Kamis, 31 Desember 2015

Stigma Sejarah dalam Teater

Stigma Sejarah dalam Teater
Oleh Setia Naka Andrian

Beberapa pekan lalu, panggung teater di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang sengaja digelapkan teater Tikar. Kelompok asal kota Lunpia yang masih belia ini mementaskan naskah berbau eksistensialisme karya anggotanya sendiri, Iruka Danishwara. Sekitar tiga ratus penonton keluar dari lift dengan mata dingin. Barangkali, ini panggung teater tertinggi dalam sejarah seni pertunjukan.
Dengan langkah hati-hati, mereka pijaki lorong gelap dari dinding kain hitam. Mata mereka seolah sudah benar-benar disiapkan untuk merekam panggung pemeranan. Sutradara membocorkan separuh fenomena panggung. Lampu sorot warna hijau menyala dari bawah plastik-plastik bening yang digantung setinggi tiga meter dan lebar satu meter. Benang-benang putih sengaja ditata tak beraturan, membentangi backdrop hitam. Sutradara seolah mengajak penonton untuk lari menuju keruwetan masa silam. Manekin tubuh perempuan digantung. Bergerak-gerak pelan. Ke kanan dan ke kiri. Lampu tiba-tiba dimatikan. Ilustrasi digital mengalum dengan nada mencengangkan. Pertanda bahwa pertunjukan dimulai. Segenap penonton menyiapkan mata.
Semacam foto keluarga, aktor-aktor tak bergerak. Seorang ibu menutup mata kedua anaknya, laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di kursi. Berdiri disebelah ibu, seorang ayah dengan tatapan dingin. Berganti beberapa pose. Menutup kedua mata ayah dan anak laki-lakinya dengan kedua tangan. Kemudian lampu dimatikan kembali. Aktor-aktor muncul lagi dengan dialog. Seorang nyonya menyapu. Membersihkan lantai kotor, pigura, dan dinding-dinding rumah dalam bahasa kenangan mereka.
Tiba-tiba empat orang menggerakkan kakinya di balik plastik-plastik putih bercahaya warna-warni. Kaki-kaki semakin bergerak kencang dengan langkah disiplin pasukan perang. Seorang nyonya berialog dengan tokoh-tokoh di balik plastik. Mereka menanyakan, kenapa juga nyonya masih terus saja menyapu. Sedangkan setiap hari selalu saja kotor, selalu saja ada yang mengotori. Begitu pula dengan niatannya untuk selalu membersihkan pigura dan dinding-dinding rumah.
Nyonya dijatuhi pertanyaan dari orang-orang di balik plastik, “Nyonya, mengapa kau begitu meluangkan waktu sekedar untuk menyapu teras rumahmu? Nyonya, tidakkah kau lelah harus selalu menyapu setiap pagi dan besok pagi sudah kotor lagi.” Jawab nyonya, “Ini bukan tentang lelah atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku.” Melalui bocoran teks tersebut, barang tentu penonton mulai digelisahkan dengan kesadaran aktor yang dibangun rapi oleh sutradara muda bernama Ibrahim Bhra. Aktor memancarkan detail tubuh, ruang, dan suasana.

Teater sebagai Peristiwa
Agus Noor (2015), mengungkap bahwa aktor harus mampu menghidupkan banyak suasana dalam panggungnya. Hingga yang berlangsung di panggung bukan semata-mata menyampaikan ide-ide yang abstrak, melainkan berhasil menghadirkan sebagai sebuah kisah dan peristiwa. Hal tersebut setidaknya telah disuguhkan teater Tikar. Kisah dan peristiwa sejarah disampaikan dalam miniatur keluarga. Namun tetap saja, stigma sejarah dihadirkan dengan tawaran konflik yang pelik. Melalui teks yang begitu olang-alik membuat para penonton berimprovisasi dalam benaknya masing-masing. Sejarah besar disajikan sederhana, bukti nyata dari sutradara untuk memberi tawaran lain menyoal sejarah yang biasanya disampaikan melalui peristiwa-peristiwa besar.
Dalam pertunjukan ini, tubuh-tubuh aktor bergerak, kata-kata bergerak, menuju ke arah bahasa teater yang utuh. Keajaiban-disuguhkan dari gesture yang kuat dari para pemeran. Hal itu menjadi sihir tersendiri dari tubuh teater. Gerak para aktor ditawarkan dengan tubuh-tubuh sejarah. Gerak mereka cepat, menjalani aktivitas peran dengan penuh kejutan. Mereka tawarkan deskripsi sejarah dalam kenangan yang tak pernah selesai. Kenangan yang tak pernah ada jika waktu dan tubuh mereka tak bergerak.
Kenangan disajikan sebagai bagian kecil dari stigma sejarah tubuh. Bagi mereka, sejarah adalah kesepakatan dari kenangan. Seperti dalam lakon, dilontarkan ibu kepada anaknya, “Tidak ada yang bisa aku lakukan, Nak. Kenangan seperti menahan segala langkah untuk beranjak. Entah bagaimana caranya, namun tidak juga aku temukan. Berulang kali yang aku temukan hanya kau dan Ayahmu. Di setiap sudut rasanya seperti bayangan yang terkena sinar terang, semakin jelas.”
Setidaknya, melalui pertunjukannya, teater Tikar berupaya menyuarakan kebenaran sejarah yang selalu saja dibunuh beragam kepentingan. Sejarah dianggap sebagai sebuah kesepakatan peristiwa yang seolah-olah terjadi dan dibuat jadi. Kenangan mengenai masa lalu keluarga diciptakan sebagai ikhtiar keabadian. Hingga akhirnya, setelah gelimang tubuh-tubuh aktor bergerak dengan mesin waktunya, pertunjukan diakhiri dengan seorang anak memeluk manekin. Ia tusuki manekin, tubuh kenangannya. Air-air muncrat dari tubuh manekin. Penanda semua ingin diakhiri.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Minggu, 27 Desember 2015

Natal yang Mukim di Kamar Lindra (Suara Merdeka, 27 Desember 2015)

Natal yang Mukim di Kamar Lindra
■cerpen Setia Naka Andrian

Natal segera tiba. Besok Natal akan mengunjungi rumahku. Juga pasti Natal akan mukim di kamarku. Namun kurasa masih sama dengan Natal yang tiap tahun mukim di kamarku, tetap tak beda. Aku masih tak mampu berbuat apa-apa. Hanya terbaring saja di ranjang sambil meniti kesunyian ini. Walaupun katanya Natal itu sangat indah, damai, dan hanya dentang lonceng yang damai saja yang mampu kudengar. Walaupun aku tak mampu membalas dentang damai bebunyian itu.
Kata ibuku, yang setiap Natal selalu bilang kepadaku, katanya Natal adalah hari yang damai. Ramai dengan lampu yang melantunkan doa-doa dari setiap rumah-rumah. Dentang damainya mengalun ke mana-mana. Kedatangannya ditunggu-tunggu oleh umat Kristiani sedunia. Namun hingga tujuh belas tahun usiaku ini, aku belum pernah menyaksikannya dengan sempurna. Aku tak tahu, kapan Tuhan mendengar doa-doaku pada setiap Natal agar aku diperkenankan menikmati kesempurnaan hari damai itu.
Kadang hatiku begitu berat dan berkecamuk dengan begitu dahsyat jika hari hendak menjelang Natal. Lebih-lebih pada masa Natal ini, Sinterklas telah mengecewakanku. Malam itu, pada tanggal 6 Desember, Sinterklas datang di kamarku. Kata ibuku, “Lindra, malam ini kau mesti bahagia. Karena Sinterklas malam ini mengunjungimu. Benar, Lindra. Ini dia datang, akan datang pada malam menjelang pestanya setiap tahun. Sinterklas datang dengan membawa berbagai macam hadiah untuk anak-anak yang manis. Dan kau adalah salah satu anak manis itu, Lindra. Kali ini Sinterklas datang membawakanmu hadiah baju bagus. Sentuhlah, Lindra. Baju yang sangat halus ini, sehalus tubuh dan hatimu.”
Aku ingat betul waktu itu, Sinterklas menyapaku, yang kata ibuku, Sinterklas berbaju merah. Kata ibuku, merah adalah warna, walaupun aku sendiri tak tahu warna merah itu seperti apa, “Hai anak manis, aku datang lagi kepadamu. Kali ini aku membawakanmu hadiah baju yang sangat bagus. Berbahagialah ya, Lindra? Malam ini, seorang malaikat penolong yang membawa daftar nama anak-anak yang baik telah memperlihatkan catatannya bahwa kau anak yang baik, kau sangat sayang kepada ibumu. Maka aku memberimu hadiah. Jangan bersedih ya, Lindra. Kau anak manis. Maka aku berhak memberimu hadiah baju bagus ini. Berbahagialah.”
Sejujurnya waktu itu aku sangat marah kepada Sinterklas. Kenapa harus memberiku hadiah baju? Bukankah aku sudah banyak memiliki baju bagus? Aku sebenarnya ingin mataku bisa melihat, mulutku bisa bicara, dan aku tak lagi lumpuh. Aku ingin kau bilang kepada Tuhan tentang permohonanku ini, Sinterklas! Bukan malah membawakanku hadiah baju!
Waktu itu aku sangat marah dan sangat bersedih. Aku yakin, ibu pasti juga bersedih, karena melihat cucuran airmataku. Tapi bagaimana lagi, aku tak mampu menolak ataupun menyanggah segala sesuatu yang disebut hadiah dari Sinterklas itu. Kapan Sinterklas mampu mendengar bahasa hatiku?
Sungguh aku sangat kecewa dengan Sinterklas. Tapi ini mending, ia memberiku hadiah baju, barang yang bisa bermanfaat bagiku. Coba kalau tahun kemarin, aku ingat betul. Tahun kemarin Sinterklas dan sukacita yang ia datangkan ke dalam perayaan Natal di kamarku telah memberiku hadiah sepatu. Apa Sinterklas tak tahu kalau aku lumpuh dan tidak bisa berjalan? Tapi tak tahu juga bila Sinterklas punya maksud lain kepadaku, ketika memberiku sepatu. Pikirku malah tahun ini ia akan memberiku hadiah agar aku bisa berjalan. Eh, ternyata tidak.
Pikirku Sinterklas terkadang memang sungguh keterlaluan. Namun terkadang aku sadar, tak apa seperti itu. Aku cukup bersyukur ketika tiap tahun Sinterklas selalu mau datang kepadaku untuk memberi hadiah. Dan aku berbahagia, karena seorang malaikat penolong yang membawa daftar nama anak-anak yang baik telah memperlihatkan catatannya bahwa aku anak yang baik, kata Sinterklas aku sangat sayang kepada ibuku. Ya, benar begitu. Karena ibuku juga sangat menyayangiku.
Tetapi ketika itu dan hingga kini aku tetap saja merasa sangat kurang bersyukur atas segala yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku merasa sepertinya yang ada di kepala dan sekujur tubuhku tak lebih dari hiasan saja. Mataku kosong, airmataku yang hujan selalu basah meminang kesepian ini. Mata yang seharusnya mampu menemukan yang hendak kucari dan kunikmati keindahan serta kedamaian hidup di dunia, namun hingga kini aku belum mampu memperoleh itu. Aku juga masih lumpuh dan tidak bisa berjalan. Muluku juga bisu. Tuhan tidak adil! Apa dosaku Tuhan?
Aku ingin menikmati hidup ini dengan sempurna, Tuhan! Karena kata ibuku, dunia ini indah. Ada cahaya dan keistimewaan lainnya. Seperti juga tentang Natal yang berwarna-warni dengan lampu-lampunya yang bermekaran nan indah. Namun itu semua sebatas kata ibuku, juga kadang guru privatku yang berkata begitu. Ya benar, ibu dan guru privatku sering berkata seperti itu. Namun aku hanya mampu mendengar saja, hanya telingaku saja yang tidak buta. Aku hanya mampu mendengarkannya saja, aku tak dapat melihat atau menjawabnya. Hanya dalam hati saja aku bicara, dan pasti ibuku atau guru privatku tak tahu apa kata hatiku. Dan padahal setiap ada orang berkata-kata kepadaku, aku selalu ingin menjawabnya. Siapapun tak pernah akan tahu jawaban kata hatiku. Kepada berita di radio dan televisi pun selalu aku berusaha menjawabnya. Ya, radio dan televisi yang setiap hari selalu diputarkan oleh ibuku, yang katanya agar aku tahu wawasan. Dan aku pun mendengarkan kata ibu, juga apa saja yang keluar dari televisi atau radio. Ya begitulah, informasi-informasi tentang hidup manusia di dunia yang kerap selalu kudengar. Karena kata ibu dan guru privatku, itu sangat penting sebagai wawasan. Aku turuti kata mereka. Karena aku sangat menyayangi mereka berdua, juga agar aku tahu tentang perkembangan dunia serta manusia yang juga sama sepertiku. Mungkin yang membedakan hanya nasib saja.
Sebenarnya aku sangat bosan dengan hidupku ini. Dulu ketika masih kecil, beberapa kali aku hendak bunuh diri. Beberapa kali aku berguling dan terjatuh di lantai, lalu ada benda-benda padat yang membentur di kepalaku. Sempat ada gelas di lantai yang membentur dengan keras di kepalaku. Sontak ketika itu darah mengucur dengan deras dari kepalaku. Ibuku menangis meraung-raung dan memelukku dengan erat. Itu berkali-kali kulakukan, hampir setiap sebulan sekali aku berusaha bunuh diri. Namun ketika aku berusaha bunuh diri, ibu selalu saja menangis, juga ibu selalu memelukku dengan erat. Maka setelah itu berulang-ulang kulakukan, aku menjadi sadar, kalau ternyata ibu sangat menyayangiku. Setelah itu aku menjadi sadar, tak lagi berusaha bunuh diri atau sekadar menyakiti diri sendiri. Karena kata ibuku itu adalah perbuatan dosa, Tuhan tak suka dengan orang yang bunuh diri. Selain itu juga ibu sangat menderita jika aku bunuh diri. Karena kata ibuku, aku adalah satu-satunya yang dimiliki setelah bapakku meninggal ketika aku dilahirkan. Ibu pun tak mau menikah lagi, karena ibuku tak mau jika orang yang dinikahinya akan menyakitiku. Maka ibu yakin untuk memutuskan tidak menikah lagi, karena ibu sangat menyayangiku lebih dari apa pun.
Berdasarkan pengalaman yang dikatakan ibuku, jika ibu menikah lagi, maka biasanya orang itu akan jahat kepada anaknya. Karena orang itu adalah bapak tiri. Seseorang yang bukan bapak kandung. Karena bapak kandungku telah meninggal semenjak aku dilahirkan. Kata ibuku, bapakku adalah orang yang sangat baik. Bapakku adalah seseorang yang selalu bekerja keras. Buktinya ibuku kali ini tidak kerja. Ibuku hanya di rumah, menemaniku setiap saat dan ketika aku membutuhkan. Ibuku selalu merawat dan melindungiku dari apa pun, bahkan dari nyamuk sekalipun, ketika aku sedang tidur ataupun terjaga.
Aku dan ibuku merasa sangat bangga memiliki bapakku, karena ia telah mewariskan semua harta dan segala sesuatu yang dimilikinya untuk aku dan ibuku. Hingga kali ini aku dan ibuku tak perlu harus bersusah payah untuk mencari uang sebagai pemenuhan hidup, untuk makan, pakaian dan lain sebagainya. Lebih-lebih bagi ibuku yang sudah cukup lelah termakan usia, ibu tak perlu repot-repot mencari uang untuk menghidupiku yang tak berdaya berbuat apa-apa ini. Aku semakin bangga memiliki ibu. Aku yakin ibu begitu menyayangiku. Namun kadang aku masih heran kepada Tuhan, lagi-lagi kepada Tuhan. Kenapa belum juga mau mengabulkan doa-doaku agar aku mampu melihat dan berbicara? Aku juga ingin bisa berjalan, tidak lumpuh terus seperti ini. Aku bosan jika harus selalu di kamar ini, Tuhan! Aku tak kuat jika seumur hidup aku harus selalu di kamar ini! Bayangkan saja, aku setiap waktu harus selalu di kamar, dari mulai mandi, makan, berak, belajar dengan guru privat serta apa pun itu selalu saja kulakukan di kamar. Yang buta tidak hanya mata dan bibirku saja, namun tubuhku juga buta.
Hanya ibu yang selalu sabar merawatku. Aku mendengar dengan baik kasih sayang yang selalu ibu hujankan kepadaku. Semoga kelak aku mampu membalasnya, dan tentunya Tuhan juga harus mau memberikan pahala yang melimpah kepada ibuku, juga kepada bapakku yang sudah terlebih dahulu menemui Tuhan. Karena kata guru privatku, Tuhan itu baik hati. Tapi aku juga tak tahu itu bohongan atau memang benar. Katanya Tuhan adalah segala-galanya, Tuhan adalah pemilik kebahagiaan dan kenikmatan. Maka ya aku pun selalu memohon kepada Tuhan melalui doa, agar ibuku diberi pahala yang banyak. Karena ibu telah menyayangiku dengan tulus dan sepenuh hati. Juga kepada bapakku yang telah terlebih dahulu menemui Tuhan, dan kepada guru privatku yang selalu mendidik dan mengajariku tentang berkehidupan di dunia. Karena memang hanya mereka saja yang dekat dalam hidupku. Yang selalu setiap hari menemaniku, merawat dan melindungiku dari apa pun.
Malam ini aku kembali teringat. Natal segera tiba. Besok Natal akan mengunjungi rumahku. Juga pasti Natal akan mukim di kamarku. Namun kurasa masih sama dengan Natal yang tiap tahun mukim di kamarku, tetap tak beda. Aku masih tak mampu berbuat apa-apa. Hanya terbaring saja di ranjang sambil meniti kesunyian ini. Walaupun katanya Natal itu sangat indah, damai, dan hanya dentang lonceng yang damai saja yang mampu kudengar. Walaupun aku tak mampu membalas dentang damai bebunyian itu.
“Lindra, apakah kau belum tidur?” sapa ibuku kepadaku, yang memang belum tidur, “Besok Natal, Lindra. Berbahagialah. Ini Natal yang ke tujuh belas bagimu. Kau kini telah dewasa. Karena umur tujuh belas tahun adalah kematangan bagimu. Apa lagi kau adalah perempuan. Berkah Tuhan buatmu, Lindra.” Sembari iu mengelus-elus rambutku. Namun sangat menyakitkan, aku tak mampu menjawab apa yang dikatakan oleh ibuku, hanya airmata saja yang mampu kubalas, lebih-lebih agar ibu tahu kalau aku belum tidur. Dan hanya itu saja yang mampu kulakukan untuk merespon lawan bicaraku.
“Kau cantik, Lindra. Kau semakin menjadi wanita. Natal kali ini, ibu ingin bilang sesuatu, namun sebenarnya tak perlu kubilang kepadamu. Karena kau adalah tanggung jawabku. Namun ini juga harus kau dengar, entah kau mampu mendengar suaraku atau tidak. Lindra, kau tak perlu bersedih. Ini yang ingin kubilang kepadamu, Lindra. Tentang harta serta kekayaan dari bapakmu kini telah habis. Maka mau tidak mau setelah Natal besok, ibu hendak pergi mencari uang. Entah bekerja apa saja. Mencari uang agar mampu menghidupimu. Hidup kita berdua, Lindra. Maaf, kalau mulai besok mungkin ibu tak mampu menemanimu setiap waktu. Dan mulai besok juga, ibu tak mampu membayar guru privat untuk belajar bersamamu. Juga mungkin besok ibu akan pergi ke gereja untuk menengadah kepada para pengunjung. Agar di antaranya mau berbagi harta. Maaf, Lindra. Ibu akan tidak selalu ada di dekatmu. Tapi percayalah, ibu sangat menyayangimu.”
Airmataku mengalir, mengucur dengan deras. Balasku kepada ibu. Sebagai rasa sayang yang tiada terhenti. Aku yakin ibu juga sangat menangis melihat airmataku. Maaf, aku membuatmu sedih. Maaf, aku belum bersyukur atas karuniamu, Tuhan. Bagiku, hidupku merupakan suatu kesaksian yang cukup bagus bagi diriku sendiri juga bagi ibuku. Dan airmata ini adalah sukacita yang Tuhan datangkan ke dalam perayaan Natal kepadaku juga bagi ibuku. Aku harus yakin, kiranya Tuhan benar-benar mengilhamiku dengan doa-doaku dan semangat kasih sayang ibuku yang tak bertepi, serta teladan hidup agar kita dapat merayakan Natal dengan penuh iman.


Palebone, Desember 2015

Minggu, 13 Desember 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 13 Desember 2015)

Kebun Nenek

Nenek berkebun. Tanah basah membentuk dadamu yang pecah. Ibu-ibu muda menjemur punggungnya. Palawija ditanam. Pundak mereka dijatuhkan di sungai. Kita terapung di sela malam minggu. Kabar baik ditunggu dari panen tahun depan. Seperti apa lagi wajahmu di pagi hari. Nenek memilih menjadi gubug. Tidur sebagai kebun.

Upgris, November 2015


Seribu Tahun Bernyanyi

Seribu tahun bernyanyi. Mengisi mulut dengan nada bahaya. Orang-orang pergi selepas dunia menyalakan lampu. Televisi meledak. Anak-anak kecil menari. Mengolesi perutnya dengan minyak angin. Lalu kita saling tebak, siapa paling bau badan. Di mana hari terakhirnya kehilangan hidung. Lalu apa kabar tuan rumah. Setelah setahun lamanya, kita tak sempat berpesta. Ini menjadikanmu semakin manja. Dadamu begitu saja dihiasi gambar kepala. Kau kecewa dengan seribu tahun. Lagu-lagu dimakamkan di lubang telinga.

Upgris, November 2015


Masa Depan Ingatan

Suatu saat, kita tak lagi ingat kapan bertemu. Kapan sempat bertukar dada. Bahkan di halaman belakang, nenek tidur tanpa pakaian. Kakinya mengajari kita bagaimana menjadi tubuh yang ringan. Kau belum sanggup membalas gerakan tangannya. Tubuhmu malu-malu. Aku melihat panjang rambutmu berserakan di atas detergen. Luka ditumbuhkan dari jarak terpisah menuju alamatmu. Lalu kau akan tahu bagaimana bulan berbentuk madu. Kita saksikan panjang rambut berjengkal selepas keramas. Di atas suara yang tumbang. Panggung berhadapan di pematang. Air mengering dari sungai. Pelan-pelan muka kita dicari kenangan. Keadaan tumbuh di lapangan. Siapa yang berani menjadi dirimu. Rumah-rumah menyaksikan dalam tinggi bahasa. Kau menikmati lagu di tepi sungai kering. Anak-anak diciptakan dari nada boneka.

Upgris, November 2015


Pengendara Becak

Becak bertengkar. Pembeli cabe kabur. Obat nyamuk melukai dirimu. Kata-katamu belum selesai. Seperti langit yang belum sore. Wajahmu menyibak aroma kamar. Semua orang pergi setelah mulut terbakar. Memilih merapikan baju tanpa celana. Katamu, jangan ada malu. Harga-harga berhenti, becak-becak melarikan diri.

Upgris, November 2015


Kepala Merdeka

Semerdeka apa kepalamu. Tumbuh berapa lama ubanmu. Harusnya, setiap malam kita tak usah bertemu. Gerai saja rambutmu. Ukur panjangnya hingga menghangatkan bantalmu. Jangan lupa banyak bercanda. Kita samakan suara dengan petasan tetangga. Hingga semua jatuh, mengakhiri di urat lehermu.

Upgris, November 2015


Kabar Boneka

Pagi ini, kita simak penjara. Orang-orang menjadi museum untuk dirinya sendiri. Jadwal makan menjadi masa lalu yang dilupakan. Kau pindah tempat tidur. Di atas batu, kau banyak mengigau lepaskan bola mata. Kaki dan tanganmu memegang perut. Garis-garis diberitakan dalam celana.

Upgris, November 2015




Rabu, 02 Desember 2015

Program Pascasarjana UPGRIS Baca Puisi untuk Guru (Koran Sindo, 2 Desember 2015)


Sepasang Sepatu Tua di Jakarta dan San Fransisco (Rakyat Jateng, 28-29 November 2015)


Gelimang ‘Kado’ untuk Guru (Koran Wawasan, 14 Desember 2015)

Gelimang ‘Kado’ untuk Guru
Oleh Setia Naka Andrian

Sejak 1994 silam, sesuai Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan Hari Guru Nasional jatuh pada 25 November 1994. Dua puluh satu tahun sudah, pemerintah bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan peringatan Hari Guru Nasional sekaligus HUT PGRI ke-70 yang biasanya dihadiri Presiden atau Wakil Presiden, para menteri dan pejabat negara lainnya.
Guru, sebagai insan yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Guru menjadi contoh teladan bagi siswa-siswanya. Tentunya juga akan melebihi apa yang dilakukan/dicontohkan oleh gurunya. Misal saja, jika guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari. Barang tentu sangat benar, kelakuan murid (orang bawahan) selalu mencontoh guru (orang atasannya).
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi (1983), menyebutkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja. Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat spiritualnya dari seorang gubernur.
Dapat kita gariskan semacam pertemuan dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Barang tentu, kita tak heran jika banyak menjumpai seorang anak yang lebih tenang menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Kita kali ini pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut, karena memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari rumah.
Guru diyakini sebagai pekerjaan mulia. Tak kan pernah ada profesor, dokter, bahkan presiden, jika tanpa guru. Mereka diajari membaca, menulis dan berhitung oleh guru. Kita tak bisa membayangkan betapa besarnya guru tingkat sekolah dasar. Namun apa yang terjadi, seperti sangat jauh mereka dari kebepihakan. Bahkan kebijakan-kebijakan yang ada sangat mempersulitkannya.
Misalnya, ada beberapa komponen yang harus ditunaikan sebelum guru diberi tunjangan pofesi guru (TPG). Di antaranya guru harus melakukan penilaian kinerja guru (PKG), pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), dan uji kompetensi guru (UKG). Seharusnya guru tidak melulu ditekan dengan beragam uji kompetensi saja, namun diberi pendidikan, pelatihan, dan bimbingan. Jika guru-guru tetap dibebani, maka akhirnya yang bisa mereka lakukan hanya pasrah saja.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan (Media Indonesia, 23/11), meminta guru untuk dapat membuat terobosan dalam mengajar. Anies berpendapat, sudah tidak bisa lagi guru menyamaratakan model pengajaran dulu dengan saat ini. Siswa dipersiapkan untuk menghadapi abad ke-21, sementara guru berasal dari abad ke-20, dan pendidikan yang diemban dari abad ke-19. Anies menilai guru dapat meningkatkan kemampuan murid berdasarkan potensi yang dimiliki oleh setiap murid.
Terobosan itu tentu sangat bagus, namun akan sangat ironis jika mengejar terobosan-terobosan sedangkan pemerataan fasilitas serta sarana-prasarana pendidikan di negeri ini saja belum selesai. Ketua Panitia Temu Netizen Peduli Pendidikan, Nur Febriani Wardi (Media Indonesia, 23/11), pendidikan belum bisa dinikmati secara adil, misalnya sedikitnya jumlah SMA/SMK di daerah-daerah terpencil dan pedalaman, jarak tempuh yang jauh, akses yang tidak memadai, dan belum meratanya pendidikan gratis juga menjadi halangan bagi masyarakat miskin.
Belum lagi persoalan pemerataan guru yang belum memihak di daerah-daerah terpencil. Padahal secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34 provinsi. Namun, berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).
Namun masih saja ada persoalan kekurangan tenaga pengajar di daerah terpencil. Beberapa waktu lalu, diberitakan di Kompas (23/11), Sarino (32), guru SDN Caringin di Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sarino mengajar siswa kelas I hingga kelas IV seorang diri di suatu ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 siswa dapat terlayani.
Tentu, segala itu menjadi kado tersendiri untuk guru-guru kita. Kado persoalan-persoalan atas kebijakan-kebijakan yang belum selesai juga hingga saat ini. Padahal, tema besar yang diusung dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT ke-70 PGRI tahun ini adalah ‘Memantapkan Soliditas dan Solidaritas PGRI sebagai Organisasi Profesi Guru yang Kuat dan Bermartabat’. Sebuah doa dan harapan tersendiri, agar nasib guru semakin diperhatikan. Terobosan-terobosan yang direncanakan menteri pendidikan kita semoga dapat menjadi angin segar tersendiri. Sehingga selanjutnya, kita tak pernah lagi merasa lelah menyaksikan keluhan-keluhan para guru di koran dan di televisi. Semoga.***

─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.