Selasa, 28 Juli 2015

Dari Menulis Puisi Hingga Buku Pelajaran

Sosok muda berperawakan kurus. Tatapan mata sayu. Misterius dan introvert. Barangkali sederet itu kesan pertama yang bakal kita tangkap ketika berhadapan dengan penulis muda yang akrab dipanggil Naka ini. Ia sangat meyakini, jika menulis baginya merupakan bagian dari takdir kecil dalam hidupnya. Baginya, menulis adalah membunuh kesia-siaan.
Ia lahir di Kendal, 4 Februari 1989. Pendidikan formal diawalinya di TK Dahlia Sidorejo (1994), SD N Penjalin (2001), SMP N 2 Brangsong (2004), SMA N 2 Kendal (2007). Kemudian melanjutkan studi di Semarang, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang (2011) dan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang (2014).
Naka mengaku lebih banyak menghabiskan waktu sendirian untuk menemukan gagasan-gagasan barunya dalam proses kreatif sebelum ia aktualisasikan bersama teman-teman komunitasnya. Ia mengaku tergolong introvert, namun ia sangat terbuka ketika dihadapkan dalam komunitas atau hubungan yang lebih luas. Penyendiri baginya hanyalah sebatas kontemplasi diri agar menemukan titik fokus dalam setiap pengambilan keputusan terpenting dan proses-proses kehidupannya. Namun setelah kita membaur dengannya, pelan-pelan ia akan kita kenal sebagai sosok yang terbuka.
Ia mengaku, menjalani proses kreatif menulis sudah sejak masih duduk di bangku SMP. Namun ia merasa telah serius menekuni menulis ketika SMA. Karya pertamanya berbentuk puisi dimuat di majalah sastra Horison dengan membawa nama SMA N 2 Kendal. Baginya itulah awal dari proses kreatifnya, semua tak lain adalah berkat kegigihan salah seorang guru Bahasa Indonesia dan guru sejarah di sekolahnya tersebut. Hingga akhirnya ia semakin gigih menulis puisi dan kerap kali dimuat di beberapa koran dan majalah.
Setelah lulus SMA, ia mengaku tidak hanya menghabiskan hari-harinya di kampus saja. Ia tak puas jika hanya memperoleh pengetahuan di kelas saja. Maka hal tersebut yang mendorongnya untuk memilih berproses bersama di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Gema. Karena baginya, teater merupakan ruang kesenian yang begitu kompleks. Terbukti, melalui teater, ia dapat berproses banyak hal. Dari mulai mengasah kemampuannya dalam menulis naskah drama, menjadi aktor, menyutradarai, hingga mengelola manajemen pertunjukan seutuhnya.
Setelah berjalan satu tahun berkuliah dan berproses di Teater Gema, ternyata ada hal-hal yang menurutnya perlu dikembangkan lebih serius di luar organisasi kampus. Akhirnya bersama beberapa teman seangkatan kuliahnya, ia membentuk komunitas sastra yang bernama Lembah Kelelawar. Melalui komunitas sastra ini, banyak hal yang telah dicapainya. Dari mulai penyelenggaraan festival dan diskusi-diskusi internal, hingga membawanya tergabung dalam beberapa pembukuan antologi puisi dan cerpen.
Beberapa puisinya dibukukan dalam antologi Kursi Yang Malas Menunggu (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010), Beternak Penyair (2011), Merajut Sunyi Membaca Nurani, Antologi Puisi Dwibahasa (Indonesia–Inggris) “Poetry Poetry From 226 Indonesian Poets: Flows Into The Sink Into The Gutter” (2012), Antologi Puisi Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), dan Sogokan Kepada Tuhan (2012). Kemudian beberapa cerpennya dibukukan dalam antologi Bila Bulan Jatuh Cinta (2009), Bukan Perempuan (2010), Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010), Tanda (2010), Tatapan Mata Boneka (2011), dan Perempuan Bersayap di Kota Seba (2011). Esainya berjudul Guru Saya Rajin Minum Susu tergabung dalam buku kumpulan esai Mengingat Guru UKM KIAS (2012). Naskah dramanya “Pondok Kecapi” dibukukan dalam kumpulan “Kitab Lakon #1 Dongeng negeri Dongeng” Teater Gema IKIP PGRI Semarang (2012).
Naka dalam hal ini merupakan salah seorang yang meyakini bahwa sebagai manusia tidaklah cukup jika hanya menjalani dunia akademis saja. Jenjang pendidikan tinggi baginya memang sangat penting, namun proses kreatif yang menunjang akademis itu juga tak kalah penting. Maka ia merupakan salah seorang dari tak banyak orang yang memperjuangkan proses kreatif bersama komunitas sastra dan sanggar-sanggar kesenian ketika harus bersamaan memperjuangkan proses studi lanjutnya. Beberapa komunitas dan sanggar-sanggar kesenian serta media cetak sangat lekat dengan perjalanan proses kreatifnya di antaranya Rumah Diksi Kendal, Jarak Dekat Kendal, Koran Barometer, Majalah Gradasi SMK N 11 Semarang, Majalah Oasis SMA N 2 Kendal, dan Majalah Ekspresi SMA N 1 Semarang.
Berkat pengalaman akademik dan proses kreatifnya tersebut, akhirnya mampu membawa karya-karyanya berupa puisi, cerpen, dan esainya dimuat di beberapa media lokal dan nasional, di antaranya Media Indonesia, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan Rakyat Jateng. Berkat pengalaman akademik dan proses kreatifnya pula, ia mendapat kepercayaan untuk bergabung dengan tim menulis buku pelajaran Bahasa Indonesia. Di antaranya menulis buku Lembar Belajar Tematik Bahasa Indonesia SD Kelas 1 dan Kelas 5 Kurikulum 2013 dari Penerbit Grasindo Jakarta (2013). Lalu juga pada tahun ini mendapat kepercayaan pula dari Penerbit Duta Bandung untuk menulis buku teks Bahasa Indonesia SMA Kelas X, XI dan XII Kurikulum 2006.
Selain itu, pada tahun ajaran 2014/2015, ia dipercaya untuk mengajar MKU Bahasa Indonesia sebagai Dosen Luar Biasa di Universitas Semarang (USM), pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMK Yayasan Pharmasi Semarang, dan menjadi tutor mata kuliah Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD di Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) Universitas Terbuka Semarang. Lalu pada tahun 2015 ini, ia membulatkan tekatnya untuk mengikuti seleksi penerimaan dosen Universitas PGRI Semarang 2015. Akhirnya ia diterima menjadi dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia berharap dapat sepenuhnya mengabdikan diri dengan mengampu mata kuliah yang sedikit banyak telah ia lakukan dalam proses kreatif sebelumnya. Di antaranya mata kuliah proses kreatif, menulis puisi, menulis cerpen, kritik sastra, pembelajaran apresiasi puisi, pembelajaran apresiasi cerpen, pembelajaran drama, telaah kurikulum, dan telaah buku teks. Aktivitas lainnya sesekali mengisi pelatihan menulis kreatif, jurnalistik, workshop teater di berbagai sekolah dan perguruan tinggi serta menjadi juri baca puisi dan menulis puisi.***

*Tulisan ini diambil dari buku Muda Cendekia 34 Inspirasi Universitas PGRI Semarang (Universitas PGRI Semarang Press, Juli 2015)

Senin, 27 Juli 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 26 Juli 2015)

Apa Kabar Manusia

Apa kabar manusia. Kau seperti apa saat ini. Apakah wajahmu sudah kuning emas. Atau mungkin hidungmu telah tak lagi berlubang. Atau seperti apa lagi. Dulu, kita sering berdansa. Di sebuah pesta yang dikelilingi lilin-lilin. Ditaburi berkilo-kilo eskrim dan taburan butiran keju. Tapi kini kau seperti telah berubah. Kau seakan menjadi manusia paling ragu. Apakah abad ini terlalu memanjakanmu. Bukankah kau sudah menjadi manis. Kau sudah belajar banyak mengenai teori bersenang-senang. Kau juga sudah begitu hafal mengenai riwayat napas-napas yang panjang. Kau juga sudah hafal rintangan lain, mengenai dunia kecil dari lenganmu yang tipis. Dari jari-jari tangan yang senang memikirkan hatimu yang sering kelelahan. Lalu, apakah kau masih juga gemar menjadi rahasia. Seperti apa lagi ciri-ciri tubuhmu. Masihkah kau memilih untuk sering melebarkan kepala. Kau seakan sudah tidak tahu. Bagaimana pula kabar ibumu. Seperti apa dirimu saat ini yang semakin ditinggalkan pacar-pacarmu. Mereka sering meneleponmu setiap pagi. Dari suaranya keluar jutaan nama kolam-kolam mati. Sontak kau menangis. Setelah telepon berakhir, sebilah rahasia muncul dari pipimu yang basah. Hidungmu tak lagi berlubang. Mulutmu tergeletak. Kecurigaan muncul, mengalir dari seluruh sisi tubuhmu.

Upgris, Juli 2015


Perihal Pembunuhan

Kau tahu, pembunuhan membuat dunia ragu menciptakanmu. Dulu, kau mahir menolak sandiwara yang muncul dari manusia-manusia asing pemerkosa cuaca. Karena ketakutan, mereka akhirnya memilih untuk berganti mulut. Menyulap lidahnya dengan biji jambu yang mengaku sedang kehilangan paru-paru. Lalu selepas semua mengurungkan niat untuk bertemu, mereka berlarian memburu petunjuk dari dada batu-batu. Hingga akhirnya semua lepas, menjinakkan dirinya masing-masing dari titik paling kosong. Terpecah-belah, mengunjungi makamnya masing-masing dalam diri paling asing.

Upgris, Juli 2015


Di Rumah Sakit

Di rumah sakit, banyak kecemasan bertapa. Mereka ingin menjadi manusia. Di depan ruang-ruang operasi, mereka tak kunjung berdusta. Lonceng-lonceng menyiapkan pesta. Hari kelahihan baru ditunggu sejuta umat yang luka.

Upgris, Juli 2015




Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Urbanologi Edisi Lebaran, 17 Juli 2015)

Pesta

Pesta inilah yang kau tunggu. Kau sering bilang, ini pesta setahun sekali. Semua harus dijatuhkan di sini. Saban hari dalam sebulan, kau mengabarkan pesta ini kepada siapa saja. Kepada tetangga, teman dekat, segenap sanak saudara, pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan, bahkan kepada tulang-tulang di tubuhmu sendiri. Agar ketika pesta nanti, kau menjadi kuat. Kaki-kakimu lantang mengantarmu mengunjungi rumah-rumah. Tangan-tanganmu tak pernah kelelahan menjabatkan cerita-cerita kebaikan. Hingga akan banyak teman bersamamu. Mereka semua bahagia. Kau pasang tubuhmu dengan makanan paling enak, minuman paling segar, buah-buahan paling vitamin. Katamu, pada pesta nanti, orang-orang akan lahir kembali dari pintu-pintu ajaib. Pintu-pintu maaf, pintu-pintu kerelaan, dan bahkan pintu-pintu doa untuk masa depan yang panjang. Sungguh, pesta ini yang sangat kau tunggu. Semua telah kau kenakan dan kau persiapkan dengan sangat matang. Katamu, pada malam pesta nanti, petasan akan kau ledakkan di hatimu. Kecurigaan, kekecewaan, kesombongan, semua akan terpecah-belah. Katamu, itu pertanda pesta telah dimulai. Dan pada malam itu pula, juga bisa jadi pesta telah diakhiri. Ketika kau masih nampak cemas. Ketika tangan-tanganmu begitu dingin. Ketika kau masih memburu pesta-pesta lain yang hendak kau tuju. Jika masih begitu, pesta akan hancur. Di tubuhmu, kain-kain merobek kulitmu. Hatimu akan pecah. Berantakan. Darah mengucur ke mana-mana. Membasahi matamu.

Sanggargema, Juli 2015


Manusia Alarm

Alarm telah dibunyikan. Diam-diam kau menyumbat telingamu sendiri. Orang-orang dilarang masuk. Mereka berlari-lari mengantri. Memburu suara-suara. Alarm semakin dibunyikan. Tanda bahaya tiba-tiba dimatikan.

Sanggargema, Juli 2015


Awal Mula Kemanusiaan

Barangkali di sinilah awal mula kemanusiaan. Barang-barang dijual tanpa uang. Kebaikan-kebaikan bergelimang dari tangan-tangan di atas tengadah. Orang-orang berlarian meniti kehidupan tanpa diam-diam. Mereka tak pernah bersembunyi. Muncul dari gang-gang yang biasa sepi. Dari jalan-jalan yang tak terbiasa dilalui orang-orang. Tubuh mereka transparan. Berisi kabar-kabar yang selalu dijatuhkan dengan sangat pelan. Mereka berbahagia sebagai manusia seutuhnya. Senyum-senyum lebar beterbangan di jalan-jalan. Anak-anak berlarian. Menyalakan kemenangan. Dalam genggaman, orang-orang mengisi rindu yang panjang-panjang. Dalam doa-doa yang tak lagi berseberangan.

Sanggargema, Juli 2015


Kereta

Kereta akan segera berangkat, Kawan. Kau masih saja tenang dalam gerbong-gerbong yang kosong. Di tubuhmu masih banyak lubang-lubang yang sepi. Lalu mau kau kemanakan lagi tubuhmu. Akankah sanggup sepenuh itu kau tinggalkan jiwamu yang belum matang. Sudahkah kau siap. Kereta akan segera berangkat. Kau masih saja menggigil. Memandangi lantai-lantai. Dibanjiri keringat. Di matamu. Di dadamu. Di lubang-lubang yang masih sepi itu.

Sanggargema, Juli 2015