Sabtu, 29 Agustus 2015

Ikhtiar Memaknai Perayaan Hari Merdeka

Oleh Setia Naka Andrian

Kemerdekaan bukanlah berarti telah bebas sepenuhnya dengan tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Kemerdekaan bukan pula perayaan dan pesta kesenangan semata. Barangkali, pahlawan yang telah mendahului kita akan sangat bersedih di alam sana jika melihat generasi penerusnya tidak mampu mengisi kemerdekaan sesuai hakikatnya. Mengisi dengan aktivitas hidup yang penuh kebermaknaan dalam berbangsa dan bernegara.
Setiap tahun, kita terus mengulang keberadaan diri sebagai individu dan kelompok dalam pengambilan perannya masing-masing. Merefleksikan diri, seolah-olah kita kembali pada masa lalu ketika pahlawan pembela bangsa dan megara berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Pahlawan membebaskan diri, melepaskan bangsa ini dari penjajahan, memberikan kebebasan, dan lain sebagainya. Setiap tahun begitu, perayaan, pesta, dan kemeriahan. Memaknai kemerdekaan hanya sebatas kesenangan atas kemenangan. Apakah begitu?
Barang tentu penulis menyadari, sangat memprihatinkan memang. Di kampung-kampung halaman, di pinggiran desa, hingga di perkotaan, pemaknaan memperingati hari kemerdekaan masih sebatas ritual-ritual kesenangan. Di sudut-sudut gang, perempatan kampung, banyak didirikan panggung-panggung hiburan yang siap menggoyang masyarakat dengan dangdut koplonya. Lengkap dengan syair-syair lagunya yang tidak senonoh, tidak patut dan dan sangat tidak sopan. Di lapangan-lapangan kelurahan begitu riuh dengan perlombaan-perlombaan lelucon yang mengundang tawa lebar. Dari mulai lomba makan kerupuk, mengambil uang logam menggunakan mulut, memasukkan pensil di botol, menggendong istri, hingga lomba memecahkan balon di pantat. Seperti itu cara kita merayakan kemerdekaan?
Kemerdekaan barangkali sangat erat dan begitu akrab dengan diri kita. Merdeka dari tuntutan penjara seumur hidup, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, dan lain sebagainya. Lalu apakah ikhtiar untuk mengisi dan atau merayakan kemerdekaan dengan cara seperti itu? Tentu kita akan menjawab “tidak” dengan lantang, jika kita bersedia sedikit melihat sejarah dan masa lalu bangsa ini dengan baik. Hingga setelah itu kita akan lebih berhati-hati dan tentunya sangat bersungguh-sungguh dalam mengisi kemerdekaan yang sangat mahal ini.

Penanaman Nasionalisme
Ada sebagian masyarakat kita beranggapan, bahwa beragam perlombaan lelucon yang mengundang tawa lebar itu semata-mata niatan untuk mempermudah pengenalan hari kemerdekaan negeri ini kepada anak-anak. Maka perlombaan-perlombaan itu pun dikemas dengan lelucon dan sorak-canda yang pastinya sangat mengundang tawa bagi khalayak. Lalu apakah akan selalu dan terus-terusan semacam itu? Penulis sangat ingat, sejak kecil bahkan hingga saat ini, masih saja begitu yang terjadi. Sangat jarang ada perayaan berisi kegiatan yang memupuk nilai-nilai nasionalisme bagi generasi masa depan bangsa dan negara ini. Misalnya dengan perlombaan-perlombaan terkait sains, kesenian, dan budaya. Pasti semua masih selalu dimaknai sebagai pesta dengan segenap kesenangan-kesenangannya.
Barangkali pemaknaan perayaan hari kemerdekaan yang sesuai hakikatnya tidak dapat kita lakukan semudah membalik telapak tangan. Perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu dan penyadaran mendalam. Terutama bagi orangtua, pemuda, tokoh masyarakat hingga pemerintah tingkat desa/kelurahan yang kerap kali langsung terlibat dengan kegiatan-kegiatan peringatan HUT RI. Semua pihak tentunya harus berupaya keras untuk mengubah mindset masyarakat mengenai pemaknaan perayaan kemerdekaan yang tidak sebatas ritual kesenangan-kesenangan saja.
Tujuh puluh tahun sudah bangsa ini merdeka, telah cukup tua jika disandingkan dengan hitungan usia manusia. Lalu apakah kita akan terus-terusan seperti ini? Tentunya banyak hal yang dapat kita lakukan dalam upaya pemaknaan memperingati kemerdekaan. Kapan lagi kita akan mengisi kemerdekaan ini dengan dengan kembali pada hakikatnya. Bukankah momentum hari kemerdekaan sangatlah tepat untuk transfer ideologi kepada generasi masa depan depan bangsa ini?
Jika kita berkenan merenung sejenak, bukankah sangat kaya bangsa ini. Bukankah sangat melimpah sumber daya alam di negeri ini. Bukankah sangat kaya pula kebudayaan di negeri ini. Maka setidaknya itu modal, itu warisan tak ternilai dari para pendahulu kita, dari pahlawan-pahlawan dan nenek moyang kita. Agar kita mampu melanjutkan dan menjaga terus-menerus hingga tanpa berujung.
Bayangkan saja, jika kita masih sepakat dengan perayaan kemerdekaan yang hanya diisi dengan sebatas ritual-ritual bersenang-senang, lomba-lomba lelucon, dan memutar musik keras-keras di perempatan jalan dari malam hingga pagi. Apa jadinya bangsa dan negara ini? Barang tentu generasi penerus bangsa ini akan menyaksikan, merekam, dan akan melanjutkan kesalahan-kesalahan kita.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk merayakan kemerdekaan. Misalnya dengan perlombaan terkait sains, atau aktivitas kreatif terkait kesenian sastra, teater, musik, dan seni pertunjukan lainnya. Dengan masih kita arahkan dan kita selipkan nilai-nilai naisonalisme. Melalui perlombaan baca puisi atau menulis puisi misalnya, yang bertema perjuangan serta nasionalisme. Lomba mencipta lagu bertema perjuangan dan nasionalisme. Lomba menyanyikan lagu-lagu wajib nasional dan daerah yang kerap kali masih belum dihafal anak-anak kita.
Barang tentu banyak jalan untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jiwa nasiolisme tidak akan tumbuh begitu saja. Segalanya butuh proses, pembiasaan, dan tanggung jawab besar untuk terus menjaga serta menjiwai nilai-nilai keindonesiaan ini. Tentu butuh kesadaran panjang dari dalam diri kita untuk mengisi kemerdekaan bangsa dan negara ini. Bersama-sama dengan sepenuh potensi dan perannya masing-masing guna mencapai, mempertahankan, serta mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa sebagai salah satu ikhtiar menebar pemaknaan nasionalisme. Semoga. ***

Minggu, 16 Agustus 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Solopos, 16 Agustus 2015)

Perempuan Berhati Kaca

Di hatimu, pernah ditumbuhi kaca oleh ibumu. Ia berharap, kelak ketika kau terbangun dapat menyaksikan seberapa perempuan kau mendoakan hatimu sendiri. Ibumu juga ingin agar setiap hari kau melihat kakimu berjalan-jalan di antara banyangan dan kemesraan yang sering terbang di balik pemakaman. Sebagai perempuan yang memiliki sepasang sayap bertuliskan kekayaan. Berisi harta benda yang kau lepaskan di dadaku. Hingga akhirnya kita akan mati, membawa beban dan bahaya-bahaya.

Sanggargema, Januari 2015


Hari-hari yang Jauh dari Doa

Seperti kau, sebagai hari yang lain. Yang sempat dilupakan orang-orang: meninggalkan doa. Seperti halnya tanganmu, yang berjabat dengan kekasih teman. Lelah-lelahnya berpelukan menjadi leher. Menjadi ciuman, lipstik dan parfum.

Sanggargema, Januari 2015


Akhir Bahagia

Katamu, pagi ini ada yang lupa menaruh bahagia. Ia mengaku sebagai perasaan yang berlayar menelusuri rindu dan sisa kecemasan. Di matanya tumbuh tulang dan logam. Lalu tiba-tiba ada kepunahan yang berakhir setelah tangan dan kakinya berpindah di perut. Hingga akhirnya ia tak sanggup berbuat apa-apa, kecuali memejamkan doa yang ia akhiri di lubang hidungnya.

Sanggargema, Januari 2015


Rindu

Ada kelupaan yang kau tubuhkan di dadaku. Ia melakonkan kisah tragis seputar mimpi-mimpi yang dibacakan di batas cemburu. Kau tanyakan kepadaku, adakah yang aneh mengenai panjang rindu. Lalu kujawab dengan tayangan televisi, tentang gerai rambut dan shampo.

Sanggargema, Januari 2015

Sabtu, 08 Agustus 2015

Terlambat Sungkem (Annida Online, September 2009)

Terlambat Sungkem
Cerpen Setia Naka Andrian

Setelah seharian berlayar, kapal merabun menatap kejauhan. Dia tiba-tiba menepi karena mendengar dan terbisik. Dan sejumlah perahu nampak berdesakan berbaris berjajar di pantai. Menyebut dan mengalihkan ketika semua tertuju untuk pedagang ikan.
Masih saja terselimut bayang-bayang tentang masa silam. Hari ini tak pernah memberi arti. Masih selalu itu-itu saja. Apalagi untuk hari esok, aku sama sekali tidak tahu. Lukisan-lukisan masa silam kupajang di pinggiran jalan, itu tak pernah kusadari. Tentang hidup mati, bahkan tentang kiamat yang tak pernah kunanti.
Setiap malam ada saja yang menggangguku. Mengajak berjalan-jalan menelusuri rindu yang terpaksa berhimpitan dengan bayang-bayang selain di sekitar anganku. Menghafal ayat-ayat hidup hingga mengulang peristiwa-peristiwa semacam contoh laku. Mulut-mulut semua mengucap sama. Bagiku sepertinya hanya itu-itu saja. Masih sama dan tak ada sedikit pun yang mengajak untuk beralih cerita. Aku bosan.
“Anas, kelakuanmu sepertinya kok semakin aneh saja. Memangnya kamu kenapa, Nas?”
“Aneh-aneh gimana. Bapak jangan nafsir-nafsir sembarangan. Mentang-mentang bapak pandai ilmu tafsir, lalu seenak-enaknya nafsir anaknya sembarangan?”
 “Heh! Belajar ilmu nentang di mana kamu? Kamu semakin lama kok semakin susah diatur? Mau jadi apa kamu, Nas?”
“Mau jadi orang, Pak.”
“Orang yang seperti apa?”
“Yang pasti bukan seperti Anda, Pak.”
“Nas, ini balasanmu? Ini balasan buat bapakmu? Setelah kamu besar seperti ini terus kamu mau melawan?”
“Ah, aku bosan seperti ini terus, Pak!”
“Heh! Mau ke mana kamu, Nas?”
“Berlayar. Aku bosan terus-terusan seperti ini.”
“Tunggu! Kamu jangan gila, Nas! Kamu mau berlayar ke mana?”
“Menikmati malam.”
“Nas, hari ini kamu harus di rumah. Bantu bapak menyiapkan perlengkapan untuk malam takbiran nanti malam di masjid!”
“Tidak. Aku tidak mau. Aku bosan terus-terusan seperti ini, Pak. Bapak tidak tahu. Tak pernah mau mengertiku. Tak pernah mengerti dan memang tak kan pernah mengerti.”
“Terimakasih, Nas. Jika memang itu balasanmu. Hati-hati di jalan.”
Tanpa banyak pikir, aku langsug pergi. Kulangkahkan kaki keluar dari rumah. Tempat yang telah melahirkanku dan yang telah membesarkanku. Di rumah itu aku dihadapkan pada perumpamaan-perumpamaan yang sulit kukenali. Semenjak lima tahun yang lalu ketika aku masih dalam pangkuan ibu. Sekarang semua telah pergi. Orang yang mampu mengertiku pergi begitu saja. Sepertinya tanpa pamit.
Tak tahu langkah ini akan menuju arah mana. Tak tahu semakin baik ataupun semakin memperburuk. Yang pasti aku ingin lari dari kebiasaan-kebiasaanku yang seragam dan selalu dituntut untuk seragam itu. Aku benci penyeragaman. Aku benci penekanan. Aku juga benci keterpaksaan. Aku ingin bebas, Tuhan.
Sepertinya jalan hidup yang kulewati semakin melelahkan. Kakiku seakan melangkah tanpa kesadaran. Jiwa yang tadinya agak tenang, tiba-tiba tak beraturan seperti ada sebuah perhelatan yang tak kuketahui maksud dan tujuannya. Aku semakin jauh meninggalkan rumah. Semakin jauh kutinggalkan keseragaman dari bapakku. Aku juga belum begitu yakin tentang alasan kepergian ibuku. Gantung diri di pintu kamarnya ketika bapakku sedang menjadi imam shalat subuh di masjid. Aku tak tahu dan tak pernah bapakku mau memberi tahu. Karena waktu itu aku masih kelas lima sekolah dasar. Mungkin belum begitu paham. Tapi sangat jelas kulihat ibuku mati gantung diri. Aku pun juga yakin, kalau semua itu karena bapakku.
Waktu itu ibuku sering menangis ketika memasak. Ketika mencuci piring dan ketika duduk sendirian menonton televisi. Saat-saat itu pun sama sekali tak kulihat bapakku. Sepertinya bapakku tidak pernah mendekati ibuku saat dirasakan ibuku sangat membutuhkan. Tak dapat kulukiskan betapa sakitnya perasaan ibuku saat itu. Aku percaya kalau ibuku sangat menghormati bapakku. Tapi aku tak kan percaya kalau bapakku menghargai ibuku. Sedikitpun tidak. Karena sepertinya bapakku lebih mementingkan membariskan makmumnya di masjid, dari pada membariskan makmum keluarganya, juga tentang hal membahagiakan ibuku.
Kenapa aku dulu tak mampu berbuat apa-apa? Maafkan aku, ibu. Aku terlambat, ketika mungkin saat itu ibu membutuhkanku. Sungguh berat nasibmu, ibu. Punya anak sebatang kara tapi tak mampu berbuat apa-apa untukmu. Aku rasakan kesakitanmu saat itu, ibu. Bukan hanya karena bapakku. Aku yakin itu. Masih kuingat saat itu, ketika ibu sering sakit-sakitan. Sering batuk-batuk bahkan muntah darah. Masih jelas di benakku, ketika muntahahan darah itu tanpa disengaja mengotori meja makan. Saat itu ibu sedang menyiapkan sarapan pagi. Bapakku melihatnya, dia marah besar. Sampai-sampai meja makan dibalik hingga semua yang ada di atas meja berjatuhan dan pecah bertebaran di lantai. Aku hanya bisa memandang, walaupun sebenarnya aku menangis dalam hati.
Suatu saat pernah juga aku melihat ibu menangis ketika duduk di kursi depan rumah. Aku memandangnya dari jauh, dari balik jendela kamarku. Karena aku takut dan aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Tiba-tiba bapakku datang mendekati ibu. Bapakku marah-marah lagi kepada ibu. Yang kudengar bapakku marah-marah karena ibuku ingin  kerja ke luar negeri sebagai TKI tapi tidak diperbolehkan. Aku ingat betul waktu itu, ketika bapakku sama sekali tidak bekerja. Hanya mengandalkan satu rumah yang dijadikan tempat kos bagi para nelayan. Yang kutahu hanya tiga ratus ribu tiap bulan, karena rumah kos hanya dua kamar. Mungkin karena bapakku terlalu iba kepada para nelayan yang menyewa rumah kos itu. Karena aku pun tahu para nelayan itu sangat kesulitan mencari ikan. Yang hanya dengan peralatan yang sederhana saja saat berlayar mencari ikan.
Bapakku terlalu menghakimi. Selalu ingin benar dan selalu ingin menang. Padahal bagiku niat ibuku sudah sangat terlalu melebihi dalam statusnya sebagai seorang istri. Walaupun bapakku juga benar, bila ingin menjadikan istrinya hanya sebagai ibu rumah tangga yang selalu siap mengurus keluarga dan mengurus anaknya. Tapi bapakku seharusnya juga harus sadar. Ketika memang benar bahwa dirinya juga merasa kekurangan dalam menafkahi keluarga. Aku juga sempat dengar perkataan ibuku di depan bapakku. Ketika ibu bilang kalau tindakan bapakku tidak salah. Ibuku juga tak pernah sekalipun mengganggu kegiatan-kegiatan bapakku, malah ibuku sangat mendukung. Karena ibuku tahu kalau hanya bapakku lah yang merupakan seseorang yang paling mengerti agama di kampung yang kami huni. Perkampungan di daerah pantai yang penuh dengan kekeliruan hidup. Sehingga bapakku selalu mengadakan pengajian-pengajian di masjid bagi warga setiap sehabis shalat Isya’ dan shalat Shubuh. Itu rutin dilakukan.
Memang semua itu membuat derajat keluarga kami sedikit terangkat di mata warga. Setiap hari raya idul fitri rumah kami selalu ramai. Banyak warga yang memberikan makanan, roti, kerupuk dan makanan-makanan kecil lainnya. Tapi semenjak ibuku tiada, serasa semua tak berarti apa-apa. Kebahagiaan kami terasa kurang. Aku yang hanya tinggal bersama bapakku terasa sepi. Aku sangat merasakan perbedaannya. Tapi semua itu tak membuat bapakku sadar akan tindakan-tindakannya. Bapakku tetap keras pada kemauan dan keinginannya. Semua dianggap salah. Ibuku saja tak dianggap, terus apa lagi aku yang hanya seorang bocah ingusan. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?
Mungkinkah jalan yang kupilih ini benar, Tuhan? Semoga ini akan membawa kebaikan bagiku, juga bagi bapakku yang ingin selalu menang itu. Aku memang sejak dulu kurang sepakat dengan perilaku bapakku terhadap kami. Terlebih terhadap ibuku, yang aku rasa bapakku tak pernah membuat ibuku tersenyum. Malahan selalu saja perlakuan bapakku membuat ibuku selalu menangis. Itu setiap hari. Setiap pagi, siang, sore, malam hingga pagi lagi perlakuan bapakku selalu saja membuat ibuku menangis.
Ibuku adalah mahluk yang sakit, tidak hanya jiwanya saja yang sakit. Tapi raga pun juga sakit. Penyakit ibuku tak keurus. Bapakku lebih mementingkan jemaahnya. Apa itu benar? Ketika harus melupakan keluarga sedangkan di masjid bapakku menyuarakan menyayangi keluarga? Mengajak warga untuk memberikan kasih sayang sepenuhnya untuk keluarga? Aku semakin tak memahami kesedihan ibuku waktu itu.
“Anak muda, mau kemana malam-malam begini berjalan sendirian?”
“Lha Kakek sendiri kenapa kok di sini sendirian, Kek?”
“Aku bertanya padamu anak muda. Kenapa kamu malah balik tanya?”
“Aku mencari kebebasan, Kek.”
“He..he...he...he...he...he.... kebebasan seperti apa yang kamu cari, anak muda? Kamu aneh-aneh saja. Di dunia ini nggak ada kebebasan. Walaupun kita sudah diberi kebebasan, nantinya juga toh kita masih menginginkan kebebasan yang lain. Namanya juga manusia, tak pernah akan puas dengan apa yang kita dapatkan, anak muda.”
“Aku benci dengan keseragaman, Kek. Rumahku penuh dengan penyeragaman. Aku sendiri pun tak tahu maksud sebenarnya dari penyeragaman tersebut.”
“Memangnya kenapa? Penyeragaman terkadang memang menyakitkan, anak muda. Tapi terkadang penyeragaman itu baik. Tidak semua aturan itu buruk, walaupun ada kalanya kita menganggap semua itu buruk dan menyakitkan.”
“Kakek tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku dan keluargaku. Jadi Kakek ya bilangnya seperti itu. Tentang penyeragaman itu, Kek. Aku terlalu tak dianggap, Kek. Aku ingin hidup bebas.”
“Anak muda, kakek mau tanya. Kamu hidup sudah berapa tahun?”
“Umurku lima belas tahun, Kek.”
“Ha...ha...ha....ha...ha...ha.....”
“Kenapa kakek malah tertawa?”
“Anak muda, kamu baru lima belas tahun saja sudah berani memvonis seperti itu. Kakek ini sudah hampir satu abad hidup di dunia ini. Dan semuanya adalah kebebasan-kebebasan yang kamu lagukan itu.”
“Memang Kakek sebenarnya siapa? Dan kenapa kakek di sini? Lalu apa hubungan Kakek dengan kebebasan itu? Juga dengan kebebasanku kali ini, Kek?”
“Aku bukan siapa-siapa, anak muda. Tapi aku juga mengalami apa yang telah kamu alami.”
“Maksud Kakek?”
“Kakek dulu juga pernah kabur dari rumah seperti kamu, anak muda. Malahan kakek lebih brutal dari kamu. Kakek dulu hidup pada keluarga yang sangat bahagia. Bapannya kakek seorang kyai ternama di kota ini. Kedua orang tua kakek berasal keluarga baik-baik. Di situ kakek merasa kurang nyaman. Kakek terlalu dikekang. Disuruh ini itu, dipaksa melakukan ini itu, dan kakek lakukan. Kakek menuruti perintah kedua orang tua kakek. Sekolah di pagi hari, setelah pulang sekolah kakek berangkat ke madrasah dari siang sampai sore, dan malamnya mengaji bersama bapak kakek yang kebetulan guru ngaji. Lalu pada suatu saat kakek merasa kalau semua yang kakek lakukan itu hanyalah sia-sia.  Kakek merasa kalau kakek telah membohongi orang tua kakek. Kalau sebenarnya kakek tidak ikhlas, bahkan tidak pernah ikhlas dan tak kan pernah ikhlas melakukan semua yang telah diinginkan oleh orang tua kakek. Maka dari itu kakek melakukan hal ini. Hingga sampai sekarang kakek menjadi seperti ini. Berjalan menelusuri waktu dan berdiam diri tinggal di tempat sepi ini seorang diri. Kamu suka kehidupan seperti ini? Perlu kamu ketahui anak muda, semua ini lebih menyakitkan dari pada yang telah kamu dapatkan di rumah.”
“Lalu apa yang membedakan kalau Kakek lebih brutal dari aku, Kek?”
“Kakek membunuh bapak kakek.”
“Ya Tuhan, kenapa Kakek sampai melakukan itu?”
“Waktu itu kakek masih seusiamu. Kakek waktu itu mual dengan ajaran-ajaran yang telah dijejalkan oleh kedua orang tua kakek. Waktu itu kakek sempat kenal dengan seorang gadis. Kebetulan gadis itu tinggal di rumah kos orang tua kakek. Gadis itu yang membuat kakek merasa seperti memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman tersendiri. Juga gadis itu yang mengajarkanku tentang kebebasan. Tentang kemandirian dan perjuangan dalam hal keinginan menggapai sesuatu. Gadis itu pengamen yang sering berkeliaran di alun-alun kota ini. Kakek kagum pada gadis itu. Dan suatu saat oang tua kakek mengetahui tentang kedekatan kakek pada gadis itu. Kedua orang tua kakek sangat marah. Karena melihat kakek bersamanya mengamen di jalan. Setelah sesampai di rumah, kedua orang tua kakek marah besar. Saat itu juga kakek dan gadis yang kakek kagumi itu dipertemukan. Kita berdua kena marah, malah lebih dari sekedar marah. Setelah kakek dipaksa untuk mengaku tentang hubungan kakek dengan gadis itu. Tapi kakek mengaku, kakek jujur kalau kakek menyukai gadis itu. Dan saat itu pula kedua orang tua kakek sangat terpukul mendengarnya. Juga saat itu pula kakek memberanikan diri bilang kepada kedua orang tua kakek untuk menikahinya. Karena kakek pikir itu yang terbaik, dari pada nanti akan timbul fitnah-fitnah ketika kita berpacaran. Kakek meminta restu kepada kedua orang tua kakek. Tapi ternyata mereka sangat tidak setuju. Malahan bapak kakek menampar mulut kakek. Gadis itu pun melakukan pembelaan. Gadis itu memberanikan diri untuk membela kakek. Lalu semua itu malah memperkeruh suasana. Bapak kakek semakin marah. Akhirnya memukuli gadis itu. Gadis itu menerima pukulan bertubi-tubi itu. Lalu akhirnya kakek memberanikan untuk melawan. Tanpa banyak pikir, kakek langsung menusuk bapak dengan sebuah pisau buah yang ada di ruang tamu. Lalu bapak kakek kehilangan nyawa. Ibu kakek sangat terpukul. Lalu setelah itu kakek dan gadis itu memutuskan untuk menjalani hidup bersama. Kakek hidup di jalanan bersama gadis yang kakek kagumi itu. Kakek pergi meninggalkan kehidupan keluarga. Ibu kakek tinggal di rumah sendirian. Karena kakek adalah anak satu-satunya. Seperti halnya kamu, anak muda.”
“Lalu wanita yang Kakek kagumi itu sekarang dimana? Juga nasib ibu kakek gimana?”
“Sampai saat ini, kakek tidak tahu bagaimana nasib ibu kakek. Kakek sudah jauh meninggalkannya. Sudah terlalu lama. Kakek pun lupa dengan keberadaan rumah kakek.”
“Lalu bagaimana wanita yang kakek kagumi itu?”
“Tak tahu entah kemana juga. Semenjak itu, ketika kita hidup di jalanan. Karena mungkin terlalu susahnya mencari uang, dan aku tidak mampu menafkahinya. Gadis itu lama kelamaan merasa bosan dengan kakek. Suatu saat kakek melihat gadis itu berjalan bareng dengan laki-laki lain, ketika kakek sedang mengumpulkan barang-barang yang mungkin masih bisa terpakai di tempat-tempat sampah di pinggiran jalan. Kakek melihat gadis itu berjalan dengan laki-laki yang terlihat kaya. Kakek melihat sendiri laki-laki itu membawa masuk gadis kakek ke dalam mobil mewah. Kakek tak mampu berbuat apa-apa. Kakek merasa terlalu lemah. Juga merasa terlalu tak kuat melangkahkan kaki menjalani hidup bersama gadis yang ternyata telah mengkhianati kakek. Lalu saat itu pula, kakek tahu dan menyadari kalau memang kakek tak layak untuk gadis itu. Dan sampai sekarang ini kakek hidup seorang diri. Menjelajahi dunia hanya bersandar dengan kaki rapuh dan tongkat ini.”
“Kek, terus dengan yang kulakukan saat ini apakah aku salah, Kek?”
“Sangat salah, anak muda. Mending kamu urungkan niatmu. Sebelum terlambat seperti kakek ini. Pulanglah. Bapakmu pasti menunggumu. Orang tua pasti punya alasan tersendiri ketika melakukan sesuatu. Kakek yakin kalau yang dilakukan bapakmu itu semata-mata hanya ingin memberikan yang terbaik buatmu, anak muda. Percaya sama kakek.”
“Tapi, Kek? Kakek belum tahu yang sebenarnya terjadi padaku.”
“Tapi apa kamu belum juga tahu dan belum juga memahami cerita-cerita kakek tadi? Kakek nggak mau bila semua ini juga terjadi padamu, Nak. Malam ini malam idul fitri. Bapakmu pasti sangat menunggu kedatanganmu. Bapakmu pasti merasa sangat kurang bila pada malam takbiran ini tanpa ada seorang anak yang menemani. Apa kamu tega?”
“Ah, tidak Kek. Aku tak kan pernah lagi pulang. Aku terlalu benci dengan rumah. Rumah itu telah merebut segala kebahagiaan hidupku, termasuk juga kebahagiaan ibuku, Kek.”
“Ya sudah, kalau memang itu yang menjadi kehendakmu, anak muda. Tapi jangan pernah sesekali kamu menyalahkan kakek bila suatu saat terjadi apa-apa. Maaf, kakek harus pergi. Kakek mau melanjutkan perjalanan hidup kakek. Sampai jumpa.”

Perkataan dan cerita kakek itu sepertinya sedikit meruntuhkan menaraku. Menara yang sempat kubangun beberapa waktu lalu, yang kusiapkan semenjak dulu ketika ibuku masih bersamaku. Aku semakin tak yakin untuk meninggalkan bapakku seorang diri. Ya Tuhan? Apa yang harus kulakukan? Berikan jalan terbaik untuk hambamu ini, Tuhan?
Tidak, betul kata kakek tua tadi. Aku memang harus pulang. Aku harus kembali ke rumah. Benar kata kakek tua tadi. Bapakku pasti menunggu kehadiranku di saat malam takbiran seperti ini. Iya, aku harus pulang.
“Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar... Laa ilaaha illallahu Allahu akbar... Allahu akbar walillaahilhamd... Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar... Laa ilaaha illallahu Allahu akbar... Allahu akbar walillaahilhamd...”
“Allahu akbar kabiran walhamdulillahi katsiran wasubhanallahi bukrotan  wa’asilaa... Laa ilaha illahu wahdah sodaq wa’dah wanasoro ‘abdah... Wa’a’azzajundahu wahazamal... Ahzaba wahdah... Laa ilaha illallahu akbar... Allahu akbar walillahilhamd...”
Ternyata takbir telah berkumandang. Hari kemenangan yang ditunggu-tunggu oleh sejuta umat Islam di dunia ini telah tiba. Ramai juga ternyata kampung halamanku ini. Pasti bapakku nanti akan sangat senang atas kedatanganku ini. Tapi akankah bapak akan memaafkanku?
Ya Tuhan, rumahku ramai sekali. Semua laki-laki rapi berpeci, dan yang perempuan rapi berjilbab. Tapi kok nggak terlihat anak-anak kecil ya? Padahal biasanya di depan rumahku selalu ramai dengan anak-anak yang menyalakan kembang api di malam takbiran seperti ini.
Ya Tuhan, kenapa ada bendera kuning?


Sarangkegelisahan, 170909, o2.45 pm

Sumber: http://www.annida-online.com/terlambat-sungkem.html