Kamis, 31 Desember 2015

Stigma Sejarah dalam Teater

Stigma Sejarah dalam Teater
Oleh Setia Naka Andrian

Beberapa pekan lalu, panggung teater di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang sengaja digelapkan teater Tikar. Kelompok asal kota Lunpia yang masih belia ini mementaskan naskah berbau eksistensialisme karya anggotanya sendiri, Iruka Danishwara. Sekitar tiga ratus penonton keluar dari lift dengan mata dingin. Barangkali, ini panggung teater tertinggi dalam sejarah seni pertunjukan.
Dengan langkah hati-hati, mereka pijaki lorong gelap dari dinding kain hitam. Mata mereka seolah sudah benar-benar disiapkan untuk merekam panggung pemeranan. Sutradara membocorkan separuh fenomena panggung. Lampu sorot warna hijau menyala dari bawah plastik-plastik bening yang digantung setinggi tiga meter dan lebar satu meter. Benang-benang putih sengaja ditata tak beraturan, membentangi backdrop hitam. Sutradara seolah mengajak penonton untuk lari menuju keruwetan masa silam. Manekin tubuh perempuan digantung. Bergerak-gerak pelan. Ke kanan dan ke kiri. Lampu tiba-tiba dimatikan. Ilustrasi digital mengalum dengan nada mencengangkan. Pertanda bahwa pertunjukan dimulai. Segenap penonton menyiapkan mata.
Semacam foto keluarga, aktor-aktor tak bergerak. Seorang ibu menutup mata kedua anaknya, laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di kursi. Berdiri disebelah ibu, seorang ayah dengan tatapan dingin. Berganti beberapa pose. Menutup kedua mata ayah dan anak laki-lakinya dengan kedua tangan. Kemudian lampu dimatikan kembali. Aktor-aktor muncul lagi dengan dialog. Seorang nyonya menyapu. Membersihkan lantai kotor, pigura, dan dinding-dinding rumah dalam bahasa kenangan mereka.
Tiba-tiba empat orang menggerakkan kakinya di balik plastik-plastik putih bercahaya warna-warni. Kaki-kaki semakin bergerak kencang dengan langkah disiplin pasukan perang. Seorang nyonya berialog dengan tokoh-tokoh di balik plastik. Mereka menanyakan, kenapa juga nyonya masih terus saja menyapu. Sedangkan setiap hari selalu saja kotor, selalu saja ada yang mengotori. Begitu pula dengan niatannya untuk selalu membersihkan pigura dan dinding-dinding rumah.
Nyonya dijatuhi pertanyaan dari orang-orang di balik plastik, “Nyonya, mengapa kau begitu meluangkan waktu sekedar untuk menyapu teras rumahmu? Nyonya, tidakkah kau lelah harus selalu menyapu setiap pagi dan besok pagi sudah kotor lagi.” Jawab nyonya, “Ini bukan tentang lelah atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku.” Melalui bocoran teks tersebut, barang tentu penonton mulai digelisahkan dengan kesadaran aktor yang dibangun rapi oleh sutradara muda bernama Ibrahim Bhra. Aktor memancarkan detail tubuh, ruang, dan suasana.

Teater sebagai Peristiwa
Agus Noor (2015), mengungkap bahwa aktor harus mampu menghidupkan banyak suasana dalam panggungnya. Hingga yang berlangsung di panggung bukan semata-mata menyampaikan ide-ide yang abstrak, melainkan berhasil menghadirkan sebagai sebuah kisah dan peristiwa. Hal tersebut setidaknya telah disuguhkan teater Tikar. Kisah dan peristiwa sejarah disampaikan dalam miniatur keluarga. Namun tetap saja, stigma sejarah dihadirkan dengan tawaran konflik yang pelik. Melalui teks yang begitu olang-alik membuat para penonton berimprovisasi dalam benaknya masing-masing. Sejarah besar disajikan sederhana, bukti nyata dari sutradara untuk memberi tawaran lain menyoal sejarah yang biasanya disampaikan melalui peristiwa-peristiwa besar.
Dalam pertunjukan ini, tubuh-tubuh aktor bergerak, kata-kata bergerak, menuju ke arah bahasa teater yang utuh. Keajaiban-disuguhkan dari gesture yang kuat dari para pemeran. Hal itu menjadi sihir tersendiri dari tubuh teater. Gerak para aktor ditawarkan dengan tubuh-tubuh sejarah. Gerak mereka cepat, menjalani aktivitas peran dengan penuh kejutan. Mereka tawarkan deskripsi sejarah dalam kenangan yang tak pernah selesai. Kenangan yang tak pernah ada jika waktu dan tubuh mereka tak bergerak.
Kenangan disajikan sebagai bagian kecil dari stigma sejarah tubuh. Bagi mereka, sejarah adalah kesepakatan dari kenangan. Seperti dalam lakon, dilontarkan ibu kepada anaknya, “Tidak ada yang bisa aku lakukan, Nak. Kenangan seperti menahan segala langkah untuk beranjak. Entah bagaimana caranya, namun tidak juga aku temukan. Berulang kali yang aku temukan hanya kau dan Ayahmu. Di setiap sudut rasanya seperti bayangan yang terkena sinar terang, semakin jelas.”
Setidaknya, melalui pertunjukannya, teater Tikar berupaya menyuarakan kebenaran sejarah yang selalu saja dibunuh beragam kepentingan. Sejarah dianggap sebagai sebuah kesepakatan peristiwa yang seolah-olah terjadi dan dibuat jadi. Kenangan mengenai masa lalu keluarga diciptakan sebagai ikhtiar keabadian. Hingga akhirnya, setelah gelimang tubuh-tubuh aktor bergerak dengan mesin waktunya, pertunjukan diakhiri dengan seorang anak memeluk manekin. Ia tusuki manekin, tubuh kenangannya. Air-air muncrat dari tubuh manekin. Penanda semua ingin diakhiri.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Minggu, 27 Desember 2015

Natal yang Mukim di Kamar Lindra (Suara Merdeka, 27 Desember 2015)

Natal yang Mukim di Kamar Lindra
■cerpen Setia Naka Andrian

Natal segera tiba. Besok Natal akan mengunjungi rumahku. Juga pasti Natal akan mukim di kamarku. Namun kurasa masih sama dengan Natal yang tiap tahun mukim di kamarku, tetap tak beda. Aku masih tak mampu berbuat apa-apa. Hanya terbaring saja di ranjang sambil meniti kesunyian ini. Walaupun katanya Natal itu sangat indah, damai, dan hanya dentang lonceng yang damai saja yang mampu kudengar. Walaupun aku tak mampu membalas dentang damai bebunyian itu.
Kata ibuku, yang setiap Natal selalu bilang kepadaku, katanya Natal adalah hari yang damai. Ramai dengan lampu yang melantunkan doa-doa dari setiap rumah-rumah. Dentang damainya mengalun ke mana-mana. Kedatangannya ditunggu-tunggu oleh umat Kristiani sedunia. Namun hingga tujuh belas tahun usiaku ini, aku belum pernah menyaksikannya dengan sempurna. Aku tak tahu, kapan Tuhan mendengar doa-doaku pada setiap Natal agar aku diperkenankan menikmati kesempurnaan hari damai itu.
Kadang hatiku begitu berat dan berkecamuk dengan begitu dahsyat jika hari hendak menjelang Natal. Lebih-lebih pada masa Natal ini, Sinterklas telah mengecewakanku. Malam itu, pada tanggal 6 Desember, Sinterklas datang di kamarku. Kata ibuku, “Lindra, malam ini kau mesti bahagia. Karena Sinterklas malam ini mengunjungimu. Benar, Lindra. Ini dia datang, akan datang pada malam menjelang pestanya setiap tahun. Sinterklas datang dengan membawa berbagai macam hadiah untuk anak-anak yang manis. Dan kau adalah salah satu anak manis itu, Lindra. Kali ini Sinterklas datang membawakanmu hadiah baju bagus. Sentuhlah, Lindra. Baju yang sangat halus ini, sehalus tubuh dan hatimu.”
Aku ingat betul waktu itu, Sinterklas menyapaku, yang kata ibuku, Sinterklas berbaju merah. Kata ibuku, merah adalah warna, walaupun aku sendiri tak tahu warna merah itu seperti apa, “Hai anak manis, aku datang lagi kepadamu. Kali ini aku membawakanmu hadiah baju yang sangat bagus. Berbahagialah ya, Lindra? Malam ini, seorang malaikat penolong yang membawa daftar nama anak-anak yang baik telah memperlihatkan catatannya bahwa kau anak yang baik, kau sangat sayang kepada ibumu. Maka aku memberimu hadiah. Jangan bersedih ya, Lindra. Kau anak manis. Maka aku berhak memberimu hadiah baju bagus ini. Berbahagialah.”
Sejujurnya waktu itu aku sangat marah kepada Sinterklas. Kenapa harus memberiku hadiah baju? Bukankah aku sudah banyak memiliki baju bagus? Aku sebenarnya ingin mataku bisa melihat, mulutku bisa bicara, dan aku tak lagi lumpuh. Aku ingin kau bilang kepada Tuhan tentang permohonanku ini, Sinterklas! Bukan malah membawakanku hadiah baju!
Waktu itu aku sangat marah dan sangat bersedih. Aku yakin, ibu pasti juga bersedih, karena melihat cucuran airmataku. Tapi bagaimana lagi, aku tak mampu menolak ataupun menyanggah segala sesuatu yang disebut hadiah dari Sinterklas itu. Kapan Sinterklas mampu mendengar bahasa hatiku?
Sungguh aku sangat kecewa dengan Sinterklas. Tapi ini mending, ia memberiku hadiah baju, barang yang bisa bermanfaat bagiku. Coba kalau tahun kemarin, aku ingat betul. Tahun kemarin Sinterklas dan sukacita yang ia datangkan ke dalam perayaan Natal di kamarku telah memberiku hadiah sepatu. Apa Sinterklas tak tahu kalau aku lumpuh dan tidak bisa berjalan? Tapi tak tahu juga bila Sinterklas punya maksud lain kepadaku, ketika memberiku sepatu. Pikirku malah tahun ini ia akan memberiku hadiah agar aku bisa berjalan. Eh, ternyata tidak.
Pikirku Sinterklas terkadang memang sungguh keterlaluan. Namun terkadang aku sadar, tak apa seperti itu. Aku cukup bersyukur ketika tiap tahun Sinterklas selalu mau datang kepadaku untuk memberi hadiah. Dan aku berbahagia, karena seorang malaikat penolong yang membawa daftar nama anak-anak yang baik telah memperlihatkan catatannya bahwa aku anak yang baik, kata Sinterklas aku sangat sayang kepada ibuku. Ya, benar begitu. Karena ibuku juga sangat menyayangiku.
Tetapi ketika itu dan hingga kini aku tetap saja merasa sangat kurang bersyukur atas segala yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku merasa sepertinya yang ada di kepala dan sekujur tubuhku tak lebih dari hiasan saja. Mataku kosong, airmataku yang hujan selalu basah meminang kesepian ini. Mata yang seharusnya mampu menemukan yang hendak kucari dan kunikmati keindahan serta kedamaian hidup di dunia, namun hingga kini aku belum mampu memperoleh itu. Aku juga masih lumpuh dan tidak bisa berjalan. Muluku juga bisu. Tuhan tidak adil! Apa dosaku Tuhan?
Aku ingin menikmati hidup ini dengan sempurna, Tuhan! Karena kata ibuku, dunia ini indah. Ada cahaya dan keistimewaan lainnya. Seperti juga tentang Natal yang berwarna-warni dengan lampu-lampunya yang bermekaran nan indah. Namun itu semua sebatas kata ibuku, juga kadang guru privatku yang berkata begitu. Ya benar, ibu dan guru privatku sering berkata seperti itu. Namun aku hanya mampu mendengar saja, hanya telingaku saja yang tidak buta. Aku hanya mampu mendengarkannya saja, aku tak dapat melihat atau menjawabnya. Hanya dalam hati saja aku bicara, dan pasti ibuku atau guru privatku tak tahu apa kata hatiku. Dan padahal setiap ada orang berkata-kata kepadaku, aku selalu ingin menjawabnya. Siapapun tak pernah akan tahu jawaban kata hatiku. Kepada berita di radio dan televisi pun selalu aku berusaha menjawabnya. Ya, radio dan televisi yang setiap hari selalu diputarkan oleh ibuku, yang katanya agar aku tahu wawasan. Dan aku pun mendengarkan kata ibu, juga apa saja yang keluar dari televisi atau radio. Ya begitulah, informasi-informasi tentang hidup manusia di dunia yang kerap selalu kudengar. Karena kata ibu dan guru privatku, itu sangat penting sebagai wawasan. Aku turuti kata mereka. Karena aku sangat menyayangi mereka berdua, juga agar aku tahu tentang perkembangan dunia serta manusia yang juga sama sepertiku. Mungkin yang membedakan hanya nasib saja.
Sebenarnya aku sangat bosan dengan hidupku ini. Dulu ketika masih kecil, beberapa kali aku hendak bunuh diri. Beberapa kali aku berguling dan terjatuh di lantai, lalu ada benda-benda padat yang membentur di kepalaku. Sempat ada gelas di lantai yang membentur dengan keras di kepalaku. Sontak ketika itu darah mengucur dengan deras dari kepalaku. Ibuku menangis meraung-raung dan memelukku dengan erat. Itu berkali-kali kulakukan, hampir setiap sebulan sekali aku berusaha bunuh diri. Namun ketika aku berusaha bunuh diri, ibu selalu saja menangis, juga ibu selalu memelukku dengan erat. Maka setelah itu berulang-ulang kulakukan, aku menjadi sadar, kalau ternyata ibu sangat menyayangiku. Setelah itu aku menjadi sadar, tak lagi berusaha bunuh diri atau sekadar menyakiti diri sendiri. Karena kata ibuku itu adalah perbuatan dosa, Tuhan tak suka dengan orang yang bunuh diri. Selain itu juga ibu sangat menderita jika aku bunuh diri. Karena kata ibuku, aku adalah satu-satunya yang dimiliki setelah bapakku meninggal ketika aku dilahirkan. Ibu pun tak mau menikah lagi, karena ibuku tak mau jika orang yang dinikahinya akan menyakitiku. Maka ibu yakin untuk memutuskan tidak menikah lagi, karena ibu sangat menyayangiku lebih dari apa pun.
Berdasarkan pengalaman yang dikatakan ibuku, jika ibu menikah lagi, maka biasanya orang itu akan jahat kepada anaknya. Karena orang itu adalah bapak tiri. Seseorang yang bukan bapak kandung. Karena bapak kandungku telah meninggal semenjak aku dilahirkan. Kata ibuku, bapakku adalah orang yang sangat baik. Bapakku adalah seseorang yang selalu bekerja keras. Buktinya ibuku kali ini tidak kerja. Ibuku hanya di rumah, menemaniku setiap saat dan ketika aku membutuhkan. Ibuku selalu merawat dan melindungiku dari apa pun, bahkan dari nyamuk sekalipun, ketika aku sedang tidur ataupun terjaga.
Aku dan ibuku merasa sangat bangga memiliki bapakku, karena ia telah mewariskan semua harta dan segala sesuatu yang dimilikinya untuk aku dan ibuku. Hingga kali ini aku dan ibuku tak perlu harus bersusah payah untuk mencari uang sebagai pemenuhan hidup, untuk makan, pakaian dan lain sebagainya. Lebih-lebih bagi ibuku yang sudah cukup lelah termakan usia, ibu tak perlu repot-repot mencari uang untuk menghidupiku yang tak berdaya berbuat apa-apa ini. Aku semakin bangga memiliki ibu. Aku yakin ibu begitu menyayangiku. Namun kadang aku masih heran kepada Tuhan, lagi-lagi kepada Tuhan. Kenapa belum juga mau mengabulkan doa-doaku agar aku mampu melihat dan berbicara? Aku juga ingin bisa berjalan, tidak lumpuh terus seperti ini. Aku bosan jika harus selalu di kamar ini, Tuhan! Aku tak kuat jika seumur hidup aku harus selalu di kamar ini! Bayangkan saja, aku setiap waktu harus selalu di kamar, dari mulai mandi, makan, berak, belajar dengan guru privat serta apa pun itu selalu saja kulakukan di kamar. Yang buta tidak hanya mata dan bibirku saja, namun tubuhku juga buta.
Hanya ibu yang selalu sabar merawatku. Aku mendengar dengan baik kasih sayang yang selalu ibu hujankan kepadaku. Semoga kelak aku mampu membalasnya, dan tentunya Tuhan juga harus mau memberikan pahala yang melimpah kepada ibuku, juga kepada bapakku yang sudah terlebih dahulu menemui Tuhan. Karena kata guru privatku, Tuhan itu baik hati. Tapi aku juga tak tahu itu bohongan atau memang benar. Katanya Tuhan adalah segala-galanya, Tuhan adalah pemilik kebahagiaan dan kenikmatan. Maka ya aku pun selalu memohon kepada Tuhan melalui doa, agar ibuku diberi pahala yang banyak. Karena ibu telah menyayangiku dengan tulus dan sepenuh hati. Juga kepada bapakku yang telah terlebih dahulu menemui Tuhan, dan kepada guru privatku yang selalu mendidik dan mengajariku tentang berkehidupan di dunia. Karena memang hanya mereka saja yang dekat dalam hidupku. Yang selalu setiap hari menemaniku, merawat dan melindungiku dari apa pun.
Malam ini aku kembali teringat. Natal segera tiba. Besok Natal akan mengunjungi rumahku. Juga pasti Natal akan mukim di kamarku. Namun kurasa masih sama dengan Natal yang tiap tahun mukim di kamarku, tetap tak beda. Aku masih tak mampu berbuat apa-apa. Hanya terbaring saja di ranjang sambil meniti kesunyian ini. Walaupun katanya Natal itu sangat indah, damai, dan hanya dentang lonceng yang damai saja yang mampu kudengar. Walaupun aku tak mampu membalas dentang damai bebunyian itu.
“Lindra, apakah kau belum tidur?” sapa ibuku kepadaku, yang memang belum tidur, “Besok Natal, Lindra. Berbahagialah. Ini Natal yang ke tujuh belas bagimu. Kau kini telah dewasa. Karena umur tujuh belas tahun adalah kematangan bagimu. Apa lagi kau adalah perempuan. Berkah Tuhan buatmu, Lindra.” Sembari iu mengelus-elus rambutku. Namun sangat menyakitkan, aku tak mampu menjawab apa yang dikatakan oleh ibuku, hanya airmata saja yang mampu kubalas, lebih-lebih agar ibu tahu kalau aku belum tidur. Dan hanya itu saja yang mampu kulakukan untuk merespon lawan bicaraku.
“Kau cantik, Lindra. Kau semakin menjadi wanita. Natal kali ini, ibu ingin bilang sesuatu, namun sebenarnya tak perlu kubilang kepadamu. Karena kau adalah tanggung jawabku. Namun ini juga harus kau dengar, entah kau mampu mendengar suaraku atau tidak. Lindra, kau tak perlu bersedih. Ini yang ingin kubilang kepadamu, Lindra. Tentang harta serta kekayaan dari bapakmu kini telah habis. Maka mau tidak mau setelah Natal besok, ibu hendak pergi mencari uang. Entah bekerja apa saja. Mencari uang agar mampu menghidupimu. Hidup kita berdua, Lindra. Maaf, kalau mulai besok mungkin ibu tak mampu menemanimu setiap waktu. Dan mulai besok juga, ibu tak mampu membayar guru privat untuk belajar bersamamu. Juga mungkin besok ibu akan pergi ke gereja untuk menengadah kepada para pengunjung. Agar di antaranya mau berbagi harta. Maaf, Lindra. Ibu akan tidak selalu ada di dekatmu. Tapi percayalah, ibu sangat menyayangimu.”
Airmataku mengalir, mengucur dengan deras. Balasku kepada ibu. Sebagai rasa sayang yang tiada terhenti. Aku yakin ibu juga sangat menangis melihat airmataku. Maaf, aku membuatmu sedih. Maaf, aku belum bersyukur atas karuniamu, Tuhan. Bagiku, hidupku merupakan suatu kesaksian yang cukup bagus bagi diriku sendiri juga bagi ibuku. Dan airmata ini adalah sukacita yang Tuhan datangkan ke dalam perayaan Natal kepadaku juga bagi ibuku. Aku harus yakin, kiranya Tuhan benar-benar mengilhamiku dengan doa-doaku dan semangat kasih sayang ibuku yang tak bertepi, serta teladan hidup agar kita dapat merayakan Natal dengan penuh iman.


Palebone, Desember 2015

Minggu, 13 Desember 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 13 Desember 2015)

Kebun Nenek

Nenek berkebun. Tanah basah membentuk dadamu yang pecah. Ibu-ibu muda menjemur punggungnya. Palawija ditanam. Pundak mereka dijatuhkan di sungai. Kita terapung di sela malam minggu. Kabar baik ditunggu dari panen tahun depan. Seperti apa lagi wajahmu di pagi hari. Nenek memilih menjadi gubug. Tidur sebagai kebun.

Upgris, November 2015


Seribu Tahun Bernyanyi

Seribu tahun bernyanyi. Mengisi mulut dengan nada bahaya. Orang-orang pergi selepas dunia menyalakan lampu. Televisi meledak. Anak-anak kecil menari. Mengolesi perutnya dengan minyak angin. Lalu kita saling tebak, siapa paling bau badan. Di mana hari terakhirnya kehilangan hidung. Lalu apa kabar tuan rumah. Setelah setahun lamanya, kita tak sempat berpesta. Ini menjadikanmu semakin manja. Dadamu begitu saja dihiasi gambar kepala. Kau kecewa dengan seribu tahun. Lagu-lagu dimakamkan di lubang telinga.

Upgris, November 2015


Masa Depan Ingatan

Suatu saat, kita tak lagi ingat kapan bertemu. Kapan sempat bertukar dada. Bahkan di halaman belakang, nenek tidur tanpa pakaian. Kakinya mengajari kita bagaimana menjadi tubuh yang ringan. Kau belum sanggup membalas gerakan tangannya. Tubuhmu malu-malu. Aku melihat panjang rambutmu berserakan di atas detergen. Luka ditumbuhkan dari jarak terpisah menuju alamatmu. Lalu kau akan tahu bagaimana bulan berbentuk madu. Kita saksikan panjang rambut berjengkal selepas keramas. Di atas suara yang tumbang. Panggung berhadapan di pematang. Air mengering dari sungai. Pelan-pelan muka kita dicari kenangan. Keadaan tumbuh di lapangan. Siapa yang berani menjadi dirimu. Rumah-rumah menyaksikan dalam tinggi bahasa. Kau menikmati lagu di tepi sungai kering. Anak-anak diciptakan dari nada boneka.

Upgris, November 2015


Pengendara Becak

Becak bertengkar. Pembeli cabe kabur. Obat nyamuk melukai dirimu. Kata-katamu belum selesai. Seperti langit yang belum sore. Wajahmu menyibak aroma kamar. Semua orang pergi setelah mulut terbakar. Memilih merapikan baju tanpa celana. Katamu, jangan ada malu. Harga-harga berhenti, becak-becak melarikan diri.

Upgris, November 2015


Kepala Merdeka

Semerdeka apa kepalamu. Tumbuh berapa lama ubanmu. Harusnya, setiap malam kita tak usah bertemu. Gerai saja rambutmu. Ukur panjangnya hingga menghangatkan bantalmu. Jangan lupa banyak bercanda. Kita samakan suara dengan petasan tetangga. Hingga semua jatuh, mengakhiri di urat lehermu.

Upgris, November 2015


Kabar Boneka

Pagi ini, kita simak penjara. Orang-orang menjadi museum untuk dirinya sendiri. Jadwal makan menjadi masa lalu yang dilupakan. Kau pindah tempat tidur. Di atas batu, kau banyak mengigau lepaskan bola mata. Kaki dan tanganmu memegang perut. Garis-garis diberitakan dalam celana.

Upgris, November 2015




Rabu, 02 Desember 2015

Program Pascasarjana UPGRIS Baca Puisi untuk Guru (Koran Sindo, 2 Desember 2015)


Sepasang Sepatu Tua di Jakarta dan San Fransisco (Rakyat Jateng, 28-29 November 2015)


Gelimang ‘Kado’ untuk Guru (Koran Wawasan, 14 Desember 2015)

Gelimang ‘Kado’ untuk Guru
Oleh Setia Naka Andrian

Sejak 1994 silam, sesuai Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan Hari Guru Nasional jatuh pada 25 November 1994. Dua puluh satu tahun sudah, pemerintah bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan peringatan Hari Guru Nasional sekaligus HUT PGRI ke-70 yang biasanya dihadiri Presiden atau Wakil Presiden, para menteri dan pejabat negara lainnya.
Guru, sebagai insan yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Guru menjadi contoh teladan bagi siswa-siswanya. Tentunya juga akan melebihi apa yang dilakukan/dicontohkan oleh gurunya. Misal saja, jika guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari. Barang tentu sangat benar, kelakuan murid (orang bawahan) selalu mencontoh guru (orang atasannya).
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi (1983), menyebutkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja. Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat spiritualnya dari seorang gubernur.
Dapat kita gariskan semacam pertemuan dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Barang tentu, kita tak heran jika banyak menjumpai seorang anak yang lebih tenang menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Kita kali ini pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut, karena memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari rumah.
Guru diyakini sebagai pekerjaan mulia. Tak kan pernah ada profesor, dokter, bahkan presiden, jika tanpa guru. Mereka diajari membaca, menulis dan berhitung oleh guru. Kita tak bisa membayangkan betapa besarnya guru tingkat sekolah dasar. Namun apa yang terjadi, seperti sangat jauh mereka dari kebepihakan. Bahkan kebijakan-kebijakan yang ada sangat mempersulitkannya.
Misalnya, ada beberapa komponen yang harus ditunaikan sebelum guru diberi tunjangan pofesi guru (TPG). Di antaranya guru harus melakukan penilaian kinerja guru (PKG), pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), dan uji kompetensi guru (UKG). Seharusnya guru tidak melulu ditekan dengan beragam uji kompetensi saja, namun diberi pendidikan, pelatihan, dan bimbingan. Jika guru-guru tetap dibebani, maka akhirnya yang bisa mereka lakukan hanya pasrah saja.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan (Media Indonesia, 23/11), meminta guru untuk dapat membuat terobosan dalam mengajar. Anies berpendapat, sudah tidak bisa lagi guru menyamaratakan model pengajaran dulu dengan saat ini. Siswa dipersiapkan untuk menghadapi abad ke-21, sementara guru berasal dari abad ke-20, dan pendidikan yang diemban dari abad ke-19. Anies menilai guru dapat meningkatkan kemampuan murid berdasarkan potensi yang dimiliki oleh setiap murid.
Terobosan itu tentu sangat bagus, namun akan sangat ironis jika mengejar terobosan-terobosan sedangkan pemerataan fasilitas serta sarana-prasarana pendidikan di negeri ini saja belum selesai. Ketua Panitia Temu Netizen Peduli Pendidikan, Nur Febriani Wardi (Media Indonesia, 23/11), pendidikan belum bisa dinikmati secara adil, misalnya sedikitnya jumlah SMA/SMK di daerah-daerah terpencil dan pedalaman, jarak tempuh yang jauh, akses yang tidak memadai, dan belum meratanya pendidikan gratis juga menjadi halangan bagi masyarakat miskin.
Belum lagi persoalan pemerataan guru yang belum memihak di daerah-daerah terpencil. Padahal secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34 provinsi. Namun, berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).
Namun masih saja ada persoalan kekurangan tenaga pengajar di daerah terpencil. Beberapa waktu lalu, diberitakan di Kompas (23/11), Sarino (32), guru SDN Caringin di Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sarino mengajar siswa kelas I hingga kelas IV seorang diri di suatu ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 siswa dapat terlayani.
Tentu, segala itu menjadi kado tersendiri untuk guru-guru kita. Kado persoalan-persoalan atas kebijakan-kebijakan yang belum selesai juga hingga saat ini. Padahal, tema besar yang diusung dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT ke-70 PGRI tahun ini adalah ‘Memantapkan Soliditas dan Solidaritas PGRI sebagai Organisasi Profesi Guru yang Kuat dan Bermartabat’. Sebuah doa dan harapan tersendiri, agar nasib guru semakin diperhatikan. Terobosan-terobosan yang direncanakan menteri pendidikan kita semoga dapat menjadi angin segar tersendiri. Sehingga selanjutnya, kita tak pernah lagi merasa lelah menyaksikan keluhan-keluhan para guru di koran dan di televisi. Semoga.***

─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Selasa, 24 November 2015

Terbitkan Media Alternatif Sastra (Rakyat Jateng, 24 November 2015)


Kematian Anak di Televisi (Koran Wawasan, 24 November 2015)

Kematian Anak di Televisi
Oleh Setia Naka Andrian

Kita lihat sejenak, ada berapa acara televisi yang memihak anak-anak setiap harinya. Kita dapat menyimak dalam jadwal acara televisi di koran-koran atau internet. Seakan tidak ada lagi chanel yang cocok untuk pertumbuhan masa kanak-kanak. Jika tidak tayangan-tayangan sinetron dengan bergelimang hedonisme kisahnya, ada juga gosip-gosip artis, dan pentas-pentas musik dangdut dengan syair tidak seronoknya.
Menyoal fenomena tersebut, dapat kita kaitkan dengan peringatan Hari Anak Internasional diperingati 20 November, kemarin. Hari yang juga diperingati sebagai hari lahirnya Konvensi Hak-hak Anak di tahun 1989. Edy Ikhsan (2003), menyatakan bahwa masyarakat dunia sekarang ini nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (lembaga swadaya masyarakat internasional yang bekerja untuk perlindungan anak).
Jebb merawat para pengungsi anak di Balkan, akibat Perang Dunia I. Ia membuat sebuah rancangan Piagam Anak pada tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan gagasan mengenai hak-hak anak. Di antaranya, anak harus dilindungi dari segala pertimbangan mengenai ras, kebangsaan dan kepercayaan. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga. Anak juga harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual.
Barang tentu anak-anak semakin kehilangan kemerdekaannya. Lalu bagaimana dengan hak-hak anak yang sempat diperjuangkan Jebb tersebut. Terutama sajian-sajian yang dihadirkan di televisi. Saya ingat, dulu masa kanak-kanak saya di desa, televisi menjadi hiburan utama bersama teman-teman dan keluarga. Setiap malam sehabis mengaji, saya menyaksikan serial yang sangat mendidik, sebut saja Wiro Sableng.
Pendekar yang fenomenal dengan senjata kapak dan rajah di dada bertuliskan 212 memberikan banyak nilai bagi penontonnya. Di antaranya, Wiro tak akan mungkin bisa menjadi pendekar jika tidak menuruti perintah Sinto Gendeng, gurunya. Serial tersebut mengajarkan bahwa kita harus menghormati guru. Kemudian, walaupun Wiro lahir sebatang kara, namun dia tetap semangat berjuang dan mengembara hingga bisa menjadi orang berhasil (pendekar) untuk menegakkan kebenaran di muka bumi.
Ada pula serial Lorong Waktu yang ditayangkan khusus bulan Ramadhan. Lorong Waktu bercerita tentang seorang ustadz yang menemukan mesin yang mampu membawanya berkelana menuju masa lalu dan masa depan. Dalam perjalanan menjelajah waktu tersebut, ditampilkan orang-orang atau tokoh-tokoh menginspirasi dengan kisah hidup yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya serial Anak Ajaib yang dibintangi Joshua Suherman, pelantun lagu anak “Diobok-obok”. Serial yang menumbuhkan trend film anak-anak lokal bertema robotik.  Selain itu, ada serial Keluarga Cemara yang naskahnya ditulis Arswendo. Sangat lekat dengan muatan pendidikan yang sangat berbobot. Bercerita tentang sebuah keluarga sederhana yang harus memperjuangkan kelangsungan hidupnya atas persoalan ekonomi. Seluruh anggota keluarga tukang becak ini bahu membahu untuk meringankan beban hidup dengan cara berjualan makanan ringan (opak), baik ketika di sekolah maupun sepulang sekolah. Namun anak-anak tetap berprestasi dan hidup bahagia.
Ada lagi serial yang saat itu menggugah saya untuk kuliah, yang notabene saya sebagai anak desa. Yakni serial Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Majuindo yang disutradarai oleh Syumanjaya. Mengisahkan tentang perjuangan anak asli Betawi mengejar cita-citanya, untuk kuliah dan merubah garis takdir keluarga yang berekonomi lemah. Kemudian, sempat pula imanjinasi anak-anak dimanjakan dengan serial laga “Saras 008”. Ketika itu masih awal-awalnya penggunaan telepon genggam (ponsel), ketika hendak menghubungi dan minta bantuan Saras (sang manusia kucing) bisa langsung menekan tombol ponsel dengan angka 008.
Hingga saat ini seakan kita semakin tersudut dalam fenomena tayangan di televisi bagi anak-anak. Selain serial yang kini hadir sangat kurang mendidik dan begitu mengguyur kisah-kisah hedonisme, ada juga gelontoran berita-berita pembunuhan, perkosaan, dan tindak-tindak kekerasan yang merusak generasi penerus kita. Saya menjadi ingat penggalan cerita pendek berjudul Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar karya Andy Sri Wahyudi, “Sore harinya Galuh dan ibunya datang ke rumahku. Galuh meminta maaf pada ibu. Galuh mengaku, tiap pulang sekolah ia mencuri bunga mawar ibu lalu meletakkannya di atas televisi, karena setiap hari Galuh melihat orang mati di televisi.”
Seharusnya saat ini segenap perusahaan televisi harus memegang yang disampaikan Umar Kayam (1981), bahwa tayangan harus mampu menjadi media kultur yang mampu mengkomunikasikan semua buah pikiran, cita, cita-rasa, fantasi, harapan, impian, idiologi, nilai-nilai yang menghantar proses antisipasi kepada kebudayaan baru kita. Bukan malah menjadi tayangan yang merusak. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.

Jumat, 13 November 2015

Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal (Koran Wawasan, 13 November 2015)

Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal
Oleh Setia Naka Andrian

Imajinasi kita tentu akan segera lari menuju masa awal sekolah dasar, jika mendengar seruan, “Ini Budi, ini ibu Budi, ini bapak Budi”. Melalui kalimat tersebut, kita dapat dengan mudah belajar baca-tulis. Tanpa kalimat itu, barangkali saat ini kita tak mampu membaca. Namun apakah sempat terlintas dalam pikiran kita, siapa penemu kalimat tersebut. Bahkan kita seakan menikmati dan memperoleh buahnya tanpa melihat siapa yang memberi buah itu.
Ketika saya membuka beranda facebook pada 10 November lalu, salah seorang teman ada yang mengunggah link yang berasal dari laman wikipedia. Seketika langsung saja buka, karena dalam unggahannya tertuliskan, “Ini pahlawanku, Pahlawan Baca Tulis. Mana pahlawanmu?” Begitu saya buka, pahlawan itu adalah Siti Rahmani Rauf. Pensiunan pengajar yang lahir di Padang, 96 tahun yang lalu. Ia salah satu manusia istimewa sisa pemerintahan Hindia-Belanda. Seorang pendidik yang sangat berjasa, ia menulis buku peraga pelajaran Bahasa Indonesia “Ini Budi” pada era 1980-an. Tokoh Budi menjadi sangat terkenal seantero Indonesia berkat temuan dan sambung tangannya.
Dalam KBBI, pemaknaan pahlawan disebutkan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani. Sedangkan hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat masih beranggapan bahwa pahlawan hanya yang menggenggam bambu runcing, mengokang senjata, dan bertumpah darah di medan pertempuran.
Disampaikan Muhajir Arrosyid (Wawasan, 10/11), saat ini masyarakat telah disuguhi bergelimang pahlawan impor yang setiap hari membius dari televisi. Secara tidak langsung menarasikan bahwa perjuangan pahlawan-pahlawan di negeri ini, pengorbanannya kurang mengharukan. Dirasa belum mampu membuat bangsa ini bangga, sehingga masih mendesak kehadiran tokoh-tokoh dari luar. Semacam Ashoka, Balveer, Jalal dalam Joda Akbar, misalnya.
Belum lagi pahlawan-pahlawan bagi anak muda yang sedang marak saat ini. Sebut saja bagi mereka yang begitu mengagumi tokoh-tokoh imajiner yang diimpor juga dari luar, yakni Jepang. Mereka penggemar cosplay, begitu megah dan meriah dalam setiap festival-festivalnya. Produk-produk budaya dari luar tersebut ditampilkan menampari mata kita dengan sepenuh warna. Pemuda kita bangga mengenakan pakaian, aksesori, dan tata rias seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun dari negeri matahari terbit tersebut.

Berkat Jasanya Kita Jadi ‘Manusia’
Tentunya, kita sangat gegap ketika kehilangan untuk selamanya. Baru-baru ini dalam momentum hari pahlawan, bangsa kita disuguhi kado duka. Dua tokoh yang semestinya “dipahlawankan” telah meninggal. Pendongeng sejati, Drs Suyadi (Pak Raden) dalam jasanya menciptakan Film Boneka Si Unyil yang sangat disukai dan menghibur anak-anak. Kemudian Pak Sartono dalam jasanya menciptakan lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang begitu menginspirasi semangat juang para pendidik kita.
Berkat jasa mereka, kita telah digiring menjadi ‘manusia’. Coba bayangkan, bagaimana nasib masa kecil kita tanpa dongeng-dongeng dari Pak Raden. Tentu setelah beliau meninggal, kita akan sangat kesulitan menemukan penggantinya. Kita akan semakin khawatir pula dengan nasib anak-anak kita kelak. Jangan sampai kita malah semakin disuguhi dongeng-dongeng impor. Kita tak dapat membayangkan pula, bagaimana jika tanpa lagu ciptaan Pak Sartono. Tentu pendidik kita akan lebih kesulitan menemukan ruhnya sebagai pengajar sejati.
Kita tak tahu bagaimana nasib pelajar di negeri ini tanpa pembelajaran “Ini Budi”. Barang tentu jutaan warga Indonesia telah menjadi ‘manusia’ berkat jasanya. Siti Rahmani Rauf menemukan metode pembelajaran bahasa yang sekaligus menggunakan alat peraga, yakni metode Struktur Analitik Sintesis (SAS) Bahasa Indonesia. Merupakan salah satu jenis metode yang biasa digunakan untuk proses pembelajaran bagi siswa pemula. Dengan cara menampilkan dan memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Ini Budi. Budi rajin sekolah. Ini ibu Budi. Ibu budi bekerja di pasar. Ini bapak Budi. Bapak Budi bekerja di kantor. Metode tersebut dianggap menyenangkan bagi siswa SD pada masa itu, sehingga membantu para siswa menjadi lebih cepat bisa membaca dan menulis.
Lalu yang perlu kita tanyakan saat ini, apa yang sudah diberi atau diperbuat negeri ini untuk Siti Rahmani Rauf. Baginya yang telah menemukan embrio untuk masa depan pembelajaran di negeri ini. Hingga mengerjakannya menjadi buku setelah mendapat tawaran dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada awal tahun 1980-an ketika ia sudah pensiun. Tawaran tersebut ia terima tanpa meminta bayaran, semata-mata karena kecintaannya pada dunia pendidikan.
Kapan negeri ini memihak dan memberi perhatian kepada pahlawan. Atau setelah meninggal saja, baru kita beramai-ramai mengusulkan menjadi pahlawan. Ini yang terkadang masih kurang mendapat perhatian di negeri ini. Tidak sedikit tokoh-tokoh penemu hal-hal bermakna atau yang berjuang serta mengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya untuk kemajuan negeri, namun semasa hidup tokoh tersebut bisa dibilang diterlantarkan saja.
Contoh lain, kita dapat melihat bagaimana Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (NH Dini), penulis perempuan kelahiran Semarang yang telah begitu banyak menyumbangkan karya untuk khasanah sastra Indonesia, terutama novel. Penghargaan-penghargaannya pun lebih banyak didapat dari luar negeri. Kini usianya 79 tahun. Ia sekarang tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran. Jauh dari sanak-saudara. Jika melihat beberapa kenyataan tersebut, apakah kiranya pahlawan hanya diberi perhatian jika sudah meninggal saja? Kita rayakan jasanya setelah meninggal? Sebut saja Pak Raden, saat ini sedang ramai diusulkan sebagai pahlawan budaya. Tidak sedikit petisi-petisi yang menyertainya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Selasa, 03 November 2015

Komik Gelar Event Satu Hati Lintas Genre (Wawasan, 3 November 2015)


Event Perdana dalam Kepengurusan Baru (Rakyat Jateng, 3 November 2015)


Menyulut Uji Kompetensi Guru (Wawasan, 3 November 2015)

Menyulut Uji Kompetensi Guru
Oleh Setia Naka Andrian

Saat ini, Indonesia dalam kurun waktu satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), ternyata masih saja diguyur bergelimang persoalan. Bahkan banyak pula pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Belum tuntas beragam konflik yang tumbuh dari tubuh pemerintahan sendiri, suasana politik yang tidak sehat, pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya. Namun, masih bermunculan juga persoalan penanganan kabut asap yang dinilai sangat lamban. Belum lagi terkait kondisi perekonomian yang tidak stabil, masih kurangnya penyediaan lapangan kerja, hingga pada persoalan pendidikan yang begitu pelik terus bergulir menjadi suguhan utama dalam berita harian.
Sesungguhnya bangsa ini sangat menaruh harapan besar dari energi revolusi mental. Namun pada kenyataannya, seakan hanya menyisakan isapan jempol semata. Bahkan banyak yang bertanya-tanya, mana lagi gaung great idea (ide besar) yang dulu diteriakkan seantero jagat pertiwi ini. Lalu sampai kapan rakyat harus menunggu. Jika negeri ini benar-benar diidamkan berdikari dalam seabrek kedaulatan yang sering digemborkan dalam berbagai situasi kampanye kala itu. Ketika masih menjadi calon yang bekerja keras menarik simpati rakyat.
Bahkan yang seharusnya pendidikan menjadi tonggak dalam segala pencapaian cita-cita bangsa dan negara, namun masih saja selalu diusik dalam berbagai persoalan-persoalan menikam. Tidak lama ini, Dr Sulistiyo MPd, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng (Wawasan, 21/10), menilai bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) hanyalah proyek pemborosan saja.
Hasil UKG belum dapat menggambarkan kompetensi guru secara utuh. Sebab yang diuji hanya kompetensi pedagogik dan profesional saja. UKG belum mampu mengukur kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Padahal kedua kompetensi tersebut yang sebenarnya sangat mempengaruhi kinerja seorang guru. UKG dianggap sangat menyesatkan jika hasilnya nanti dikaitkan dengan pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG), kenaikan pangkat, maupun penerimaan hak lainnya.

Strategi Kebudayaan
Meminjam Listiyono Santoso (JP, 19/10) bahwasanya dalam kebudayaan terdapat strategi untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari budaya bukan bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi ruang bagi penyelenggaraan strategi kebudayaan. Namun sangat disayangkan, jika kemendikbud masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan administratif, bukan pada persoalan yang lebih substantif.
Kemendikbud akhir-akhir ini pun menyulut kebijakan terkait UKG. Tentunya banyak pihak yang tidak sepakat, termasuk para guru sendiri. Jika benar-benar kemendikbud mengetok palu, barang tentu tak sedikit genderang perang yang akan segera dibunyikan. Sebab sangat benar, itu semua hanyalah urusan administratif semata. Tak berbeda dengan siswa-siswa kita yang harus bersitegang saat dihadapkan pada ujian nasional, yang bagi mereka begitu bertaring tajam dan sangat menakutkan.
Seharusnya, ini momentum bagi kemendikbud untuk menyelami kembali pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang sudah berjalan sepuluh tahun ini. Alangkah mulianya jika saat-saat seperti ini digunakan untuk menggenjot para guru dengan aktivitas-aktivitas yang lebih substantif.
Kemendikbud dan berbagai pihak terkait bersama-sama dalam upaya mengembalikan hakikat pendidikan sebagai ikhtiar utama untuk memanusiakan manusia. Sudah bukan saatnya lagi menyikapi persoalan pelik semacam ini dengan gegabah. Ketika korupsi tumbuh subur, maka digerakkan pendidikan antikorupsi. Lalu saat nasionalisme mengalami degradasi, maka diriuhkan dengan pendidikan bela negara.
Tentunya tak sesederhana itu. Sudah cukup rasanya nasib para guru dibiarkan bergelimpangan menyambut banyak persoalan-persoalan yang tak sepantasnya diterima. Belum lagi, hingga saat ini masih banyak guru honorer yang hanya memperoleh gaji sekitar Rp 250.000 hingga Rp 300.000 perbulan. Bahkan masih banyak pula yang lebih rendah lagi.
Terutama bagi guru-guru yang mengajar di pelosok atau di pedalaman negeri ini. Padahal mereka sudah bekerja sepenuh tenaga dan sangat banyak menghabiskan waktu hidupnya untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini. Tak sedikit pula dari mereka yang berprestasi dan berdedikasi tinggi dalam mengemban tugas mulianya.
Sudah sepatutnya pula jika para guru dihargai dengan tidak sekadar seadanya lagi. Jangan malah dihadapkan dengan tugas-tugas yang ternyata hanya membuat guru semakin terbebani. Barang tentu, daripada menghabiskan banyak anggaran untuk penyelenggaraan UKG, alangkah lebih mulianya jika digunakan untuk menyelamatkan guru yang belum menggapai kualifikasi pendidikan sarjana atau yang lebih tinggi lagi. Serta mendorong mereka untuk meraih sertifikat pendidik.
Dapat dicambuki melalui penyelenggaraan pelatihan-pelatihan yang lebih substantif dan benar-benar dibutuhkan oleh para guru. Bukan malah dihadapkan dengan tanggungan-tanggungan yang hanya akan membuat mereka semakin kehilangan waktu untuk menunaikan hakikat pembelajarannya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Jumat, 30 Oktober 2015

Sihir Politik Wayang Banyolan (Koran Wawasan, 30 Oktober 2015)

Sihir Politik Wayang Banyolan
Oleh Setia Naka Andrian

Pagi itu, ruangan begitu redup. Backdrop hitam menutup rapat dinding-dinding Balairung Universitas PGRI Semarang. Ratusan penonton yang kebanyakan mahasiswa nampak menyiapkan diri untuk menjadi saksi pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS). Mereka nampak beku di kursi-kursi yang sengaja ditata melingkar di hadapan panggung. Sayup-sayup iringan musik digital yang menyayat membuat mereka semakin khidmat untuk segera menyimak cerita Mawas Diri Menakar Diri dari WKS.
Blencong menyala. Isi panggung ditembak beberapa lampu sorot. Cahaya dijatuhkan tepat di gawang kelir, alat-alat musik yang bergeletakan, jimbe, gitar elektrik, gitar bass, saxophone, flute, kendang, dan drum. Kenampakan gawang kelir sepanjang tiga meter dan seperangkat alat musik yang tidak seperti dalam wayang kulit purwa tersebut, seketika merasuki pikiran penonton untuk menyibak kawah imajinasi yang lepas.
Di benak penonton, runtuh sudah pemaknaan wayang dengan pakem dan pengisahan melalui bahasa yang berat-berat. Meminjam Umar Kayam (1981), wayang sudah lama ada di negeri ini. Dikenal sebagai alat berhubungan dengan roh leluhur lewat patung-patung. Juga sebagai cara mulia membeberkan cerita-cerita dari kehidupan manusia. Melalui kisah Ramayana dan Mahabarata, misalnya. Namun tidak yang ditawarkan WKS, suguhan wayang kontemporer dengan banyolan segar menjadi keutamaan dalam sajiannya.
Mengingat masyarakat saat ini sudah begitu lelah dengan pekerjaan dan aktivitas keseharian. Sehingga sangat benar, WKS berupaya mengembalikan hakikat wayang sebagai tontonan dan tuntunan (perilaku). Wayang-wayang kertas dengan tampilan jenaka/lucu menjadi jalan tersendiri sebagai daya tarik di mata penonton. Misalnya tokoh-tokoh perempuan seksi serupa penyanyi dangdut, lelaki bergitar, hansip, polisi, lelaki bule, dan kakek-kakek tua. Semua siap disajikan sebagai wujud dari bayang-bayang kenyataan hidup manusia dengan segenap kekonyolannya.
Pertunjukan dimulai. Dalang Ki Jlitheng Suparman dan tujuh pemain musik melangkah menuju panggung. Tanpa basa-basi mereka langsung menggeber lagu-lagu dengan tawaran sound modern yang masih menampakkan nuansa musik melayu dan dangdut koplo. Syair-syair yang dilantunkan pun begitu membumi, mengenai takdir, jodoh, kematian, kekayaan, kemiskinan, dan rahasia ilahi. Selanjutnya lagu-lagu seakan terpaksa diselesaikan, alunan musik digiring menjadi semakin mencekam.
Dalang menggerak-gerakkan lambang negera (garuda pancasila) dan gunungan dengan penuh energi. Ilustrasi semakin menggetarkan. Lanskap alam imajinasi mengenai persoalan negeri dihadirkan dari estetika dunia wayang. Satu demi satu tokoh wayang dimainkan dengan teknik muncul berjoged-joged. Kelenturan permainannya ditunjukkan begitu apik. Nampak detail bagaimana anatomi tubuh wayang dalam gerakan-gerakan kecil dari tangan dan kakinya. Wayang berjoged, menggoyangkan pinggul, memainkan gitar, dan banyak lagi gesture yang begitu fasih semacam dramaturgi pertunjukan teater.

Fenomena Pelik  Dunia Politik
Kisah dibuka dengan kehadiran tokoh bernama Catur. Digambarkan sebagai seniman dekil yang multifungsi. Ia bicara banyak hal mengenai fenomena pelik di dunia politik. Gawang kelir semakin menyala dengan kehadiran Pak Lungsur, tokoh masyarakat di desa Bangun Jiwo yang sedang berkampanye untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Pak Lungsur beraksi dengan ragam bahasa vickinisasi dalam kampanye. Judge lama yang ternyata masih mengundang tawa penonton. Misalnya ungkapan “kontroversi hati” dan “kudeta miskin”.
Dalam cerita, Pak Lungsur sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara agar menang dalam pemilihan kepala desa. Dibantu seorang kakek tua sebagai pentolan tim sukses dan menyelinap menjadi ketua panitia pemilihan. Mengatur kemenangan Pak Lungsur, dari mulai penyelenggaraan panggung musik hingga manipulasi suara yang diatur dari dalam kepanitiaan pemungutan suara. Praktik politik uang pun nampak gamblang disuguhkan WKS. Hal tersebut menjadi gambaran mengenai kondisi panggung politik di negeri ini. Bahkan sudah tidak sedikit lagi yang terjadi di pedesaan. Sebuah lembaga pemerintahan terkecil yang sangat memungkinkan menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan praktik-praktik negatifnya.
Desa menjadi lahan subur bagi para calon penguasa. Desa dihadirkan sebagai ruang gerak untuk menciptakan dan menghancurkan kekuatan rakyat. Terbukti, pertunjukan WKS dalam rangkaian parade bulan bahasa yang digelar pada 20 Oktober lalu, memberi gambaran kebobrokan sebuah negara dimulai dari embrionya di desa. Dari mulai politik uang, birokrasi kompleks, berafiliasi, hingga praktik pemangkasan dana yang turun-temurun dari pihak atas ke bawah.
Akhirnya, pihak-pihak bawah hanya mendapat bagian sangat sedikit. Nduwur penak, ngisor ditekak (baca: atasan enak, bawahan dicekik). Begitulah yang dilantangkan oleh kelompok wayang kontemporer asal Solo tersebut. Perihal kritik sekaligus ajakan untuk menjalani hidup pada jalur yang semestinya. Berpegangan dan mengilhami segala yang sudah digariskan dalam Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan berbagai bidang.
WKS berupaya memanjakan penonton dengan visual kejenakaan yang tak terduga. Mengajak penonton melihat, memeriksa, mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk introspeksi, agar jangan lagi melakukan kesalahan yang sama. Selain itu, penonton juga diajak menyelami beragam fenomena sosial melalui sajian musik rakyat (baca: dangdut koplo). Bahkan, yang seharusnya musik bernuansa melayu, pop, rock, dan musik reggae sekalipun, pada akhirnya tetap dibumbui dangdut koplo. Barang tentu sudah menjadi hal yang lumrah, dangdut koplo dengan goyangannya menjadi sihir tersendiri bagi para calon pemimpin di negeri ini untuk melumpuhkan hati rakyat dalam setiap kampanye-kampanyenya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).