma rempah yang dulu tak bersekat di lidah kita
Kini seakan mati-matian untuk meminangnya

Lihatlah pula, halaman dan ladang rumah kita
Pelan-pelan disapu habis
Kita seakan semakin dipisahkan
dengan milik kita sendiri

Sejak langit merah
Kita seakan sering mengendarai
ibu kandung kita sendiri
Lalu di luar sana banyak yang bertanya,
Tunggangan seperti apa ibumu itu?
Bukankah kau yang dikendarainya?
Lihat saja, jarak dan ingatan,
kian hari semakin fiktif-fiktif saja
dalam hitungan-hitungan tak terduga
Lalu kini kita tiada berkeputusan,
Merah ini, warna-warna rumah kita kini
Semakin tiada bermuara,
Tak pernah benar menembus dada kita,
Apa lagi nurani
yang sering digemborkan
di panggung-panggung mereka


Kendal, Agustus 2016


Pesan Ibu

Sekolahlah, Nak
Agar kelak kau hidup mulia
Kau akan membalik diri sendiri
Di atas telapak tanganmu sendiri
Selepas orang lain lari pagi
Kau akan hangat pula
Dengan degub dadamu sendiri

Sekolahlah, Nak
Agar kelak kau mampu mandi
Kau akan mengerti,
Jika pagi-pagi akan tinggal serumah
dengan sore hari
Dan kau akan tersenyum manis
Melihat tanganmu sendiri
yang mengaduk secangkir kopi

Sekolahlah, Nak
Sebelum hari-harimu kacau
Memilih hidup tanpa nyali
Tinggal serumah dengan sejarah
Yang kata mereka sungguh tak pasti
Masa lalu yang terus dibuat-buat
Diulang-ulang di sepanjang momen negeri paling ngeri
Sepanjang tahun,
kau akan kebingungan memilih mana yang pasti
Lalu akhirnya kau akan lebih sepakat
dengan jalan mati bunuh diri


Kendal, Agustus 2016

Minggu, 09 Oktober 2016

Rendra, Ziarah Kata dan Doa (Republika, 9 Oktober 2016)

Rendra, Ziarah Kata dan Doa
Oleh Setia Naka Andrian

Agustus lalu, tepat tujuh tahun meninggalnya W.S. Rendra, penyair Si Burung Merak yang begitu dikenal seantero negeri ini. Beberapa kota di negeri ini, daerah dan lingkup kecil semacam komunitas sastra, khususnya puisi, seakan khidmad mendengar gelimang kata-kata yang terus mengalir dari sajak-sajak Rendra.
Begitupun yang penulis lakukan bersama Forum Ngaji Ngopi Ngudud dan Kelab Buku Semarang, menyelenggarakan Ziarah Puisi Rendra di Mukti Cafe. Buku puisi Doa untuk Anak Cucu (Bentang, 2013) dan Puisi-Puisi Cinta (Bentang, 2015) menjadi riwayat tersendiri bagi khazanah perpuisian Rendra, dan bagi sastra Indonesia tentunya.
Melaui Doa untuk Anak Cucu (DUAC), Rendra seakan begitu yakin dalam menerawang masa depan keyakinannya. Ia seakan nampak berpegang pada Tuhan yang Esa, Allah SWT, semenjak ia menentukan bahwa Islam sebagai muara imannya. Nampak jelas dalam puisi Gumamku, ya Allah, berikut penggalannya:
Angin dan langit dalam diriku,/ gelap dan terang di alam raya,/ arah dan kiblat di ruang dan waktu,/ memesona rasa duga dan kira,/ adalah bayangan rahasia kehadiran-Mu, ya Allah!
Rendra, dalam puisi tersebut begitu berserah, segalanya tertuju kepada tuhannya, Allah. Melalui hal tersebut menjadi catatan lain tentang riwayat keislaman Rendra, lebih-lebih roh pementasan Kasidah Barzanji menjadi titik temu perjumpaannya di jalan muslim. Rendra seolah berambisi menyuarakan kemerdekaannya dalam bertuhan. Rendra sempat mengatakan, “bahwa dalam sajak-sajakku merupakan yoga bahasa, semacam ruang ibadah, puisiku adalah sujudku.”
Kuntowijoyo dalam bukunya Maklumat Sastra Profetik (2006) menyatakan bahwa pengarang yang shalat dengan rajin, zakatnya lancar, haji dengan uang halal, Islamnya tidak kaffah kalau pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah.
Barangtentu, itu dilakukan Rendra dalam bukunya DUAC, tanpa beribadah melalui karya, segala yang dilakukan di dunia seakan belum menyeluruh keislamannya. Bisa juga disimak melalui bagian akhir puisi Gumamku, ya Allah berikut:
Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu/ Agama adalah kemah para pengembara/ Menggema beragam doa dan puja/ Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.
Rendra bersuara begitu lantang dalam menyuarakan agama. Bahkan dalam penggalan tersebut menunjukkan betapa agama menjadi pengembaraan umat manusia di dunia. Rendra mengajak kita, bahwa ragam doa dan puja dalam tubuh-tubuh agama.
Bahkan agama yang sama pun akan didapati beraneka cara menyuarakan keagungan tuhannya. Namun tetap dalam muara yang sama, atas kebaikan yang sama dan untuk kemaslahatan bersama.
Dalam DUAC menjadi penanda tersendiri bagi perjalanan sajak-sajak Rendra. Buku ini seakan menjadi karya yang entah dikehendaki atau bahkan sangat tidak dikehendakinya. Mengingat jika buku ini lahir setelah beberapa tahun ia meninggal.
Namun, setidaknya sang penyunting (Edi Haryono) sempat memperbincangkan bersama Rendra tentang penerbitan buku ini. Edi yang mendapat titipan beberapa sajak yang terangkum dalam buku ini, dan sebagian lagi yang disimpan Ken Zuraida (ida, istri Rendra).
Melalui buku DUAC ini pun, Rendra begitu gelisah, bagaimana nasib anak cucunya kelak. Nampak dalam penggalan puisinya Kesaksian Akhir Abad berikut:
O, anak cucuku di zaman Cybernetic!/ Bagaimana akan kalian baca prasasti dari zaman kami?/ Apakah kami akan mampu/ menjadi ilham kesimpulan/ ataukah kami justru menjadi masalah di dalam kehidupan?
Rendra berpanjang-lebar dalam 6 halaman dalam mencatat doa-doa kegelisahannya dalam puisi ini. Ia seakan mengajak generasi mendatang lebih tertantang dengan yang dilontarkannya.
Rendra ketakukan dengan anak cucunya yang hidup di zaman serba mudah. Segala informasi dan apa pun bisa dengan leluasa dilahap dengan sangat cepat. Kebaikan dan keburukan akan berdampingan bahkan saling berlomba untuk mendarat di mata siapa saja.
Rendra dalam puisi tersebut pun menanamkan kegetiran atas Indonesia, nampak jelas dalam penggalan berikut:
O, Indonesia! Ah, Indonesia!/ Negara yang kehilangan makna!/ Rakyat sudah dirusak atas tatanan hidupnya./ Berarti sudah dirusak dasar peradabannya./ Dan akibatnya dirusak pula kemanusiaannya./ Maka sekarang negara tinggal menjadi peta/ itu pun sudah lusuh/ dan hampir sobek pula.
Ratap tangis mendera Rendra, atas segala kedaulatan tanah dan air Indonesia yang belum sepenuhnya digenggam bangsa ini. Melalui buku puisinya DUAC, seakan Rendra ingin melihat masa depan anak cucunya lebih baik daripada kehidupannya saat itu, saat ia masih hidup, saat masih gagah menyuarakan segala ratap dan kegelisahannya melalui sajak-sajaknya.
Selain buku DUAC, dalam obrolan malam itu pun hadir dengan begitu hangat buku Rendra yang bertajuk puisi-puisi cintanya. Begitu membius khalayak yang malam itu melepas perjumpaan dengan doa-doa yang bertebaran untuk almarhum.
Dalam puisi-puisi cintanya tersebut, terbagi atas tiga bagian, Puber Pertama, Puber Kedua, dan Puber Ketiga. Dalam kumpulan ini, menjadi bukti masa-masa pencarian cinta Rendra. Alam semesta menjadi pijakan bagaimana ia menemukan cinta-cintanya.
Misalnya saja dalam penggalan puisi Hai, Ma! Berikut:
Kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara/ dijauhi ayah-bunda/ dan ditolak para tetangga./ Atau aku telantar di pasar./ Aku berbicara tetapi orang-orang tidak mendengar,/ mereka merobek-robek buku/ dan menertawakan cita-cita./ Aku marah. Aku takut./ Aku gemetar/ namun gagal menyusun bahasa.
Seorang Rendra, dalam puisi tersebut merasa dirinya terbuang. Ia begitu tak berarti apa-apa. Pada posisi semacam itu, ia seakan semakin berupaya menemukan cinta-cintanya. Dalam keadaan yang tersudut dan merasa bahwa kehidupan menggiringnya untuk menjadi semakin dewasa, semakin mendekati sempurna.
Itu pada bagian puber ketiga, dan tentu akan beda nuansa cintanya pada bagian puber pertama dan puber kedua. Bagian-bagian tersebut menjadi jarak yang tak pernah saling meninggalkan, namun sangat erat meriwayatkan bagaimana perjalanan Rendra dalam menggapai cinta-cintanya di semesta ini. Dan kita saat ini, menyimak beragam kemuliaan melalui sajak-sajak Rendra, Ziarah kata, doa-doa serta sejarah manusia, pergulatan penyair menjadi jawaban yang masih terus bergulir selamanya.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016). Pegiat Forum Ngaji Ngopi Ngudud.

Jumat, 07 Oktober 2016

Afrizal Malna; Fenomena Tubuh dan Bahasa (Derap Guru, Oktober 2016)


Komunitas Penjaga Literasi (Derap Guru, Oktober 2016)


Puisi Setia Naka Andrian (Pikiran Rakyat, 4 September 2016)

Hari Kedelapan Belas

hari ini, kita telah melipat baju-baju
yang kita kenakan di tahun lalu
di sana dihiasi lampu, wajah-wajah manusia,
sungai, dan ikan-ikan yang menguap ketika berenang;
hari ini kita banyak lupa ingatan,
riwayat kamar-kamar berserakan di dadamu,
banyak kenangan yang memilih binasa
dalam takdir sebuah kota,
hingga kini, sebelum menutup jendela,
kau, memilih menjadi hari yang paling kuasa;
manusia berangkat kerja, menjadi pasukan,
menjadi serigala, pemangsa kebahagiaan,
pejinak tragedi, dan lain-lain;
hari ini, kita menepi, melukis bantal
dengan pelangi, menghabisi diri orang-orang
yang membutakan matanya sendiri
dengan sendok, garpu, pecahan beling,
dan tanah sisa hujan;
hari ini, kita belajar berlari, di tepi jalan
yang sedang dilewati pasukan malapetaka
ketika kita belum mampu mengubah diri
menjadi segitiga

Sanggargema, Maret 2015


Hari Sepenuh Puisi

ia kabarkan hari-harinya sepenuh puisi
dari hutan, dari jalan raya, dari tembok,
dari sungai, bukit, pohon dan dari segala arah,
hingga dari dalam kamar, mereka berebut bernyanyi
dengan irama dan nada dasar yang berloncatan,
mereka menaiki puisi pelan-pelan, mengelilingi
kota-kota yang berloncatan di atas kepalamu,
semacam kera-kera pemungut hati yang berantakan;
sungguh, kau diamkan hari-harimu yang berbinar
kau tuangkan kepedihanmu dalam segelas anggur
dan kau tiadakan kemenanganmu, malam-malam
mengucur deras, dari keningmu, dari takdirmu,
dari seberapa dalam doa mengepal menjadi
riwayat dan takdirmu,
lalu darimu, puisi berlari mengejar masa depan
yang sedang tidur panjang
ia tak lagi mau sarapan pagi, katanya, hari sudah
begitu kenyang menyaksikan penyakit yang piatu
dan lupa menyusui anak-anaknya,
tak ada lagi obat batuk yang mampu menyembuhkan
lukanya, hingga kau jarang memenuhi gizi untuk
puisi-puisimu, padahal katamu:
puisi adalah satu-satunya anak nuraniku
hingga akhirnya puisi tinggal nama,
penyair kehilangan nyawa,
puisi semakin memburuk, tak mau dibujuk,
mereka lari, memilih mengasingkan diri,
menceburkan diri dalam sungai yang kering

Saranglilin, Maret 2015


Perihal Tidur

sayang, aku tidur dulu di pungungmu ya; nanti tolong
bangunkan aku pukul 17 tepat, karena nanti aku harus
mencari hujan; aku ingin mengajaknya membasahi
pohon yang telah lama tumbuh di jantungku,
katanya, ia pohon yang ingin cepat mati,
ia ingin tidur panjang, dan mengubur dirinya di dadaku,
tolong ya, karena di sana setiap hari terdapat perempuan
menangis yang bersetia menunggu peluru,
katanya, ia selalu bersembunyi di dada-dada para pemerkosa
yang datang tak berkepala; mereka meminum api-api
di atas ladang rahasia, hingga ada seperangkat doa
yang kau lahirkan dari dalam penjara,
ya, benar, mereka dilindungi para penjaga yang gemar
membakar batu; aku tak tahu, kenapa batu diam saja,
ia tak kepanasan, ia tak kedinginan,
atau barangkali ia sedang tidur, ia lelah, karena sering
dipinjam orang-orang yang keras kepala,
ah, kau malah mengira jika aku bohong,
padahal sungguh, semua menyaksikan,
bahkan jika kau mau, mereka siap untuk membinasakan
dirinya sendiri; termasuk kelak kau, aku, dan semua orang
yang membenci hari-hari tidur,
kita akan lelap bersama, menyaksikan mimpi-mimpi
yang menidurkan kita, sebagai diri yang sementara,
sebagai jiwa yang paling pura-pura,

TBRS, Maret 2015