Selasa, 06 Juli 2010

Bulan Terlanjur Pecah: Estetika Fantasi Potongan Puzzle


Bulan Terlanjur Pecah:
Estetika Fantasi Potongan Puzzle
Setia Naka Andrian

Potongan-potongan puzzle tak pernah mempermasalahkan kepada sesamanya tentang diberi atau memberinya, tentang dibebani atau membebaninya, tentang mencari atau dicarinya. Tapi yang ada adalah pemahaman terhadap sesamanya. Maka bila kita saling memahami seperti halnya potongan-potongan puzzle tadi, tentunya tak akan ada yang lepas dari kenyataan perannya, seperti halnya bila tak kan ada puzzle yang lepas sebelum pemain puzzle itu sendiri yang melepas dan memporak-porandakannya. Maka pahami orang-orang disekitar kita, sebelum pemahaman itu sendiri yang akan mati selamanya dan tak kan pernah menemui kita.
Kenapa saya menyeret puzzle? Berdasarkan asumsi saya, dalam hal ini puzzle lumayan berkawin dengan cerpen Bulan Terlanjur Pecah karya Khoirul Maftuhah. Dalam hal ini, Bulan Terlanjur Pecah sebut saja BTP karya MTH, telah (sedikit) memperbincangkan tubuh yang pecah/ rontok/ ambrol, atau entah itu hanyalah perumpamaan yang bagi MTH untuk mempermanis atau mungkin ada hal lain yang mendasar tentang apa yang ingin diungkapkan.
Bagi saya pribadi, BTP cukup menarik. Awalnya saya merasa hampir stroke ketika membaca cerpen ini, ketika waktu itu MTH memberikan hard copy BTP kepadaku. Tapi tunggu dulu, itu mungkin saya lumayan terkecoh dengan kalimat awal dalam cerpen ini. Memang saya pribadi mengakui kalau cerpen ini memiliki daya pikat tersendiri pada bagian kalimat-kalimat awal pada paragraf pertama dan beberapa kalimat pada paragraf berikutnya. Dalam kutipan,
Lewat tengah hari, Bulan mencari dirinya. Mencari pecahan tubuhnya yang terlanjur pecah. Di teras rumah, di bawah kolong meja, bahkan di atas bantal dan sprei.

Saya benar-benar merasa terpukau setelah berekreasi pada awal kalimat/ paragraf pertama tersebut. Juga pada beberapa larik kalimat berikutnya yang membuat stroke saya semakin akut dan semakin menjadi-jadi, berikut kutipannya,
Hujan menitik deras, memayungi desa yang terletak di kaki gunung kidul itu. Bulan masih sibuk mencari pecahan dari tubuhnya. Siang ini, jari-jemarinya pecah dan jatuh di bawah kolong meja. Setelah jari-jarinya ketemu dan berhasil di pasang olehnya. Giliran rambut-rambutnya membeku dan mulai pecah satu persatu. Dan berserakan di lantai. Ia segera meraih handuk dan melilitkan ke kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Jika kepalanya sudah mulai hangat maka Ia akan memasang kembali rambut-rambut hitam panjangnya helai demi helai. Hingga utuh seperti semula. Begitulah selalu kehidupan Bulan jika musim penghujan tiba.

Lalu mari kita telusuri lebih dalam BTP karya MTH ini. Potongan tubuh yang pecah, bagi saya secantik potongan-potongan puzzle tadi. Hanya saja, dalam pecahan tubuh BTP, secara keseluruhan (asumsi saya) MTH kurang memperhitungkan bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan ketika memporak-porandakan pecahan-pecahan tubuh tokoh Bulan dan merangkaikannya kembali pada bentuk/ wujud Bulan yang utuh dan cantik seperti yang diungkap MTH. Dalam hal ini MTH belum menampakkan sesuatu yang detail, mungkin karena malu-malu, atau mungkin karena bingung berperang pada pecahan-pecahan tubuh yang saya anggap kurang diperhitungkan tadi.
Yang pertama, mari kita telusuri estetika dari BTP. Persepsi/ tanggapan saya tentang estetika/ keindahan dalam teks sastra merupakan sesuatu yang bermanfaat atau berguna, sesuatu yang baik, sifat yang baik, dan segala hal yang baik serta segala hal yang memiliki keutamaan jika dibandingkan pada sesuatu hal lain diantaranya. Misalnya saja, pada sebuah pesta ada sejumlah orang yang datang bergelintingan dari segala bentuk dan rupa juga beberapa nasib yang berbeda-beda pula, berkumpul menjadi satu. Seketika ada salah satu diantara tamu undangan yang sedang menikmati anggur merah dan membanting gelas minumannya di tengah-tengah pesta. Pasti hal ini merupakan hal yang utama dan sedikit menonjol dari sekelilingnya. Walaupun semua orang yang ada dalam pesta tersebut sama-sama meminum anggur merah dan lumayan mabok.
Dalam hal ini estetika dapat diartikan juga sebagi sesuatu yang bermanfaat atau berguna. Sesuatu yang memiliki keutamaan dan sesuatu yang bersifat baik. Keutamaannya adalah ketika penulis menuangkan segala hal yang akan diungkapnya benar-benar memilih rangkaian kata yang benar-benar utama dan dengan mengurangi atau tanpa adanya kata-kata yang tidak terlalu penting kehadirannya. Seperti halnya MTH menyuguhkan:
Giliran rambut-rambutnya membeku dan mulai pecah satu persatu. Dan berserakan di lantai. Ia segera meraih handuk dan melilitkan ke kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Jika kepalanya sudah mulai hangat maka Ia akan memasang kembali rambut-rambut hitam panjangnya helai demi helai.

Cukup begitu jelas pemilihan kata-katanya, MTH telah melewati pengurangan kata-kata yang dirasa kurang perlu kehadirannya. MTH memenggalnya hingga terasa terbentuk ungkapan yang begitu cerdas dan menyegarkan.
Lalu mari kita telusuri penciptaan fantasi dalam BTP karya MTH. Dalam hal ini, terciptanya fantasi sepenuhnya merupakan dorongan kuat jiwa bawah sadar pengarang. Pemunculannya terbentur pada prinsip-prinsip realitas yang dikehendaki oleh ego yang bersifat represif/ menekan, tentang pengungkapan sesuatu hal yang belum tentu terpikirkan oleh orang lain, karena semua ini merupakan harga mati yang ada pada diri manusia. Tentunya hal tersebut seperti diada-ada kemunculannya. Seperti memaksa tapi tidak terlihat terpaksa. Seperti teryakini tidak ada tapi terlihat seolah-olah ada dan nyata. Dalam kutipan,
Seperti yang diperkirakan. Tubuhnya mulai tak bisa digerakkan. Tangannya mulai membeku, kepalanya beku, bibirya lebih beku. Kini, total ia tak dapat bergerak. Hanya matanya yang sedikit melirik kearah tamunya. Tangannya jatuh ke tanah dan pecah. Di susul hidung, bibir dan rambutnya. Jatuh ke tanah satu persatu dan pecah.

Fantasi dalam kutipan BTP diatas memang kedengarannya begitu cerdas dan segar, saya pun geleng-geleng dibuatnya. Namun setelah saya sedikit mengakar pada setiap perjalanan ungkapnya, ternyata ada sedikit yang terlupa atau mungkin itu disengaja oleh MTH. Tapi menurut saya, ini merupakan hal yang dapat dibilang cukup fatal, ketika pada paragraf berikutnya ada hal yang saya rasa kurang masuk akal, walaupun pada kenyataannya disebut fantasi adalah segala hal yang merupakan akal-akalan dari akal pikiran manusia dengan daya mimpi/ imajinasi yang menggebu. Tentunya juga harus memperhatikan hal yang masuk akal, dalam BTP yang menyatakan Bulan telah memunguti anggota tubuhnya satu per satu, dan memasangnya sesuai tempatnya semula, padahal tangannya pun ikut jatuh ke tanah dan pecah. Lalu dengan apa Bulan memunguti bgian tubuhnya yang pecah dan terjatuh ke tanah? Tapi juga tidak tahu kalau ternyata tidak dengan tangan, melainkan dengan menggunakan bagian tubuh yang lain ketika memunguti bagian-bagian tubuhnya yang pecah dan terjatuh ke tanah. Mungkin bisa juga meminjam tangan setan untuk memungutinya. Hehe. Dalam kutipan,
Hingga rintik hujan mulai reda, dingin perlahan hilang. Bulan memunguti anggota tubuhnya di lantai satu persatu. Ia memasangnya sesuai tempat semula.

Lalu mari kita telusuri lagi BTP karya MTH ini. Selanjutnya kita akan dipertemukan pada olahan kata-kata yang cukup tragis tapi kurang nyaris tragis. Kenapa saya bilang cukup tragis tapi kurang nyaris tragis? Bagi saya MTH kurang memperhitungkan segala hal yang akan diungkap. Walalaupun sebenarnya ungkapannya begitu cerdas dan segar. Hanya saja MTH kurang memberikan peran yang kuat terhadap hal-hal yang diungkapnya. MTH telah menghadirkan sesuatu hal tetapi kekuatannya seperti hanya tempelan-tempelan yang bagi saya kurang berkait kuat dalam alur penceritaannya. Misalnya saja pada kejadian yang cukup sering MTH ungkap, pada tubuh Bulan yang sewaktu-waktu pecah dan terjatuh ke tanah. Hal ini bagi saya kurang kuat, karena MTH saya nilai kurang jeli atau mungkin ada sedikit kelalaian ketika menempatkan semua itu. Tubuh Bulan yang pecah dan benar-benar terjatuh ke tanah tak tahu arahannya akan dibawa kemana, misalnya akan dinobatkan sebagai kejadian yang benar-benar terjadi atau sebagai perumpamaan yang mendasari sesuatu yang tersirat. Dikatakan sebagai perumpamaan saja tapi ternyata kejadian itu disajikan secara nyata, dan bila dikatakan itu hal yang nyata tetapi kenapa dibagian awal terlihat seperti perumpamaan. Juga ada penguat bila hal itu perumpamaan ketika di akhir-akhir cerita ternyata cukup terkait kuat bila hal itu merupakan perumpamaan ungkap dari MTH. Ketika hal tersebut merupakan kebekuan cinta Bulan ketika ditinggal kekasihnya, Purnama. Dalam kutipan yang bagi saya menunjukkan keberadaan dua hal yang cukup membingungkan, antara sebagai kejadian yang benar-benar terjadi atau sebagai perumpamaan yang mendasari sesuatu yang tersirat. Dikatakan sebagai perumpamaan saja tapi ternyata kejadian itu disajikan secara nyata, berikut kutipan yang saya anggap sebagai hal yang diungkap nyata/ benar-benar terjadi ketika tubuh Bulan pecah dan terjatuh ke tanah,
Bulan tinggal di daerah pegunungan yang memiliki suhu sangat rendah. Jika musim penghujan tiba, suhunya memang luar biasa dingin. Dan itu akan membuat tubuh Bulan membeku. Dan pecah satu persatu. Tentu saja bukan hal yang wajar. Kejadian itu tak pernah di ketahui oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Termasuk ayah Bulan yang tinggal serumah pun tak pernah tahu akan peristiwa yang ditimpa putri semata wayangnya itu.

Mas Dharmo yang melihat hal itu tak bisa berkata apapun. Mulutnya berbentuk oval yang makin terbuka lebar. Rokok yang masih mengepulkan asap di bibirnya jatuh ke tanah. Ia menampar pipinya berulang kali. Berharap bahwa yang di lihatnya hanya mimpi atau khayalan semata. Bulu kuduknya mulai merinding, Ia merasakan sakit atas tamparannya sendiri itu. Ia lari keluar rumah, dan jatuh tersungkur di pelataran. Mencoba berdiri, lantas berlari memasuki mobil yang dikemudikan sopirnya.

Dan berikut kutipan yang saya anggap sebagai perumpamaan ketika tubuh Bulan pecah dan terjatuh ke tanah,
Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Sembari meremas-remas jari jemarinya. Ingatannya melayang jauh empat tahun silam. Tepat ketika rembulan malam tengah mengapung di pusara langit, sebentuk sabit. Bintang-bintang berpendar seperti titik-titik garam di atas pasir hitam. Di sebuah malam yang telah menghilangkan Purnama, kekasih Bulan.

“Bulan, katakan padaku tentang sebuah cinta.” Kata Purnama.
“Kebekuan.”
“Kenapa?”
“Seperti yang kau ajarkan kepadaku dua hari yang lalu ketika hujan turun, bahwa kebekuan kita, ketika tersentuh cinta yang lain, itulah namanya cinta.”
“Lantas apakah kau akan membeku untukku?”
“Aku mencintaimu, tentu aku bersedia membeku untukmu.”
“Baik, berjanjilah bahwa ketika hujan turun maka kau akan membeku untukku.”
“Aku janji. Tapi kaulah yang akan membuatku jadi hangat. Sehingga ketika aku membeku, maka kau akan datang untuk menghangatkanku“
“Baiklah, aku janji.”
“Tapi Bulan, aku harus pergi sekarang. Kuharap kau baik-baik saja disini. Aku akan kembali bersama rintik hujan untuk menghangatkanmu.”

Dari kutipan diatas ada dua hal pengungkapan MTH yang bagi saya kurang berkawin, ketika MTH harus menyajikan kebekuan tubuh Bulan yang benar-benar nyata membeku dan kebekuan tubuh Bulan yang hanya membeku sebagai perumpamaan saja ketika cinta Bulan yang membeku. Hal yang kedua saya sebut perumpamaan kebekuan cinta Bulan karena telah diungkap MTH ketika perbincangan Bulan dan Purnama, kekasihnya. Ketika Bulan mau membekukan tubuhnya hanya karena cinta Bulan terhadap Purnama. Apakah dapat kita tangkap jika seseorang bilang aku akan membeku, maka dengan sekejap tubuhnya akan membeku? Memang tak ada hukum yang menyayatkan tentang hal-hal yang kurang dapat dianggap tak wajar tak boleh disajikan dalam sebuah cerita, tapi mari kita tilik lagi apa fantasi itu. Hal dapat dikatakan dikatakan fantasi apabila hal tersebut memang seperti hanya ada dalam mimpi saja, biasa dan akrab disebut day dreaming, dan terciptanya fantasi sepenuhnya merupakan dorongan kuat jiwa bawah sadar pengarang. Pemunculannya terbentur pada prinsip-prinsip realitas yang dikehendaki oleh ego yang bersifat represif/ menekan, tentang pengungkapan sesuatu hal yang belum tentu terpikirkan oleh orang lain, karena semua ini merupakan harga mati yang ada pada diri manusia. Tentunya hal tersebut seperti diada-ada kemunculannya. Seperti memaksa tapi tidak terlihat terpaksa. Seperti teryakini tidak ada tapi terlihat seolah-olah ada dan nyata. Pada kenyataannya disebut fantasi adalah segala hal yang merupakan akal-akalan dari akal pikiran manusia dengan daya mimpi/ imajinasi yang menggebu. Tentunya juga harus memperhatikan hal yang masuk akal dan tepat pada hal kesesuaiannya. Seperti halnya juga pada hal yang begitu tiba-tiba dan mengagetkan ketika MTH menghadirkan kematian ayah Bulan yang begitu tiba-tiba tanpa permulaan awal penyebab yang begitu kurang saya tangkap dan kurang saya mengerti penyebabnya. Dalam kutipan,
Musim hujan baru saja tiba di tahun ke-lima. Hujan sehari-hari menjadi sangat akrab di desa Bulan. Bulan pun melewati hari-harinya dengan kebekuan. Pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Ia tak pernah keluar rumah semenjak kematian ayahnya, ketika musim kemarau tengah menggeragapi desanya. Para pemuda tak lagi hilir mudik melamar Bulan. Mereka tak lagi merasa bahwa Bulan masih hidup.

Padahal kita semua tahu, dalam segala hal yang kita perbuat pasti mau tak mau harus memperhatikan ketepatannya/ kepantasannya/ kesesuaiannya terhadap sesuatu hal, dalam bahasa jawa kita yakini sebagai unggah-ungguh. Seorang pencerita harus dapat memahami segala tindakan yang akan dilakukan terhadap sesuatu hal/ orang. Maka harus memperhatikan bagaimana kita akan menghadapi hal ini dan hal itu, dan tidak menutup kemungkinan kita akan memiliki anggapan/ tindakan yang berbeda-beda dan akan memiliki strategi yang berbeda-beda pula dalam menghadapi beberapa hal yang berbeda-beda tersebut. Maka seorang penulis bagi saja harus mampu mempertimbangkan segala hal yang akan diperbuat tersebut secara benar-benar matang, tidak hanya tempelan atau sekedar pemanis-pemanis belaka yang nantinya akan hanya seperti kita yang mengemut permen, yang setelah habis, kita tidak akan lagi menemukan manisnya lagi ketika kita berhadapan dengan orang lain dalam perbincangan yang berbeda. Karena kita akan dibuat lupa yang tak ada lagi manis yang tersisa. Tapi beda lagi ketika kita dihadapkan pada saat kita mengunyah cabe, pada lain kesempatan/ pada lain waktu kita dipertemukan pada orang lain maka kita akan tetap ingat ketika bertemu orang lain tersebut. Rasa cabe yang begtu pedas masih dapat kita rasakan dan masih dipertanyakan oleh orang lain. Kenapa denganmu kok muka merah begitu? Kenapa denganmu kok terburu-buru meminum es seperti baru kemah di padang pasir saja? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain sebagainya tentang hal karena mengunyah cabe tersebut.
Jadi, menurut saya seperti yang digemborkan dalam Meja Cerpen “ Mari kita purbakalakan tradisi malas berprosa!” Maka ya benar-benar jangan malas berprosa, kita jangan sampai membuat prosa seperti halnya mengetik pesan singkat/ sms. Tulis secara mendetail yang benar-benar berkait alur yang jelas dan kuat, bukan kita yang hanya menyajikan sebuah cerita yang malah membingungkan pembaca, karena kemalasan kita dalam berprosa. Mungkin ini hanya sebuah oret-oretan yang tak begitu bernila, tapi akan lebih bernilai jika ada yang mau menanggapi tulisan ini agar lebih membangun. Saya rasa ini semua belum tentu dapat saya lakukan dan saya terapkan dalam proses kreatif, tapi setidaknya ini semua sedikit gugatan untuk kita agar mau membudayakan gugatan-gugatan yang mampu membentuk dan menjadikan, bukan gugatan yang malah menguburkan.
Sekali lagi, “Mari kita purbakalakan tradisi malas berprosa!”


sarangdiksicantik, 100610, 09.53 am

Meraba Langkah Kreatif [Setia Naka Andrian]


Meraba Langkah Kreatif
Setia Naka Andrian

Mengawali sebuah langkah memang tidak mudah. Pasti akan dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan yang membuat langkah kita menjadi tersendat, terhenti sejenak, bahkan terkadang hingga berhenti total dan tak dapat melangkah. Memang ada kalanya kita terasa kehabisan akal untuk memulainya. Merasa kurang saat mendapatkan sesuatu. Tapi juga kadang kita menggebu-gebu hingga selalu bermunculan ide-ide yang menghentak-hentak hingga semua termuntahkan tanpa batasan-batasan. Nah, bila itu terjadi ada kalanya pula belum tentu ide/ pemikiran yang kita dapatkan dapat menjadi sebuah pemikiran yang cemerlang dan kreatif.
Dalam hal ini, kita tidak boleh hanya diam, hanya menuangkan saja tanpa melewati pengendapan dan perenungan. Maka kita harus mampu menggugat setiap ide-ide yang kita tuangkan tadi. Misalnya dengan melakukan sebuah pembahasan karya/ diskusi kecil-kecilan. Nah, dari itu kita akan mendapatkan semacam pencerahan untuk sedikit menggugat tentang pemikiran/ ide-ide yang kita tuangkan tadi. Jadi tidak semata-mata kita muntah lalu membersihkan muntahan tadi bila telah mengotori lantai atau baju.
Ibaratnya orang muntah tadi, pasti akan terlihat makanan-makanan yang telah kita makan sebelumnya. Entah itu es cendol, bakso, nasi goreng dan makanan-makanan kecil lainnya. Sehingga kita dapat mengupas tentang apa yang telah kita tuangkan benar-benar sebanding dengan apa yang telah kita dapatkan dan yang terekam dalam otak. Entah itu yang diperoleh dari buku-buku tua peninggalan jaman perang Majapahit, entah itu dari buku sisa jaman kolonial Belanda atau mungkin tentang sesuatu yang terekam oleh mata serta yang dialami tiap-tiap individu.
Banyak hal yang dapat kita lakukan dalam penemuan-penemuan ide/ pemikiran cemerlang. Tentunya kita harus yakin terlebih dahulu tentang apa yang akan kita lakukan. Lalu kita membawanya menuju pemahaman yang wajar dan standar dari apa yang kita miliki. Mustahil rasanya bila berpikir muluk-muluk tapi ternyata yang kita tuangkan menjadi sebuah gagasan yang di cap ora karuwan oleh orang-orang yang kita anggap tua atau mungkin yang dituakan dalam bidangnya. Nah, kita perlu berpikir realistis sebagaimana berbalut pada hal-hal yang kita sadari, kita yakini, dan tentang hal-hal terdekat di sekeliling kita. Jadi nggak usah berpikir jauh-jauh sampai nembus langit dan nendang bintang, nanti malah tambah kerepotan lagi ketika mikir ingin turun. Malah bakal tambah lebih sakit bila mungkin nanti terjatuh. Jadi ya sebaiknya kita tuangkan sesuatu yang paling dekat dengan mata kita, hal yang paling kita mengerti dan yang paling akrab pada diri kita.
Memang ada kalanya juga kita harus berpikir jauh. Misalkan tentang kegelisahan-kegelisahan tentang suatu hal yang dianggap tidak masuk akal. Tentang ajaran-ajaran agama yang dirasa kita membingungkan. Lalu kita mencoba untuk mencari jalan keluar untuk mencapai sebuah kebenaran tertentu tentang keberadaan tersebut. Jadi ya semua sah-sah saja. Semua tergantung pada niat dan kehendak. Yang terpenting adalah berani memulai dan berani melangkahkan sedikit demi sedikit walaupun hanya sejengkal.
Nah, ada lagi. Ukuran estetika juga perlu diperhatikan. Ini merupakan sebuah terasi pada beraneka macam sambal. Karena ada rasa tersendiri atas kehadiran terasi tersebut. Kurang bila tanpa itu. Sama halnya ketika menuangkan sesuatu hal, kita wajib memikirkan nilai estetika. Karena tanpa ukuran estetika, sesuatu yang kita tuangkan nampak tak memiliki rasa. Kekuatannya seakan terabaikan bila nilai satu ini tidak diikutsertakan. Dan mungkin akan jadi bahan cemoohan. Walaupun disamping itu kita juga harus memikirkan tentang gagasan dan tema yang akan kita tuangkan.
Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan? Bergegas cuci kaki tangan dan mengelap muka lalu tidur? Ataukah kita akan mengelelawar dan menjadi penguasa malam atas kehendak-kehendak aneh serta kegelisahannya?
Yah, yang terpenting ya kita harus berani dan rela mati-matian saja untuk terus berkarya. Kalau kita sudah benar-benar yakin dan merasa ingin berjalan pada dunia gores-menggores ini. Kata orang, ibaratnya kalau sudah terlanjur basah setengah badan ya nyebur saja biar basah semua. Tapi bagi saya pribadi ya mending jangan nyebur, bukannya takut air atau pemalas mandi. Mending kita siapkan perahu untuk berlayar diatas air tadi, lalu kita akan melihat orang-orang yang serba kebasahan. Kita paham tentang air itu, kita tetap akrab dengan air itu, tanpa kita harus nyebur dan serba kebasahan.
Intinya ya bekerja cerdas, bukan bekerja keras.

Pengakuan Kecil


Saya terlahir dari keluarga dan lingkungan yang jauh dari dunia sastra. Saya tidak tahu apa itu puisi, makanan apa sih puisi? Terbuat dari apa sih puisi? Saya tidak tahu sama sekali tentang puisi. Lalu seiring waktu yang terus berjalan dan membuat usia saya semakin bertambah, saya mulai sedikit-sedikit mengenal puisi. Saya mulai mengenal puisi ketika duduk di bangku sekolah dasar. Ketika saya masih duduk di bangku kelas 5 (lima) sekolah dasar, waktu itu saya ditunjuk untuk mengikuti lomba baca geguritan (puisi Jawa) tingkat kecamatan, mewakili SD N Penjalin, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal.
Sejak itu pula saya mulai mengenal sedikit tentang “apa itu puisi?” Waktu itu saya menyebut puisi adalah sebagai sebuah ungkapan hati yang ditulis dengan bahasa yang indah. Yang terangkai lewat kata-kata yang enak didengar dan mengandung makna yang dalam dari sang penulis. Hingga saat ini saya masih ingat betul tentang penggalan syair geguritan yang pernah saya baca waktu itu. “Ing pucuking wektu, kumudu kudu dak pilih laku, iki apa iku.” Bagi saya kata-kata itu mengandung arti yang sangat dalam dan masih terngiang hingga saat ini. Tentang seorang manusia yang harus mampu menentukan pilihan dalam hidupnya, karena dalam kehidupan pasti manusia akan dihadapkan pada berbagai pilihan yang harus dan wajib dipilih.
Sejak saat itu pula saya mulai menulis puisi, merangkai kata-kata tentang segala sesuatu yang saya alami pada waktu itu. Ketika saya duduk di bangku kelas 6 (enam) sekolah dasar, saya mulai mengenal cinta. Saya merasa mulai menyukai lawan jenis. Ada satu cewek yang saya suka pada waktu itu. Lalu saya mulai menulis puisi tentang cewek yang saya kagumi tersebut. Tapi dengan bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa Jawa tentang geguritan yang mengawali saya mengenal puisi. Karena mungkin bahasa Indonesia lah yang paling dekat dengan diri saya. Walaupun saya tinggal pada sebuah desa yang sebagian besar masyarakatnya pasti menggunakan bahasa Jawa.
Nah, ketika itu pun saya terus-terusan menulis puisi tentang cewek sekelas yang saya kagumi. Tertulis di buku-buku pelajaran, di meja dan kursi sekolah hingga sempat saya tulis di celana seragam sekolah. Alasan saya menulis puisi tersebut karena saya belum berani mengungkapkan isi hati saya terhadap cewek yang saya kagumi tersebut. Entah kenapa dan masalahnya apa saya juga kurang begitu mengerti. Memang cewek itu merupakan seorang cewek yang selau berlangganan peringkat pertama sejak kelas satu sekolah dasar. Saya sempat menjadi peringkat dibawahnya, ketika saya dan cewek tersebut duduk di bangku kelas dua. Tapi seiring dengan kenaikan kelas saya menuju ke kelas yang lebih tinggi, maka semakin merosot pula peringkat/ rangking prestasi saya. Mungkin karena semakin nakal dan semakin jarang belajar karena lebih banyak bermain dari pada membuka buku pelajaran.
Setelah saya berada di bangku sekolah menengah pertama (SMP), tepatnya di SMP N 2 Brangsong, saya mulai lebih mengenal apa itu puisi. Karena saya mendapat materi puisi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya terus menulis puisi, bukan karena tugas yang diberikan dari guru tentang tugas menulis puisi, tapi memang kemauan saya sendiri untuk menulis puisi. Mungkin masih sama alasannya kenapa saya menulis puisi, masih sama ketika masih di bangku sekolah dasar. Ketika saya tidak berani mengungkapkan sesuatu secara langsung, maka saya tulis kegelisahan tersebut dalam sebuah puisi. Tapi saat di bangku SMP, saya tidak lagi hanya karena masalah saya ketika tidak berani mengungkapkan perasaan kepada cewek yang saya suka, tetapi juga luapan hati saya kepada orang tua ketika saya dilarang melakukan sesuatu yang saya suka, ketika saya dimarahi ibu karena terlalu banyak bermain dan bandel karena jarang tidur di rumah. Juga kegelisahan saya ketika di sekolah, tentang ketidaksepahaman saya terhadap aturan-aturan sekolah dan keseringan saya mendapat marah setiap pagi karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah/ PR.
Pada waktu SMP, menulis puisi sudah menjadi makanan keseharian dan sudah menjadi menu utama. Walaupun tidak pernah mengikuti lomba-lomba menulis puisi. Entah pada waktu itu tidak ada lomba atau mungkin karena guru saya tidak tahu kalau saya suka menulis puisi. Tapi saya selalu aktif mengirim puisi-puisi saya ke mading sekolah, dan kebetulan setiap saya mengirim, puisi-puisi saya selalu diterbitkan dan di pajang dalam majalah dinding sekolah. Mulai saat itu pula banyak teman-teman yang tahu kalau ternyata saya suka menulis puisi. Walaupun puisinya pun nggak karuhan, bahkan sangat jelek, tapi pada saat itu kelihatannya teman-teman mulai menyukai puisi-puisi saya. Ada juga sebagian teman-teman saya yang meminta untuk dibuatkan puisi, yang katanya ingin dikasihkan kepada cewek. Waktu itu pun saya sangat berhutang budi dan merasa tertolong oleh puisi. Karena saya memberanikan diri untuk menembak cewek dengan bantuan runtutan kata-kata dari sebuah puisi yang saya ciptakan, dan akhirnya juga saya mendapatkan cewek tersebut. Yah, walaupun tidak bertahan lama.
Ketika saya duduk di bangku SMA, tepatnya di SMA N 2 Kendal, kebiasaan menulis puisi masih melekat erat pada diri saya. Kata-kata dan tema yang saya ungkapkan pun menjadi semakin melebar. Dari yang tadinya waktu SD hanya membahas tentang cewek yang saya kagumi dan tak berani mengungkapkannya, dari yang pada saat SMP terlalu sering dimarahi guru dan orang tua, lalu pada waktu SMA saya sudah merambah pada tema yang menyangkut tentang hidup, agama dan ajaran Tuhan serta tuntutan-tuntutan Tuhan terhadap manusia dan juga janji-janji Tuhan.
Sehingga pada waktu saya duduk di bangku kelas 2 (dua) SMA, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia melihat puisi saya, lalu beliau menyukai puisi tersebut dan akhirnya puisi-puisi saya di kirim ke majalah sastra Horison. Akhirnya pun dua puisi saya masuk pada kakilangit majalah sastra Horison edisi XXXXI tahun 2006 dengan membawa nama SMA N 2 Kendal. Puisi saya berjudul “Sesal Kubur” dan “Mengilhami Arti Pagi”. Walaupun puisi yang berjudul “Mengilhami Arti Pagi” tertulis sebagai karya teman sebangku saya, karena mungkin pada waktu itu saya kurang tahu betapa besar arti dari sebuah karya.
Pada waktu kelas 2 (dua) SMA itu pula, kali pertama saya menulis sebuah naskah drama “Otak Generasi Muda”. Saya menyuteradarai serta menjadi salah satu aktornya. Ketika saat itu ada materi drama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan mendapat tugas menyajikan pementasan drama. Walaupun pada waktu SMA saya tidak mengikuti ekstra kurikuler teater, tetapi saya tetap semangat dan kerja keras dan yakin untuk menulis naskah sendiri, menyuteradarai dan menjadi salah satu aktornya. Dalam pementasan drama tersebut pun terdapat pembacaan puisi karya saya yang berjudul “Limbah Demokrasi”. Dan pada waktu SMA, puisi-puisi saya kerap masuk dan diterbitkan di majalah Ganesa Kabupaten Kendal.
Setelah lulus SMA, saya masuk di perguruan tinggi swasta IKIP PGRI Semarang, tahun 2007. Di kampus tersebut saya bergabung dengan Teater Gema. Di situ saya pernah melakukan sebuah penggarapan teater dalam lakon “Hayalan Padang Tandus”, saya menulis naskah tersebut dan menyuteradarainya. Juga pernah saya melakukan sebuah penggarapan teater dalam kelas yang merupakan tugas mata kuliah, dalam lakon “Negeri Topeng” yang kebetulan naskah dan suteradaranya saya sendiri.
Di kampus IKIP PGRI Semarang, keinginan dan kemauan keras saya untuk terus menulis semakin menggebu-gebu. Saya bertemu dengan orang-orang yang sangat berarti bagi diri saya pribadi. Orang-orang yang selalu memberi semangat dan dukungan terhadap saya. Termasuk dosen saya dan sastrawan serta seniman-seniman yang ada di Semarang. Di kampus ini pun saya mendirikan sebuah komunitas sastra kecil-kecilan, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar. Sehingga saya semakin semangat dan semakin menggandrungi dunia tulis. Hingga puisi-puisi saya sering di muat di koran Suara Kampus IKIP PGRI Semarang, cerpen saya di majalah Vokal IKIP PGRI Semarang. Serta saya pernah mengikuti Lomba Penulisan Karya Sastra SELEKDA (Seleksi Seni Tingkat Daerah) BPSMI Jawa Tengah mewakili IKIP PGRI Semarang. Puisi saya berjudul “Pengajian”, juara 1 menulis puisi Kajur dan HIMA PBSI IKIP PGRI Semarang, Desember 2008, juara 2 menulis cerpen Kajur dan HIMA PBSI IKIP PGRI Semarang, Desember 2008 dan finalis 20 besar g-Mag Presents Telkomsel Writing Awards 2009 - Cerpen Asik, dan cerpen saya yang berjudul “Bukan Jelmaan Adam” yang merupakan karya dari 20 besar finalis dibukukan dalam antologi cerpen “Bila Bulan Jatuh Cinta” penerbit Gradasi Semarang.
Saat ini, tulisan menjadi salah satu bagian dari hidup saya. Merupakan sebuah catatan sejarah hidup saya pribadi dengan orang-orang yang saya cintai, catatan bersama teman-teman saya, orang tua, keluarga, serta kehidupan masyarakat dan juga agama saya, hingga catatan keadaan sosial budaya bangsa dan negara Indonesia.
Setiap kata yang saya tulis saya anggap mempunyai sebuah kekuatan. Memiliki keberadaan yang nyata dan menggembol alasan yang kuat. Dari kata tersebut, lalu berjalan menuju frasa, kalimat, bait, hingga pada sebuah kesatuan tulisan yang utuh. Entah itu puisi, cerpen ataupun naskah drama yang kerap saya tulis. Yang tidak pernah luput dari sebuah pemadatan kata.
Dalam menulis, saya tidak pernah berpikir panjang untuk mengawali sebuah tulisan dan mencari sebuah ide untuk memulai menulis. Yang saya lakukan adalah membunyikan kata, frasa atau kalimat, dan memuntahkan dengan tulus ikhlas kata-kata yang keluar dari hati. Dalam istilah Jawa “Ceplas-ceplos atau clemang-clemong”. Lalu saya perkosa kata-kata itu, hingga terangkai menjadi frasa, kalimat, hingga akhirnya menjadi sebuah kesatuan tulisan yang utuh. Tulisan yang telah melewati sebuah pengendapan dan perenungan.
Saya merupakan seseorang yang suka menulis tetapi tidak begitu suka membaca. Bagi saya membaca adalah melihat keadaan sekeliling saya. Menikmati susah dan senang hidup, merekam segala fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar saya. Sesuatu yang saya rasakan dan sesuatu yang benar-benar saya lakukan, saat saya merasa risau dan gelisah tentang suatu hal dan kejadian yang menimpa diri saya, orang yang saya cinta, orang tua, teman-teman, agama serta sesuatu yang terjadi pada bangsa dan negara ini.
Menulis bagi saya adalah ketika saya merasa tidak puas terhadap sesuatu yang saya dapatkan dalam alam nyata, lalu saya berlari menuju alam hayal, menjadi penguasa dan melampiaskan segala-galanya tentang sesuatu yang hendak saya gapai. Ketika dalam alam nyata saya masih belum merasa puas dan masih selalu kalah. Dan yang terpenting bagi saya, menulis adalah “pakai hati tetapi jangan sampai dimasukkan ke hati.”

Setia Naka Andrian
koordinator komunitas sastra lembah kelelawar
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang, 2007.