Minggu, 06 Juli 2014

Guru Saya Rajin Minum Susu

Oleh Setia Naka Andrian



Dalam ingatan yang terus memanjang, saya mulai gemar meraba seberapa penting guru mengikat tubuhku. Karena saya yakin guru dan murid memiliki keseimbangan yang berimbang antara keduanya. Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi membibirkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja. Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat spiritualnya dari seorang gubernur.
Semacam dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Sehingga kita tak heran jika banyak menjumpai seorang ayah yang lebih tenang menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Saya kali ini pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut. Karena memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari rumah. Melihat dari masa kecil hingga sekarang telah membuktikan bahwa hari-hari saya habis termakan jam pelajaran sekolah dan tugas-tugas yang menggenangi pikiran setiap malam. Hingga terkadang susah tidur, lalu menggiring saya untuk keluar menuju tempat nongkrong bersama teman-teman senasib.
Saya pun ingat, sejak umur empat tahun sudah dilempar orangtua saya untuk nangring di bangku TK ketika pagi hari. Lalu dilanjut siangnya di TPQ/ Madrasah. Kemudian malamnya harus mengaji kepada kiai di masjid. Hingga waktu sisa dalam sela-sela kerangkeng sekolah itulah yang saya gunakan semaksimal mungkin untuk bermain bersama teman-teman. Entah itu main kelereng, petak umpet, hingga sesekali membolos sekolah untuk pergi ke hutan untuk bermain sambil berburu mangga atau buah-buah musiman lainnya.

Beberapa Guru Berpengaruh (dari Beribu Guru yang Mencuri Perhatian)
Pertama, adalah kedua orangtuaku tersurga. Karena bagamanapun banyak pertunjukan yang kami rayakan bersama-sama. Walaupun sesungguhnya saya sangat kekurangan waktu untuk sekadar berjabat bibir dengan mereka. Karena kedua orangtuaku termasuk para pekerja keras, saya harus sulit bertemu mereka ketika nyala mahari masih berdendang di bumi. Hingga saya sering menangis ketika sore hari sepulang dari Madrasah, banyak teman-teman yang disambut oleh kedua orangtunya. Namun saya sendiri harus tanpa mereka, hanya nenek saja yang menyambutku dengan mata yang cukup berkaca pula. Ah, biarlah. Walau bagaimanapun, kedua orangtua saya merupakan pahlawan tersendiri atas tanggung jawabnya.
Sesuai dengan syair lagu berikut ini, yang sering dibisikkan oleh ibu ke telinga saya. Dondong opo salak/ duku cilik-cilik/ gendhong apa mbecak/ mlaku thimik-thimik/ adik nderek ibu/ tindak menyang pasar/ ora pareng rewel/ ora pareng nakal/ mengko ibu mesti mundhut oleh-oleh/ kacang karo roti/ adik diparingi/. Terlihat jelas, bahwa orangtua saya memberi banyak pilihan tentang hidup, tentang kemandirian, juga tentang kasih sayang mereka ketika semua yang dilakukan memang untuk anaknya, pasti akan membawa buah tangan untuk saya saat itu dan masa depan. Tentang banyak pilihan yang mereka berikan kepada saya dalam menjalani putaran roda usia dan tanggung jawab hidup yang semakin memanjang seiring dengan angka yang terus berlari menggerus kontrak hidup ini.
Kedua, adalah guru TK. Waktu itu adalah awal mula saya dikenalkan huruf-huruf hingga terangkai kata dan kalimat yang semakin memjanjikan saya untuk sedikit berprosa membaca nasib. Dan saya rasa guru (awal) inilah yang paling berpengaruh, sejak awalnya saya tidak mengetahui apa-apa hingga mampu mengeja dan merangkai kalimat serta membibirkan dialog-dialog dalam buku-buku yang kesepian. Juga yang mengajariku bagaimana lipatan kertas menjadi bermacam binatang dan kapal terbang. Walaupun sekarang saya sudah lupa bagaimana cara membuatnya.
Saya ingat betul, dulu ada dua guru TK yang membimbing. Yakni bu Paijem dan bu Sur. Waktu itu pun saya sering merepotkan kedua orang tersebut. Setiap pulang sekolah, saya diantar oleh salah satu dari guru saya itu. Karena waktu itu saya berangkat bersama dengan bapak yang sejalan dengan tempat kerjanya. Namun ketika pulang saya sering tidak ada yang menjemput. Hingga saya diantar oleh bu Sur atau bu Paijem menuju ke rumah, atau seringnya ke tempat kerja paman saya yang kebetulan berdekatan dengan sekolah.
Waktu itu pun ternyata saya sudah punya mata yang cukup nakal, saya lebih memilih untuk diantar bu Sur. Walaupun ia hanya mengenakan sepeda, sedangkan bu Paijem mengendarai motor. Karena secara usia ia lebih muda, dan terlihat cantik ketimbang bu Paijem yang sudah setengah baya. Namun terkadang saya dengan terpaksa harus diantar bu Paijem, ketika bu Sur berhalangan atau ada urusan lain.
Ketika TK pun saya memiliki kenangan yang cukup cantik. Waktu itu selain saya mengagumi sosok guru (bu Sur), saya juga dipertemukan dengan seorang perempuan yang saya rasa sangat baik kepada saya. Namanya Nana, ia berusia satu tahun lebih tua ketimbang saya. Saya ingat betul, karena saya sempat dipertemukan kembali ketika kita sama-sama sudah duduk di bangku SD, namun kita berbeda sekolah. Waktu itu saya kelas lima dan ia kelas enam. Dipertemukan pada sebuah andong, ketika saya sedang bepergian dengan ibu. Juga ia sama, dengan ibu tercintanya. Namun saya cukup menyesal waktu pertemuan itu. Saya malu-malu, begitu pula ia. Sehingga tak sempat saya berucap terimakasih, bertegur sapa atau sekadar menanyakan kabar. Namun saya masih ingat betul bagaimana nyala matanya yang mengitari mataku. Dan saya masih tetap tak mampu berbuat apa-apa hingga sekarang jejaknya hilang.
Saya menganggap ia juga salah seorang guru. Perempuan kecil yang sering menolong saya ketika terjatuh dari ayunan, ia pun sering mengantrikan saya untuk bergiliran bermain pada suatu permainan yang ada di TK saya tersebut. Waktu itu saya cukup terkagum dengan perempuan yang dalam ingatan saya cukup menawan. Dan sepertinya itulah kali pertama saya menemukan miniatur cinta dari seorang lawan jenis. Hehe.
Ketiga, adalah guru SMA. Ada pahlawan khusus yang sempat menyelamatkan saya ketika SMA. Dua guru  yang setelah saya telusuri ternyata telah sering menyelamatkanku dari bahaya-bahaya ketika kenaikan kelas. Karena ketika itu saya sering membolos dan sempat cuti cukup lama saat hinggap beberapa waktu tanpa sebab ke Jakarta. Kedua guru itu pun yang telah secara diam-diam mengirim tulisan saya ke beberapa media sastra, dan ternyata termuat berkali-kali. Padahal waktu itu saya sangat tidak paham tentang email dan sekawan-kawannya itu. Salah satu guru pun sering membela saya habis-habisan di hadapan guru-guru yang lain ketika rapat akhir tahun. Namun pada akhirnya tetap saja saya terselamatkan, hingga kelas dua saya masuk ke kelas favorit yakni kelas IPA. Begitu juga ketika kelas tiga. Walaupun saya sering mendapat rangking satu, namun dari bawah. Hehe.
Saya pun hingga kini tak paham, betapa jaman telah menjerumuskan saya ke jalan yang benar (bagi saya). Karena begitu baik alam dan manusia memihak saya. Seperti halnya ketika saya harus tersesat di kampus pendidikan yang entah ini hingga benar-benar khatam. Saya juga sempat khawatir di awal pertemuan dengan orang-orang yang cukup sangat gila dalam menangani hidup, dalam beberapa komunitas yang bangsat, namun saya yakin, saya begitu berguru kepadanya. Dalam ending-ending pada adegan-adegan tertentu saya sering menemukan kebahagiaan yang megah.
Maka bagaimanapun beberapa guru berpengaruh (dari beribu guru yang mencuri perhatian) saya tersebut hingga kini menjadi musim tersendiri untuk saya kenang. Semacam doa yang selalu muncul dari ingatan yang berbunga-bunga dan terus menunggu-nunggu.***

Rumah Diksi, Juli 2012

Tulisan ini dimuat dalam buku kumpulan esai "Mengingat Guru" UKM Kias, April 2012.