Sabtu, 26 Oktober 2013

Ulasan dalam Meja Cerpen #9 Komunitas Lembah Kelelawar

Kematian Tokoh Perempuan dalam Cerita
Setia Naka Andrian

Jika kamu seorang tokoh perempuan dalam pertunjukan teater, maka kamu adalah orang pertama yang patut berbangga. Kamu tiba-tiba akan melompat seribu kali lipat dibandingkan kehidupanmu yang sebenarnya. Kamu tidak sekadar menjadi tokoh perempuan dalam panggung, namun kamu telah sampai menjadi cerita sekaligus panggung pertunjukan itu sendiri. Jika kamu telah melampaui dirimu sendiri sebagai perempuan, dirimu sebagai cerita serta dirimu sebagai panggung.
Maka untuk saat ini hingga beberapa saat yang belum dapat saya tentukan, saya yakin, jika kamu masih merasa sebagai perempuan, maka saya tidak pernah percaya jika kamu memilih mati begitu saja dalam ceritamu. Kamu berpotensi untuk berkembang menjadi apa saja. Kamu pasti akan menjadi barang bukti yang paling berlanjut untuk dibicarakan orang-orang. Semua itu akan mudah, selama kamu masih menjadi perempuan yang berjalan dan mengepakkan sayap, bukan yang memilih mati dalam ceritamu sendiri.
Tokoh perempuan dalam cerpen Kunang-kunang yang Beterbangan karya Adefira Lestari adalah persoalan pertama yang saya khawatirkan sejak memulai  membaca cerita. Walaupun sebelum tokoh perempuan tersebut, judul cerita juga membuat saya cukup kecewa. Bayangan saya sudah lari ke mana-mana. Saya memikirkan hal yang aneh-aneh mengenai kunang-kunang. Barangkali siapa pun akan merasakan seperti itu. Kunang-kunang benar-benar saya harapkan akan membangun cerita yang menghadirkan karakter-karakter yang hidup di dunia realitas keseharian dan memperlihatkan hal-hal yang tidak sekedar biasa atau bahkan aneh dalam cerita ini.
Namun ternyata begitu cerita ini dibuka, saya sepertinya langsung bisa menebak. Waduh sepertinya kunang-kunang tidak begitu terlibat banyak dalam cerita ini. Saya berpikir, ini pasti Adefira akan menyuarakan pertarungan emosi dan kehampaan perempuan. Jangan-jangan cerita ini akan terkesan cerewet dan tergesa-gesa menyuarakan emosinya. Ternyata benar, barangkali siapa saja yang membaca akan mengalami hal sama seperti yang saya rasakan. Sebenarnya bisa jadi bukan persoalan serius kalau tokoh perempuan digarap dengan serius dan tidak tergesa-gesa. Namun cerita sudah dibuka dengan takdir, dan di situ terdapat perempuan. Siapa saja pasti akan menebak, bahwa cerita ini adalah kematian tokoh perempuan─ketidakberdayaan perempuan.
“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte.
Barangkali takdir dan perempuan dalam cerita Adefira ini sudah terlalu banyak mengotori pikiran kita. Dari mulai gosip-gosip tetangga hingga yang kerap hadir dari sinetron. Intinya sama, pemakluman. Perempuan pasti yang memaklumi. Namun saya untuk sementara ini juga ikut-ikutan memaklumi, dan berusaha untuk melanjutkan membaca cerita. Saya mencoba sejenak melupakan tokoh perempuan, Nora─yang terkesan lahir sebagai diri yang tergesa-gesa.
Setelah saya melanjutkan cerita, ternyata yang saya khawatirkan terjadi lagi. Setelah dihadapkan dengan tokoh perempuan, kini tiba-tiba muncul lagi tokoh anak perempuan. Menurut saya ini persoalan baru lagi, kehadiran Abidah juga tiba-tiba dengan penuh ketidakjelasan. Misalnya mengenai anak yang kemungkinan hasil hubungan di luar nikah, kenapa juga Abidah bisa sekolah? Padahal tidak memiliki kejelasan status ayahnya atau status lainnya.
***
Sebenarnya saya sangat berharap banyak dari cerita Adefira ini, banyak hal yang menurut saya perlu digarap lagi. Bagi saya, perempuan dalam cerita adalah ladang garapan utama yang dapat dikembangkan ke mana saja. Saya tidak akan mempersoalkan bagaimana latar belakang penulis, jika sudah berani menulis, misalnya mengenai kebinalan perempuan, maka ya seharusnya harus berani mengembangkan sebinal-binalnya perempuan. Jika sudah berani menenggelamkan kaki hingga paha, maka harus siap pula jika suatu saat ada tokoh yang harus menenggelamkan seluruh tubuhnya. Misalnya dalam ending cerita, Nora begitu saja menyerah. Dia tidak berbuat apa-apa.
....
pernyataan itu kembali kudengar dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun sulit melepaskannya.
Saya rasa, sebejat-bejatnya perempuan, pasti dia juga punya perasaan. Dalam hal ini, Nora pasti punya cinta yang tulus. Tidak semudah itu dia melupakan penderitaan selama ditinggal Hamid. Lalu apakah semudah itu Nora? Saya yakin, banyak pekerja seks komersial yang memiliki pacar sebenarnya, walaupun dia banyak memiliki pacar hitungan semalam atau hitungan jam. Itu bukti bahwa Nora juga seharusnya bisa semacam itu, bisa sakit hati, bisa terluka yang sulit sembuh, dan lainnya.
Selain tokoh perempuan, dari cerita ini juga saya temukan ada hal kecil yang menurut saya perlu digarap. Mengenai kehadiran tokoh-tokoh yang sekiranya berpengaruh atau tidak. Misalnya kehadiran tokoh Wulan dan Tito dengan pernikahannya. Lalu ada pula Tanu yang menurut saya juga belum digarap secara serius keberadaannya. Barangkali kehadiran tokoh yang kuat akan membentuk cerita yang kuat pula. Atau dari cerita yang ampuh akan melahirkan tokoh yang kuat? Namun terserah, itu pilihan. Percaya atau tidak, itu juga pilihan. Kita juga diperkenankan untuk memilih memulai dari mana saja. Namun saya yakin, barangkali Adefira akan berhasil menulis Kunang-kunang yang Beterbangan ini jika berkenan mempertimbangkan tokoh-tokohnya. Misalnya dengan menghadirkan Nora yang tidak hanya menjadi perempuan yang menyerah begitu saja. Tidak hanya melacur yang begitu saja, tidak hanya melahirkan Abidah dari Hamid yang begitu saja. Atau mungkin berani membunuh tokoh yang sekiranya diperlukan hanya sementara saja. Barangkali.***


Setia Naka Andrian, berkicau di @setianaka

Kamis, 12 September 2013

Kaliwungu-Kendal: Reuni dan Produksi Budaya Identitas

Oleh Setia Naka Andrian

Lagi-lagi daerah (kecil) mengambil bagian untuk muncul dalam peta kesastraan Indonesia. Rumah, puisi dan penyair menjadi produksi identitas dalam berproses. Karena barangkali puisi lahir―selanjutnya ditentukan masa depannya oleh penyair dalam rumahnya masing-masing. Entah itu rumah yang ditinggalkan, rumah yang dipulangi, atau bahkan rumah yang hanya mukim dalam kenangan setelah mereka menang ketika menemukan rumah yang menculiknya.
Setelah beberapa waktu lalu di Sragen sempat mempertemukan penyair-penyair dari seluruh Indonesia untuk menulis puisi dengan tema seragam (Sragen), kini Kendal pun menyusul (berbunyi). Namun di kota tersebut menggiring hal yang tak sama. Sabtu (19/1) Plataran Sastra Kaliwungu mempertemukan beberapa penyair kelahiran Kendal yang barangkali kini telah diculik kota lain, serta beberapa yang memilih menetap di Kendal.
Sebut saja nama besar yang diculik kota lain dan telah dibesarkan di kota tersebut. Yakni Ahmadun Yosi Herfanda, yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Juga banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari dia mengajar pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Selanjutnya ada Gunoto Sapharie dan Mudjahirin Tohir yang barangkali meninggalkan rumah namun tak jauh-jauh, yakni di Semarang.
Malam itu mereka bersama penyair-penyair (muda) Kendal saling berjabat kisah mengenai proses kreatif dan rumah kreatif (komunitas). Karena barangkali kini kota itu semakin menggeliat dengan munculannya berbagai komunitas, sebut saja Lestra, Bongkar, Rumah Diksi, Tebing, Omah Gores, Komik, Plataran Sastra kaliwungu, serta Lerengmedini. Komunitas yang bergelimang itu semakin mencuat dengan tatanan sustainable community dalam kegiatan-kegiatan bersama.
Dalam pertemuan (reuni) tersebut, juga telah dibagikan dummy Antologi 18 Penyair asli kelahiran Kendal yang dalam waktu dekat akan terbit. Kita berharap semua itu tidak sebatas reuni karya semata. Karena barangkali pertemuan bukanlah sebatas pembukuan bersama. Paling tidak dengan adanya puisi-puisi yang terkumpul, penyair-penyair yang terlibat dapat semakin membawa diri sebagai senjata untuk melakukan ikhtiar penemuan dan permenungan lain.
***
Budaya identitas mereka suguhkan (?). Ratusan halaman berisi puisi atas segala bentuk teriakan penyair untuk membela dirinya sendiri, bahkan rakyat (tertindas). Penyair dengan senjata andalan licentia poetarum melenggang-menari dengan kebebasan mengucurkan bahasa dalam puisi-puisinya. Sejalan dengan yang ditegaskan Teeuw (1983), bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra cenderung menyimpang dari penggunaan bahasa sehari-hari.
Lalu apakah puisi masih menjadi puisi atau telah mampu berubah wujud menjadi identitas yang juga bakal diproduksi masyarakat? Atau sebatas diproduksi penyair untuk dirinya sendiri saja? Ketika puisi telah berupaya menjadi sejarah, kota, tradisi, mitos, bahkan puisi yang sebatas menjadi pesta estetika setiap kali hadir dalam diskusi-diskusi yang berpusingan.
Jika kita menengok lebih jauh yang terjadi di Banyumas, karya fenomenal Ronggeng Dukuh Paruk dari Ahmad Tohari. Identitas yang dimunculkan dari penulis telah menjadi milik masyarakat sepenuhnya. Pembaca telah menemukan jati diri dalam karya yang ditelurkan. Yang tidak hanya menjadi milik masyarakat sastra Banyumas atau masyarakat umum Banyumas saja. Namun sepenuhnya telah menjadi kepunyaan orang Indonesia dan menjadi salah satu kekayaan sastra Indonesia. Lalu kelak apakah Kendal sanggup menemukan hal yang sama?
Barangkali tidak menjadi persoalan untuk kota produktif semacam Kendal. Karena pada kenyataannya kota tersebut belakangan ini telah menerbitkan beberapa antologi puisi: Gusdurku, Gusdurmu, Gusdur kita; Merajut Sunyi Membaca Nurani; Sogokan kepada Tuhan; Tidak Ada Titik, Masihkah Kalian Melawan?; Tebing; serta antologi cerpen Kausal. Semoga segala itu bukan sebatas produksi identitas yang penuh dengan kesepian-kesepiannya saja. Namun kelak mampu menempatkan sastra sebagai aktivitas rutin yang semakin memiliki rumah yang kuat. Kendal, khususnya Kaliwungu dengan kota santrinya, barangkali kelak akan memunculkan sastrawan religius-sufistik semacam Ahmadun Yosi Herfanda. Semoga.***

Puisi: Eksistensi Tubuh yang Bersilaturahmi

Oleh Setia Naka Andrian

Puisi adalah makhluk penyair yang paling berbudi. Tindakan serta segala hal mengenai tingkah lakunya menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing yang tak tertandingi oleh mahluk (puisi) ciptaan penyair lain. Sanggup menemukan pelbagai masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana.
Namun ada kalanya puisi belum sanggup menyelesaikan kecemburuan di antara sesamanya. Seringkali egonya meninggalkan prasangka buruk bagi estetika puisi lainnya. Tingkah laku dalam pemenuhan kesehariannya pun menjadi ujung yang paling agung untuk memilih dan memilah pelbagai perselisihan dalam silaturahmi di media.

Idealisme Penyair sebagai Jurus Tersembunyi
Budi murni seseorang tak mungkin mengenal yang di luar pengalaman, karena pengetahuan budi itu selalu mulai dengan pengalaman. Metafisika murni tidak mungkin terjadi (Kant dalam Poedjawijatna, 1978).
Hal itu memberi sepetak penerangan bahwa penyair akan selalu dihadapkan pelbagai tindakan menyeluruh. Sebagai dirinya, dari, oleh dan untuk dirinya sendiri pula. Penyair mengakui keberadaan puisinya, puisi ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai pribadinya, dan akan meneruskan hidupnya sendiri yang pendek atau berkepanjangan. Maka ia akan merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu yang mampu menaruh persoalan dan memecahkannya—menanam penyakit dalam dirinya sekaligus akan mengobatinya.
Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa menjadi persoalan yang pelik bagi sesamanya. Misal hal tersebut kurang disepakati oleh orang lain yang paling terdekat secara biologis maupun psikis, antara ia dengan orangtua, saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/ istri). Dikarenakan ia ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk penemuan dan perenungan tertentu dalam masa depan harkat dan martabatnya sebagai penyair seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus menentukan pilihan yang tersembunyi atas dasar perilaku yang sering dianggap menyimpang dan kurang disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai jalan yang wajib ditempuh penyair.

Konservasi Puisi dalam Jagad Penyair
Kita sering menguping bahwa individu tak dapat terbelah lagi. Ia hadir atas kehendak diri sendiri sebagai manusia perseorangan. Lahir untuk menemukan kontrol sebagai “aku” (penyair) untuk bersaing dengan sesamanya. Pun puisi yang dilepas oleh penyair dan telah dibekali nasibnya masing-masing. Entah akan diam saja atau berusaha untuk mengubah agar lebih baik.
Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas. Yakni sebagai manusia perseorangan. Sebagai diri sendiri untuk melakukan kesehariannya masing-masing agar menemukan kesejatian dirinya masing-masing pula (Lysen, 1967).
Dapat kita lihat penyair di sekitar penyair lainnya. Mereka berdiri sendiri dalam pelbagai hal yang sama. Namun sesungguhnya berbeda. Penyair dibilang sejenis, tapi tidak sama. Karena para penyair berupaya untuk membeda-bedakan diri. Masing-masing ingin menunjukkan capaian estetika kepada penyair lain agar mendapat pengakuan sebagai hadiah atas kerja cerdas yang dilakukannya. Sehingga penyair lain akan merasa bahwa ia mampu memperoleh yang diinginkan. Maka otomatis penyair yang lain itu akan mempelajari pemenuhan capaian tersebut.
Para penyair pada puncaknya masing-masing dapat dilihat dari rumahnya (kelompok/ komunitas) jika mereka telah mencapai tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan rumah lain. Sedangkan penyair yang primitif adalah penyair yang masih sedikit diferensiasinya. Maka para penyair/ rumah yang lebih maju tersebut menunjukkan corak dari sifat-sifat dan tabiat yang semakin berkasta dalam jagad estetika. Mereka akan lebih tangguh, dapat melakukan beraneka rupa pekerjaan dapur estetika yang dijalankan dalam perkembangan arus perpuisian modern.
Lalu bagaimanakah diferensiasi itu terjadi? Penyair yang “primitif” tidak dapat berkembang dalam berdikari semata. Ia tidak mungkin mampu mencapai peradaban estetika yang lebih baik jika hanya mengandalkan pembawaan alam sahaja yang telah dimiliki sejak lahir. Karena tanpa pengaruh faktor-faktor tertentu dari luar tubuh penyair, perkembangan tidak akan begitu saja terguyur dari langit. Maka, mari bersilaturahmi.***

RumahDiksi, Agustus 2012

Mati Suri─Sastrawan (Kampus)

Oleh Setia Naka Andrian

Siapa yang bertanggung jawab atas keberadaan bibit-bibit (sastrawan) yang mondar-mandir pada lingkungan kampus? Para dosen? Atau keberadaan mahasiswa itu sendiri atas berbagai penunjang kreativitasnya?
Semua benar, berbagai pihak bertanggung jawab atas masalah ini. Dirinya sendiri otomatis, pasti paling bertanggung jawab atas survive-nya. Lalu dosen juga punya pengaruh besar, keterlibatannya pun cukup memiliki singgasana. Ia berfungsi sebagai pengarah dan pengaruh. Memang dalam proses kreatif sesungguhnya tak perlu seorang guru/ dosen pun pasti bisa jadi. Namun, kali ini dan dalam tulisan ini menyatakan bahwa guru/ dosen berpengaruh dalam proses kreatif seseorang. Ia menuntun pada jalur aman. Ketika dalam persidangan kelas seorang guru/ dosen menindaklanjuti beberapa orang yang disinyalir memiliki sedikit amunisi untuk bergelut dalam sastra. Semisal saja diberikan sedikit kelonggaran waktu dan tempat semisal siswa/ mahasiswa tersebut dimungkinkan harus pernah/ sering bolos sekolah/ kuliah. Ini bukan semata-mata karena pembelaan bagi orang-orang yang memiliki sedikit atau bahkan banyak kegiatan di luar pelajaran/ kuliah. Namun ini adalah keadaan yang memang harus diadili.
Beberapa waktu lalu saya pernah menjumpai mahasiswa yang ternyata ia sering tidak masuk kuliah. Bila masuk pun ia sering terlambat masuk kelas. Setelah ditelusuri ternyata ia merupakan mahasiswa yang sering/ aktif mengikuti/ nebeng pada kegiatan/ aktivitas di luar kampus. Nah, karena terlalu serinya membolos, berangkat dengan tidak berangkat lebih banyak tidak berangkatnya, bahkan ia sempat tidak mengikuti ujian tengah semester, juga sempat tidak mengikuti ujian akhir semester. Lalu bagaimana bila Anda sebagai guru/ dosennya? Apa yang akan dijatuhkan terhadap mahasiswa nggondhes tersebut? Dikondom saja otaknya ya? Biar nggak keluyuran kemana-mana imajinasi dan kreativitasnya? Hahaha
Dalam hal ini, diharapkan guru/ dosen mau mempertimbangkan dengan begitu matang. Jangan langsung memvonis begitu saja sehingga mahasiswa tersebut tak mampu berbuat apa-apa ketika kehilangan nilai, bahkan dipersulit untuk mendapatkan nilai. Maka tolong lah, diberi kesempatan mahasiswa tersebut untuk sedikit berbicara pada ujian susulan dengan peran yang sama seperti halnya ujian yanmg dilakukan oleh mahasiswa lainnya. Karena saya yakin hal yang dilakukannya di luar kampus belum tentu dan bahkan tidak dapat dilakukan oleh semua mahasiswa pada umumnya. Memang semua benar, bila yang di kampus selalu datang masuk kuliah dan mengikuti ujian pasti dimungkinkan mendapat nilai bagus. Namun apakah mahasiswa itu juga mampu melakukan hal yang digeluti oleh mahasiswa aktif di luar tadi? Semisal undangan-undangan yang terkait tentang sastra, antologi bersama, festival sastra mahasiswa, baik lokal maupun nasional?
Guru/ dosen juga berpengaruh terhadap iklim sastra di kampus. Semisal ketika dapat menghasilkan para peneliti sastra yang benar-benar matang dengan teori dan lincah menelisik karya. Ia mampu menggiring mahasiswanya yang tidak hanya mencari nilai. Dengan bertanya mendapat nilai (pikir mahasiswa pada umumnya), padahal pertanyaannya terkadang sangat ngawur, asal tanya, pertanyaan yang sudah ditanyakan teman lainnya dan sudah dijawab diulang ditanyakan lagi, pertanyaan yang sudah tak perlu ditanyakan tapi ditanyakan lagi. Uh, kacau-kacau. Haha
Peran dosen/ kampus terhadap iklim sastra juga sebenarnya sangat memiliki singgasana. Semisal, tiap tahunnya berapa kampus melahirkan karya lewat skripsi-skripsinya. Namun, berapa skripsi-skripsinya yang benar-benar berpengaruh dari penulisnya? Skripsi yang benar-benar dari hati ataukah skripsi demi toga? Hehe
Nah, bisa dibilang, mahasiswa yang sering tidak masuk kelas karena sering mengikuti aktivitas di luar tadi, termasuk sebagai mahasiswa yang mati suri. Ia terkesan mati dalam urusan kelas, namun sesungguhnya ia menggelegar hidup di luar sana. Banyak yang dilakukan di luar sana. Tetap sekolah/ kuliah dan juga tetap keluar. Maka ia adalah insan yang patut dibilang ampuh, ketika ia dapat melakukan lebih terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang lain. Maka semoga saja kelak orang-orang tersebut akan mendapatkan sesuatu yang lebih juga dari yang telah didapatkan oleh orang lain, amin.
Seperti halnya seniman yang sering digemborkan telah mati dan jarang beraktivitas. Namun pada kenyataannya ia tetap menjalani proses kreatif, misalnya saja ketika seorang seniman masih tetap berproses kesenian dengan siswa-siswa SD, SMP atau SMA─sebagai guru pengajar tentunya. Namun ia masih tetap menghidupi seni, ia tetap berproses, walaupun terkadang terkesal mati─mati suri. Maka marilah tetap berproses. Jangan lelah terhadap satu hal. Karena masih banyak yang harus dan dapat kita lakukan. Satu tak dapat, cari yang lain. Yang lain belum dapat, maka teruslah berjuang untuk mendapatkan yang lain lagi. Selamat. ***

Tradisi Instan

Oleh Setia Naka Andrian

Mbah Thomas Alpha Edison mengalami banyak kegagalan sebelum hingga akhirnya mampu menyumbangkan bola lampu untuk ‘dunia’. Bagi Mbah Thomas, dalam setiap kegagalan-kegagalan itu beliau dapat mengetahui bagaimana penyebabnya. Melebarkan pikiran dan membuka diri terhadap masukan atau segala hal yang hadir di dalamnya. Karena tidak mungkin penemuan agung Mbah Thomas itu diperoleh secara santai dan atau hanya dengan udud-udud serta ngopi tanpa melalui pemahaman serta penyelidikan yang surga. Intinya setiap kali Mbah Thomas mengalami kegagalan, maka otomatis beliau tidak akan pernah mengulangi kegagalan tersebut, bukan?
Begitulah proses. Ciptaan apa pun akan terdengar benar-benar agung ketika melewati proses yang mendalam. Bukan semata hasil akhir. Karena setidaknya banyak orang menilai pada satu persen keberhasilan/ kesuksesan, tanpa melirik pada sembilan puluh sembilan persen kegagalan/ kesengsaraan sebelumnya.
Memang dewasa ini kemajuan teknologi telah meremas-remas pemikiran. Segala hal telah disuguhkan secara instan. Sajian telah tercipta manis dalam kemasan yang beraneka warna dan berjuta rupa. Bermacam wujud dan bentuknya. Ada kemasan berbentuk kaleng sekali pakai langsung lempar, ada kemasan plastik sekali pakai langsung bakar, dan ada juga kemasan elastis sekali pasang satu klimaks langsung buangkita telah dihadapkan pada jaman kemasan. Dari segala yang berwujud dan akan bergegas hilang hanya lewat satu kepulan (baca: asap). Misalnya budaya pesan skripsi yang telah mengakar pada kalangan mahasiswa. Banyak terpampang pada pohon-pohon di jalanan, “Skipsi, hubungi nomor xxx xxxxxx.” Apakah kehidupan semudah itu? Kalau seperti ini, apa arti proses penemuan semacam kepunyaan Mbah Thomas?
Semua telah tergantung dan beralih fungsi. Dari generasi kutu buku menjadi generasi nggoogle yang sekali klik langsung beribu informasi. Dari generasi surat pos disulap menjadi generasi update status facebook. Pendek kata, kali ini jarang ditemukan perenungan mendalam untuk segala bentuk penemuan. Semua ingin lansung, singkat dan cepat (baca: instan).
Rasanya kita menjadi malas untuk berprosa. Tak lagi ada narasi yang tepat untuk mengungkap perihal dalam sebuah penemuan. Jarang kita temukan salam pembuka, isi dan penutup. Tinggal ketik sms, ketemuan, langsung deh masuk kamar. Instan bukan?
Jadi tak perlu repot-repot untuk memulai dengan berpuisi. Apa lagi berprosa/ mencipta cerpen untuk melumpuhkan pacar. Tak lagi ada perjalanan yang ranum. Jarang kita jumpai pertemuan kedua belah keluarga, apalagi ritual ‘melamar’. Yang ada: ketemuan, lansung kunci pintu, matikan lampu, dan tiga bulan kemudian telat deh.
Maka jangan heran bila tak lagi ada perjalanan diksi dalam proses penemuan keutuhan ungkap. Bahkan tak ada, kali ini tradisi berprosa hampir terpasung mati dan mendinosaurus. Semua ingin segala sesuatu menjadi cepat-cepat dan singkat.
Tak perlu heran juga bila akan banyak kita jumpai orang tergeletak mati mendadak karena stroke. Mau bagaimana lagi? Penemuan ‘sukses saja diperoleh dengan cara instan, jadi jangan kaget dong bila jatuh dengan jalan instan pula. Haha.
                                   
Katakan ‘Tidak’ untuk:
[Cara Mudah Menembak Pacar; Cara Gampang Menjadi Ganteng; Cara Goblok Menggondol Duit, dll.]

Kali ini saya memberanikan diri untuk berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang tersebut di atas. Karena tidak sedikit yang menanggapi secara mentah perihal itu. Saya berprasangka buruk segala itu akan mempengaruhi mindset seseorang dalam menanggapi sesuatu. Bahwa segala sesuatu akan diperoleh dengan mudah, gampang, entheng, dsb.
Hemat saya, seperti halnya penanaman yang salah ketika seorang ibu berkata kepada anaknya yang jatuh karena tersangkut sesuatu, benda/ barang. Ibu tersebut berkata dengan lantang, “Sayang, kenapa jatuh? Aduh, lantainya nakal ya? Injak dan pukul saja, Sayang!” Bahkan ada yang lebih parah, “Kodoknya nakal ya, Sayang? Ayo injak saja kodoknya, Sayang!”
Ibunya berkata seperti itu dan mencontohkan menginjak serta memukul lantai. Hingga lantai/ tanah disebut kodok atau hewan lainnya. Lalu anaknya pun mengikuti, menginjak dan memukul seperti yang dicontohkan serta diperintahkan oleh ibunya.
Hal tersebut secara tidak langsung menjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal dalam penanaman pola pikir. Seorang ibu tersebut menyuguhkan cara berpikir yang salah ketika menanggapi sesuatu/ masalah. (baca: kekerasan). Setiap kali ada sesuatu/ masalah, yang dilakukan kali pertama adalah membalasnya. Kenapa tidak dengan cara baik-baik? Misalnya dengan memberi pengertian kepada anaknya, bahwa anaknya terjatuh karena lantai yang licin akibat susu dalam botol yang tertumpah, dsb. Lalu ibu menasehati kepada anak agar berhati-hati bila hendak meminum susu atau meletakkan botol susu, dsb.
Kembali pada masalah awal─setidaknya ada banyak pengaruh negatif terhadap seseorang yang menelan mentah judul buku dan atau kiat-kiat khusus untuk mendapatkan/ mempelajari suatu ilmu tertentu. Pikirnya segala sesuatu akan mudah digapai. Segala ilmu akan mudah dipelajari, segala karya dapat dengan mudah diciptakan, dsb. Karena semua butuh proses, pengendapan, perenungan/ kontemplasi. Memerlukan koreksi diri, penyuntingan/ editing. Semua ada tahapan-tahapannya. Tidak hanya langsung teriak saja dengan lantang dan pede: “Jendela untuk mengintip!”
Contoh lainnya─banyak penulis-penulis besar yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun memakan berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk mengeditnya. Hal ini menjadi contoh yang sangat sederhana, bahwa segala sesuatu sangat dibutuhkan proses. “Tak ada yang yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma.” (pinjam: Syair Dhani Ahmad). Setiap kita melangkah harus melewati tangga/ tahapan-tahapan tertentu. Bukan semudah kentut yang dapat kita letupkan dengan leluasa tanpa beban dosa.
Kemudian menilik Afrizal Malna─yang baru-baru ini tengah meluncurkan sebuah buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata. Dalam buku tersebut penyair yang banyak memberi perhatian pada fenomena tubuh dan bahasa dalam kesenian─terutama teater, tari, sastra, dan kemudian juga seni rupa. Seseorang yang telah melecit dengan karya-karya handalnya yang sudah terbit meliputi puisi, prosa, teater, sastra dan seni rupa─pembaca akan digiring dalam pengungkapan buku tersebut dengan cara yang sangat sederhana. Lihat saja judul buku tersebut. Ia tidak menggunakan kata ‘membedah’ atau ‘mengupas’ dalam pemilihan judul buku, melainkan ‘perjalanan’. Begitu pula isi buku tersebut yang disajikan dengan bahasa yang sederhana. Lepas dari kesederhanaan tersebut, Michael H. Bodden (University of Victoria, British Columbia, Canada), mengatakan─buku ini penting. Saya menarik kesimpulan bahwa Afrizal termasuk pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai. Dengan matanya yang tajam─separuh mata seniman, separuh mata sosiolog─dia bisa melihat banyak hal yang gampang luput dari dari pemandangan orang lain. Bagi Afrizal, teater tidak bisa berdiri sendiri: para pemain sudah memiliki pengalaman pribadi di luar maupun di dalam ruang pentas. Tubuhnya pun sudah dibentuk lewat pengalaman sosial dan sulit sekali menyembunyikan pola-pola gerak badan yang sudah lama terdidik.
Kemudian, Marianne Koeing (University of Bern, Switzerland), menambahkan─membaca buku Afrizal ini saya bahkan merasa tidak hanya menghadapi suatu antologi saja, melainkan sebuah kamus ensiklopedi di mana kita bisa mencari dan mendapatkan sekian banyak informasi yang berguna. Namun, informasi di sini bukan informasi biasa saja yang bersifat menjelaskan mengenai kenyataan teater kontemporer Indonesia, melainkan informasi mengenai bagaimana─di bawah tema apa─kita bisa memandang dan memahami teater. Di sini “teater kedua” dari Afrizal masuk, yaitu  teater nyata, yang disaksikannya, seperti yang terjadi dalam renungannya.
Begitulah, sesuatu/ karya yang dilahirkan pun barang tentu harus diawali dengan kesederhanaan. Bukan dengan letupan yang menggelegar namun terkesan kering substansi. Tanpa didasari research dan atau membaca serta mencatat keadaan sekitar. Karena apakah kita akan tahu bagaimana sesuatu itu bagus ketika kita tidak melihat sesuatu yang bagus dan nyata telah dibuktikan dan diamini kebaikan serta substansinya oleh orang lain karena kita hanya melihat sesuatu yang bagus dari anggapan diri sendiri untuk karya kita sendiri dan atau suatu karya yang bagus hanya dilihat dengan kaca mata kita sendiri? Hemat saya, berhenti pada satu titik tanpa melihat dan atau memahami titik-titik yang lain adalah onani.

Onani─dalam ranah kreatif

Karya merupakan suatu ciptaan/ kreasi yang terlahirkan untuk orang lain dan atau tidak. Namun pada dasarnya karya pasti akan dinikmati oleh ‘pihak kedua’. Misalnya pada ‘teater kedua’ Afrizal Malna menyebutkan, bahwa ranah tersebut adalah pertunjukan yang mutlak milik penonton yang tak lepas dengan kaca mata serta perenungannya masing-masing─setelah ‘teater pertama’ dibocorkan oleh kreator dalam pertunjukannya. Sama halnya ketika seseorang menulis/ menciptakan karyanya─benar, ia disebut kreator, saat itu. Lalu setelah itu kreator memiliki tanggung jawab besar terhadap ciptaannya. Maka tiba pada fase ‘kedua’ yang wajib dikitabkan bahwa penulis/ pencipta karya akan otomatis menjadi pembaca yang harus melepaskan sifat dan sikap ‘penulis’-nya menjadi penyunting/ editor, dan atau setidaknya sebagai pembaca─berkewajiban untuk menentukan bagus/ tidaknya, layak/ tidaknya, bersubstansi/ tidaknya, dsb.
Sehingga memang sangat benar dengan yang saya sebutkan di atas─banyak penulis-penulis besar yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun memakan berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk mengeditnya. Seperti halnya para musisi ketika mengemas lagu ciptaannya─butuh waktu sedikit untuk membungkus/ merekam/ nge-track lagu. Namun setelah itu memakan waktu lama untuk editing, mixing, dan mastering.
Onani─sebuah kenikmatan, kepuasan dan kecemasan yang hanya dirasakan oleh diri sendiri. Tanpa melibatkan pihak lain. Mau jika disebut ‘penulis’ yang onani, ‘seniman’ yang onani, atau bahkan ‘kreativitas’ yang onani?
Jika tidak mau, mari kita membuka diri. Bahwa kita tidak ‘berdikari’ (baca: berdiri di atas kaki sendiri). Kita masih butuh orang lain. Kita masih butuh referensi lain, buku-buku lain, komunitas-komunitas lain, namun jangan untuk ‘pacar-pacar/ wanita-wanita lain’. Haha.
Namun jika bangga menyandang ‘onani’─sobek-sobek tulisan ini, bakar dan lupakan. Karena ini semua bukan apa-apa. Perubahan terjadi atas bagaimana niatan kita dalam mengambil keputusan. Mari tradisikan proses! Semoga.

Palebooné, 100711, 06.31 pm.

Seragam dan Tawuran Pelajar

Oleh Setia Naka Andrian

Seragam dan tawuran adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari ingatan para pelajar di negeri ini. Pelajar yang pada umumnya anak muda, masih butuh kenakalan dan bertindak hal-hal yang tidak wajar. Mereka tumbuh dari tubuh yang panas dan ingatan yang cerdas. Ingin selalu melompat-lompat dari penindasan-penindasan yang sering muncul dari lingkungan, bahkan dari tubuhnya sendiri. Barangkali kita tak sanggup membayangkan betapa liarnya mereka. Namun itulah pelajar, butuh tempat yang teduh untuk lari dari keterasingan-keterasingan dan kejenuhan yang timbul dari sekolah/ lingkungan belajarnya.
Sebenarnya mereka sangat sadar dengan apa yang dilakukan. Bahkan mereka juga dapat berhenti sendiri untuk meninggalkan kenakalan dan tawurannya. Karena barangkali sama halnya saat mereka melepas seragam sekolahnya ketika sampai di rumah. Benar-benar lepas. Karena setidaknya seragam mereka telah menjadi sejarah sebelum sampai di rumah. Seragam telah dikenakan untuk keliling kemana-mana sebelum mencium pintu kamarnya. Hingga akhirnya lelah dan mengadu pada kasur, bantal, berteriak di facebook dan barangkali juga berkicau di twitter.
Bayangkan saja, begitu dahsyatnya seragam sekolah menginap pada ingatan para pelajar. Karena seragam, mereka dapat leluasa berlari-lari di pinggir-pinggir jalan. Mereka juga lebih asyik nongkrong di alun-alun kota, berfoto-foto, atau sambil menggoda lawan jenis yang lewat. Karena seragam, mereka berani saling menghina antarsekolah gara-gara ikat pinggang dan sepatu dari sekolah lainnya tergadaikan hanya karena buku suplemen mata pelajaran dan uang saku yang tak wajar.
Yah, begitulah. Seragam dan tawuran telah menjadi dua sisi uang logam yang bersebelahan. Lalu kita dapat memilih perbandingannya, masa lalu kita dulu ketika berabu-abu putih dengan masa anak kita kali ini. Namun seyogyanya kita tak perlu sakit hati. Karena bagaimanapun kita kini menyaksikan mereka semakin manja karena seragam. Air mata tak lagi mampu berlinang gara-gara nilai ujian yang belum keluar. Juga mengenai sayembara-sayembara kreativitas yang sering terabaikan. Namun bagaimanapun tangis mereka adalah proposal permintaan tas dan ikat pinggang yang baru. Atau bahkan membanting-banting tubuhnya sendiri ketika hendak minta motor baru hingga mobil mewah. Dan, itu bukan kelaparan mereka. Hanya saja kekeliruan yang terjadi pada tubuh mereka sendiri. Atau bahkan sistem dan keraguan yang sering muncul dari rumah-rumah yang sering mereka anggap sebagai sekolah, dan sekolah yang barangkali selalu mereka anggap sebagai rumah. Atau bahkan lebih parah lagi, sebagai tempat nongkrong dan berpesta yang paling berlabel tralala. Lalu selanjutnya bagaimana, atau barangkali tak perlu lagi berseragam?***

BilikLipat, November 2012

Lawak Teater Guru Kepala Burung: Distorsi Ingatan Papua

Oleh Setia Naka Andrian

Naik kereta babi, ngok...ngok...ngok...
Siapa hendak turun...
Ke Bandung...ke Papua...babinya kok turun semua...
Ayolah kawanku cepat naik...babiku tak berhenti lama...
(Syair yang dinyayikan dalam pementasan bertajuk “Kado Kebudayaan Akhir Tahun” oleh Teater Gema IKIP PGRI Semarang, dengan mengusung pertunjukan Latar (Lawak Teater) dengan lakon “Guru Kepala Burung” karya dan sutradara Danang Septa Friawan. Kamis, 29 Desember 2011, di Gedung Pusat Lantai 7 IKIP PGRI Semarang).

Tradisi—ciptaan leluhur yang selalu memutar ingatan generasi selanjutnya. Semacam tradisi ospek, memihak pada individu tertentu dan melebar kepada individu lain sebagai wujud budaya yang traktat/ kesepakatan. Sehingga kita akan selalu mengenang tradisi sebagai sejarah yang memutar. Muncul dengan judul barang mahal yang mudah untuk kita beli.
Tradisi yang diusung oleh Danang Septa Friawan mengajak penonton untuk memutar distorsi/ penyimpangan ingatannya masing-masing tentang Papua. Kali ini sutradara berusaha membibirkan potongan-potongan tradisi yang muncul dari beragam ingatan penonton. Lalu mengubah pola realitas sosial dari berbagai potongan tradisi yang sudah terlanjur menjadi putaran gelimang sejarah, dan memporak-porandakan kepada penonton sebagai hal yang segar dari persoalan-persoalan sosial yang menjenuhkan. Segar, bukan hanya karena lawak/ banyolannya saja. Melainkan sederet kecemasan ingatan penonton tentang realitas sosial yang dijungkir-balikkan secara berhamburan dan berusaha menolak batin mereka untuk mengingat-ingat lebih tinggi.

Kereta Api Menjadi Kereta Babi
Awal pertunjukan yang riang dimunculkan melalui kehadiran tokoh anak-anak SD yang bernyanyi bersama. Mereka menggerakkan tubuh untuk berderet, berjalan dan memutar semacam kereta api yang bergandengan. Dengan sangat riang mereka menggemborkan lagu “naik kereta api” menjadi “naik kereta babi”. Alasan mereka dalam dialog, “karena di Papua tidak ada kereta api, adanya babi”. Maka mereka sepakat untuk mengganti kereta api menjadi kereta babi. Mereka terus berjalan dengan hentakan semangat, memutar mengelilingi pohon dan benda-benda yang berantakan di sekeliling sekolah dengan seragam yang bersih dan kompak—bendera Indonesia.
Kemunculan adegan tersebut secara tidak sengaja mengajak penonton untuk memihak batinnya masing-masing, bahwa itu tidak benar. Sehingga penonton semakin curiga untuk memproklamasikan mata dan batinnya agar semakin serius menyaksikan distorsi dialog, syair lagu dan tubuh mereka atas suguhan kebohongan-kebohongan yang sesungguhnya sudah diketahui dan disadari. Kebohongan pertama mencuat saat gebrakan awal pertunjukan, penonton beranggapan dan sangat tidak yakin jika semua siswa SD di tanah Papua berwajah bersih, kulit putih mulus, tampan dan cantik-cantik serta mengenakan seragam yang rapi dan bersih. Itu bukti bahwa sutradara yang sekaligus penulis naskah telah memporak-porandakan sebagian ingatan penonton untuk sedikit mengucurkan airmata ketika melihat kebohongan yang muncul. Karena penonton yakin di Papua sana tidak seperti yang dilihatnya di panggung, namun jauh sangat mengerikan. Ditambah lagi sentuhan lagu “Darah Juang” yang sempat dipopulerkan oleh aliansi LMDI (Liga Mahasiswa Demokrasi Indonesia) yang digunakan saat demo menggulingkan Soeharto. Dan kali ini lagu tersebut telah mengarak hati penonton untuk semakin mencumbui cerita. Berikut penggalan syairnya, “Mereka dirampas haknya. Tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami. Untukmu kami berbakti.”

Realitas Sosial dan Pendidikan yang Pelik
Selanjutnya beranjak pada proses pendidikan pelik yang dialami oleh anak-anak SD itu, mereka mengupas antara urusan perut dan otak yang berujung kelaparan dan tradisi malas belajar. Karena banyak orang bilang kedua hal semacam itu saling berkawin, logika tanpa logistik maka tidak jalan. Namun dalam pertunjukan ini, distorsi kembali diputar. Anggapan orang tentang logika tanpa logistik maka tidak jalan, runtuh seketika. Karena anak-anak SD itu sanggup menentukan budaya kritis melalui hal-hal kecil yang dihamburkan, ada beberapa keemasan yang tersembunyi. Hal itu ditunjukkan ketika mereka masih tetap riang dan bergembira dalam kelaparan, namun masih mampu dengan kritis mengubah lagu “naik kereta api” menjadi “naik kereta babi” atas dasar fenomena yang mereka tangkap bila di Papua tidak ada kereta. Entah itu mengalir atas ketidaksengajaan dari sutradara, atau ada upaya lain yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Namun hal itu menuntun penonton untuk mengemas kecemasan tertentu agar kembali memutar ingatan mereka. Secara tidak sengaja pula, penonton digiring untuk kembali mengingat persoalan-persoalan pelik di Papua. Entah tentang keemasan/ gemilang tradisi kritis yang terungkap dari anak-anak SD itu mengenai dampak negatif desentralisasi terkait pada banyaknya sumber alam yang hilang, mungkin tentang keadilan yang terpasung mati atau terpaksa bunuh diri, hingga nyawa-nyawa yang terbang begitu saja tanpa ada tindak lanjut yang tegas dari pihak pemegang kewenangan/ pemerintah setempat.
Namun begitulah yang patut disebut tradisi sebagai sejarah yang terus bergulir. Hingga sosok guru tidak mampu berbuat apa-apa. Seseorang yang seharusnya menjadi leader di bangku sekolah, kali ini hadir sebagai pecundang yang memilih kalah sebelum bertanding. Guru diam saja melihat kenakalan dan tingkah liar anak didiknya, contoh kecil ketika mengubah syair lagu “naik kereta api” menjadi “naik kereta babi”. Juga ketika anak-anak itu berbuat kekonyolan-kekonyolan yang tidak sesuai dilakukan di sekolah, guru tetap tidak mampu berkutik. Distorsi kembali bergulir dan semakin semena-mena. Namun kalau yang seperti ini, menjungkir-balikkan fakta atau memang terangkat dari realita?
Yang pasti tidak perlu dijawab. Biarkan menjadi perjalanan teater kedua, pinjam istilah Afrizal Malna. Bahwa kali ini penonton memiliki otoritas, berhak memilih jawaban tertentu dari hasil pengamatan serta pengalaman batinnya masing-masing setelah menyaksikan teater pertama yang disuguhkan di panggung pertunjukan itu. Dan tentunya penonton digiring untuk menemukan kritik tajam mengenai akibat desentralisasi pendidikan yang kurang tepat untuk daerah-daerah tertinggal/ pedalaman.

Banyolan yang Khas Ala Suku Pedalaman
Potret kehidupan suku pedalaman digarap cukup serius. Sehingga sangat berpotensi menggiring penonton untuk menyibak banyolan-banyolan yang segar dan mengocok perut. Sekelompok suku pedalaman yang membawa tombak, menari, bernyanyi ala Papua dan berlarian beramai-ramai dengan menunjukkan tradisi berkehidupan yang memikat itu telah berhasil menyihir penonton. Melalui kekonyolan-kekonyolan yang sengaja dihamburkan sebagai peredam empati mereka, selelah berulang kali dihujani realitas sosial yang memedihkan mata dan hati. Namun tidak semata kekonyolan saja yang dibeberkan dalam adegan ini. Ada suguhan yang cukup menarik dan menggelitik, ketika seorang kepala suku pedalaman yang masih percaya untuk menyekolahkan anaknya. Sungguh bertolak dari kerasnya pola pikir dan ideologi yang tertanam secara turun-temurun dari leluhurnya. Sang kepala suku masih mengimani untuk menitipkan anaknya di bangku SD. Walaupun dari adegan ini masih tetap saja mengocok perut penonton, garapan yang erat dengan khas banyolan atas dasar latar belakang ala suku pedalaman. Ditunjukkan ketika anak dari kepala suku pedalaman hendak berangkat sekolah dikawal oleh dua orang warga suku yang gemuk, berkulit hitam dan betampang lucu. Dengan tingkah laku yang lucu dan gila-gilaan pula.
Dan akhirnya, pertunjukan dipungkasi dengan kehancuran yang begitu saja. Penonton dibuat kaget, karena tiba-tiba terbaca ending-nya. Namun tetap saja penonton masih diguyur kondisi di atas panggung yang semakin berkecamuk. Ketika kehadiran tokoh yang dimaksudkan sebagai kaum kapitalis yang mampu membeli segalanya. Menyuap para pemegang kewenangan/ pemerintah setempat untuk menguasai tanah Papua dan menumpas masyarakat suku pedalaman. Termasuk guru yang dituduh sebagai pelopor Gerakan Separatis Papua Merdeka, lalu akhirnya guru itu dibunuh juga. Anak-anak SD—simbol generasi pewaris tradisi keadilan yang terpasung, dihadirkan kembali dalam babak yang paling pungkas. Mereka tak mampu berbuat apa-apa. Hanya mengeluh, berdoa dan menangis atas kematian seluruh warga suku pedalaman, orangtua serta guru mereka. Kemudian anak-anak SD itu kembali menyanyikan lagu “Darah Juang”, sambil membawa lilin yang menyala sebagai wujud penerangan yang redup. Simbol ilmu/ pendidikan yang pudar.
Guru Kepala Burung—penggambaran atas leader yang paling penting dalam pondasi berkehidupan melalui pendidikan. Hadir sebagai konstruksi yang gagal atas perkawinan tubuh manusia dan kepala burung. Manusia yang seharusnya utuh atas akal pikirannya, namun runtuh ketika berkepala burung. Dan jika manusia dimaksudkan sebagai burung yang berpotensi untuk terbang melangit, namun runtuh pula ketika burung yang bertubuh manusia dan tidak bersayap.
Begitulah tradisi tentang sejarah yang memutar ingatan kita terhadap Papua. Akhirnya memang menjadi sebuah percumbuan mata dan batin kita atas gelimang distorsi yang muncul dari berbagai dialog, syair lagu, hingga distorsi tubuh yang bermacam-macam. Penonton secara tidak sadar diculik diam-diam untuk sejenak menikmati kepedihan-kepedihan yang hingga saat ini selalu saja berakhir distorsi. Lalu kita semakin sulit mengingat, karena setiap hari lahir jutaan distorsi dalam tubuh kita—Indonesia.***

Pandean Lamper, 311211.