Jumat, 26 Juni 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Pikiran Rakyat, 14 Juni 2015)

Lampu Merah

Kau tak tahu bagaimana lampu merah memperbudak dirimu dengan kekerasan. Bunyi klakson bersautan begitu kencang dan aroma keringat yang berhamburan di aspal tak membuatmu sadar. Bahwa di lampu merah, orang-orang memiliki kecemasan paling tunggal. Di lampu merah, mereka menjadi saling tak percaya. Di lampu merah, mereka tak pernah bertatap sapa.

Smk Yaphar, Februari 2015


Kehidupan Aneh di Balik Jendela

Ada kehidupan yang aneh di balik jendela. Banyak yang menganggapnya sebagai perlintasan perasaan orang-orang putus asa. Di sana, berisi para nelayan dengan takdir lautnya. Para pendoa dengan segenap nuraninya. Para pendekar dengan genggaman pedang di tangan kirinya. Hingga para seniman dengan sepasang sayapnya. Di balik jendela, mereka saling membicarakan keanehan yang saling berburuk sangka.

Smk Yaphar, Februari 2015


Hujan, Maukah Kau Jadi Temanku

Hujan, maukah kau menjadi temanku. Pagi ini sungai telah terlanjur menggantung dirinya di atap kamar. Ia sudah kesal menjadi tragedi, banjir, badai dan pengusik ketenangan para pejalan kaki yang setiap malam selalu menjaga mimpi orang-orang. Hujan, datanglah di kamarku malam ini, ya. Kamu harus janji, karena aku ingin kau menjadi laut di atas tempat tidurku. Agar pagi hari ketika terjaga, nyawaku merasa kedinginan melihat bantal yang semakin berlubang. Setelah semalam kusaksikan selimut menjadi ombak yang bertubi-tubi melubangi badannya.

Smk Yaphar, Februari 2015


Televisi yang Membesi

Bagaimana mungkin dunia akan lebih serius menjadi takdirnya, jika matamu setiap hari mewarisi ragam warna yang bertebaran dari telenovela-telenovela. Dan kau katakan, perjalanan tak pernah selesai.Walau baru sekadar cita-cita, kau sudah putuskan untuk menjadi mereka yang menikmati aroma parfum pacar-pacarnya. Hingga akhirnya selepas tayangan itu selesai, kau menjadi sangat bisu untuk sekadar mengintai diri sendiri. Di kepalamu, televisi telah membesi.

Smk Yaphar, Februari 2015